Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

03 Juni 2008

LIU SIE

Cerpen Sunlie Thomas Alexander

BUKAN bulan ketujuh, tapi Lak Gwee, bulan keenam. Ahli sejarah muda dari Rotterdam itu salah menghitung penanggalan karena tak tahu kalau di tahun tikus tersebut, bulan lima Go Gwee berlangsung dua kali dalam setahun sebagaimana yang kerap terjadi dalam kalender Imlek. Tapi sudahlah, ia memang telah telanjur keliru mencatat bulan Mei yang penuh sengkala itu sebagai Cit Gwee yang berlumuran darah. Ah, lantaran dengan sembrononya berpatokan pada hari Peh Cun1 yang jatuh di bulan Maret, di mana ia telah berkenalan dengan seorang perempuan Tionghoa yang begitu rupawan di pantai Pasir Padi.

***

SIANG yang mendung di pengujung bulan enam itu memang tak mudah dilupakan oleh orang-orang Tionghoa di pulau penghasil timah ini, Liu Sie. Terutama para pendatang dari Kwan Tung dan singkek-singkek2 pekerja Parit Pikul3. Mereka begitu ketakutan dan tak mampu menahan kesedihan tatkala dirimu dan A Wei dinaikkan ke tiang gantung yang berdiri angkuh di halaman karesidenan itu. Langit yang tampak mendung sejak pagi seolah-olah ikut berduka. Hm, betapa pertanda buruk yang hadir kelewat nyata.

Kalau saja matamu tidak tertutup oleh kain hitam yang menyelubungi kepalamu, tentunya dapat kau lihat bagaimana wajah-wajah pucat pasi yang menatapmu dengan mata berlinang, sebagian di antara mereka yang berdesakan di luar pagar halaman gedung bercat putih itu bahkan tak sanggup lagi menahan isak tangisnya. Sedangkan sebagian yang lain hanya bisa membuang muka ketika algojo mulai mengalungkan tali gantungan ke leher kalian. Udara terasa begitu gerah, angin seperti membeku. Kau menggigit bibir lalu mengatupkan gerahammu rapat-rapat. Terbayang olehmu kampung halaman di seberang lautan, juga wajah orang-orang yang kau cintai. Senyum Siu Lian, istrimu yang cantik seperti bergelayut di pelupuk matamu.

***

AI, jika saja waktu yang terkutuk dapat ditarik-ulur seperti tali busur dan kau bisa memilih, tentu tak ingin kau bertandang ke pulau celaka ini, Liu Sie. Takkan kau terbujuk rayuan para calo kuli dari Tumasik yang mampir ke Kwan Tung itu. Mungkin saja kau bakal bersikukuh menggarap sawah upahan atau memutuskan menjadi seorang penarik ricksaw4 daripada tergiur mencari pengharapan hidup yang lebih baik, jauh meninggalkan daratan Thong San5 ke Nan Yang6.

Tentu saja tak mudah bagimu melupakan, bagaimana kalian dijejerkan bak ikan asing di dek-dek kapal yang pengap-busuk itu selama pelayaran berbilang minggu dari pelabuhan Amoy. Oh, demikianlah, berbondong-bondong dari Sin Neng, San Wui, Hoi P'eng, Shun Tak, Tung Kwun, Heung Shan, dan kampung halaman lainnya, kalian nekat mengadu nasib ke seberang lautan. Ke negeri asing yang konon dipenuhi keajaiban.

Hidup enak, cepat kaya! Demikian para calo sesumbar meniupkan kabar burung tentang Nan Yang yang terdengar mirip iming-iming surga para misionaris yang singgah ke Kwan Tung. Sekiranya saja dapat kau jumpai lagi lelaki bermata picak yang menyebarkan selebaran di pasar itu, barangkali akan kau cincang lumat tubuh tambunnya lalu membagi-bagikannya seperti bakpao.

Tapi begitulah. Mulut-mulut manis para calo itu telah mengantarmu hingga menginjakkan kaki di pulau celaka ini bersama ribuan kuli lainnya. Masih mujur mereka yang memiliki sedikit simpanan untuk membayar para calo dan kapal, sementara dirimu dan sebagian besar dari rombongan terpaksa harus menjual ternak babi --ah, harta satu-satunya yang dimiliki-- untuk mengganti sebagian biaya pelayaran. Bahkan di antara kalian ada yang terpaksa menggadaikan diri dengan perjanjian takkan mendapat upah kerja hingga utang terlunasi, lantaran sama sekali tak mampu membayar ongkos perjalanan. Karena itulah, kalian pun dikenal sebagai Cu Cai Kiok alias para singkek yang datang ke Nan Yang dengan menjual anak babi.

Tapi, adakah Nan Yang memang negeri penuh harapan, negeri yang bertabur impian seperti iming-iming para calo, Liu Sie? Adakah tambang timah seperti guci harta karun yang berserakan untuk digali? Atau setiap hari kalian dapat menyantap ayam panggang dengan arak sulingan terbaik?

Ah, kalau saja semua itu bukan sekadar celoteh busuk para calo celaka, tentunya tak pernah ada kisah sedih ini. Takkan namamu tercatat begitu gamang dalam sejarah pulau terkutuk ini.

Belanda terlalu picik, Liu Sie. Karena orang-orang Melayu tak sudi bekerja sama, mereka pun menipu orang-orang Tionghoa datang ke pulau kecil ini untuk bekerja di parit-parit timah lewat para kaki tangannya. Jelas sudah semua janji dan iming-iming hanyalah omong kosong belaka. Oho, seperti bunyi Thai Pao ta Luntun!7 Jangankan menyantap ayam panggang dengan arak harum, bisa makan bubur encer dua kali sehari pun barangkali semata-mata kemurahan Thian8 yang pengasih...

***

SUNGGUH, tak pernah terlintas di benakmu menjadi seorang pahlawan konyol di negeri asing ini, Liu Sie. Apalagi membayangkan namamu tercatat dengan gamang dalam sejarah penambangan timah. Tapi kelicikan Belanda dan Sultan Palembang yang bersekongkol dengan mereka memang mesti dibalas. Atau nasib orang-orang Tionghoa akan kian naas.

Tak banyak di antara kalian yang datang menjadi kuli penambangan sanggup melunasi utang. Bila tidak terjerat utang baru dari para mandor keparat, sebagian upah kecil itu dipastikan bakal ludes di arena-arena judi atau terisap madat! Ya, judi dan madat, sempurna sudah penderitaan di Nan Yang yang celaka. Orang-orang Tionghoa memang terlalu bodoh untuk dimakan tipu muslihat. Atau Belanda yang terlampau licik memasang jerat? Pikirmu. Ya, mereka tahu orang Tionghoa suka bertaruh peruntungan di atas meja judi, bermimpi bisa memperbaiki nasib yang sial dengan dadu dan kartu. Atau sebagian yang lain, yang kurang nyali, bisa meneruskan mimpi yang kandas bersama wangi asap ganja.

Kau memandang keluar jendela pondok. Hujan awal bulan tiga yang tercurah dari langit terdengar seperti sebuah lagu sedih. Sudah tiga minggu kau bersembunyi di pondok kebun milik keluarga sahabatmu Hamid. Ai, orang Melayu yang baik. Kalau bukan lantaran pertolongannya mungkin betis kirimu sudah membusuk ketika tertembak bedil serdadu Belanda kurang lebih dua tahun silam. Hamid menemukanmu terkapar pingsan di kebun ini. Lubang di betismu sudah bernanah ketika ia mengeluarkan sisa pelor dengan pisaunya. Entahlah, dengan obat apa ia membalut lukamu. Sejenis tumbuh-tumbuhan yang menyengat tapi mujarab.

A Wei masih berjalan mondar-mandir di belakangmu. Ingin sebenarnya kau menegurnya agar duduk diam karena membuatmu tak bisa berpikir dengan tenang. Tapi walau kesal, hal itu tidak kau lakukan.

''Bagaimana kalau Belanda mencium keberadaan tempat ini, Ko9?'' Dapat kau rasakan kecemasan A Wei dari nada suaranya yang bergetar. Untuk beberapa saat kau hanya membisu, angin ladang yang masuk dari jendela terasa sejuk membawakan harumnya aroma dedaunan lada. Ratusan batang tanaman menjalar itu tegak hijau rimbun pada tiang-tiang rambatannya, sementara di kejauhan tampak pepohonan karet menjulang tinggi. Ah, sesungguhnya Nan Yang memang tanah yang penuh berkah dibandingkan Thong San yang gersang, kau menggeleng-geleng.

''Kau takut, Wei?'' Pelahan kau menoleh pada A Wei yang kini berdiri merangkapkan dua tangan di dada. Kedua matanya yang sipit tampak demikian gelisah, tapi wajahnya segera saja memerah.

''Takut?'' kau merasa ia agak tersinggung, suaranya meninggi, ''Chin Wei Kwet tak pernah mengenal takut dalam hidupnya, Ko! Selama aku masih menyandang marga Chin, sebagai keturunan Chin Nyuk Sak si toya hantu, takkan aku gentar pada setan sekalipun! Aku cuma mengkhawatirkan sahabat kita Hamid dan orang-orang Melayu di kampung ini...''

''Tak usah risau, Wei. Aku rasa Belanda tidak mudah menemukan tempat ini,'' kau mengulum senyum melihat wajah saudara angkatmu itu semerah udang rebus. Ia menghela napas, ''Tapi Belanda itu licik, aku takut mereka sudah menyebarkan mata-mata. Kita tak mungkin menang kalau mereka mengerahkan pasukan ke kampung ini.''

''Berdoa saja, Wei. Thian dan para dewa akan menolong kita. Lagi pula kau tahu, Hamid bukan pendekar sembarang... Banyak jawara Melayu bersamanya,'' entahlah, kau berucap setengah tak yakin. Ah, tentunya kau masih ingat sepak terjang Hamid dan kawan-kawannya yang beberapa kali membantu kalian memporakporandakan gudang penyimpanan timah Belanda atau menjarah sakan-sakan10 di Jebus.

Ingatanmu pelahan membumbung seperti seekor burung srintit yang terbang dari sarangnya di pucuk rumpun lada di kejauhan. Hmm, semuanya memang bermula dari insiden kecil di lokasi penambangan yang terik di tepian hutan Bulin itu.

Seperti kuli-kuli tambang lainnya, barangkali kau memang telah lama menyimpan kebencian dan dendam pada Mandor Bong, kepala parit penambangan yang suka menjilat pada Belanda itu. Manusia picik-munafik yang tak segan memperdaya dan mengisap darah sesama orang Tionghoa. Mungkin kejadian sore itu memang hanya pemicu saja, tapi kau benar-benar tak bisa lagi menahan kemarahanmu ketika menyaksikan sendiri lelaki Hokkian itu menampar wajah seorang kuli yang memprotes bayaran upahnya yang terpotong sampai setengah hanya karena kesiangan masuk kerja.

Ah, mulanya kau cuma ingin sekadar memberi pelajaran pada mandor brengsek itu agar tidak semena-mena. Tapi setelah tiga-empat jurus perkelahian, dalam keadaan terdesak lelaki tinggi gempal itu tahu-tahu mencabut golok besarnya. Ai, pukulan keluarga Liu memang tak bermata: mandor bengis itu mati di tempat dengan tulang iga kiri remuk saat itu juga!

Lalu entahlah, bagai spontan, tiba-tiba saja semua kuli tambang seperti memperoleh keberanian untuk melawan kesewenang-wenangan dan menuntut keadilan. Berita tewasnya Mandor Bong segera menebar dengan cepat bagaikan bibit malaria tropika. Di mana-mana mulai terjadi pembangkangan, hampir di setiap penambangan orang-orang Tionghoa melakukan aksi mogok kerja. Sejumlah parit tambang dan gudang penyimpan biji timah terbakar. Ya, tiba-tiba saja telah meletus pemberontakan. Serdadu Belanda menyerbu kamp-kamp penampungan kuli dan perkampungan Tionghoa. Puluhan orang mati mengenaskan. Puluhan orang ditangkap. Mereka bisa menembaki siapa saja yang dianggap membangkang, dan tentu saja memburu satu nama yang seketika jadi kesohor sebagai otak pemberontakan: Liu Sie dari Kwan Tung!

***

YA, sejak itu kau resmi menjadi buronan. Ah, parit-parit tambang memang bisa ditertibkan dengan bedil, tapi perlawanan tak juga surut. Dari satu tempat persembunyian ke tempat persembunyian lain, kau diam-diam terus menghimpun orang-orang Tionghoa yang bernyali. Kalian menyerbu gudang-gudang dan mengosongkan isinya. Menyatroni tempat-tempat perjudian dan penyimpanan madat yang membuat sengsara orang Tionghoa dan membakar semuanya.

Barangkali ilmu kanuragan keluarga Liu memang piawai atau lantaran kau yang teramat licin seperti belut untuk ditangkap, Liu Sie. Empat tahun malang-melintang mengobarkan perlawanan, kau benar-benar menjelma jadi sesosok momok bagi Belanda di pulau celaka ini. Karena itulah, tak heran jika kepalamu kemudian dihargai 100 gulden. Harga yang mungkin terlalu tinggi untuk seorang bandit kecil. Tapi demikianlah, serdadu-serdadu Belanda itu benar-benar sudah hampir kehilangan akal menghadapi kawananmu. Pernah misalnya kau terjebak di sebuah warung bakmie tak jauh dari jembatan Sungai Merawang. Namun masih saja kau berhasil meloloskan diri laksana seekor tupai, dengan gesit melompat dari atap rumah ke atap rumah setelah menghajar para serdadu dan dua orang opsir habis-habisan. Maka Liu Sie, orang-orang pun menjulukimu sebagai Bandit Terbang... Lantaran ilmu peringan tubuh terhebat yang pernah mereka saksikan.

Dari darat, aksi kalian kemudian berlanjut ke laut. Bersama A Wei dan dibantu orang-orang Melayu, kalian menghadang dan membajak kapal-kapal pengangkut timah dan menyelundupkannya ke pasar gelap Penang melalui jalur Selat Berhala yang seram.

Keangkeran Selat Berhala dan sekitar perairan kepulauan Natuna yang dipenuhi lanun dan menciutkan nyali para admiral Belanda memang tak pernah membuat kalian gentar, Liu Sie. Meski tak jarang kalian harus berhadapan dengan perompak-perompak ganas dari Buton atau Mindanao.

''Kau tidak akan mati di laut,'' kata Cong Fu Cai, sinsang11 tua penjaga kelenteng itu sambil menatapmu lekat-lekat setelah beberapa saat memeriksa garis telapak tanganmu. Ah, di ujung maut pada siang mendung di pengujung bulan enam itu, akhirnya kau harus mengakui kalau semua ucapannya memang benar terbukti. Kau salah, Liu Sie. Kecemasan A Wei memang beralasan. Belanda berhasil melacak persembunyian kalian dan menyerbu perkebunan lada. Hari naas itu akhirnya tiba juga, takdir Thian telah beralih. Kau dan A Wei berhasil dilumpuhkan dengan pelor setelah dikepung rapat sehari-semalam. Ratusan orang Tionghoa dan Melayu dibantai bagai hewan di rumah pejagalan. Beruntung, Hamid bisa melarikan diri.

***

YA, bukan bulan ketujuh, tapi Lak Gwee, bulan keenam. Ahli sejarah muda dari Rotterdam itu memang salah menghitung penanggalan karena tak tahu di tahun tikus tersebut, bulan lima Go Gwee berlangsung dua kali dalam setahun sebagaimana yang kerap terjadi dalam kalender Imlek, Liu Sie. Tapi sudahlah, ia telah telanjur keliru mencatat bulan Mei yang penuh sengkala itu sebagai Cit Gwee yang berlumuran darah. Lantaran dengan sembrononya berpatokan pada hari Peh Cun1 yang jatuh di bulan Maret, di mana ia telah berkenalan dengan seorang perempuan Tionghoa yang begitu rupawan di pantai Pasir Padi.

Ah, demikianlah senja yang mendung itu menjadi hari yang tak terlupakan. Dikenang turun-temurun oleh orang-orang Tionghoa di pulau celaka ini, sebagaimana mereka akan terus mengingat riwayat leluhur yang pahit: datang dari Cina daratan cuma berbekal sebuntal pakaian kumal, hidup seperti ternak babi di kamp-kamp penampungan yang lebih mirip kandang, bekerja hampir 24 jam sehari dengan upah mengiriskan dan diperlakukan secara kasar.

Ya, di siang mendung itu, orang-orang Tionghoa hanya bisa menangis dan memanjatkan doa pilu ke hadirat Thian dan para dewa yang welas asih di altar-altar keluarga dan kelenteng, di pojok-pojok rumah dan halaman, kamp-kamp dan parit tambang, juga tempat-tempat persembunyian. Memohon perlindungan dari bala, berdoa untuk ketenangan arwahmu dan A Wei.

Tapi di ujung maut yang getir, di ujung tali gantungan itu, Liu Sie, betapa kau hanya terkenang pada kampung halaman di seberang lautan, pada orang-orang yang kau cintai. Wajah bujur telur istrimu yang cantik menawan dengan tali lalat di dahi hadir begitu nyata di kedua matamu yang tertutup kain hitam yang menyelubungi kepalamu. Sungguh, tak tega kau harus membayangkan wajah Siu Lian, perempuan lugu yang sesungguhnya baru setahun lebih kau nikahi sebelum menjadi buronan itu basah oleh air mata yang berlelehan dari sepasang mata beningnya.

Ah, mungkin seharusnya dulu kau tidak jatuh hati dan menikahi anak gadis tukang kaleng itu. Tapi kau nekat juga melamar Siu Lian meskipun tahu kalau sebetulnya kedua orang tuanya tak begitu ikhlas menerima seorang kuli tambang kere jadi menantu. Hati mereka baru luruh ketika mengetahui kau sempat berguru pada Lim Cung Min, ahli kuntaow yang sangat dihormati di daerah asal mereka, Shang Xi. Oh, betapa kerapkali kau sesalkan penderitaan yang harus ditanggung oleh Siu Lian menjadi istri seorang pemberontak. Juga karena Fung Sau Kian, mertuamu mesti ikut ketimpa sial dan ruwetnya persoalan. Betapa takutnya tukang kaleng malang itu tatkala diinterogasi dan setiapkali harus bolak-balik ke tangsi Belanda untuk melapor. Kau merasa begitu sedih mengingat dirimu bukan saja tak mampu membahagiakan seorang istri, tapi juga telah mendatangkan masalah besar dan bala bagi keluarga si tukang kaleng.

Dalam persembunyian, batinmu tersiksa siang-malam memikirkan semuanya. Belum lagi di saat-saat rasa rindu datang mendera. Sehingga kadangkala kau tak mampu bertahan dan diam-diam menyelinap ke dalam kota untuk menemui perempuan itu lewat jendela.

Hmm, seandainya saja kau tahu, kalau beberapa menit menjelang dirimu dan A Wei digantung di halaman karesidenan, Siu Lian tiba-tiba menyadari dirinya telah mengandung. Seandainya kau tahu, Martin Van Dongen ahli sejarah muda dari Rotterdam itu sering mengunjungi rumah Fung Sau Kian untuk menyambangi istrimu... Oh benar, Siu Lian memang perempuan rupawan yang dia jumpai di pantai Pasir Padi pada perayaan Peh Cun itu dan membuatnya mabuk kepayang.

Ah, seandainya saja....***

Gaten, Jogjakarta, April 2008

CATATAN:

*) Cerpen ini terilhami kisah Liu Ngie, seorang pendatang dari Kwan Tung yang memimpin pemberontakan kuli-kuli penambangan timah Tionghoa di Pulau Bangka sekitar akhir abad ke-19.

---

1. Perayaan pesta laut, berlangsung pada setiap tanggal 15 bulan lima Imlek.

2. Pendatang totok dari daratan China.

3. Sistem penambangan timah zaman dulu.

4. Becak yang ditarik tenaga manusia.

5. Daratan Thong (atau Tang --berasal dari Dinasti Tang). Masyarakat Tionghoa-Hakka (mayoritas orang Tionghoa di Pulau Bangka adalah keturunan para kuli tambang suku Hakka) sering menyebut diri mereka sebagai Thong Ngin atau orang Tang, sehingga daratan China disebut sebagai Thong San.

6. Negeri Selatan sebutan untuk wilayah Nusantara.

7. Terjemahan harafiahnya: ''Meriam besar menembak London", ujar-ujar untuk omong kosong/bualan.

8. Langit, salah satu kata pengganti Tuhan.

9. Kakak

10. Pedulangan (juga berasal dari bahasa Hakka --Sa artinya timah, Kan berarti talang).

11. Sinsang (bahasa Hakka) atau sinse (Mandarin) berarti dukun, tabib, atau bisa juga guru.

(TERBIT DI JAWA POS, 1 JUNI 2008)

Tidak ada komentar: