Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

19 Oktober 2008

Perjalanan



nafas bebatuan seperti memanggil pulang
cerita tentang pepohonan, tualang yang menitip siang
dengan air yang menguntit karam
dan selendang gadis muda yang
hanyut dibawa pasang

pada garis tangan ibu
senja menjejakkan catatan-catatannya
dimana ketulusan menjadi garang
dan kampung halaman meneruka dalam bayang

jadilah kepulangan adalah sesuatu yang mustahil
meski kereta telah lambat menemukan peron

o, gadis muda dengan selendang hijaunya
berjalan dalam riang malam
kandas dalam lautan
hingar dalam nestapa kampung halaman

F 2.5, Oktober 2008

Ode Badai



adakah arus hilir mencerabuti pepohonan akasia
rimbun dalam benam badai
menikam gemuruh, dan air mata sungai
yang terisak riuh

mata yang menikam bebatuan
dalam upacara purnama yang basah
darah meruap dalam bara kemenyan
menutup kalap badai yang bertempuran

badai...badai...badai...

tak lekang tangis menghilang dalam letusan sangkakala
dinding-dinding batu penuh kesumat
bersama dengan keheningan yang hilang cekam
menusuk lewat bantal, guling dan kasur

siapa yang melaknat diri?

mengharap darwis lewat di sisian rumah
sambil mengatakan; “mari mati
mari...mari....
demi nurani!”

AA. Navis, September 2008

Perempuan Ilalang (X)



;nta

nta, mungkinkah aku bertemu kekasih hari ini?
terakhir kali, dalam siang yang remang.
bersitatap dalam ruang kereta yang berlainan

mimpi usang, dan aku terjebak dalam bayang.
o, kekasih yang riuh dilamar ilalang,
mungkinkah kau bermalam dalam raut kuning pucat?

tak lagi kau rindukan basah asin laut padang
dimana nurbaya pernah berkubur
dan bersemayam menikam cinta

tak lagi kau cium batu arca
yang tersujud dalam ngiang ibu
memulangkan kembali kesedihan
pada senja dengan cahaya pualam

sementara kau meliuk-liuk dalam hamparan ilalang
mencipta keputusasaan dalam hati
yang berpenat diri

ya nta, aku telah berputus asa.

Rumah Cinta, September 2008

Subuh Permai di Sebuah Danau dengan Riak Menerpa-nerpa Ujung Keramba



;Esha Tegar Putra

siapa yang menangis?
ketika subuh yang permai diawali oleh dedaunan mawar
berjatuhan dalam lindap pertemuan

eden! aku cuma tangisan yang tergenang
di subuh permai itu. membentuk laguna dengan sepotong
cinta yang padam dalam wajah bujang sambilan

wajah yang begitu gaib
merupa sepasukan langit yang kau impikan
cinta yang pernah menuai marah Tuhan

sementara garis tangan ibu adalah wajahku yang lelah
lelah menunggu ayah, lelah menunggu sang kekasih
yang bersembunyi dalam kelenaan jala

tak perlulah kau tampung air hujan untuk melepas lelahku
sebab keriangan danau ini telah menyatu dalam kalbuku
tak perlu juga kau nyanyikan setakat doa
sebab pesisir yang mengguncang air asin dengan telaga
telah mengobati rasa perihku

biar subuh yang permai ini tergelincir di ujung keramba nenekku
dan aku tetap menjadi sebuah bayang
mungkin berebut maut dengan bunian
yang menghuni leladang durian di belakang rumah kakekku

Rumah Cinta, Oktober 2008

12 Oktober 2008

Sajak-Sajak Minggu Ini

Jejak Penantian

apa yang kau rindukan
mungkinkah desah kereta
yang mengalun
yang membuat jiwamu gundah

dari sisimu
aku pun menunggu,
dekah raung kereta yang telah
terlambat pula rupanya

aku kembali berjalan
kau pun juga
mengarungi Drina hingga Gangga
menanti,
Isa, atau mesias yang lalai
turun ke bumi

KaranggoNet, Oktober 2007


Saat Cinta Terkubur Batu Lawanga

saat ini
ketika musim tidak akan pernah berganti
daun-daun mawar telah berguguran di
depan melati

aku, tidak sempat mengutarakan
maksudmu, yang mendesah panjang di tepian
jurang,
ketika aku menyebut, “cinta”

atau, apakah cinta menggadaikan diri
untuk dosa-dosa

dan Lawanga
mengubur kau bersama dengan mayat-
mayat yang tersenyum kaku

KaranggoNet, Oktober 2007

*Lawanga; daerah di Poso



Genjer-Genjer

;untuk terulang kalinya
dalam ketakutan yang juga belum sirna

dekapan eratmu di jantungku
menyendat aliran deras
tahta kidung yang kugambarkan

jerit nafas tubuh
menggila,
disusuri alunan yang dikira
iblis sedang merayu—mendayu

“kidungku tak terlukiskan, Jer”
takut selimuti genderang perang
dan aku sendiri, disekap jeruji
pelog dan slendro

F.25, November 2006


Seorang itu

Namanya sepi,
Aku—kita berjalan
Bertiga

Gedung-gedung kusam
Sudah lama mereka mencongkel matanya sendiri
Tidak sanggup (lagi) meratapi
Debu dan asap berkepulan

Rumah Cinta-Padang, Desember 2006


Jika Kuntum Tak Lagi Mekar (II)

cikal di tepi terjal
belum lagi akan kembang dan mekar
angin sayup gusar
menggoyangoyangkan kuncup

cikal di tepi terjal
belum juga akan kembang dan mekar
bebunga sayup
meneruka ke dalam hati batu

masih menunggu
kapan saatnya akan kembang dan mekar
hanya bebatu deras berhujan
yang turun
kuntum tak lagi datang

leladang2, 22 Mei 2007


Jika Kuntum Tak Lagi Mekar (VIII)

di sini, telah kutanam kata per-kata
agar kelak tumbuh, dan berbunga
bersemi indah

leladang8, Desember 2007

Sayyid Madany Syani, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang

(DIMUAT DI HARIAN SINGGALANG 12 OKTOBER 2008)