Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

19 Juni 2008

Status Ontologis Bahasa (Tanggapan untuk Rikobidik)

Oleh: A. Boy-Mahromi

Status ontologis bahasa adalah puisi.Namun puisi di sini dipahami sebagai ketakteraturan, permainan dan bahasa sebagai mantra.

Tanggapan Rikobidik (SINDO, 1 Juni 2008) terhadap Yunit Permadi tidak mengenai sasaran. Karena apa yang dituturkan oleh Yunit sebenarnya bukanlah sebuah penyeruan terhadap penyatuan bahasa, seperti yang diungkapkan oleh Rikobidik, tetapi lebih sebuah eksplorasi mengenai hakikat ontologis dari bahasa.

Beranjak dari pemikiran Witgenstein II, tulisan Yunit bukanlah sebuah ”ambisi untuk menyeragamkan sebuah ragam tertentu (puisi) untuk semua ragam bahasa”, tetapi sebuah deskripsi mengenai ontologi bahasa. Seperti dikatakan Unit, status ontologis bahasa itu sebenarnya adalah puisi.Tetapi puisi di sini janganlah dianggap sebagai puisi seperti yang kita kenal.Lebih dari itu, puisi di sini dimengerti sebagai ketakteraturan, permainan, dan bahasa sebagai mantra.

Status bahasa sebagai puisi ini dapat kita buktikan dengan beragam pola tata permainan bahasa dalam dunia kehidupan. Di sinilah kontekstualitas Yunit berpijak pada teori Wittgenstein. Banyaknya pola permainan bahasa dalam kelompok-kelompok tertentu menggambarkan bahwa status ontologis bahasa adalah permainan, bukan sesuatu yang dirujuk oleh bahasa.

Bahwa semua tata permainan bahasa itu dilandaskan pada status ontologis bahasa sebagai puisi. Memang benar makna bahasa adalah penggunaannya dalam hidup dan majemuknya tata permainan bahasa dalam hidup. Benar apa yang diungkapkan oleh Rikobidik, ”Bahasa sehari-hari adalah alat untuk menampilkan kehidupan itu sendiri. Malahan, penggunaan bahasa secara berbeda oleh komunitas masyarakat tertentu menunjukkan kepada kita bahwa sebuah makna kata merujuk kepada nilai-nilai dalam kehidupan.

”Tetapi pertanyaan Yunit jauh melebihi itu. Pertanyaan Yunit adalah: status ontologis bahasa seperti apa yang melandasi semua keragaman bentuk-bentuk permainan bahasa itu? Kalau tata permainan bahasa itu bermacam-macam, maka apa hakikat dasar bahasa yang bermacam- macam tersebut? Hakikat bahasa macam apakah yang dapat dilekatkan pada semua tata permainan bahasa yang diungkapkan oleh Wittgenstein itu? Jawabannya jelas, yaitu puisi.

Puisilah sebenarnya hakikat ontologis bahasa yang melekat pada semua bentuk tata permainan bahasa itu. Adanya berbagai bentuk tata permainan bahasa juga mengisyaratkan bahwa bahasa-bahasa itu bukanlah sesuatu yang stabil.Tata permainan bahasa yang digunakan komunitas tertentu, yang menunjukkan kehidupan tertentu, pada awalnya adalah bahasa puisi.

Itulah yang ingin dikatakan Yunit.Pada awalnya, tata permainan bahasa yang digunakan dalam kehidupan seharihari itu juga adalah puisi. Persis yang Sutardji Calzoum Bachri katakan,bahwa pada awalnya adalah mantra. Entah dalam bentuk apa pun bahasa itu. Entah bahasa dalam ilmu-ilmu positivistik atau dalam seni. Bentuk positivisme bahasa itu hanya terjadi dalam kegunaannya, bukan dalam status ontologis bahasa. Yang menjadi persoalan Yunit adalah status ontologis dari bahasa itu.

Di sini Yunit tidak bicara mengenai Wittgenstein an sich,tetapi hanya menjadikan pikiran Wittgensein sebagai titik tolak. Di sinilah Rikobidik keliru dalam memahami tulisan Yunit Permadi. Ia tak dapat memahami inti tulisan itu. Seperti Yunit,apa yang dikatakan mengenai Wittgenstein adalah benar.

Perbedaannya, kalau Rikobidik memahami Wittsgensein secara tekstual, Yunit Permadi menjadikan pemikiran Wittgenstein II itu sebagai titik tolak untuk menunjukkan status ontologis bahasa sebagai puisi. Kalau Rikobidik berhenti pada tata permainan bahasa dalam berbagai bentuk kehidupan sebagai status ontologis bahasa,Yunit lebih jauh ingin melihat apa status ontologis tata permainan bahasa dalam berbagai bentuk kehidupan itu.

Untuk mendukung argumentasinya, Yunit juga meminjam pemikiran Martin Heidegger mengenai bahasa. Di sinilah tesis bahwa pada awalnya bahasa adalah puisi mendapat status legitimasi yang kokoh.Tampak bahwa yang menjadi problematika utama dalam tulisan itu adalah usaha pencarian terhadap status ontologis dari bahasa.

Selanjutnya, pada tanggapannya atas Yunit, Rikobidik membedakan antara realitas dan kehidupan. Dia mengkritik Yunit keliru dalam memahami status ontologis bahasa menurut Wittgenstein. Dia berpendapat, ” Bahasa sehari-hari,dengan demikian, bukan alat untuk menampilkan realitas, melainkan menampilkan kehidupan itu sendiri. Malahan, penggunaan bahasa secara berbeda oleh komunitas masyarakat tertentu menunjukkan kepada kita bahwa sebuah makna kata merujuk kepada nilainilai dalam kehidupan.”

Dalam kalimat itu Rikobidik membedakan antara realitas dan kehidupan. Sungguh suatu kekeliruan epistemologis bila memisahkan antara keduanya. Apa yang dimaksud dengan realitas cakupannya luas. Secara etimologis realitas itu dapat dikatakan sebagai segala sesuatu yang ada. Itu adalah realitas. Segala sesuatu yang ada itu bisa dinamakan sebagai realitas, termasuk kehidupan.

Kehidupan dapat dipandang juga sebagai realitas. Realitas jangan dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar kehidupan,kehidupan itu sendiri adalah realitas.Wittgenstein malah menyatakan bahwa realitas hanya bisa terungkap lewat bahasa.

Di sinilah saya malah menemukan apa yang dikatakan oleh Rikobidik sebagai kekeliruan epistemologis.Perlu dijelaskan di sini bahwa istilah kekeliruan epistemologis digunakan oleh Rikobidik tidak pada tempatnya. Apa yang dimaksud dengan kekeliruan epistemologis adalah kekeliruan dalam menggunakan kerangka berpikir.Misalnya seperti tadi: membedakan antara realitas dan kehidupan. Itu adalah kekeliruan epistemologis, karena sebenarnya kehidupan itu adalah bagian dari realitas.

Bila Yunit misalnya keliru dalam memahami Wittgenstein, cukuplah dinyatakan bahwa ia salah tafsir atau keliru dalam menafsirkan Wittgenstein, tidak termasuk dalam kategori kekeliruan epistemologis. Kemudian juga istilah yang digunakan oleh Rikobidik, yaitu istilah aspek ontologis bahasa. Dia menulis, ”Dalam soal ini pun Yunit keliru dalam memahami aspek ontologis bahasa menurut Wittgenstein II.”

Kalau Rikobidik ingin konsisten dengan Wittgenstein, seharusnya dia tidak menggunakan istilah aspek ontologis dari bahasa. Karena seperti kita ketahui,Wittgenstein adalah filsuf yang curiga dengan istilah-istilah bahasa seperti itu.Wittgenstein adalah filsuf yang tidak bicara mengenai hal-hal yang tak dapat dikatakan, dan bahasanya jauh seperti yang digunakan oleh para filsuf metafisika seperti Martin Heidegger yang memang berpikir tentang metafisika dan ontologi.

Di dalam buku-buku Tractatus Logico-Philosophicus atau Philosophical Investigations,Wittgenstein tidak pernah menggunakan istilah aspek ontologis bahasa.Ia adalah filsuf yang menghindari bahasa-bahasa seperti metafisika,juga ontologi,yang menurut Wittgenstein sulit untuk diperiksa. Di sini Rikobidik tidak menempatkan pemikiran Wittgenstein secara tepat.(*)

A. Boy-Mahromi,
Pegiat di Forum Muda Paramadina dan ICIP.

(DIMUAT DI SEPUTAR INDONESIA, 14 JUNI 2008)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

rikobidik memang akademisi amatir yang tidak berkualitas. Memyedihkan.