Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

19 Juni 2008

Mbak Mi

Oleh: YE. Marstyanto

Mbak Mi, begitulah kami sekeluarga biasa memanggil pembantu rumah tangga kami itu, eh, maksudku pekerja rumah tangga.
Ya, bukankah istilah pekerja rumah tangga belakangan ini lebih sering dianjurkan untuk digunakan bagi orang yang bekerja di wilayah rumah tangga? Istilah tersebut menurut para penganjurnya lebih manusiawi dan mengandung penghargaan.
Menarik juga, kami sekeluarga setuju itu. Hampir 20 tahun, Mbak Mi bekerja pada keluargaku, kami memperlakukan dia secara baik. Ayahku, Raden Mas Haryo Pangapuro, telah bertitah pada sebuah pertemuan keluarga beberapa tahun silam, ketika kali pertama Mbak Mi menginjakkan kaki di rumah kami. Beliau mengeluarkan maklumat bahwa Mbak Mi adalah seorang pekerja profesional di wilayah kerumahtanggaan.
Ayahku ningrat tulen. Darah biru mengalir dalam dirinya dari para nenek moyangnya yang menurut beliau adalah para Senopati Mataram di zaman Panembahan Senopati. Tetapi keningratannya tidak menghalangi selalu berpikir maju dan mengusung nilai kemanusiaan.
Mbak Mi dan keluarga kami sudah saling mencintai. Namun kami dibuat kaget ketika Mbak Mi menyatakan mengundurkan diri beberapa bulan lalu. Kami semua merasa kehilangan. Kebetulan saat itu aku sedang berlibur di Indonesia, sebab aku memperoleh cuti dari perusahaan tempat aku bekerja di Amerika. Dua kakakku yang masing-masing tinggal di Medan dan Bandung sampai menyempatkan diri pulang ke Solo demi peristiwa mengejutkan ini.
****
Sebelumnya Ayahku memang sudah menerima permohonan pengunduran diri Mbak Mi. Tetapi ia meminta waktu untuk menjawab permohonan tersebut, sebab ia ingin mengumpulkan seluruh anggota keluaraga.
Semua berada di ruang keluarga, terdiam menantikan perkataan Ayah. Aku dan kakak-kakakku tertunduk. Ibu saja yang tampak gelisah, sesekali menatap Ayah. Mbak Mi juga duduk tenang. Kini perempuan itu sudah tidak tampak muda lagi. Tapi kewibawaan masih terpancar dari wajahnya.
Sungguh sebuah kebahagiaan buat anak manapun yang memiliki ibu seperti dia. Tapi siapa anak yang bahagia itu? Kami sekeluarga tak pernah tahu persoalan anak atau suami dari Mbak Mi. Sejak awal, perempuan ini meminta kepada kami sekeluarga untuk tidak mempersoalkan atau menanyakan hal itu kepadanya. Ia sosok misterius berkaitan dengan pribadinya. Satu hal yang aku tahu berkaitan dengan pribadinya adalah namanya. Mbak Mi memiliki nama lengkap Sumiarsih. Itu saja.
”Jadi kamu benar-benar tidak ada masalah di sini kan, Mi?” tanya Ayah.
”Tidak ada sama sekali Den,” jawab Mbak Mi.
”Dan kamu sudah mantap dengan keputusanmu?”
”Begitulah, Den.”
Ayah menarik napas panjang. Ia berdiri dan kami semua juga berdiri. Satu persatu kami memeluk Mbak Mi. Kami semua meneteskan air mata. Ibu kelihatan paling bersedih. Ia menangis sesenggukan dan memeluk erat-erat perempuan itu. Mata Mbak Mi juga berkaca-kaca, tetapi wajahnya tampak tegar.
Ia diantar ke terminal bus dengan mobil oleh sopir kami. Mbak Mi berpamitan pulang ke rumah orang tuanya di desa. Mbak Mi berkata bahwa ia ingin menghabiskan hari tuanya di sana.
****
Rasa pedot katresnan belum hilang dari batinku, ketika tiba-tiba tengah malam aku terbangun di apartementu di kawasan East Vilage, Manhattan. Teleponku berdering dan ketika aku angkat terdengar suara yang sangat aku kenal di ujung sana.
”Dimas, ada kabar duka ngger”, suara bergetar dari Ayahku di Solo.
Aku mengernyitkan dahi dan dadaku berdetak keras. Rasa kantukku langsung hilang sama sekali. ”Siapa? Apa? Maksudnya kabar duka?”
”Mbak Mi!”
”Mbak Mi?”
”Semalam dia ditemukan tewas di sebuah penginapan di Jakarta.”
”Kenapa sampai di Jakarta? Bukankah dia ada di desa?”
”Dia bukan pulang ke desa. Dia ternyata pergi ke Jakarta.”
Untuk apa?”
”Mencari pria yang juga ditemukan terbunuh bersama-sama dengannya.”
”Pria? Terbunuh?”
”Sejak lama dia memang berencana melampiaskan dendam kepada pria itu. Tetapi rupanya terjadi perlawanan. Akhirnya keduanya terluka parah dan nyawa mereka tidak tertolong.”
”Siapa pria itu?”
”Sebelum kerja di tempat kita. Mbak Mi jadi TKW. Di sana dia mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari majikan laki-lakinya hingga ia hamil. Majikan laki-laki itu memberi Mbak Mi dua pilihan, yaitu dia tetap boleh bekerja padanya asal kandungannya digugurkan atau dia diusir pergi. Mbak Mi memilih pergi pulang ke desanya sambil melahirkan bayi yang dikandungnya. Tapi sayang, bayi yang dilahirkan itu tidak berumur panjang. Ya, maklum saja, kondisi perekonomian membuatnya sulit memelihara bayi dengan baik. Bayi itu sakit-sakitan dan kemudian meninggal dunia.”
Aku tertegun mendengar kisah dari ayah. Aku seperti melihat gambar-gambar suram dari kata-kata yang meluncur dari mulut ayah.
”Dan Laki-laki itu...”
”Mbak Mi sudah menantikan kedatangannya di sini sejak 20 tahun lalu. Laki-laki itu seorang pengusaha yang sering melakukan bisnis di beberapa negara di Asia, termasuk di sini.”
Wajah Mbak Mi terbayang di benakku. Perempuan itu telah begitu tekun memelihara dendamnya hingga puluhan tahun.

- Cerpen: YE Marstyanto

(DIMUAT DI SOLO POS, 15 JUNI 2008)

Tidak ada komentar: