Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

28 September 2008

Mengingat Kembali Apresiasi Puisi Sosial



Hanya ada satu kata, Lawan! Kalimat pendek itu jauh lebih dikenali ketimbang Wiji Thukul sebagai seorang yang telah menorehkan puisi perlawanan (Munir dalam Thukul, 2004: xix). Memang, Wiji Thukul mengambil sastra dan seni sebagai corak budaya perlawanan dalam menghadapi budaya kekerasan yang diterapkan penguasa Orde Baru.

Di saat itu, puisi (sastra) membuktikan bahwa bentuknya tidaklah sepele seperti yang diyakini orang. Dalam konteks yang terpatron di dalam otak kita, puisi merupakan bentuk estetis yang berisi pernyataan romantis. Biasanya digunakan sebagai pemulus jalan dalam menyatakan perasaan cinta terhadap lawan jenis. Bahkan pada suatu kesempatan, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah murka di hadapan para guru ketika mendengarkan sebuah puisi yang dibaca oleh mantan rektor IKIP Jakarta Prof. Dr. Winarno Surachmad. Inilah isi puisi itu yang dinilai oleh Wakil Presiden sebagai pelecehan terhadap harga diri bangsa Indonesia (Fadlillah, 2006: 182-183):

‘Apa artinya bertugas mulia ketika kami hanya
terpinggirkan tanpa ditanya, tanpa disapa.
Kapan sekolah kami lebih dari kandang ayam.
Sejuta batu nisan guru tua yang terlupakan
oleh sejarah terbaca torehan darah kering.
Di sini terbaring seorang guru, semampu membaca
bungkus sambil belajar menahan lapar, hidup
sebulan dari gaji sehari’

Terlepas dari nanarnya Wakil Presiden terhadap puisi, maka ada satu pelajaran yang bisa diambil. Puisi (sastra) merupakan senjata yang paling tajam daripada pisau, yang lebih dahsyat ledakannya daripada bom atom. Dan, begitu pula sebaliknya, puisi pun bisa selembut kain sutra, dan sesejuk oase di tengah gurun. Tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan dimana puisi itu lahir dan dibesarkan.

Puisi seperti karya sastra lainnya adalah cermin dari kehidupan. Seperti yang diyakini Georg Lukacs bahwa sastra sebagai cermin berarti menyusun sebuah struktur mental (Taum, 1997: 50). Sastra tidak hanya mencerminkan realitas tetapi lebih dari itu memberikan kepada kita sebuah refleksi realitas yang besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik yang mungkin melampaui pemahaman umum. Namun, terkadang orang menafikan sastra sebagai cermin. Sastra dianggap hanya bermain pada lingkup fiksi yang sekali lagi telah terpatron ke dalam benak kita sebagai bagian ilusi, fiktif yang jauh dari kebenaran dan bersifat nihil atau tidak pernah ada. Padahal Sapardi Djoko Damono telah menjelaskannya dalam buku “Sosiologi Sastra; sebuah pengantar ringkas” (1979: 1) bahwa:
“Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat; ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium: bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.”

Hal inilah yang menjadi jawaban selama ini, kenapa sastra dilarang, dibredel dan dijauhi sebagai kehidupan tanpa masa depan. Lebih lanjut, Fadlillah dalam bukunya “Kecerdasan Budaya” (2006: 182) memaparkan:
“Maka dapat dipahami, mengapa sastra itu dilarang, dibakar dan para sastrawannya diburu, dikejar, dibunuh, dipenjara. Jawabannya adalah bahwa kata-kata itu jauh lebih tajam daripada senjata yang dimiliki para serdadu, tentara, apapun yang hebat di muka bumi ini.”

Namun kita patut berbangga, sebab pada masa ini puisi (sastra) kian diminati. Mungkin, puisi (sastra) tersebut sudah menjadi kebutuhan manusia yang mencari arti estetis dari kehidupan yang dijalaninya. Lebih lanjut Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo mengatakan (dalam “Teori Penelitian Sastra”, 1994: 122):
Pada waktu sekarang, puisi kian diminati oleh masyarakat, baik oleh pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, puisi atau sajak sukar dimengerti karena kompleksitas, pemadatan, kiasan-kiasan, dan pemikirannya yang sukar. Puisi merupakan kristalisasi pengalaman, maka hanya inti masalah yang dikemukakan; untuk mencapai hal itu perlu pemadatan.

Begitulah puisi (sastra), bentuk yang sangat ditentukan oleh kondisi sosial ketika ia dilahirkan dan dibesarkan. Tidak ada masalah ketika puisi berkembang pada masa “aman” dan kondusif. Puisi akan bermain dengan diksi yang menarik kadang unik dan inspiratif. Namun sebaliknya, jika puisi (sastra) berkembang pada ritme kehidupan yang tertekan, dimana perbedaan kelas menjadi jurang yang dalam, dan sikap penguasa yang otoriter maka puisi pun berubah menjadi alat propaganda, senjata yang tidak disukai oleh penguasa. Puisi akan menjadi simbol perlawanan, dan mengabaikan bentuknya yang mempermainkan diksi, tetapi lebih terkonsentrasi pada segi pemaknaan. Wiji Thukul pernah mengatakan bahwa:
“Sulit membayangkan keindahan dalam keadaan yang kumuh dan miskin seperti kehidupan buruh, tukang becak, atau masyarakat yang sengaja dimarjinalkan. Tak bakal ada keindahan dalam got yang bau dan keringat yang mengucur deras, yang bisa memicu kelahiran karya sastra. Kemiskinan dan penderitaan hanya melahirkan lembaran pamflet, bukan sajak atau puisi. Keindahan sejati hanya terkandung dalam kisah-kisah cinta yang wangi. Keindahan tak bisa beriringan dengan protes yang mengandung kemarahan, tuntutan, dan kekecewaan.”

Menarik untuk melihat bagaimana puisi-puisinya Wiji Thukul mengambil tempat sebagai simbol perlawanan kaum proletar. Salah satunya puisi berjudul “Peringatan”, yang pada baris dan bait terakhir tertera kalimat Hanya ada satu kata, Lawan!

Perempuan Ilalang (VIIII)



;semisal sepi yang menempuh angan
berkelindan mencapai waktu dengan
kekosongan

laut merah tembaga
menyepuh yang terkelupas dalam hati
dengan kesendiriannya

siapa menjemput siapa!

senyum yang legit, ditiriskan melalui ilalang
rimbun memenuhi pagar
hanya perempuan dalam kenestapaan
menunggu waktu
menunggu, sang kekasih
di pintu pantai yang menggebu

sementara debu masih menderu
dedaun dan ranting-ranting kering
mendesau
melelahkan ilalang dalam pertapaannya

siapa menemu siapa!

perempuan terbujur di atas dipan
menempa kesengsaraan
merajut kesetiaan
dalam dada, dalam hati yang riskan

Rumah Cinta, September 2008

Jejak Penantian



apa yang kau rindukan
mungkinkah desah kereta
yang mengalun
yang membuat jiwamu gundah

dari sisimu
aku pun menunggu,
dekah raung kereta yang telah
terlambat pula rupanya

aku kembali berjalan
kau pun juga
mengarungi Drina hingga Gangga
menanti,
Isa, atau mesias yang lalai
turun ke bumi

KaranggoNet, Oktober 2007

Lelaki Awan Mendung



;buat Struk (Esha Tegar Putra)


“Struk, sudahkah ketemu dengan waktu
yang kau cari itu?”

riak dedaunan memaraukan suara angin
dan seperti malam kita di Marapi
igauanmu memecah batu kabut dingin
sekepal jagung

”bukankah deraan rumpun bambu,
menyangkutkan miangnya di tubuhmu?”

begitukah?
atau kau masih mengimpikan waktu,
keluar dari lorong got
sekitar persimpangan jalan pasar baru?

maaf, lelaki awan mendung
tetapi, masihkah dirimu menghempas tubuh
pada jejak puisi?
atau kau lupa meniriskan hujan
di tanah kerontang tanpa sabda tuhan

;lelaki awan mendung
dini hari nanti
kukabarkan, bahwa separuh jiwa ini
telah mati (. . . .)

2008

Di Persimpangan Jalan



Prolog
“Kemana arah kita, kiri atau kanan?” Seorang sahabat pernah menanyakan hal ini. Ketika itu, kami sedang dalam suatu kunjungan ke rumah sahabat lainnya. Gamang berpikir (atau mungkin kelupaan) arah jalan yang benar. Putus asa menunggu akhirnya di teleponlah sahabat itu untuk menjemput kami berdua di persimpangan jalan tersebut yang ternyata tak sampai 500 m lagi ke arah tujuan yang benar.

Hidup memang sebuah kenyataan yang memaksa kita untuk memilih. Pilihan adalah suatu bentuk yang relatif—berubah-ubah. Pilihan dalam hidup, tak mungkin hanya satu saja, sejak lahir hingga digulung lahat. Sama seperti ketika kita berjalan menuju suatu tempat. Akan ada banyak pilihan—kiri, kanan, lurus atau berbelok-belok. Jadi omong-kosonglah sebuah pilihan yang kekal atau yang sering disebut orang sebagai idealisme. Jika kekal—tak berubah-ubah maka namanya bukan pilihan tapi ketentuan—sebuah jalan tol lurus yang dibuat jadi pilihan.

Di Persimpangan Ini, Semoga Bertemu dengan Sebentuk Kebenaran
Perspektif masyarakat Indonesia tentang budaya belum akan berubah. Tidak akan jauh dari artefak budaya. Budaya sering dikaitkan oleh kesenian dan pariwisata. Budaya itu adalah lampau, ketinggalan zaman dan seperti barang yang dicampakkan di tong sampah. Seperti sejarah misalnya yang tak dipedulikan orang meskipun temuan bahkan hasil penelitiannya sudah menumpuk di gedung-gedung arsip. Sedikit guru-guru di sekolah yang bermental seperti Guru Uban, seorang tokoh yang berprofesi sebagai guru sejarah dalam novel “Rahasia Meede” karangan E.S. Ito. Budaya hanya pemanis dalam brosur-brosur pariwisata.

Keadaan ekonomi masyarakat Indonesia yang ngos-ngosan sering dikaitkan dengan perspektifnya tentang budaya. Masyarakat disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan finansial sehingga tak ada waktu dengan wacana budaya atau temuan sejarah dan mengkritiknya sekaligus. Karena diabaikan, maka budaya pun dipungut sekenanya oleh pihak bertampang adem untuk kemudian dijadikan alat propaganda efektif dalam menguasai lawan-lawannya.

Esensi budaya yang luas (berwarna-warni) dimutilasi tubuhnya oleh kekuatan-kekuatan yang lebih hebat dan mengimingi dengan slogan “kepedulian terhadap budaya”. Budaya (seperti sastra dan seni) dipaksa menelan pil satu warna dan ditempatkan di garda depan untuk menyerang budaya-budaya (warna-warna) lain. Perang saudara tak dapat dielakkan karena masing-masing diming-imingi oleh slogan tadi. Slogan tersebut jadi bayonet tajam yang menghunus ke jantung serpihan budaya lainnya.

Lupakah kita dengan hakikat sebuah jalan yang tak pernah lurus? Banyak persimpangan yang tentunya banyak pilihan. Jalan lurus bukankah lebih banyak merenggut nyawa? Ya, saya tidak akan menafikan bahwa korban nyawa memang mutlak akan jatuh betapapun kondisi jalan itu. Namun, bukankah ketika jalan berkelok-kelok, orang akan lebih berhati-hati dalam berjalan?

Kita tidak lagi menghormati sebuah persimpangan—entah itu ideologi ataupun kebudayaan. “Tidak ada yang boleh kekiri-kirian! Harus kanan!” atau begitu sebaliknya, saling tarik-ulur, sehingga hidup tak ubah layaknya layangan yang diterbangkan angin ke sana ke mari. Namun, kita saja yang tak sadar telah ditunggangi. Dan anehnya, kita masih percaya bahwa kitalah manusia yang paling berbudaya.

Saya jadi berpikir ulang, mau milih kanan atau kiri karena takut ditunggangi tadi. Sebenarnya bukan soal memilih atau tidak, karena saya yakin persimpangan-persimpangan budaya atau ideologi itu sama-sama mencari suatu kebenaran. Nah, jika benar mencari kebenaran yang hakiki mengapa harus injak sana-sini? Mengapa harus sikut kanan-kiri? Mengapa harus meludahi lawan yang tengah asyik duduk melepas lelah, sementara kita cekikikan karena telah berhasil menyengsarakan lawan itu (mengkhianati pengembaraan kebenaran).

“Hormati Orang Lain, Maka Orang Lain pun Akan Menghormatimu”
Ungkapan ini sering terngiang di telinga saya meski tak jelas siapa pencetusnya pertama kali. Namun bagi saya, ungkapan di atas adalah garis yang tegas bahwasanya kita dituntut untuk mengakui sebuah perbedaan (meskipun sebenarnya, perbedaan-perbedaan itu muncul karena ada kesamaan tujuan yang saling bersinggungan). Namun bengalnya, kita sering mendefinisikan rasa hormat itu terfokus pada diri sendiri. Bahkan anehnya, kata hormat sering dijadikan senjata untuk menundukkan orang yang lebih lemah. Lebih jauh hormat berubah makna menjadi “penjilat”—zaman Orba dulu sering disebut dengan ABS (Asal Bapak Senang). Ya, apa boleh buat nampaknya budaya ini yang terus melekat dalam keseharian manusia Indonesia. E.S. Ito bilang “warisan kolonialisme.” Intelektual, emosi bahkan spiritual manusia Indonesia harusnya dipertanyakan kembali. Atau jangan-jangan sudah dijadikan barang siap jual yang memberi keuntungan berlipat ganda? Tetapi, siapa yang mau capek-capek—mempertanyakan hal itu?

Perbedaan (persimpangan) bukannya dijadikan tolak ukur sebagai ruang pembelajaran dan pemrakarsa bagi tujuan kebenaran yang sempurna (jika ada), namun dijadikan ajang adu otot, dan kekonyolan seperti dua orang anak kecil yang tengah berkelahi memperebutkan pelepah pisang untuk dijadikan pistol-pistolan (tetapi, anak kecil lebih tahu bagaimana menjadikan perbedaan sebagai sebuah kekuatan untuk bersatu). Menghormati pendapat orang lain itu susahnya minta ampun, padahal kita mengaku sebagai umat Muhammad yang kalem jika ada sahabat yang tengah mengutarakan pendapatnya dan menghormati sahabatnya itu. Omong kosong alasan yang mengatakan: “saya kan bukan Nabi Muhammad!” padahal dia mengaku Muslim. Ini adalah dagelan terlucu, jika memang begitu Rukun Iman yang Ke-2 itu mau dikemanakan. “Baranti se lah jadi urang Islam.” Guru ngaji saya bicara seperti itu ketika saya bersikeras tak mau belajar Qur’an (tapi akhirnya mau juga).

Epilog
Maka, hormatilah pendapat orang yang berlainan simpang dengan kita. Tak perlu bersikeras agar orang itu pindah ke simpang yang kita yakini. Toh, banyak cara menuju pintu kebenaran. Jangan ambil tugas Tuhan yang mutlak bisa menjustifikasi kita benar-salah (neraka-surga) di pengadilan akhir. Atas nama manusia yang masih hidup di dunia kedudukannya sama di mata Tuhan.

Budaya pun tak layak dikambing hitamkan hanya gara-gara nafsu kita sebagai manusia yang tamak. Sudah selayaknya, persimpangan budaya dijadikan sebagai alasan kekayaan alam pikiran—kekayaan budaya masyarakat bukan dijadikan alasan untuk berperang saudara. Masihkah kita langgar kebebasan budaya orang lain?

15 September 2008

Ketupat

Oleh: Lumaksono

”Apa? Dibuang? Jangan, jangan Kau buang!” Tetapi gerakan istriku tak tercegah.Dengan cekatan dan pasti tangannya mulai memindahkan ketupat yang tergantung di dapur ke dalam kantung plastik hitam.Kata-kataku tak lagi digubrisnya.

Dengan menahan nafas dan wajah yang dijauhkan untuk menghindarkan hidungnya dari isi bungkusan,dia ikat kuatkuat kedua ujungnya. Terlihat raut mukanya yang jengkel. Sambil memastikan bahwa ikatannya telah kuat dan tak mungkin menebarkan lagi bau menyengat, dia tenteng kantung plastik yang kelihatan berat itu ke luar rumah.

”Tolong jangan dibuang!” sekali lagi aku memohon.Bahkan kali ini dengan suara yang aku buat sememelas mungkin.Aku masih berharap istriku tak membuangnya.Aku kerahkan segala kemampuan, termasuk merayunya dengan pandangan mataku yang menghujam ke bola matanya, sama seperti dulu ketika aku meluluhkan hatinya untuk menerima cintaku.

Tetapi kali ini agaknya segala usahaku tak membuahkan hasil. Bahkan istriku sepertinya sengaja tak mau menatap mataku. Dengan masih berpaling dia menjawab,”Apa sih enaknya ketupat, sampai kau tak lagi kasihan kepadaku? Kepalaku pusing tiap mencium baunya! Bahkan hanya dengan melihatnya perutku langsung mual!”

”Mana mungkin bau! Bukankah ketupat itu masih baru?” ”Bukan bau busuk, tetapi aroma ketupat ini yang membuatku pusing!” istriku berkata dengan nada marah. Tak lagi memedulikan aku, dia langsung bawa bungkusan itu ke tempat sampah di balik pagar depan rumah.

Seakan tak mau lagi berlamalama dekat dengan bungkusan ketupat itu,dia lemparkan saja dari kejauhan. Suaranya berdebum menimpa tumpukan sampah yang telah lebih dulu berserakan.Aku hanya bisa menelan ludah.Hilang sudah harapanku untuk menikmati ketupat sepuasnya.

Padahal baru sekali aku menikmatinya, pagi tadi seusai salat id. Entah apa yang terjadi dengan istriku kali ini hingga dia bersikap demikian. Aku tahu selama ini dia memang tak suka dengan ketupat, tetapi selama lima tahun aku hidup bersama, belum pernah aku melihat dia begitu benci dengan jenis makanan yang satu ini.

Makanan yang menjadi kesukaanku setiap Lebaran tiba. Bagiku tidak pantas disebut Lebaran jika tanpa ketupat.Karena itu sebagai tanda cintanya kepadaku,walaupun dia tak pernah menyentuh, istriku tetap menyediakan ketupat saat Lebaran.Itu pun beli.

Hanya sekali dia pernah membuatnya khusus untukku, di tahun pertama pernikahan kami. Walaupun belum dikaruniai anak setelah lima tahun lebih menikah, kehidupan kami baik-baik saja. Dia begitu pengertian, selalu berusaha memenuhi segala yang menjadi kesukaanku.

Dia juga tidak banyak menuntut. Tak pernah dia minta yang macam-macam. Baru kali ini aku melihat istriku marah. Sampai aku tak tahu harus berbuat apa. Aku pandangi makanan kesukaanku yang teronggok di tempat sampah. Tebersit rasa di hati untuk mengambilnya kembali.

Aku tak dapat menerima tindakan istriku yang membuang makanan seenaknya.Apalagi itu adalah makanan kesukaanku. Bukankah untuk menghilangkan aromanya cukup dengan membungkusnya rapatrapat? Bukankah ada tindakan yang lebih baik daripada harus membuangnya?

Apa dia tak tahu bahwa di luar sana masih banyak orang yang harus mempertaruhkan nyawa dan kehormatan hanya demi sesuap nasi? Apa dia tak tahu bahwa dengan membuang makanan berarti telah melukai perasaan mereka? Makanan seperti ini tentu sangat berarti bagi mereka!

Kulihat istriku telah menghilang ke dalam rumah. Segera saja aku bersijingkat ke luar pagar mendekati tempat sampah.Sebelum beraksi,aku pastikan dulu bahwa keadaan benarbenar aman.Tak ada satu pun orang yang melihat. Untunglah, kompleks perumahan kami memang sepi saat Lebaran seperti ini.

Sebagian besar warga pulang kampung ke daerah asal masing-masing.Yang lain menghabiskan Lebaran di hari pertama dengan mengunjungi orangtua dan sanak saudara mereka dan biasanya sore hari baru mereka kembali. Aku sendiri tidak betah berlama-lama di rumah orangtua atau pun saudara.

Ternyata,segala sesuatunya tak semudah yang aku bayangkan. Setelah ketupat aku ambil lagi, aku dihadapkan pada satu pertanyaan,di mana aku akan menyimpannya? Di tempatnya semula jelas tidak mungkin, karena istriku pasti akan segera tahu. Kalau harus disembunyikan, di mana?

Dalam kebingunganku,aku mencoba mereka- reka apa penyebab istriku begitu benci pada ketupat ini,padahal biasanya tidak demikian. Apakah benar dia tidak tahan dengan baunya? Atau dia cemburu terhadap orang yang memberi ketupat ini? Cemburu kepada Herningsih,muridku yang baru kelas dua SMP?

Tetapi rasanya tidak.Istriku bukanlah tipe pencemburu. Atau mungkin dia mencurigai ketupat itu adalah bentuk suap, agar aku memberikan nilai yang tinggi? Dan istriku tak ingin aku makan suap? Mengenai dugaanku ini, istriku memang tak mengatakannya secara langsung, dia hanya menyindir saat muridku itu mengantarkan ketupat dengan opor ayamnya.

”Kira-kira kalau kau tidak lagi menjadi gurunya,dia akan tetap mengirim makanan kesukaanmu atau tidak, ya?” begitu pertanyaannya. Aku masih berdiri dekat pintu samping dengan menenteng kantung plastik warna hitam yang berisi ketupat. Belum juga kutemukan jalan pasti hendak dikemanakan ketupat ini.

Secara perlahan, langkah kakiku membawaku ke gudang,ruangan yang jarang sekali disambangi istriku. Pikirku, pasti aman kalau kusimpan di situ. Dia tak akan tahu. Sehingga aku pasti masih bisa menikmatinya nanti. Tetapi, bukankah di gudang banyak tikusnya? Sering aku melihat tikus mondar-mandir keluar masuk gudang, kotoran mereka pun sering aku jumpai menumpuk di sudut.

Tentu ketupat ini akan dijadikan pesta bagi bangsa pengerat itu.Tidak! Aku tak mau ketupat kesukaanku dijadikan sebagai ajang pesta pora para tikus, binatang menjijikkan. Kalau di tempat sampah tadi aku tak rela berbagi dengan anjing kurap atau kucing liar yang sering mengacak-acak tong sampah, maka aku lebih tak suka ketupatku dimakan oleh tikus.

Aku sama sekali tak mau mereka makan makanan yang sama denganku. ”Apa yang kau bawa, Pak?” suara istriku mengejutkanku. Mungkin jika aku bisa melihat wajahku sendiri, pastilah terlihat pucat karena tiba-tiba saja aliran darahku seakan terhenti. Sehingga aku tak bisa cepat menjawab. Sampai istriku bertanya lagi. ”Kau pungut kembali ketupat itu?!” ”E,iya!” aku tak bisa berbohong.

Padahal untuk memuluskan niatku, bisa saja aku berkata yang lain. Bisa saja aku katakana, ”Tidak!” selain jawaban ”Ya!” Sayangnya, itu semua bukanlah kebiasaanku. Selama ini aku usahakan tak berkata bohong, terutama kepada istriku,sebab sekali berbohong, maka akan butuh kebohongan selanjutnya untuk terus menutupi kebohongan yang pertama.

”Lalu akan kau taruh di dapur lagi, agar aku pusing dan mual terus muntah-muntah mencium baunya, apa seperti itu maumu,Pak?” ”Tentu saja tidak! Aku hanya merasa sayang jika makanan yang masih bisa dimakan harus dibuang di tempat sampah menjadi makanan anjing dan kucing liar atau pun tikus! Sementara di luar sana banyak orang yang tak bisa makan!” ”Ah,alasan!”

”Aku memang mau mencicipinya sedikit lagi, selanjutnya ketupat ini akan kuberikan saja kepada orang yang mau! Bagaimana?” ”Cepatlah kau enyahkan ketupat sialan itu!” Mendapat jawaban yang tak kusangka-sangka seperti ini, segera saja bungkusan ketupat itu aku bawa keluar lagi.

Aku sama sekali tak ingin terjadi pertengkaran hanya gara-gara ketupat.Apalagi sekarang adalah hari lebaran.Aku mulai dihadapkan pada situasi sulit kembali, akan kuberikan siapa? Diberikan kepada tetangga, rasanya tak mungkin. Mereka ratarata orang berpunya, mereka sama sekali tak kekurangan makan.

Aku ingin memberikannya kepada yang betul-betul membutuhkan, sesuai tujuan semula. Atau kuberikan saja kepada pengemis yang datang.Tetapi, mana ada pengemis di hari lebaran? Harus menunggu berapa lama? Lama aku biarkan ketupat tetap teronggok begitu saja.Belum kutemukan jalan keluar yang baik.

Bahkan kini muncul pikiran untuk tetap membiarkan ketupat begitu saja, siapa tahu pusing istriku sudah berangsur hilang. Sehingga aku punya harapan untuk menikmati ketupat lebih banyak lagi, paling tidak hingga dua hari,seperti tahun-tahun berselang.

Takut keburu malam,akhirnya aku ambil sepeda motor dan kubawa bungkusan ketupat itu ke jembatan di sebelah barat kompleks perumahan kami. Akan aku berikan kepada tuna wisma yang sering kulihat ada di bawah jembatan itu.Tentu mereka akan senang menerimanya.

Biar mereka merasakan berlebaran dengan makan ketupat. Mudah-mudahan saja mereka masih ada,tidak ikut mudik atau pergi ke mana pun. Kalau tidak, akan aku hanyutkan saja di sungai biar terbawa sampai ke laut. Aku lebih rela ketupat itu dimakan ikan-ikan daripada tikus dan anjing liar.

Sesampai di sana, aku dibuat tercengang! Bagaimana tidak, ternyata dari atas jembatan tempatku berdiri, terlihat mereka sedang menikmati ketupat! Makanan yang sama dengan makanan yang akan aku berikan,bahkan terlihat lebih enak ketupat mereka daripada ketupat yang aku bawa.

Terlihat dari cara mereka melahapnya, terlihat dari keceriaan mereka. Hatiku seperti tertohok menyaksikan hal ini. Walaupun mereka berpakaian kumal, walaupun badan mereka terlihat dekil, tetapi mereka dapat menikmati makanannya dengan sempurna.Seorang ayah,ibu dan dua orang anaknya yang masih kecil.

Sesekali kulihat canda mereka, tawa renyah anak-anak mereka di sela-sela mengunyah makanan.Walaupun alas makanku lebih mahal dan bagus daripada yang mereka gunakan, tetapi jelas kenikmatan yang dihasilkan lebih mereka rasakan. Kini aku merasa aku tak lebih baik dari mereka.Bahkan aku merasa yang perlu dikasihani bukannya mereka melainkan diriku.

Mereka lebih berpunya daripada aku.Mereka punya kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan. Tak ingin berlama-lama menyaksikan kebahagiaan mereka yang hanya menerbitkan cemburu hatiku melihat anak-anak mereka bercanda, aku putuskan untuk membuang ketupatku saja.

Segera aku jatuhkan, dan ”byurr!”Bersamaan dengan itu,mereka serentak menoleh ke arah bungkusan dan ke arahku secara bergantian. Kulihat sorot mata mereka memancarkan harapan,dan wajahnya menyiratkan bahagia.Tetapi,bungkusanku tak terbawa arus! Ada semacam tali yang menahannya terbentang di permukaan air dari tepi ke tepi.

Cepat-cepat aku berlalu. Tak kuhiraukan lagi bungkusan ketupatku. Aku tak mau tahu lagi apa yang terjadi dengannya.Matahari sore mengantarkan aku kembali. Sinarnya yang lembut kemerahan tampak indah menyentuh pucuk-pucuk daun. Setiba di rumah aku disambut ”oekoek” istriku seperti muntah.

Seketika perasaanku tak menentu.Antara kecewa karena tak bisa menikmati ketupat dan kasihan melihat kenyataan bahwa istriku tak main-main dengan pusing dan mual-mualnya.Kulihat istriku sedang membungkuk di kamar mandi berusaha mengeluarkan sesuatu lewat mulutnya.

Tetapi semakin dikeluarkan dengan keras, semakin sulit saja rupanya.Yang tampak keluar hanya air ludah dan suaranya saja yang kian keras. Segera saja timbul harapan di dada. Aku ingat cerita orang-orang tentang bagaimana keadaan perempuan yang tengah hamil muda.

Aku ingat bahwa Ramadhan ini istriku berpuasa sebulan penuh, tak seperti biasanya. Jadi,biarlah ketupatku hilang karena telah tergantikan oleh sesuatu yang aku nantikan selama lima tahun.

Tegal,September 2008

Lumaksono
lahir di Tegal, 22 Maret 1967.
Bekerja sebagai guru.
Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media massa, antar lain Bandung Pos, Mitra Dialog, Radar, dan SINDO.

(DIMUAT DI SEPUTAR INDONESIA, 13 SEPTEMBER 2008)

Sajak-Sajak Wiyono

Jangan gelisah saudara

Walau pengadilan tak mampu berbuat adil
Walau kekayaan bangsa ludes terkuras
Walau harta koruptor telanjur parkir di luar angkasa
Jangan gelisah, Saudara
Kita masih kaya

Memang, Saudara
Ratusan tahun harta musnah dijarah penjajah
Setelah merdeka terkikis habis dipindah ke Swiss
Tetapi takkan Saudara, takkan habis
Tuhan Maha Kaya
Jangan gelisah, saudara
Kita masih Kaya

Lihat Saudara
Laut dan isinya
Gunung dan suburnya
Bumi dan tambangnya
Hutan dan kekayaannya
Anak-anak dan cita-citanya
Adalah milik kita
Tak usah kita gelisah, Saudara
Kita masih kaya

Batu, Januari 2008


Apa milik kita?

Bumi dan tambangnya
Laut dan isinya
Gunung dan suburnya
Hutan dan kekayaannya
Anak-anak dan cita-citanya
Guru dan pengabdiannya
Adalah milik kita

Manusia dan serakahnya
Penduduk dan malasnya
Pejabat dan korupnya
Pemuda dan foya-foyanya
Sungai dan keruhnya
Bencana dan korbannya
Sampah dan pemulungnya
Adalah milik kita

Batu, Januari 2008 - *) Wiyono, Guru SMP Negeri 1 Paranggupito Wonogiri.

(DIMUAT DI SOLO POS, 14 SEPTEMBER 2008)

Beronjong di Langit Jingga

Oleh: Giyanto

Kang Panut tampak kusut dan nelangsa. Ia membuka caping dan duduk leyeh-leyeh di bawah pohon jengkol. Debu kemarau ditiup angin yang panas menerpa wajahnya yang cokelat kehitaman penuh keringat. Ia sedih menatap beronjong yang nangkring di sepeda onthel warisan bapaknya. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana. Sebentar lagi pemerintah melarang menggunakan beronjong. Padahal setiap hari dia berjualan sayur dengan onthel dan beronjongnya.

Matanya terpejam sebentar, lalu tersentak bangun. Terbayang kata-kata isterinya yang minta uang untuk nyumbang. Hajatan bulan ini memang banyak. Pakdhe Marijo dan Mbah Parto mau mantu, Lik Domo mau menyunatkan anaknya, dan Yu Sawi kemarin melahirkan. Ada empat orang punya hajat. Semua harus rewang dan nyumbang karena adat yang berlaku di kampung Kang Panut memang begitu. Aib jika tidak datang ke tempat orang punya hajat. Nyumbang, tidak sekadar membawa uang. Tapi harus membawa gawan. Beras, tempe, jipang, kelapa, bihun, gula, teh bahkan kadang rokok 1 selop. Kang Panut meraba-raba sakunya. Kempes.

Kang Panut bangun dan kembali menjajakan dagangannya. Di terik matahari musim kemarau yang panas itu, tubuh kurusnya terus mengayuh sepeda onthel memasuki gang-gang di Desa Ngunut.

“Sayur...sayur...! Sayur...sayur...! Sayur... sayur...!”

Suaranya melengking-lengking menawarkan dagangannya yang masih banyak. Biasanya menjelang Asar banyak ibu-ibu yang membeli sayur. Tapi kali ini sepi. Kang Panut tak henti-hentinya menawarkan dagangannya. Melengking-lengking dan parau. Lelah, peluh, dan haus memenuhi tubuh kurusnya. Tapi ia tak gentar. Setiap peluh yang menetes ia niatkan sebagai ibadah. Mencari nafkah untuk anak dan isterinya.

“Beli bandeng, Kang...!”

Ada ibu-ibu melambai-lambaikan tangannya. Kang Panut bersyukur. Ia menghentikan onthel-nya dan melayani dengan gembira. Kang Panut tak henti-hentinya bersyukur. Terbayang isteri dan anak-anaknya di rumah yang rajin beribadah dan mendoakannya. Senik, isterinya adalah wanita yang taat beragama. Dengan sukarela ia membantu menjaga dapur agar tetap berasap. Bekerja sebagai pemilah sampah di TPA sebelah barat kampung. Bau busuk menyengat tak dihiraukannya. Berpuluh-puluh tahun hidup sederhana dan serba pas-pasan dilaluinya dengan tabah.

Pagi ini Kang Panut tidak berjualan. Sejak bangun pagi Kang Panut hanya leyeh-leyeh di dipan serambi rumahnya. Dulu Kang Panut tidak mau menjadi buruh pabrik karena rawan terkena PHK, pemecatan. Dia memilih menjadi pedagang dengan alasan jika ditekuni akan sukses dan tak ada yang memerintah apalagi memecat dia. Kenyataannya tidak demikian. Sekarang Kang Panut kehilangan pekerjaan. Pemerintah melarang pedagang menggunakan beronjong. Memang hanya di kota, tapi untuk kulakan Kang Panut juga harus ke kota. Sama saja dipecat.

“Sudahlah Kang, jangan terlalu dirisaukan! Rezeki sudah ada yang mengatur. Tabah dan tawakal saja!” ucap Senik sambil menghidangkan ubi rebus dan teh.

“Iya, tapi kita kan harus tetap berusaha. Aku tak habis pikir, kenapa pemerintah begitu. Ini kan mematikan usaha rakyat kecil. Tidak hanya pedagang yang memakai beronjong. Tapi juga pengrajin beronjong dan penjual bambu.”

“Oalah Kang, kita itu rakyat kecil, wong cilik ongklak-angklik. Untuk apa mikir yang begitu. Lebih baik berpikir cari pekerjaan lain. Apa sampeyan ikut kerja di TPA saja. Daripada menganggur.”

“Aku ingin merantau saja. Kemarin Pakdhe Karso nawari kerja jadi buruh bangunan di Jakarta. Lumayan, sehari Rp 35.000,” ucap Kang Panut sambil menyeruput teh panas buatan isterinya.

“Kang, jangan merantau. Apalagi ke Jakarta. Di sana semua mahal. Uang Rp 35.000 tidak akan cukup. Di sana juga ramai, sumpek. Pokoknya mangan ora mangan kumpul.”

“Kumpul tidak kumpul, yang penting bisa makan.”

“Terserah, tapi aku tidak setuju.”

Kang Panut menarik nafas dalam-dalam, menahannya sebentar, lalu mengembuskannya lewat mulut. Terasa berat beban yang ditanggungnya kali ini. Sebagai lelaki, kepala rumah tangga, dia harus bisa menghidupi keluarganya. Bekerja, bekerja dan bekerja. Itulah yang ada di benak Kang Panut.

Pagi yang cerah. Kang Panut bertekad bulat untuk berangkat ke Jakarta. Isteri dan anaknya meskipun dengan berat hati, akhirnya mengizinkan Kang Panut. Sebelum berangkat, Kang Panut berpesan pada anak isterinya agar senantiasa mendoakannya. Dipeluknya anak isterinya itu dengan erat.

Empat bulan telah berlalu. Kang Panut belum juga memberi kabar. Senik menangis tiap hari. Ia ingin mengabarkan bahwa dirinya hamil. Tapi ke mana ia akan memberi kabar? Alamat suaminya saja tidak tahu. Pakdhe Karso yang dulu menawari kerja juga tidak tahu. Katanya dulu dititipkan temannya di Jakarta.

Tiap sore, ketika senja yang berwarna jingga menggantung di langit barat, Senik berteriak-teriak memanggil-manggil nama suaminya. Sementara itu di Jakarta, empat bulan lalu, ketika senja yang berwarna jingga menggantung di langit barat, seorang lelaki kampung dirampok dan dibunuh. Mayatnya dihanyutkan di sungai.

(DIMUAT DI SOLO POS, 14 SEPTEMBER 2008)