Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

03 Juni 2008

Tata Permainan Bahasa (Tanggapan Terhadap Yunit Permadi dan Arswendo Atmowiloto)

Mengembalikan kata pada mantra—seperti digaungkan Sutardji— dapat dianggap benar dalam konteks tata permainan bahasa. Demikian pula mengembalikan bahasa pada puisi,seperti dikatakan Yunit.

Analogi dan metafora yang akrab pada puisi hanya mampu berbicara pada ranahnya sendiri (language games). Sementara kehidupan ini sesungguhnya memiliki ranah yang bermacam-macam dan beraneka ragam.

Memberikan perintah dan menaatinya, membuat laporan, menyelidiki suatu kejadian, dan memberitakannya adalah bentuk-bentuk tata permainan bahasa yang memiliki nilai-nilai kehidupannya sendiri yang terlepas dan bahkan sangat berbeda dengan tata permainan bahasa puisi.

Dalam kondisi seperti inilah,Wittgenstein menyerukan untuk mengadakan penyelidikan gramatikal demi mendapatkan pemahaman yang memadai mengenai nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam kompleksitas kehidupan manusia yang sebelumnya tidak mendapatkan perhatian.

Sebuah soal yang perlu dicatat kaum intelektual adalah Wittgenstein tidak pernah menyarankan ketunggalan dalam penggunaan bahasa. Artinya, jika Yunit, yang beranjak dari pemikiran Wittgenstein, berambisi untuk menyeragamkan sebuah ragam tertentu (puisi) untuk semua ragam bahasa, berarti pemahamannya atas pemikiran Wittgenstein tersebut telah mengalami kekeliruan epistemologis.

Dasar ontologis yang ditawarkan Wittgenstein adalah makna sebuah kata adalah penggunaannya dalam bahasa dan makna bahasa adalah penggunaannya di dalam hidup. Dasar ontologis ini beranjak dari pengamatan Wittgenstein atas majemuknya tata permainan bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan dasar pijak ontologis seperti ini,Wittgenstein tidak berambisi untuk membangun bahasa dalam kerangka epistemologis yang cenderung positivistis seperti layaknya kaum linguistik struktural. Oleh karena itu,aspek epistemologis bahasa Wittgenstein tidak akan mengulang kekeliruan epistemologis seperti yang telah diterapkan kaum linguistik struktural sejak dulu hingga hari ini dengan mencangkokkan tugas ilmu pengetahuan versi Reichenbach dan Toulmin.

Dalam soal ini pula,Yunit keliru dalam memahami aspek ontologis bahasa menurut Wittgenstein. Bahasa sehari-hari, dengan demikian, bukan alat untuk menampilkan realitas,melainkan menampilkan kehidupan itu sendiri. Malah, penggunaan bahasa secara berbeda oleh komunitas masyarakat tertentu menunjukkan kepada kita bahwa sebuah makna kata merujuk pada nilai-nilai dalam kehidupan. Nilai-nilai itu tentu saja dapat berbentuk budaya,kebiasaan,moral, agama.

Nilai-nilai itulah yang disebut esensi bahasa seperti yang diungkapkan Wittgenstein. Bahasa tidak bisa diotonomkan begitu saja atau lepas dari nilai-nilai, karena justru pola asumsi seperti itulah berpotensi mengerdilkan bahasa.Dalam soal ini, kaum linguistik struktural mengalami kejenuhan epistemologis sehingga akhirnya mengembangkan linguistik pragmatik.

Dalam language gamesini pula kita disadarkan akan penghargaan atas nilai-nilai kehidupan manusia yang beraneka ragam.Menurut paham ini, tugas ilmu pengetahuan dilakukan dengan tujuan menghasilkan suatu jenis pemahaman yang ada dalam melihat suatu pola atau bentuk tertentu dalam kehidupan manusia melalui suatu ungkapan bahasa.

Namun,pola kehidupan ini tentunya tidak bermaksud untuk dibakukan karena kehidupan manusia tidak seperti gejalagejala alam yang dapat diverifikasi dengan teknik-teknik yang bersifat ajek selayaknya ilmu pengetahuan alam. Sifat positivistis dalam memperlakukan bahasa seperti inilah yang pada akhirnya menumbuhkan aspek normatif bahasa yang berwujud slogan bahasa (Indonesia) yang baik dan benar.

Hasil temuan gejala bahasa dari suatu daerah antah berantah dijadikan patokan formal atas penertiban bahasa di Indonesia.Pasti saja pola verifikasi positivistis dalam ilmu pengetahuan alam seperti ini akan cenderung memerkosa ilmu pengetahuan khususnya bidang sosial humaniora. Bahasa yang menampilkan aspek makna tidak mungkin dapat diverifikasi secara positivistis mengingat nilai-nilai kehidupan di suatu tempat akan sangat berbeda dengan tempat lain.

Kasus ”Dick”

Lembar yang sama pada 11 Mei 2008 di koran Seputar Indonesia mengenai komentar penggunaan judul film ”Namaku Dick”juga mengindikasikan kekeliruan epistemologis yang hampirhampir mirip. Namun, jika Yunit mengalami kekeliruan pada aspek epistemologis tata permainan bahasa Wittgenstein, Arswendo Atmowiloto mengalami kekeliruan dalam aspek ontologis dan epistemologis bahasa.

Penggunaan kata ”Dick”pada judul film tersebut bukan karena pertimbangan aspek moral seperti yang dikutipnya dari pernyataan spontan Tommy F Awuy,melainkan penggunaannya dalam kehidupan yang kompleks, yaitu film ini memang mengungkapkan realitas kehidupan manusia yang menggunakan kata ”Dick”tersebut.

Bila film itu dicermati lebih dalam, film itu sudah tepat dalam menggunakan kata ”Dick”, sebab sasarannya memang kelompok yang akrab menggunakan kata itu, yaitu eksekutif muda yang cenderung akrab dengan penggunaan kata asing. Dalam kehidupan sehari-hari, rasanya kecil sekali kemungkinan kelompok preman pasar menggunakan kata ”Dick”,mereka akan cenderung menggunakan kata Kon***.

Sebab, dunia yang dihidupi kelompok preman sangat kecil bersentuhan dengan kata-kata dari bahasa asing. Berbeda dengan kelompok eksekutif muda yang akrab dengan bahasa asing seperti bahasa Inggris.

Aspek ontologis bahasa yang diidamkan Arswendo yang berbunyi situasi kebiasaan hidup dalam kebiasaan masih akan berlangsung tanpa ukuran yang pasti dan bisa diterima banyak pihak sesungguhnya telah membuatnya kembali terpeleset dalam pola pikir positivistis yang sayangnya juga menimpa Yunit.Kebiasaan tidak akan pernah dapat dipastikan melainkan akan selalu bergerak spontan,beraneka ragam,dan tidak terbatas.

Tumpang tindihnya aspek ontologis dan epistemologis bahasa dari kedua penulis ini memang dapat dimaklumi. Sebab,pola pikir strukturalisme yang menghunjam pada ilmu linguistik modern dan kehidupan manusia terlanjur kuat mengakar, termasuk dalam alam pikiran kaum intelektual di Indonesia. (*)

Rikobidik
Freelance Copywriter dan sedang menyelesaikan gelar kesarjanaan di Universitas Nasional, Jakarta.

(TERBIT DI SEPUTAR INDONESIA, 31 MEI 2008)

Tidak ada komentar: