Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

09 Desember 2008

Perjalanan


ujung jalan yang kita tempuh
menakar hujan dengan sebuah yang entah
mungkin, di pertengahan nanti
kita terpeleset curam basah

bayangan setinggi pohon mangga
menyurut dalam getir cahaya yang tak terduga
mungkin, gerhana
atau malam saja

sediakan kertas atau semacamnya
buat kita berteduh dari mimpi

sementara, ujung jalan yang kita tuju
menjauh setapak-demi setapak
kita tersekat dari lamun kenyataan

di sinilah sayang, saat jalan kita terhenti
sehabis hujan dengan akar pohon yang tajam
cukam memahat tebing
dan pandam kita terlalu dini untuk ada

Langkah, November 2008

Aku Menunggumu di Sisi Keramaian


;yandre mariandiko

musim bermain itu kau habiskan dalam rumah
tak ada ibu, tak ada ayah
menikam debu dan bekas akar lilin yang tumpah

sementara, di tanah lapang belakang rumah
anak-anak sibuk bermain bola
sambil menunggu kacang kuning dan semangka berbuah
riuh rendah

kau merajut kesepian itu dengan angan
tanpa pangan dan usiran guru ngaji di mesjid
ketika kau tak pandai meraba huruf ba

keramaian menjadi asing
bahkan dengan debur ombak pesisir sekalipun
kau rindu akan kehadiran ayah
tangis pun kau titipkan kepada pengendara jauh
dengan harap bisa diterima oleh ibu

namun, tangismu begitu kering
ditelan udara pagi yang menghapus mimpimu tentang keramaian
kau pun bergegas untuk ke sekolah
mungkin harap dengan pertemuan itu
mungkin juga hanya kekosongan yang harus kau lakoni
setiap hari

Rumah Cinta, November 2008

05 November 2008

Ngiangmu


;Rudi Datuak

kau telah bertemu dengan nasib
genggaman yang menirukan igau
hujan menikam darah
dan aku ingat semasa kita berteduh
dalam ruang kopi yang hangat

kurindu gumammu sahabat
menebas pilu di antara jalanan yang rawan
dan kau berceloteh tentang masa depan
yang begitu suram kurasa

ngiang suara yang tertuba
cium garis tanganmu yang swarga
dimana kau menjemput nasib
dengan gegas, dan bertemu raib
yang tak dapat kau tolak

oh langit, dengan darah tergenang
menghitung pertanda sebagai pasi
dan wajahmu jatuh dalam kental kopi
yang kuseruput semalaman

kau telah berkawan dengan kafan
meniadakan nafas dan retak tangis kawan-kawan
rapal doa dan igau yang jemu
tentang masa depan
selamat jalan!

Rumah Cinta, November 2008

Kulukis Bidadari Tenggara


menepilah angkasa
seperti kekasih yang merapat di getar musim
menikam pembuluh darah
merajut kesepian yang mengalun-ngalun
biar, kulukis benang kematian
jembatan langit, yang mencekam perdu sebagai alasnya
kunamai ia, bidadari tenggara

Puncak Marpati, Maret 2008

Perjalanan


;Arif Rizki

seperti harap pada waktu yang membingungkan
kau lembab pada ujung trotoar jalan
masih juga, kau rindukan kesendirian
padahal, kesendirian mulai memutar haluan

yang sesalnya, menempuh lorong sunyi
dan kau mendambakan hujan turun di sana
basah lalu bahagia
lepas seperti lentingan batu
dari ketapel masa kanakmu

Rumah Cinta, September 2008

Lafaz Suci


;bismillah
seperangkat mesin menyala
rodanya berputar lambat
menderu, panas dan beringas

;allahu akbar
hanya tubuh lemah
terbaring seiring tualang waktu
yang pergi menjinakkan jiwa

;alhamdulillah
mesin-mesin berjalan dalam gugu
“pinggir...pinggir...”
mengesiapkan rumbia, papan, bambu dan batako merah
yang tersusun serampangan

;astagfirullah
tak ada daun kering yang jatuh
sebagai tanda kesedihan
tak ada bendera kuning
yang terpasang di ujung gang
juga tak ada bendera putih
tanda kekalahan

;lailahailallahu
hanya getir lamunan nenek tua
yang bersandar di puing gubuknya
hanya anak-anak yang berlarian
main air di bekas pemandian

;wallahualam
waktu masih tersipu malu
waktu masih enggan untuk berkabung
penantian panjang
hanya diselingi zikir kepada Tuhan

PKM, September 2008

19 Oktober 2008

Perjalanan



nafas bebatuan seperti memanggil pulang
cerita tentang pepohonan, tualang yang menitip siang
dengan air yang menguntit karam
dan selendang gadis muda yang
hanyut dibawa pasang

pada garis tangan ibu
senja menjejakkan catatan-catatannya
dimana ketulusan menjadi garang
dan kampung halaman meneruka dalam bayang

jadilah kepulangan adalah sesuatu yang mustahil
meski kereta telah lambat menemukan peron

o, gadis muda dengan selendang hijaunya
berjalan dalam riang malam
kandas dalam lautan
hingar dalam nestapa kampung halaman

F 2.5, Oktober 2008

Ode Badai



adakah arus hilir mencerabuti pepohonan akasia
rimbun dalam benam badai
menikam gemuruh, dan air mata sungai
yang terisak riuh

mata yang menikam bebatuan
dalam upacara purnama yang basah
darah meruap dalam bara kemenyan
menutup kalap badai yang bertempuran

badai...badai...badai...

tak lekang tangis menghilang dalam letusan sangkakala
dinding-dinding batu penuh kesumat
bersama dengan keheningan yang hilang cekam
menusuk lewat bantal, guling dan kasur

siapa yang melaknat diri?

mengharap darwis lewat di sisian rumah
sambil mengatakan; “mari mati
mari...mari....
demi nurani!”

AA. Navis, September 2008

Perempuan Ilalang (X)



;nta

nta, mungkinkah aku bertemu kekasih hari ini?
terakhir kali, dalam siang yang remang.
bersitatap dalam ruang kereta yang berlainan

mimpi usang, dan aku terjebak dalam bayang.
o, kekasih yang riuh dilamar ilalang,
mungkinkah kau bermalam dalam raut kuning pucat?

tak lagi kau rindukan basah asin laut padang
dimana nurbaya pernah berkubur
dan bersemayam menikam cinta

tak lagi kau cium batu arca
yang tersujud dalam ngiang ibu
memulangkan kembali kesedihan
pada senja dengan cahaya pualam

sementara kau meliuk-liuk dalam hamparan ilalang
mencipta keputusasaan dalam hati
yang berpenat diri

ya nta, aku telah berputus asa.

Rumah Cinta, September 2008

Subuh Permai di Sebuah Danau dengan Riak Menerpa-nerpa Ujung Keramba



;Esha Tegar Putra

siapa yang menangis?
ketika subuh yang permai diawali oleh dedaunan mawar
berjatuhan dalam lindap pertemuan

eden! aku cuma tangisan yang tergenang
di subuh permai itu. membentuk laguna dengan sepotong
cinta yang padam dalam wajah bujang sambilan

wajah yang begitu gaib
merupa sepasukan langit yang kau impikan
cinta yang pernah menuai marah Tuhan

sementara garis tangan ibu adalah wajahku yang lelah
lelah menunggu ayah, lelah menunggu sang kekasih
yang bersembunyi dalam kelenaan jala

tak perlulah kau tampung air hujan untuk melepas lelahku
sebab keriangan danau ini telah menyatu dalam kalbuku
tak perlu juga kau nyanyikan setakat doa
sebab pesisir yang mengguncang air asin dengan telaga
telah mengobati rasa perihku

biar subuh yang permai ini tergelincir di ujung keramba nenekku
dan aku tetap menjadi sebuah bayang
mungkin berebut maut dengan bunian
yang menghuni leladang durian di belakang rumah kakekku

Rumah Cinta, Oktober 2008

12 Oktober 2008

Sajak-Sajak Minggu Ini

Jejak Penantian

apa yang kau rindukan
mungkinkah desah kereta
yang mengalun
yang membuat jiwamu gundah

dari sisimu
aku pun menunggu,
dekah raung kereta yang telah
terlambat pula rupanya

aku kembali berjalan
kau pun juga
mengarungi Drina hingga Gangga
menanti,
Isa, atau mesias yang lalai
turun ke bumi

KaranggoNet, Oktober 2007


Saat Cinta Terkubur Batu Lawanga

saat ini
ketika musim tidak akan pernah berganti
daun-daun mawar telah berguguran di
depan melati

aku, tidak sempat mengutarakan
maksudmu, yang mendesah panjang di tepian
jurang,
ketika aku menyebut, “cinta”

atau, apakah cinta menggadaikan diri
untuk dosa-dosa

dan Lawanga
mengubur kau bersama dengan mayat-
mayat yang tersenyum kaku

KaranggoNet, Oktober 2007

*Lawanga; daerah di Poso



Genjer-Genjer

;untuk terulang kalinya
dalam ketakutan yang juga belum sirna

dekapan eratmu di jantungku
menyendat aliran deras
tahta kidung yang kugambarkan

jerit nafas tubuh
menggila,
disusuri alunan yang dikira
iblis sedang merayu—mendayu

“kidungku tak terlukiskan, Jer”
takut selimuti genderang perang
dan aku sendiri, disekap jeruji
pelog dan slendro

F.25, November 2006


Seorang itu

Namanya sepi,
Aku—kita berjalan
Bertiga

Gedung-gedung kusam
Sudah lama mereka mencongkel matanya sendiri
Tidak sanggup (lagi) meratapi
Debu dan asap berkepulan

Rumah Cinta-Padang, Desember 2006


Jika Kuntum Tak Lagi Mekar (II)

cikal di tepi terjal
belum lagi akan kembang dan mekar
angin sayup gusar
menggoyangoyangkan kuncup

cikal di tepi terjal
belum juga akan kembang dan mekar
bebunga sayup
meneruka ke dalam hati batu

masih menunggu
kapan saatnya akan kembang dan mekar
hanya bebatu deras berhujan
yang turun
kuntum tak lagi datang

leladang2, 22 Mei 2007


Jika Kuntum Tak Lagi Mekar (VIII)

di sini, telah kutanam kata per-kata
agar kelak tumbuh, dan berbunga
bersemi indah

leladang8, Desember 2007

Sayyid Madany Syani, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang

(DIMUAT DI HARIAN SINGGALANG 12 OKTOBER 2008)

28 September 2008

Mengingat Kembali Apresiasi Puisi Sosial



Hanya ada satu kata, Lawan! Kalimat pendek itu jauh lebih dikenali ketimbang Wiji Thukul sebagai seorang yang telah menorehkan puisi perlawanan (Munir dalam Thukul, 2004: xix). Memang, Wiji Thukul mengambil sastra dan seni sebagai corak budaya perlawanan dalam menghadapi budaya kekerasan yang diterapkan penguasa Orde Baru.

Di saat itu, puisi (sastra) membuktikan bahwa bentuknya tidaklah sepele seperti yang diyakini orang. Dalam konteks yang terpatron di dalam otak kita, puisi merupakan bentuk estetis yang berisi pernyataan romantis. Biasanya digunakan sebagai pemulus jalan dalam menyatakan perasaan cinta terhadap lawan jenis. Bahkan pada suatu kesempatan, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah murka di hadapan para guru ketika mendengarkan sebuah puisi yang dibaca oleh mantan rektor IKIP Jakarta Prof. Dr. Winarno Surachmad. Inilah isi puisi itu yang dinilai oleh Wakil Presiden sebagai pelecehan terhadap harga diri bangsa Indonesia (Fadlillah, 2006: 182-183):

‘Apa artinya bertugas mulia ketika kami hanya
terpinggirkan tanpa ditanya, tanpa disapa.
Kapan sekolah kami lebih dari kandang ayam.
Sejuta batu nisan guru tua yang terlupakan
oleh sejarah terbaca torehan darah kering.
Di sini terbaring seorang guru, semampu membaca
bungkus sambil belajar menahan lapar, hidup
sebulan dari gaji sehari’

Terlepas dari nanarnya Wakil Presiden terhadap puisi, maka ada satu pelajaran yang bisa diambil. Puisi (sastra) merupakan senjata yang paling tajam daripada pisau, yang lebih dahsyat ledakannya daripada bom atom. Dan, begitu pula sebaliknya, puisi pun bisa selembut kain sutra, dan sesejuk oase di tengah gurun. Tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan dimana puisi itu lahir dan dibesarkan.

Puisi seperti karya sastra lainnya adalah cermin dari kehidupan. Seperti yang diyakini Georg Lukacs bahwa sastra sebagai cermin berarti menyusun sebuah struktur mental (Taum, 1997: 50). Sastra tidak hanya mencerminkan realitas tetapi lebih dari itu memberikan kepada kita sebuah refleksi realitas yang besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik yang mungkin melampaui pemahaman umum. Namun, terkadang orang menafikan sastra sebagai cermin. Sastra dianggap hanya bermain pada lingkup fiksi yang sekali lagi telah terpatron ke dalam benak kita sebagai bagian ilusi, fiktif yang jauh dari kebenaran dan bersifat nihil atau tidak pernah ada. Padahal Sapardi Djoko Damono telah menjelaskannya dalam buku “Sosiologi Sastra; sebuah pengantar ringkas” (1979: 1) bahwa:
“Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat; ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium: bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.”

Hal inilah yang menjadi jawaban selama ini, kenapa sastra dilarang, dibredel dan dijauhi sebagai kehidupan tanpa masa depan. Lebih lanjut, Fadlillah dalam bukunya “Kecerdasan Budaya” (2006: 182) memaparkan:
“Maka dapat dipahami, mengapa sastra itu dilarang, dibakar dan para sastrawannya diburu, dikejar, dibunuh, dipenjara. Jawabannya adalah bahwa kata-kata itu jauh lebih tajam daripada senjata yang dimiliki para serdadu, tentara, apapun yang hebat di muka bumi ini.”

Namun kita patut berbangga, sebab pada masa ini puisi (sastra) kian diminati. Mungkin, puisi (sastra) tersebut sudah menjadi kebutuhan manusia yang mencari arti estetis dari kehidupan yang dijalaninya. Lebih lanjut Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo mengatakan (dalam “Teori Penelitian Sastra”, 1994: 122):
Pada waktu sekarang, puisi kian diminati oleh masyarakat, baik oleh pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, puisi atau sajak sukar dimengerti karena kompleksitas, pemadatan, kiasan-kiasan, dan pemikirannya yang sukar. Puisi merupakan kristalisasi pengalaman, maka hanya inti masalah yang dikemukakan; untuk mencapai hal itu perlu pemadatan.

Begitulah puisi (sastra), bentuk yang sangat ditentukan oleh kondisi sosial ketika ia dilahirkan dan dibesarkan. Tidak ada masalah ketika puisi berkembang pada masa “aman” dan kondusif. Puisi akan bermain dengan diksi yang menarik kadang unik dan inspiratif. Namun sebaliknya, jika puisi (sastra) berkembang pada ritme kehidupan yang tertekan, dimana perbedaan kelas menjadi jurang yang dalam, dan sikap penguasa yang otoriter maka puisi pun berubah menjadi alat propaganda, senjata yang tidak disukai oleh penguasa. Puisi akan menjadi simbol perlawanan, dan mengabaikan bentuknya yang mempermainkan diksi, tetapi lebih terkonsentrasi pada segi pemaknaan. Wiji Thukul pernah mengatakan bahwa:
“Sulit membayangkan keindahan dalam keadaan yang kumuh dan miskin seperti kehidupan buruh, tukang becak, atau masyarakat yang sengaja dimarjinalkan. Tak bakal ada keindahan dalam got yang bau dan keringat yang mengucur deras, yang bisa memicu kelahiran karya sastra. Kemiskinan dan penderitaan hanya melahirkan lembaran pamflet, bukan sajak atau puisi. Keindahan sejati hanya terkandung dalam kisah-kisah cinta yang wangi. Keindahan tak bisa beriringan dengan protes yang mengandung kemarahan, tuntutan, dan kekecewaan.”

Menarik untuk melihat bagaimana puisi-puisinya Wiji Thukul mengambil tempat sebagai simbol perlawanan kaum proletar. Salah satunya puisi berjudul “Peringatan”, yang pada baris dan bait terakhir tertera kalimat Hanya ada satu kata, Lawan!

Perempuan Ilalang (VIIII)



;semisal sepi yang menempuh angan
berkelindan mencapai waktu dengan
kekosongan

laut merah tembaga
menyepuh yang terkelupas dalam hati
dengan kesendiriannya

siapa menjemput siapa!

senyum yang legit, ditiriskan melalui ilalang
rimbun memenuhi pagar
hanya perempuan dalam kenestapaan
menunggu waktu
menunggu, sang kekasih
di pintu pantai yang menggebu

sementara debu masih menderu
dedaun dan ranting-ranting kering
mendesau
melelahkan ilalang dalam pertapaannya

siapa menemu siapa!

perempuan terbujur di atas dipan
menempa kesengsaraan
merajut kesetiaan
dalam dada, dalam hati yang riskan

Rumah Cinta, September 2008

Jejak Penantian



apa yang kau rindukan
mungkinkah desah kereta
yang mengalun
yang membuat jiwamu gundah

dari sisimu
aku pun menunggu,
dekah raung kereta yang telah
terlambat pula rupanya

aku kembali berjalan
kau pun juga
mengarungi Drina hingga Gangga
menanti,
Isa, atau mesias yang lalai
turun ke bumi

KaranggoNet, Oktober 2007

Lelaki Awan Mendung



;buat Struk (Esha Tegar Putra)


“Struk, sudahkah ketemu dengan waktu
yang kau cari itu?”

riak dedaunan memaraukan suara angin
dan seperti malam kita di Marapi
igauanmu memecah batu kabut dingin
sekepal jagung

”bukankah deraan rumpun bambu,
menyangkutkan miangnya di tubuhmu?”

begitukah?
atau kau masih mengimpikan waktu,
keluar dari lorong got
sekitar persimpangan jalan pasar baru?

maaf, lelaki awan mendung
tetapi, masihkah dirimu menghempas tubuh
pada jejak puisi?
atau kau lupa meniriskan hujan
di tanah kerontang tanpa sabda tuhan

;lelaki awan mendung
dini hari nanti
kukabarkan, bahwa separuh jiwa ini
telah mati (. . . .)

2008

Di Persimpangan Jalan



Prolog
“Kemana arah kita, kiri atau kanan?” Seorang sahabat pernah menanyakan hal ini. Ketika itu, kami sedang dalam suatu kunjungan ke rumah sahabat lainnya. Gamang berpikir (atau mungkin kelupaan) arah jalan yang benar. Putus asa menunggu akhirnya di teleponlah sahabat itu untuk menjemput kami berdua di persimpangan jalan tersebut yang ternyata tak sampai 500 m lagi ke arah tujuan yang benar.

Hidup memang sebuah kenyataan yang memaksa kita untuk memilih. Pilihan adalah suatu bentuk yang relatif—berubah-ubah. Pilihan dalam hidup, tak mungkin hanya satu saja, sejak lahir hingga digulung lahat. Sama seperti ketika kita berjalan menuju suatu tempat. Akan ada banyak pilihan—kiri, kanan, lurus atau berbelok-belok. Jadi omong-kosonglah sebuah pilihan yang kekal atau yang sering disebut orang sebagai idealisme. Jika kekal—tak berubah-ubah maka namanya bukan pilihan tapi ketentuan—sebuah jalan tol lurus yang dibuat jadi pilihan.

Di Persimpangan Ini, Semoga Bertemu dengan Sebentuk Kebenaran
Perspektif masyarakat Indonesia tentang budaya belum akan berubah. Tidak akan jauh dari artefak budaya. Budaya sering dikaitkan oleh kesenian dan pariwisata. Budaya itu adalah lampau, ketinggalan zaman dan seperti barang yang dicampakkan di tong sampah. Seperti sejarah misalnya yang tak dipedulikan orang meskipun temuan bahkan hasil penelitiannya sudah menumpuk di gedung-gedung arsip. Sedikit guru-guru di sekolah yang bermental seperti Guru Uban, seorang tokoh yang berprofesi sebagai guru sejarah dalam novel “Rahasia Meede” karangan E.S. Ito. Budaya hanya pemanis dalam brosur-brosur pariwisata.

Keadaan ekonomi masyarakat Indonesia yang ngos-ngosan sering dikaitkan dengan perspektifnya tentang budaya. Masyarakat disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan finansial sehingga tak ada waktu dengan wacana budaya atau temuan sejarah dan mengkritiknya sekaligus. Karena diabaikan, maka budaya pun dipungut sekenanya oleh pihak bertampang adem untuk kemudian dijadikan alat propaganda efektif dalam menguasai lawan-lawannya.

Esensi budaya yang luas (berwarna-warni) dimutilasi tubuhnya oleh kekuatan-kekuatan yang lebih hebat dan mengimingi dengan slogan “kepedulian terhadap budaya”. Budaya (seperti sastra dan seni) dipaksa menelan pil satu warna dan ditempatkan di garda depan untuk menyerang budaya-budaya (warna-warna) lain. Perang saudara tak dapat dielakkan karena masing-masing diming-imingi oleh slogan tadi. Slogan tersebut jadi bayonet tajam yang menghunus ke jantung serpihan budaya lainnya.

Lupakah kita dengan hakikat sebuah jalan yang tak pernah lurus? Banyak persimpangan yang tentunya banyak pilihan. Jalan lurus bukankah lebih banyak merenggut nyawa? Ya, saya tidak akan menafikan bahwa korban nyawa memang mutlak akan jatuh betapapun kondisi jalan itu. Namun, bukankah ketika jalan berkelok-kelok, orang akan lebih berhati-hati dalam berjalan?

Kita tidak lagi menghormati sebuah persimpangan—entah itu ideologi ataupun kebudayaan. “Tidak ada yang boleh kekiri-kirian! Harus kanan!” atau begitu sebaliknya, saling tarik-ulur, sehingga hidup tak ubah layaknya layangan yang diterbangkan angin ke sana ke mari. Namun, kita saja yang tak sadar telah ditunggangi. Dan anehnya, kita masih percaya bahwa kitalah manusia yang paling berbudaya.

Saya jadi berpikir ulang, mau milih kanan atau kiri karena takut ditunggangi tadi. Sebenarnya bukan soal memilih atau tidak, karena saya yakin persimpangan-persimpangan budaya atau ideologi itu sama-sama mencari suatu kebenaran. Nah, jika benar mencari kebenaran yang hakiki mengapa harus injak sana-sini? Mengapa harus sikut kanan-kiri? Mengapa harus meludahi lawan yang tengah asyik duduk melepas lelah, sementara kita cekikikan karena telah berhasil menyengsarakan lawan itu (mengkhianati pengembaraan kebenaran).

“Hormati Orang Lain, Maka Orang Lain pun Akan Menghormatimu”
Ungkapan ini sering terngiang di telinga saya meski tak jelas siapa pencetusnya pertama kali. Namun bagi saya, ungkapan di atas adalah garis yang tegas bahwasanya kita dituntut untuk mengakui sebuah perbedaan (meskipun sebenarnya, perbedaan-perbedaan itu muncul karena ada kesamaan tujuan yang saling bersinggungan). Namun bengalnya, kita sering mendefinisikan rasa hormat itu terfokus pada diri sendiri. Bahkan anehnya, kata hormat sering dijadikan senjata untuk menundukkan orang yang lebih lemah. Lebih jauh hormat berubah makna menjadi “penjilat”—zaman Orba dulu sering disebut dengan ABS (Asal Bapak Senang). Ya, apa boleh buat nampaknya budaya ini yang terus melekat dalam keseharian manusia Indonesia. E.S. Ito bilang “warisan kolonialisme.” Intelektual, emosi bahkan spiritual manusia Indonesia harusnya dipertanyakan kembali. Atau jangan-jangan sudah dijadikan barang siap jual yang memberi keuntungan berlipat ganda? Tetapi, siapa yang mau capek-capek—mempertanyakan hal itu?

Perbedaan (persimpangan) bukannya dijadikan tolak ukur sebagai ruang pembelajaran dan pemrakarsa bagi tujuan kebenaran yang sempurna (jika ada), namun dijadikan ajang adu otot, dan kekonyolan seperti dua orang anak kecil yang tengah berkelahi memperebutkan pelepah pisang untuk dijadikan pistol-pistolan (tetapi, anak kecil lebih tahu bagaimana menjadikan perbedaan sebagai sebuah kekuatan untuk bersatu). Menghormati pendapat orang lain itu susahnya minta ampun, padahal kita mengaku sebagai umat Muhammad yang kalem jika ada sahabat yang tengah mengutarakan pendapatnya dan menghormati sahabatnya itu. Omong kosong alasan yang mengatakan: “saya kan bukan Nabi Muhammad!” padahal dia mengaku Muslim. Ini adalah dagelan terlucu, jika memang begitu Rukun Iman yang Ke-2 itu mau dikemanakan. “Baranti se lah jadi urang Islam.” Guru ngaji saya bicara seperti itu ketika saya bersikeras tak mau belajar Qur’an (tapi akhirnya mau juga).

Epilog
Maka, hormatilah pendapat orang yang berlainan simpang dengan kita. Tak perlu bersikeras agar orang itu pindah ke simpang yang kita yakini. Toh, banyak cara menuju pintu kebenaran. Jangan ambil tugas Tuhan yang mutlak bisa menjustifikasi kita benar-salah (neraka-surga) di pengadilan akhir. Atas nama manusia yang masih hidup di dunia kedudukannya sama di mata Tuhan.

Budaya pun tak layak dikambing hitamkan hanya gara-gara nafsu kita sebagai manusia yang tamak. Sudah selayaknya, persimpangan budaya dijadikan sebagai alasan kekayaan alam pikiran—kekayaan budaya masyarakat bukan dijadikan alasan untuk berperang saudara. Masihkah kita langgar kebebasan budaya orang lain?

15 September 2008

Ketupat

Oleh: Lumaksono

”Apa? Dibuang? Jangan, jangan Kau buang!” Tetapi gerakan istriku tak tercegah.Dengan cekatan dan pasti tangannya mulai memindahkan ketupat yang tergantung di dapur ke dalam kantung plastik hitam.Kata-kataku tak lagi digubrisnya.

Dengan menahan nafas dan wajah yang dijauhkan untuk menghindarkan hidungnya dari isi bungkusan,dia ikat kuatkuat kedua ujungnya. Terlihat raut mukanya yang jengkel. Sambil memastikan bahwa ikatannya telah kuat dan tak mungkin menebarkan lagi bau menyengat, dia tenteng kantung plastik yang kelihatan berat itu ke luar rumah.

”Tolong jangan dibuang!” sekali lagi aku memohon.Bahkan kali ini dengan suara yang aku buat sememelas mungkin.Aku masih berharap istriku tak membuangnya.Aku kerahkan segala kemampuan, termasuk merayunya dengan pandangan mataku yang menghujam ke bola matanya, sama seperti dulu ketika aku meluluhkan hatinya untuk menerima cintaku.

Tetapi kali ini agaknya segala usahaku tak membuahkan hasil. Bahkan istriku sepertinya sengaja tak mau menatap mataku. Dengan masih berpaling dia menjawab,”Apa sih enaknya ketupat, sampai kau tak lagi kasihan kepadaku? Kepalaku pusing tiap mencium baunya! Bahkan hanya dengan melihatnya perutku langsung mual!”

”Mana mungkin bau! Bukankah ketupat itu masih baru?” ”Bukan bau busuk, tetapi aroma ketupat ini yang membuatku pusing!” istriku berkata dengan nada marah. Tak lagi memedulikan aku, dia langsung bawa bungkusan itu ke tempat sampah di balik pagar depan rumah.

Seakan tak mau lagi berlamalama dekat dengan bungkusan ketupat itu,dia lemparkan saja dari kejauhan. Suaranya berdebum menimpa tumpukan sampah yang telah lebih dulu berserakan.Aku hanya bisa menelan ludah.Hilang sudah harapanku untuk menikmati ketupat sepuasnya.

Padahal baru sekali aku menikmatinya, pagi tadi seusai salat id. Entah apa yang terjadi dengan istriku kali ini hingga dia bersikap demikian. Aku tahu selama ini dia memang tak suka dengan ketupat, tetapi selama lima tahun aku hidup bersama, belum pernah aku melihat dia begitu benci dengan jenis makanan yang satu ini.

Makanan yang menjadi kesukaanku setiap Lebaran tiba. Bagiku tidak pantas disebut Lebaran jika tanpa ketupat.Karena itu sebagai tanda cintanya kepadaku,walaupun dia tak pernah menyentuh, istriku tetap menyediakan ketupat saat Lebaran.Itu pun beli.

Hanya sekali dia pernah membuatnya khusus untukku, di tahun pertama pernikahan kami. Walaupun belum dikaruniai anak setelah lima tahun lebih menikah, kehidupan kami baik-baik saja. Dia begitu pengertian, selalu berusaha memenuhi segala yang menjadi kesukaanku.

Dia juga tidak banyak menuntut. Tak pernah dia minta yang macam-macam. Baru kali ini aku melihat istriku marah. Sampai aku tak tahu harus berbuat apa. Aku pandangi makanan kesukaanku yang teronggok di tempat sampah. Tebersit rasa di hati untuk mengambilnya kembali.

Aku tak dapat menerima tindakan istriku yang membuang makanan seenaknya.Apalagi itu adalah makanan kesukaanku. Bukankah untuk menghilangkan aromanya cukup dengan membungkusnya rapatrapat? Bukankah ada tindakan yang lebih baik daripada harus membuangnya?

Apa dia tak tahu bahwa di luar sana masih banyak orang yang harus mempertaruhkan nyawa dan kehormatan hanya demi sesuap nasi? Apa dia tak tahu bahwa dengan membuang makanan berarti telah melukai perasaan mereka? Makanan seperti ini tentu sangat berarti bagi mereka!

Kulihat istriku telah menghilang ke dalam rumah. Segera saja aku bersijingkat ke luar pagar mendekati tempat sampah.Sebelum beraksi,aku pastikan dulu bahwa keadaan benarbenar aman.Tak ada satu pun orang yang melihat. Untunglah, kompleks perumahan kami memang sepi saat Lebaran seperti ini.

Sebagian besar warga pulang kampung ke daerah asal masing-masing.Yang lain menghabiskan Lebaran di hari pertama dengan mengunjungi orangtua dan sanak saudara mereka dan biasanya sore hari baru mereka kembali. Aku sendiri tidak betah berlama-lama di rumah orangtua atau pun saudara.

Ternyata,segala sesuatunya tak semudah yang aku bayangkan. Setelah ketupat aku ambil lagi, aku dihadapkan pada satu pertanyaan,di mana aku akan menyimpannya? Di tempatnya semula jelas tidak mungkin, karena istriku pasti akan segera tahu. Kalau harus disembunyikan, di mana?

Dalam kebingunganku,aku mencoba mereka- reka apa penyebab istriku begitu benci pada ketupat ini,padahal biasanya tidak demikian. Apakah benar dia tidak tahan dengan baunya? Atau dia cemburu terhadap orang yang memberi ketupat ini? Cemburu kepada Herningsih,muridku yang baru kelas dua SMP?

Tetapi rasanya tidak.Istriku bukanlah tipe pencemburu. Atau mungkin dia mencurigai ketupat itu adalah bentuk suap, agar aku memberikan nilai yang tinggi? Dan istriku tak ingin aku makan suap? Mengenai dugaanku ini, istriku memang tak mengatakannya secara langsung, dia hanya menyindir saat muridku itu mengantarkan ketupat dengan opor ayamnya.

”Kira-kira kalau kau tidak lagi menjadi gurunya,dia akan tetap mengirim makanan kesukaanmu atau tidak, ya?” begitu pertanyaannya. Aku masih berdiri dekat pintu samping dengan menenteng kantung plastik warna hitam yang berisi ketupat. Belum juga kutemukan jalan pasti hendak dikemanakan ketupat ini.

Secara perlahan, langkah kakiku membawaku ke gudang,ruangan yang jarang sekali disambangi istriku. Pikirku, pasti aman kalau kusimpan di situ. Dia tak akan tahu. Sehingga aku pasti masih bisa menikmatinya nanti. Tetapi, bukankah di gudang banyak tikusnya? Sering aku melihat tikus mondar-mandir keluar masuk gudang, kotoran mereka pun sering aku jumpai menumpuk di sudut.

Tentu ketupat ini akan dijadikan pesta bagi bangsa pengerat itu.Tidak! Aku tak mau ketupat kesukaanku dijadikan sebagai ajang pesta pora para tikus, binatang menjijikkan. Kalau di tempat sampah tadi aku tak rela berbagi dengan anjing kurap atau kucing liar yang sering mengacak-acak tong sampah, maka aku lebih tak suka ketupatku dimakan oleh tikus.

Aku sama sekali tak mau mereka makan makanan yang sama denganku. ”Apa yang kau bawa, Pak?” suara istriku mengejutkanku. Mungkin jika aku bisa melihat wajahku sendiri, pastilah terlihat pucat karena tiba-tiba saja aliran darahku seakan terhenti. Sehingga aku tak bisa cepat menjawab. Sampai istriku bertanya lagi. ”Kau pungut kembali ketupat itu?!” ”E,iya!” aku tak bisa berbohong.

Padahal untuk memuluskan niatku, bisa saja aku berkata yang lain. Bisa saja aku katakana, ”Tidak!” selain jawaban ”Ya!” Sayangnya, itu semua bukanlah kebiasaanku. Selama ini aku usahakan tak berkata bohong, terutama kepada istriku,sebab sekali berbohong, maka akan butuh kebohongan selanjutnya untuk terus menutupi kebohongan yang pertama.

”Lalu akan kau taruh di dapur lagi, agar aku pusing dan mual terus muntah-muntah mencium baunya, apa seperti itu maumu,Pak?” ”Tentu saja tidak! Aku hanya merasa sayang jika makanan yang masih bisa dimakan harus dibuang di tempat sampah menjadi makanan anjing dan kucing liar atau pun tikus! Sementara di luar sana banyak orang yang tak bisa makan!” ”Ah,alasan!”

”Aku memang mau mencicipinya sedikit lagi, selanjutnya ketupat ini akan kuberikan saja kepada orang yang mau! Bagaimana?” ”Cepatlah kau enyahkan ketupat sialan itu!” Mendapat jawaban yang tak kusangka-sangka seperti ini, segera saja bungkusan ketupat itu aku bawa keluar lagi.

Aku sama sekali tak ingin terjadi pertengkaran hanya gara-gara ketupat.Apalagi sekarang adalah hari lebaran.Aku mulai dihadapkan pada situasi sulit kembali, akan kuberikan siapa? Diberikan kepada tetangga, rasanya tak mungkin. Mereka ratarata orang berpunya, mereka sama sekali tak kekurangan makan.

Aku ingin memberikannya kepada yang betul-betul membutuhkan, sesuai tujuan semula. Atau kuberikan saja kepada pengemis yang datang.Tetapi, mana ada pengemis di hari lebaran? Harus menunggu berapa lama? Lama aku biarkan ketupat tetap teronggok begitu saja.Belum kutemukan jalan keluar yang baik.

Bahkan kini muncul pikiran untuk tetap membiarkan ketupat begitu saja, siapa tahu pusing istriku sudah berangsur hilang. Sehingga aku punya harapan untuk menikmati ketupat lebih banyak lagi, paling tidak hingga dua hari,seperti tahun-tahun berselang.

Takut keburu malam,akhirnya aku ambil sepeda motor dan kubawa bungkusan ketupat itu ke jembatan di sebelah barat kompleks perumahan kami. Akan aku berikan kepada tuna wisma yang sering kulihat ada di bawah jembatan itu.Tentu mereka akan senang menerimanya.

Biar mereka merasakan berlebaran dengan makan ketupat. Mudah-mudahan saja mereka masih ada,tidak ikut mudik atau pergi ke mana pun. Kalau tidak, akan aku hanyutkan saja di sungai biar terbawa sampai ke laut. Aku lebih rela ketupat itu dimakan ikan-ikan daripada tikus dan anjing liar.

Sesampai di sana, aku dibuat tercengang! Bagaimana tidak, ternyata dari atas jembatan tempatku berdiri, terlihat mereka sedang menikmati ketupat! Makanan yang sama dengan makanan yang akan aku berikan,bahkan terlihat lebih enak ketupat mereka daripada ketupat yang aku bawa.

Terlihat dari cara mereka melahapnya, terlihat dari keceriaan mereka. Hatiku seperti tertohok menyaksikan hal ini. Walaupun mereka berpakaian kumal, walaupun badan mereka terlihat dekil, tetapi mereka dapat menikmati makanannya dengan sempurna.Seorang ayah,ibu dan dua orang anaknya yang masih kecil.

Sesekali kulihat canda mereka, tawa renyah anak-anak mereka di sela-sela mengunyah makanan.Walaupun alas makanku lebih mahal dan bagus daripada yang mereka gunakan, tetapi jelas kenikmatan yang dihasilkan lebih mereka rasakan. Kini aku merasa aku tak lebih baik dari mereka.Bahkan aku merasa yang perlu dikasihani bukannya mereka melainkan diriku.

Mereka lebih berpunya daripada aku.Mereka punya kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan. Tak ingin berlama-lama menyaksikan kebahagiaan mereka yang hanya menerbitkan cemburu hatiku melihat anak-anak mereka bercanda, aku putuskan untuk membuang ketupatku saja.

Segera aku jatuhkan, dan ”byurr!”Bersamaan dengan itu,mereka serentak menoleh ke arah bungkusan dan ke arahku secara bergantian. Kulihat sorot mata mereka memancarkan harapan,dan wajahnya menyiratkan bahagia.Tetapi,bungkusanku tak terbawa arus! Ada semacam tali yang menahannya terbentang di permukaan air dari tepi ke tepi.

Cepat-cepat aku berlalu. Tak kuhiraukan lagi bungkusan ketupatku. Aku tak mau tahu lagi apa yang terjadi dengannya.Matahari sore mengantarkan aku kembali. Sinarnya yang lembut kemerahan tampak indah menyentuh pucuk-pucuk daun. Setiba di rumah aku disambut ”oekoek” istriku seperti muntah.

Seketika perasaanku tak menentu.Antara kecewa karena tak bisa menikmati ketupat dan kasihan melihat kenyataan bahwa istriku tak main-main dengan pusing dan mual-mualnya.Kulihat istriku sedang membungkuk di kamar mandi berusaha mengeluarkan sesuatu lewat mulutnya.

Tetapi semakin dikeluarkan dengan keras, semakin sulit saja rupanya.Yang tampak keluar hanya air ludah dan suaranya saja yang kian keras. Segera saja timbul harapan di dada. Aku ingat cerita orang-orang tentang bagaimana keadaan perempuan yang tengah hamil muda.

Aku ingat bahwa Ramadhan ini istriku berpuasa sebulan penuh, tak seperti biasanya. Jadi,biarlah ketupatku hilang karena telah tergantikan oleh sesuatu yang aku nantikan selama lima tahun.

Tegal,September 2008

Lumaksono
lahir di Tegal, 22 Maret 1967.
Bekerja sebagai guru.
Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media massa, antar lain Bandung Pos, Mitra Dialog, Radar, dan SINDO.

(DIMUAT DI SEPUTAR INDONESIA, 13 SEPTEMBER 2008)

Sajak-Sajak Wiyono

Jangan gelisah saudara

Walau pengadilan tak mampu berbuat adil
Walau kekayaan bangsa ludes terkuras
Walau harta koruptor telanjur parkir di luar angkasa
Jangan gelisah, Saudara
Kita masih kaya

Memang, Saudara
Ratusan tahun harta musnah dijarah penjajah
Setelah merdeka terkikis habis dipindah ke Swiss
Tetapi takkan Saudara, takkan habis
Tuhan Maha Kaya
Jangan gelisah, saudara
Kita masih Kaya

Lihat Saudara
Laut dan isinya
Gunung dan suburnya
Bumi dan tambangnya
Hutan dan kekayaannya
Anak-anak dan cita-citanya
Adalah milik kita
Tak usah kita gelisah, Saudara
Kita masih kaya

Batu, Januari 2008


Apa milik kita?

Bumi dan tambangnya
Laut dan isinya
Gunung dan suburnya
Hutan dan kekayaannya
Anak-anak dan cita-citanya
Guru dan pengabdiannya
Adalah milik kita

Manusia dan serakahnya
Penduduk dan malasnya
Pejabat dan korupnya
Pemuda dan foya-foyanya
Sungai dan keruhnya
Bencana dan korbannya
Sampah dan pemulungnya
Adalah milik kita

Batu, Januari 2008 - *) Wiyono, Guru SMP Negeri 1 Paranggupito Wonogiri.

(DIMUAT DI SOLO POS, 14 SEPTEMBER 2008)

Beronjong di Langit Jingga

Oleh: Giyanto

Kang Panut tampak kusut dan nelangsa. Ia membuka caping dan duduk leyeh-leyeh di bawah pohon jengkol. Debu kemarau ditiup angin yang panas menerpa wajahnya yang cokelat kehitaman penuh keringat. Ia sedih menatap beronjong yang nangkring di sepeda onthel warisan bapaknya. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana. Sebentar lagi pemerintah melarang menggunakan beronjong. Padahal setiap hari dia berjualan sayur dengan onthel dan beronjongnya.

Matanya terpejam sebentar, lalu tersentak bangun. Terbayang kata-kata isterinya yang minta uang untuk nyumbang. Hajatan bulan ini memang banyak. Pakdhe Marijo dan Mbah Parto mau mantu, Lik Domo mau menyunatkan anaknya, dan Yu Sawi kemarin melahirkan. Ada empat orang punya hajat. Semua harus rewang dan nyumbang karena adat yang berlaku di kampung Kang Panut memang begitu. Aib jika tidak datang ke tempat orang punya hajat. Nyumbang, tidak sekadar membawa uang. Tapi harus membawa gawan. Beras, tempe, jipang, kelapa, bihun, gula, teh bahkan kadang rokok 1 selop. Kang Panut meraba-raba sakunya. Kempes.

Kang Panut bangun dan kembali menjajakan dagangannya. Di terik matahari musim kemarau yang panas itu, tubuh kurusnya terus mengayuh sepeda onthel memasuki gang-gang di Desa Ngunut.

“Sayur...sayur...! Sayur...sayur...! Sayur... sayur...!”

Suaranya melengking-lengking menawarkan dagangannya yang masih banyak. Biasanya menjelang Asar banyak ibu-ibu yang membeli sayur. Tapi kali ini sepi. Kang Panut tak henti-hentinya menawarkan dagangannya. Melengking-lengking dan parau. Lelah, peluh, dan haus memenuhi tubuh kurusnya. Tapi ia tak gentar. Setiap peluh yang menetes ia niatkan sebagai ibadah. Mencari nafkah untuk anak dan isterinya.

“Beli bandeng, Kang...!”

Ada ibu-ibu melambai-lambaikan tangannya. Kang Panut bersyukur. Ia menghentikan onthel-nya dan melayani dengan gembira. Kang Panut tak henti-hentinya bersyukur. Terbayang isteri dan anak-anaknya di rumah yang rajin beribadah dan mendoakannya. Senik, isterinya adalah wanita yang taat beragama. Dengan sukarela ia membantu menjaga dapur agar tetap berasap. Bekerja sebagai pemilah sampah di TPA sebelah barat kampung. Bau busuk menyengat tak dihiraukannya. Berpuluh-puluh tahun hidup sederhana dan serba pas-pasan dilaluinya dengan tabah.

Pagi ini Kang Panut tidak berjualan. Sejak bangun pagi Kang Panut hanya leyeh-leyeh di dipan serambi rumahnya. Dulu Kang Panut tidak mau menjadi buruh pabrik karena rawan terkena PHK, pemecatan. Dia memilih menjadi pedagang dengan alasan jika ditekuni akan sukses dan tak ada yang memerintah apalagi memecat dia. Kenyataannya tidak demikian. Sekarang Kang Panut kehilangan pekerjaan. Pemerintah melarang pedagang menggunakan beronjong. Memang hanya di kota, tapi untuk kulakan Kang Panut juga harus ke kota. Sama saja dipecat.

“Sudahlah Kang, jangan terlalu dirisaukan! Rezeki sudah ada yang mengatur. Tabah dan tawakal saja!” ucap Senik sambil menghidangkan ubi rebus dan teh.

“Iya, tapi kita kan harus tetap berusaha. Aku tak habis pikir, kenapa pemerintah begitu. Ini kan mematikan usaha rakyat kecil. Tidak hanya pedagang yang memakai beronjong. Tapi juga pengrajin beronjong dan penjual bambu.”

“Oalah Kang, kita itu rakyat kecil, wong cilik ongklak-angklik. Untuk apa mikir yang begitu. Lebih baik berpikir cari pekerjaan lain. Apa sampeyan ikut kerja di TPA saja. Daripada menganggur.”

“Aku ingin merantau saja. Kemarin Pakdhe Karso nawari kerja jadi buruh bangunan di Jakarta. Lumayan, sehari Rp 35.000,” ucap Kang Panut sambil menyeruput teh panas buatan isterinya.

“Kang, jangan merantau. Apalagi ke Jakarta. Di sana semua mahal. Uang Rp 35.000 tidak akan cukup. Di sana juga ramai, sumpek. Pokoknya mangan ora mangan kumpul.”

“Kumpul tidak kumpul, yang penting bisa makan.”

“Terserah, tapi aku tidak setuju.”

Kang Panut menarik nafas dalam-dalam, menahannya sebentar, lalu mengembuskannya lewat mulut. Terasa berat beban yang ditanggungnya kali ini. Sebagai lelaki, kepala rumah tangga, dia harus bisa menghidupi keluarganya. Bekerja, bekerja dan bekerja. Itulah yang ada di benak Kang Panut.

Pagi yang cerah. Kang Panut bertekad bulat untuk berangkat ke Jakarta. Isteri dan anaknya meskipun dengan berat hati, akhirnya mengizinkan Kang Panut. Sebelum berangkat, Kang Panut berpesan pada anak isterinya agar senantiasa mendoakannya. Dipeluknya anak isterinya itu dengan erat.

Empat bulan telah berlalu. Kang Panut belum juga memberi kabar. Senik menangis tiap hari. Ia ingin mengabarkan bahwa dirinya hamil. Tapi ke mana ia akan memberi kabar? Alamat suaminya saja tidak tahu. Pakdhe Karso yang dulu menawari kerja juga tidak tahu. Katanya dulu dititipkan temannya di Jakarta.

Tiap sore, ketika senja yang berwarna jingga menggantung di langit barat, Senik berteriak-teriak memanggil-manggil nama suaminya. Sementara itu di Jakarta, empat bulan lalu, ketika senja yang berwarna jingga menggantung di langit barat, seorang lelaki kampung dirampok dan dibunuh. Mayatnya dihanyutkan di sungai.

(DIMUAT DI SOLO POS, 14 SEPTEMBER 2008)

07 Juli 2008

Wasiat

”Po...pop...po....” Bunyi itu seperti menyambut gerimis. Malam Kamis.Di luar angin bertiup ganas, melibas segala pepohonan.Lalu.Ada bau amis.

Semua penduduk di desa itu mendadak ketakutan. Tak ada yang berani keluar rumah. Anak-anak muda yang biasanya ramai bercengkeramadi gardu pos ronda, pun anak-anak belasan tahun yang gemar bermain hingga lari, semuanya tak kelihatan batang hidungnya. Malam mencekam, amat kelam.

Wajah-wajah penduduk digantungi cemas. Sambil berharap tak terjadi apa-apa pada anggota keluarganya ini malam. Dahulu, sebagaimana cerita para orang tua, bila ada kejadian seperti ini,makaakan ada penduduk desa yang berpulang ke rahmatullah esok pagi.

Dan keyakinan seperti itu telah terselip rapi di benak penduduk setempat. Wajar memang. Karena kejadian serupa setahun silam pernah terjadi. Tempo itu, kepala desa meninggal secara mengenaskan,perutnya kosong melompong sehingga ia dikubur dengan perut bolong. Meski sebagian penduduk percaya bahwa kematian tragis dan aneh kepala desa akibat perbuatannya yang selalu menyelewengkan jatah beras raskin untuk rakyat miskin, tetapi tetap saja penduduk dicekam ketakutan.

Peristiwa dua tahun silam pun tak bisa menghilang dari ingatan penduduk ketika seorang pengusaha yang berlagak penguasa yang sering dipanggil Haji Loppo tewas mengenaskan. Konon garagara ia amat terkejut mendengar bunyi ”po...pop...po” sehingga ia tak bisa menguasai kemudi mobilnya lalu terperosok masuk jurang yang dalam.

Anehnya, perutnya luka menganga dengan isi perut menghilang. Penduduk setempat percaya bahwa isi perut Haji Loppo dimakan Poppo. Ada sebagian kecil penduduk yakin kalau Haji Loppo dikutuk oleh Tuhan. Haji Loppo memang orang paling kaya di kampung itu. Ia bahkan beberapa kali ke Tanah Suci, tapi penduduk setempat mengenalnya sebagai tengkulak cengkeh dan kakao yang sangat pelit bin kikir. Masih menurut cerita para tetua.

Konon, yang berbunyi po... pop...po itu adalah seseorang yang memiliki ilmu hitam, bila mewujud jadi poppo, wujudnya kadang tak bisa dilihat, hanya bunyinya yang kedengaran.Sebenarnya dua macam penganut ilmu hitam yang di takuti yaitu poppo dan parakan. Bedanya, poppo bisa terbang, sedangkan parakan cumadi darat. I

lmu parakan tidak mutlak diwariskan, tetapi ilmu poppo diwariskan secara turun-temurun, bahkan harus diturunkan pada anak.Konon, seorang poppo tidak bisa meninggal dunia jika tidak ada anggota keluarganya yang mengambil ilmunya sebagai mana (bahasa Bugis, artinya warisan). Ia akan tersiksa dalam himpitan sakaratul maut dengan lidah menjulur-julur serta mata terbelalak.

Sementara semua penduduk desa dikepung kecemasan dan ketakutan. Seorang penduduk yang bernama Labillang kelihatan tenangtenang saja. Bahkan, ada harapan yang menggelayut di benaknya. Sebagai seseorang yang berprofesi sebagai penggali kubur, ia memang selalu menggantung harapan di atas penderitaan orang lain. Prinsip penggali kubur, ada mayat ada uang, ada uang ada makanan.

Malam itu sepertinya harapan besar buat Labillang. Karena di kampung itu seorang pengusaha kaya raya saudara almarhum Haji Loppo yang bernama Haji Lolo sakit keras. Bahkan penduduk setempat memprediksi umur Haji Lolo tak akan lama lagi.Yang waswas hanyalah keluarga calon almarhum. Mereka cemas kalau kematian Haji Lolo kelak mengikuti jejak Haji Loppo. Di rumah yang lain, Labillang kelihatan tidak begitu bersemangat. Tiba-tiba ia merasa ngeri. Makanannya berbau maut. Ia seperti diintip sakaratul maut. ***

Tujuh bulan yang lalu

Woh...oh...woh!” Perempuan tua itu mengerang kesakitan. Antara hidup dan mati. Lidahnya menjulur-julur. Pun matanya terbelalak. ”Woh...oh! Billang!” Ia terus merintih sambil memanggil cucu tunggalnya. ”Nek! Aku di sini, aku tak pernahmeninggalkan nenek.” ”Woh...oh...woh! Billang! Billang!” Sepertinya perempuan tua itu tidak mendengar suara cucunya.

”Nek!Apa yang terjadi? Billang menggoyang-goyang tubuh neneknya. ”Cucuku, Nenek tak akan lama lagi di sini. Nenek sudah kangen sama kedua orang tuamu, dan kakakmu.” ”Jangan pergi,Nek!” Billang terus memeluk neneknya. ”Nenek harus pergi. Sebelum nenek pergi, akan nenek ceritakan semua rahasia tentang keluargamu.” ”Rahasia?” ”Ya, rahasia cucuku.

Dulu orang tuamulah yang paling kaya di kampung ini. Ayahmu adalah seorang pedagang yang gigih dan ulet. Ibumu adalah anakku satusatunya. Nenek tidak punya saudara. Sebagai anak tunggal, harta nenek adalah harta ibumu juga. Namun semuanya....” Suara perempuan tua itu tercegat.Air mata terus menghiasi wajahnya yang mengeriput. Sementara Labillang hanya terpekur di sudut.

”Lanjutkan ceritanya,Nek!” ”Baiklah cucuku. Karena kesuksesan kedua orang tuamu, banyak orang yang iri dan berusaha menjatuhkannya. Termasuk kepala desa yang telah meninggal setahun silam.” ”Kepala desa?” Labillang kian penasaran. ”Ya, kepala desa itu. Sebenarnya ia adalah pamanmu sendiri.

Saudara sepupu ayahmu. Namun, ia benci pada ayahmu yang tidak mendukungnya sebagai kepala desa. Hanya ayahmulah satusatunya di desa ini yang berani mengkritiknya.” ”Tapi kenapa ia bisa terpilih jadi kepala desa sampai beberapa periode, Nek?” ”Tidak ada yang berani mencalonkan diri jadi kepala desa selamaia juga masih mencalonkan diri kecuali ayahmu. Dan....

” Sekali lagi perempuan tua itu tercegat. Ada duka yang mengiris wajahnya. ”Dan kenapa, Nek” Labillang kian menyelidik. ”Semoga kau bisa menerima kenyataan ini cucuku, kedua orang tuamu serta kakakmu dibunuh secara kejam oleh orang suruhan kepala desa yang bersekutu dengan Haji Loppo danHaji Lolo.” ”Tapi kenapa aku bisa selamat, Nek?” ”Tempo itu, kau masih kecil belum mengerti apa-apa, mungkin mereka tidak sampai hati membunuhmu.”

”Bajingan!”Labillang mengutuk. ”Sabarlah cucuku! Tak ada gunanya mendendam. Nenek telah mendendam kepada mereka yang telah menzalimi orang tuamu tapi apa yang nenek dapatkan? Tidak ada. Hanya menumpuk dosa. Ingat cucuku! Hanya menumpuk dosa dan penyesalan.” ”Maksud nenek?” ”Dengarkanlah cucuku. Masih banyak yang perlu nenek ceritakan sebelum nenek menghadap keharibaan-Nya.

” ”Lanjutkan,Nek” ”Karena kekejaman kepala desa dan orang-orang suruhannya, nenek sangat mendendam. Tapi takmungkin nenek bisa membalas dendam secara langsung, nenek tak punya kekuatan. Akhirnya nenek pergi berguru dan mewarisi ilmu poppo dari seorang tetua di kampung sebelah. Dan begitulah, kepala desa dan Haji Loppo telah jadi korban ilmu itu.” Perempuan tua itu berhenti sejenak.


”Jadi...jadi.”Labillang tergeragap. ”Maaf cucuku, nenek mengerti maksudmu. Kau tak sudi mewarisi ilmu hitam nenek. Tapi nenek terpaksa mewariskan kepadamu, karena ilmu ini tak bisa hilang dan tidak mungkin diwariskan pada orang lain sebelum diwariskan pada turunan sendiri. Dan ketika kau sudah mewarisi ilmu ini, jangan lagi diwariskan pada keturunanmu kelak, pun orang lain.

Nenek yakin kau bisa melepaskan diri dari ilmu sesat ini suatu saat dengan memperdalam ilmu agama, pergilah belajar pada kiai dan ustad.” ”Woh...oh...woh!” Tiba-tiba perempuan tua itu merintih kesakitan. Lidahnya menjulur-julur.Mata terbelalak galak. Khkhkh! Perempuan tua itu telah menutup mata untuk selamalamanya. Tapi mendadak keanehan menjelma pada Labillang. Lidah Labillang menjulur-julur, matanya memerah galak terbelalak. Lalu. Pop...po...poppo.


*** Malam Kamis itu masih terus mencekam. Penduduk desa masih ketakutan. Di sebuah rumah mewah, menghadap ke utara di sebelah timur rumah Labillang, ramai orang berkumpul. Mereka adalah sanak keluarga yang menunggui Haji Lolo. Haji Lolo memang lagi sakit keras. Sementara itu,di rumahnya, Labillang terus komat-kamit. Ia meracau. Matanya terbelalak, pun lidah menjulur-julur. Seperti ia menahan geram yang maha dahsyat.

”Bangsat kau Haji Lolo, terimalah pembalasanku.” Hening sejenak. Lalu, Ia kembali komat-kamit.Bukan meracau. Karena lafaz yang ia ucapkan adalah ayat-ayat suci Alquran. Lalu, seperti ada dua makhluk asing yang berperang kejam dalam tubuhnya. ”Tidak! Tidak! Aku tak boleh mendendam.” ”Aku harus membunuhnya.” ”Tidaaak! Aku harus ingat pesan nenek.”

”Nyawa harus dibalas dengan nyawa.” ”Tidaaaak.” Kh...kh...khkh.Tubuh Labillang terhempas melawan kekuatan dahsyat dalam tubuhnya. Sesosok bayangan hitam keluar dari mulutnya disertai bunyi po...pop...po. Lalu menghilang bersama malam. Labillang terus melantunkan ayat-ayat suci. Keesokan harinya. Labillang terlihat asyik menggali kuburan bersama rekan-rekannya.

Haji Lolo memang telah meninggal dunia. Keluarganya sangat bersyukur karena mayat Haji Lolo tidak mengalami keanehan seperti yang mereka prediksi sebelumnya. Sambil menggali kuburan, mata Labillang berkaca-kaca. Ia teringat akan pesan neneknya. Ia bertekad menjaga pesan neneknya itu sebagai wasiat. Tak boleh ada dendam. Labillang berharap wasiat neneknya menjadi lampu penerang baginya menjalani harihari mendatang. Langit kian cerah. Secerah hati Labillang. Sinjai-Makassar, 2008

DUL ABDUL RAHMAN.
Lahir Bulukumba, Sulawesi Selatan. Alumni S2 Kesusastraan Unhas. Pekerja sastra dan budaya. Ratusan tulisannya berupa puisi, cerpen, esai, artikel budaya, dan kritik sastra tersebar di berbagai media cetak dan online di Indonesia dan Malaysia. Sekarang bekerja sebagai ”PNS” (PeNuliS, danPegawai Negeri Sipil). Buku kumpulan cerpennya yang sudah terbit ”Lebaran Kali Ini Hujan Turun”.


(TERBIT DI SEPUTAR INDONESIA, 5 JULI 2008)

Tragedi dan Puisi

Aristoteles dalam Poetics melakukan ikhtiar pembacaan dan eksplanasi mengenai tragedi dengan acuan kebudayaanYunani. Dalam pengungkapannya, tragedi memakai bahasa yang atraktif sensual.

Pemakaian bahasa itu menimbulkan adanya rasa kasihan dan ketakutan yang digambarkan dalam tindakan-tindakan tragis dan karakteristik-karakteristik emosional. Substansi tragedi adalah imitasi dari tindakan dalam kehidupan yang didasarkan pada kualitas moral sesuai karakter bahagia atau derita.

Pemahaman Aristoteles mengenai tragedi dalam konteks puisi merepresentasikan kekuatan tragedi yang mengungkapkan persoalan hakikat manusia dan kehidupan. Istilah tragedi berasal dari bahasa Yunani ”tragidio” yang berarti ’nyanyian sendu’.Tragedi pada awalnya dikenal dalam seni drama Yunani yang menceritakan peristiwa kemanusiaan yang berkaitan dengan masalah moral, arti eksistensi manusia, hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan dewadewanya.

Tragedi dalam manifestasi seni menghadirkan keindahan dan kesenangan yang mengandung potensi sebagai sakit dan trauma. Deleuze menjelaskan bahwa Nietzsche memahami tragedi sebagai dialektika yang menghubungkan sesuatu yang negatif,penentangan,dan kontradiksi tentang penderitaan dan kehidupan manusia.

Konsep tragedi dalam pemikiran Nietzsche didasarkan pada dua kekuatan besar dalam mitologi Yunani yang disebut sebagai ”dionysian” (kegairahan) dan ”apollonian” (kelemahan). Pemahaman Nietzsche itu menunjukkan bahwa ada orientasi yang mengantarkan manusia pada kondisi kuat (positif) atau lemah (negatif) dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalanpersoalan hidup.

Tragedi adalah suatu pengalaman interaktif, mistis, dan menyatukan yang memberikan jalan keluar terapatis bagi orang yang peka terhadap penderitaan dan ketidakpastian hidup sehari-hari. Nietzsche menyebutkan bahwa tragedi Yunani dalam bentuknya yang paling tua dominan mengungkapkan penderitaanpenderitaan.

Wacana tragedi itu patut menjadi acuan dalam pembacaan dan penilaian puisi-puisi Joko Pinurbo yang merepresentasikan tragedi dalam kisah-kisah hidup manusia. Puisi Doa Sebelum Mandi adalah puisi getir. Puisi ini dibuka dengan doa yang memelas bahwa tokoh ”saya”takut mandi. Mandi sebagai peristiwa membersihkan tubuh (diri) dipahami sebagai peristiwa yang mengandung ketakutan untuk dilucuti.

Ketakutan itu hendak menolak fakta tubuh menjadi telanjang tanpa apa-apa.Tubuh menjadi representasi diri manusia yang merasa malu atau takut pada dirinya sendiri ketika telanjang.Ketakutan yang berasal dari tubuh lantas tumbuh sebagai ketakutan pikiran dan perasaan.Ketakutan terhadap tubuh sendiri mengartikan ada persoalan yang terkandung dalam pemaknaan diri melalui tubuh.

Ketakutan itu ternyatakan dalam kalimat, ”Saya takut dilucuti.Saya takut pada tubuh saya sendiri.” Tubuh itu mengandung aib yang bakal terbuka ketika mandi.Aib adalah suatu keburukan yang susah atau tidak pantas untuk dikabarkan pada orang lain. Aib mesti terkubur dan sembunyi dalam tubuh untuk pengertian diri sendiri.Hal itu disadari tokoh ”saya” yang merasa aib itu mungkin menjadi tragedi dalam prosesi mandi.

Aib akan terbuka dan bicara segala sesuatu yang mengandung kekuatan menghajar dan membunuh diri.Tokoh ”saya”menjadi takut untuk mandi karena dalam mandi akan hadir ”mayat”.Mayat itu adalah kematian orang-orang karena pembunuhan yang dilakukan tokoh ”saya” untuk melunaskan diri sebagai ”orang miskin celaka”.Pembunuhan itu terjadi untuk hidup dalam pengertian ekonomis.

Pembunuhan menjadi pekerjaan yang paling mungkin karena ”kerja saya adalah mencari pekerjaan”. Hidup sebagai orang miskin adalah tragedi.Pembunuhan untuk mempertahankan hidup adalah tragedi. Tubuh dengan memori kematian adalah tragedi. Aib diri adalah tragedi. Mandi mungkin menjadi laku pembersihan diri yang mengingatkan dan menyadarkan diri untuk berani mengafirmasi dan menegasi tragedi. Puisi Kepada Uang adalah puisi yang mengisahkan pergulatan manusia dengan uang untuk bisa hidup.

Puisi ini memosisikan manusia di hadapan uang dengan pelbagai permintaan dan keinginan.Manusia dipandang sebagai subjek yang memiliki ketergantungan pada uang. Uang menempati posisi yang penting dan menentukan hidup seseorang. Uang menjadi persoalan yang sudah dihadapi manusia sejak sekian abad yang lalu sampai saat sekarang. Uang pada akhirnya dipahami sebagai persoalan ekonomi, politik, sosial, agama, filsafat, hukum, dan kebudayaan.

Puisi ini diawali dengan suatu permintaan, ”Uang, berilah aku rumah yang murah saja.” Permintaan ini mengisyaratkan bahwa uang dianggap penting untuk merealisasikan keinginan-keinginan manusia.Uang,yang semula dipahami sebagai alat tukar, berubah sebagai penentu hidup dan mati manusia. Permintaan pada uang menjelaskan posisi manusia yang lemah di hadapan uang.

Uang memiliki kekuatan untuk memengaruhi dan menentukan nasib manusia. Uang adalah kuasa. Keinginan memiliki rumah mesti tertangguhkan karena kemiskinan. Keinginan dan kemiskinan adalah pertentangan yang susah didamaikan. Keinginan itu ide dan kemiskinan itu realita. Kemiskinan menjadi tragedi ketika keinginan tak mungkin direalisasikan.

Orang miskin merasa mimpi bisa menjadi ekspresi yang masih mungkin diciptakan meski berlawanan dengan realitasnya. Keinginan memiliki rumah ditangguhkan, ”Sabar ya, aku harus menabung dulu.” Penangguhan itu merepresentasikan kondisi hidup yang tragis.Menabung tidak berarti menyimpan uang sebagai dana cadangan atau kelebihan dari pengeluaran. Menabung memiliki arti yang memprihatinkan.Menabung adalah menyimpan atau menahan rasa lapar.

Menabung adalah menyimpan mimpi-mimpi yang diciptakan. Orang miskin membutuhkan mimpi sebagai ikhtiar menyelamatkan diri atau menghibur diri dari penderitaan.Mimpi itu terpusat pada uang. Puisi-puisi Joko Pinurbo adalah kisah-kisah tragedi yang terkadang melahirkan senyum kecil (humor), tapi pahit. Tokoh-tokoh manusia dalam puisi-puisi Joko Pinurbo menjadi representasi kegagalan manusia untuk menghadapi dan menyelesaikan soal-soal hidup. Tragedi-tragedi itu pertanyaan atau jawaban?

Bandung Mawardi
Kritikus sastra dan peneliti pada Kabut Institut, Solo

29 Juni 2008

Randu

Oleh: Kusprihyanto Namma

Mula-mula aku tidak mengerti,kenapa orangorang kampung mulai gemar lagi duduk bergerombol.Di prapatan,pos ronda, lincak,buk,dan warungwarung wedang.

Sejak kedatangan Kiai Jafar, kebiasaan bergerombol seperti itu lambat laun menghilang. Mereka mulai mau mengisi langgar,tempat Kiai Jafar memberi pengajian.Mereka jadi enggan duduk bergerombol yang ujung-ujungnya membicarakan dapur orang lain. ”Itu ghibah!” terang Kiai. ”Bicara tentang yang baik-baik saja tak baik, apalagi tentang hal-hal jelek. Bisabisa jadi fitnah.

Kalau tak sanggup bicara yang bermanfaat,lebih baik diam. Itu perilaku orang-orang zuhud!” Kalau yang menyampaikan katakata itu orang pemerintahan (kepala desa, pak camat, atau bupati) tak seorang pun dari kami yang percaya.Sebab, seperti kita ketahui sendiri, para pejabat itu lain di mulut lain di hati. Bicaranya baik-baik, penuh suasana agamais.

Namun harta negara yang mestinya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat diembat sendiri. Lain dengan Kiai Jafar, benarbenar pribadi unggul. Ia hanya bicara dalam pengajian dan saat menjawab orang-orang yang bertanya soal fikih. Selebihnya, diam. Beliau berilmu padi. Semakin berisi makin menunduk ke bumi.Tingkah lakunya pun sopan. Bisa menghargai kalangan muda dan kaum tua. Hukum-hukum lama tak begitu saja dilabrak dan dihabisinya.

Namun, dengan pelan-pelan ia masuki.Ia luruskan hakikatnya. Tapi kenapa kini orang-orang kampung sepertinya mau kembali pada kebiasaan lama: duduk bergerombol. Lalu, ada orang yang mbandari ndemndeman. Sepakat bukak kertu. Nonton ndangdut di desa sebelah.Untuk mencari jawaban, akhirnya aku juga ikut duduk bergerombol bersama mereka. Tentu saja, kadang nyuit-nyuiti gadis yang lewat.Peduli amat pada lakinya yang melotot. Kita toh di kampung sendiri.

”Randu itu jadi ditebang?” selidik Mitro. ”Aku sudah mengingatkan Mbok Jiyem,tapi ia tetap saja nekat!”jawab Kiyun. ”Waah,bilahi!”sungut si Mitro. ”Gak usah khawatir. Gak-gak kalau jadi!”Min mencoba menenangkan keadaan. ”Sudah lima kali ini randu itu katanya mau ditebang.Tapi begitu melihat betapa wingitnyarandu itu,orang yang mau menebang mundur sendiri!” ”Ya,aku juga cocok denganmu.

Tak usah terlalu cemas. Tidak akan ada orang yang berani nebang randu itu!” sela Jeprik. ”Apa kalian ndak ingat, randu Lik Karto yang ditebang lima tahun lalu? Lik Karto selaku penjual, mati mendadak. Matanya mendelik. Mukanya hitam. Lalu yang menebang juga mati kecelakaan!” Orang-orang yang hadir kembali mengingat-ingat kejadian yang telah silam. Memang apa yang dikatakan Jeprik pernah terjadi di kampungku.

Sejak itu tak seorang pun berani menebang pohon randunya. Konon setiap pohon randu dihuni gondoruwo. Bangsa jin yang miripmirip Gorilla.Tinggi besar. Rambutnya panjang, acak-acakan.Baunya seperti ketela bakar. Suka menggoda. Terlebih pada wanita-wanita yang sering ditinggal sendirian oleh suaminya. Biasanya si gondoruwo menjelma suami si wanita.

Lalu minta jatah biologis. Setelah si suami asli datang, barulah si wanita menyadari bahwa dirinya ditiduri gondoruwo. Untung kalau hubungan itu tidak berbuah.Kalau sampai berbuah, akan lahirlah anak yang setengah manusia setengah jin. Pernah aku mencari tahu, siapa si wanita itu.Tapi jawaban yang keluar, itu cerita turun-temurun yang mesti dipercaya.

Kejadiannya sudah sangat lama. Bahkan kakek-buyut saja tidak bisa menyebut secara pasti.Yang jelas kejadian itu pernah terjadi. Itulah budaya orang kampung,memercayai hal-hal yang tak pasti, terutama yang berhubungan dengan klenik. ”Berapa sih Mbok Jiyem minta bayar? Biar aku belinya sendiri. Tapi randu itu enggak usah ditebang!”kata Mukiran.

”Aku juga punya pikiran seperti itu.Tapi Mbok Jiyem tetap memaksa randu itu ditebang,walau tidak dibayar sama sekali.” ”Seharusnya ia jangan memikirkan dirinya sendiri.MbokJiyem harus memikirkan keselamatan kampung!” ”Masa cuma takut gentingnya kejatuhan buah randu,lalu pohon randunya yang ditebang.Itu kanketerlaluan!” ”Bagaimana kalau kita demo saja ke rumah MbokJiyem?”celetuk Bagong.

Kami yang sedang bergerombol terdiam seketika.Apa yang disampaikan Bagong bisa jadi merupakan jalan keluar terbaik.Ya,demo.Mbok Jiyem mesti tahu bahwa orang kampung tidak menghendaki penebangan pohon randunya.Apalagi diyakini di pohon randu Mbok Jiyem bersemayam raja gendoruwo. Penguasa para gondoruwo di pohon-pohon randu kampung kami.

Ketika orang-orang kampung masih tarik-ulur menetapkan hari pelaksanaan demo, mendadak sebuah truk besar membelah jalanan kampung kami. Debunya yang beterbangan ke angkasa menampar muka kami. Delapan orang yang kekar-kekar tubuhnya segera mempersiapkan semua peralatan untuk penebangan. Orang kampung seperti tersedot daya magnet.

Segera terkumpul di sekitar rumah Mbok Jiyem, tapi tak hendak melakukan demo.Begitu truk datang,pikiran demo lenyap begitu saja. ”Ruuuummmmm…..” gergaji mesin memekakkan telinga. Seseorang memanjat pohon membawa tali. Setelah mengikat erat-erat pohon randu, ia turun lagi. Cuma seorang saja yang bertugas memotong pangkal pohon randu, yang lain menarik tali agar pohon jatuh ke tempat yang aman.

Tak sampai 20 menit, pohon randu terbesar di kampung kami tumbang. Antara percaya dan tidak, kami mlongo.Ndomblong.Betapa mudahnya pohon wingit itu tumbang.Lalu di mana kesaktian sang gondoruwo. Begitu mudahnya ia menyerah tanpa memberikan perlawanan sama sekali. Sebenarnya kami berharap, begitu gergaji berhasil menebang pohon, si pohon randu itu kembali utuh seperti sedia kala.Digergaji lagi.

Utuh lagi.Atau kalaupun tumbang,itu hanya semenit saja. Lalu dengan penuh keajaiban,bangkit lagi dan berdiri seperti sedia kala. Tapi pohon randu itu benar-benar tumbang.Menampar muka kami.Memukul keyakinan kami.Mbok Jiyem sumringah wajahnya.Tukang-tukang gergaji itu seperti semut menemukan roti. Segera memotong-motong kayu randu sesuai permintaan pasar.

Mereka tampak bersemangat. Mungkin membayangkan uang yang bakal mereka kedukdari pohon yang cuma diberi harga Rp300.000 itu. Tepat menjelang magrib truk gergaji dan penumpangnya selesai mengerjakan tugas. Pohon randu yang telah berubah papan-papan tipis beralih ke truk lain yang akan mengantarnya ke para pemesan. Pohon randu yang perkasa itu telah lenyap dari mata kami. Diam-diam kami merasa kehilangan sesuatu.

Kehilangan sebuah keluarga yang telah bertahuntahun hidup bersama. ”Nisa step.Nisa step!”demikian berita yang dibawa orang kampung. Kami segera melesat menuju rumah Pak Amir, ayah Nisa. Benar Nisa step.Matanya mlilik-mlilik.Tangannya kejang.Mulutnya berbusa.Segera kami usung ke rumah sakit.

Belum selesai geger si Nisa, kampung kami digegerkan lagi dengan step-nya Ririn, anak Pak Subur.Anak Pak Wiwid yang baru berusia tiga tahun juga step. Kampung kami benar-benar gempar. Semua kerisauan dialamatkan ke Mbok Jiyem.Dialah biang keladi dari musibah kampung ini. Seandainya pohon randu itu tak ditebang,tak akan ada anak yang step beruntun.Padahal anak-anak itu tidak sakit.

Mereka sehat sehat saja.Tapi begitu pohon randu ditebang mereka keganggugondoruwo. Itulah kejadian malam hari ketika siang harinya pohon randu itu ditebang. Malam berikutnya,tak ada anak step lagi.Tapi si Parmin tiba-tiba saja jatuh terjerembab karena merasa dijegal oleh sosok tinggi besar. Slamet mesti lari tunggang langgang karena merasa dikejar makhluk tak dikenal dengan bendo di tangan. Priyadi bahkan secara meyakinkan melihat bayangan yang berdiri dengan mata merah dan rambut merah di tonggak pohon randu.

Orang-orang segera kasak-kusuk. Menggelar aneka cerita dan berita dari hasil rekaannya sendiri.Ada yang mengatakan umur MbokJiyem tinggal menunggu hari. Bahkan ada yang menyatakan tinggal beberapa jam. Begitu juga bagi tukang-tukang senso yang telah lancang menebang randu. Karena kekeramatan si pohon randu mereka pasti akan kenabilahi.Paling sial, mereka akan terserang penyakit aneh, atau bahkan mati dicekik.

Kami diam-diam tengah menanam harapan buruk,yakni menunggu musibah datang. Kami tak peduli, anakanak yang step sudah bisa bermainmain seperti biasanya. Kami juga tak peduli lagi cerita tonggak pohon randu yang semakin nganeh-nganehi. Kami benar-benar menunggu apa yang akan terjadi dengan Mbok Jiyem. Sepekan berlalu. Sebulan. Dua bulan. Tapi Mbok Jiyem tak juga kena bendu.Malah makin aktif mendatangi pengajian Kiai Jafar.

Ia juga berhasil mengajak ibu-ibu yang lain. Dengan tumbangnya pohon randu, langgar, makin hari makin ramai jamaahnya. Para bapak pun kembali mengisi saf salat jamaah. Mereka kembali mendengarkan pengajian Kiai Jafar. ”Apakah Kiai percaya adanya bangsa jin?” tanya Slamet yang tak bisa lagi menahan kepenasarannya. ”Tentu saja percaya. Bukankah jin itu termasuk makhluk ciptaan Allah?”

”Kiai percaya pohon randu Mbok Jiyem yang ditebang beberapa waktu yang lalu dihuni gondoruwo?” ”Tidak!”jawab Kiai Jafar tegas. ”Dan untuk membuktikan bahwa pohon randu itu tidak ada gondoruwonya, saya meminta Ibu Jiyem untuk menebang pohon randunya!” Mendengar pengakuan Kiai Jafar kami benar-benar kaget. Sama sekali tak menduga bahwa kengototan Mbok Jiyem ternyata atas kehendak Kiai.

”Saya menilai pohon randu itu mengganggu keimanan Bapak-Ibu sekalian. Dengan penebangan itu, saya berharap keimanan Bapak-Ibu tak lagi bercabang!” ”Nah, karena sudah terbukti tak ada peristiwa apa-apa setelah penebangan pohon randu, saya akan memberikan satu lagi tambahan pelajaran tentang iman!”lanjut Kiai Jafar. ”Besok,Ahad, kita bersihkan sendang.

Berhala-berhala yang ada di sana kita singkirkan. Dahan-dahan beringin yang sudah lapuk kita potong sekalian agar tidak membahayakan …… !” Kelanjutan ajakan Kiai Jafar tak bisa kami dengar lagi. Suaranya mendengking di telinga kanan.Adapun di telinga kiri, suara kaki dhanyang nini dhanyang melengking-lengking. Membuat kami pening. Membuat kami pening.(*)

KUSPRIHYANTO NAMMA,
Kelahiran Ngawi, 30 Oktober 1965, Alumni FKIPUniv. Sebelas Maret Surakarta, Guru Bahasa Indonesia MAN Ngawi, Pendiri Kelompok Peron FKIP-UNS Surakarta, Kini menetap di komunitas Teater Magnit Ngawi

(DIMUAT DI SEPUTAR INDONESIA, 28 JUNI 2008)

Sutardji Memberikan Contoh

Oleh: Rikobidik

Menempatkan puisi sebagai status ontologis bahasa nampaknya sebuah eksplorasi mengenai hakikat bahasa yang cukup menjanjikan. Meski ciri-ciri puisi di sini janganlah seperti yang kita kenal yang konon melekat di semua tata permainan bahasa membuat bahasa gaul otomatis termasuk di dalamnya.

Kenapa tidak dikatakan saja bahwa bahasa gaul sebagai status ontologis bahasa? Memberikan nama memang terkadang merepotkan. Berbekal sisa ingatan materi kuliah filsafat bahasa (khususnya filsafat analitis—R), tulisan ini akan mencoba menganalisis konsep status ontologis bahasa sebagai puisi yang sepertinya sangat diperjuangkan A Boy-Mahromi.

Ketidakteraturan, permainan, dan bahasa sebagai mantra

Kata ”ketidakteraturan” yang menjadi salah satu ciri dari puisi barangkali digunakan A Boy-Mahromi dalam konteks arti kata sebagai ”kegunaan”. Kalau memang demikian, saya akan memahami kata ”ketidakteraturan” sebagai ketidaksamaan keadaan, kegiatan, atau proses yang terjadi beberapa kali.

Barangkali benar apa yang dikatakan A Boy-Mahromi bahwa bahasa dalam kehidupan berlaku sebagai ”ketidakteraturan”.Sebab, kehidupan yang menyangkut pemahaman terhadap manusia sulit sekali dimengerti dengan pola verifikasi positivistik. Kata ”permainan” yang menjadi salah satu ciri dari puisi sebagai ontologis bahasa barangkali digunakan A Boy-Mahromi dalam konteks arti kata sebagai ”kegunaan”.

Jika memang demikian, saya akan memahami kata ”permainan” sebagaimana pemahaman penafsiran saya menurut Wittgenstein II. Permainan bahasa yang dimaksudkan Wittgenstein II (1983) adalah setiap penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia memiliki aturannya masing-masing. Meskipun aturan itu sulit ditentukan secara normatif dan sulit ditentukan batasbatasnya secara tepat, manusia memahami bagaimana menggunakan bahasa di setiap aspek kehidupan yang sangat beraneka ragam.

Mayoritas ahli bahasa di Pusat Bahasa kerap kali mengabaikan aspek ini,terutama dengan menerapkan istilah baku dan tidak baku yang menurut saya bertendensi melecehkan. Namun, penafsiran Yunit dan A Boy-Marhomi terhadap kata ”permainan” ternyata berbeda dengan tafsiran saya di atas.Dengan penafsiran yang saling berbeda seperti inilah barangkali Yunit menyandingkan kata ”hanyalah”pada ungkapan ”hanyalah permainan” pada artikelnya yang terbit di harian SINDO (11/ 05/08).

Dilekatkannya kata ”hanyalah” itu menyebabkan saya menafsirkan ”permainan”-nya Yunit kepada pengertian perbuatan yang dilakukan dengan tidak sungguhsungguh.

Status ontologis bahasa adalah penggunaannya

Dengan meniru sifat curiga Wittgenstein seraya mengambil keuntungan dari pernyataan Derrida,saya mengajak para pembaca untuk curiga, jangan-jangan pemahaman Yunit dan A Boy-Mahromi atas Heidegger mengenai kebenaran hakikat bahasa sesungguhnya terdapat dalam puisi pun bisa jadi mengalami ”perbedaan” dan ”penundaan”.

Mengingat pemahaman A Boy-Mahromi mengenai Wittgenstein, Heidegger, dan Sutardji pun tersampaikan melalui bahasa yang hanya bisa ditafsir tanpa harus terbirit-birit untuk memutlakkan diri paling tahu bukan? Saya mengajak para pembaca untuk kembali kepada yang diungkapkan Sutardji, yaitu ”kata-kata harus dibebaskan dari kungkungan pengertian, kembalikan kepada fungsi kata seperti dalam mantra”.

Dalam ungkapan Sutardji tersebut, saya akan mendekatinya sebagai berikut.Misalnya, kata-kata harus dibebaskan dari kungkungan pengertian. Sutardji tentu tidak bermaksud seadanya dengan ungkapan tersebut. Ungkapan tersebut sebaiknya ditafsirkan secara memadai, yaitu bahwa kata-kata yang beredar dalam kehidupan kita yang berwujud maksud (pengertian) harus ditafsirkan kegunaannya (dibebaskan dari kungkungan) terlebih dahulu.

Secara sederhana, dapat saya simpulkan bahwa Sutardji bermaksud supaya kita mampu menyibak maksud atau menafsirkan (dibebaskan dari kungkungan pengertian) suatu ungkapan bahasa. Tafsiran ini ditopang dari pengertian arti kata sebagai ”maksud” seperti yang diungkapkan Wittgenstein II (1983) bahwa ”maksud” adalah sesuatu yang seluruhnya tetap ada dalam bahasa dan bukan sesuatu yang dianggap terpisah dari bahasa.

Saya tambahkan lagi, jika arti yang dikandungnya sebagai maksud, penggunaannya tidak menggambarkan katakata dan arti itu sendiri. Sementara untuk memahami arti kata sebagai kegunaan, dilakukan dengan cara menerangkannya. Mudahnya, jika seseorang ingin memahami penggunaan kata ”mantra”, 0harus dicari penjelasan dari arti kata tersebut.

Sebab,arti sesuatu dari satu kasus menunjukkan pada pengertian arti kata dalam penggunaannya. Kata ”mantra”yang digunakan Sutardji dapat diurai menjadi perkataan yang memiliki kekuatan gaib. Kata ”gaib” berarti tidak kelihatan, tersembunyi, tidak nyata.Berhubung Sutardji berbicara dalam konteks kata (bahasa) dalam puisi seperti yang dinyatakan Yunit, dirinya bermaksud supaya kita jangan terlalu sibuk mengurusi bahasa dari sistem tanda dan struktur fisis seperti yang dilakukan kaum linguistik struktural.

Dengan memberikan contoh fungsi kata seperti dalam mantra, saya menafsirkan, dia berkehendak untuk menunjukkan bahwa walaupun dalam mantra tidak ditemui penggunaan aturan gramatikal yang ketat seperti yang diyakini kaum linguistik struktural, kata-kata itu tetap berfungsi, yaitu memiliki kekuatan yang tersembunyi dalam kata.

Yaitu,makna! Jika ditambah dengan tafsiran pada tidak ditemuinya aturan gramatikal yang ketat pada ”mantra”, dapatlah saya tafsirkan aturan gramatikal bahasa sebaiknya disesuaikan dengan penggunaannya. Artinya, ungkapan Sutardji ”kembalikan kepada fungsi kata seperti dalam mantra” adalah ikhtiarnya dalam memberikan contoh, meski secara tidak langsung,mengenai aspek ontologis bahasa yang berujung kepada penggunaannya.

Sebab, seperti kita ketahui, pada masa itu sulit sekali berbicara terangterangan menolak dominasi kaum linguistik struktural yang mayoritas berbasis di Pusat Bahasa. Status ontologis bahasa,menurut Wittgenstein II—yang kemudian secara tidak langsung dicontohkan Sutardji, adalah penggunaannya.Aspek ontologis bahasa ini secara tidak langsung berkorelasi dengan semangat nilai-nilai pluralitas yang mendobrak tatanan universalitas.(*)

Rikobidik,
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Nasional, Jakarta.

(DIMUAT DI SEPUTAR INDONESIA, 28 JUNI 2008)

22 Juni 2008

Marapulai

Oleh: Delvi Yandra

Malam ini adalah malam terberat sepanjang hidupku.Pikiranku terus melambung.Aku hanya terus duduk merenung di sudut kamar. Di atas lapik kubentangkan kitab suci tanpa membaca suratsurat di dalamnya.

Sesungguhnya,besok aku akan menjadi marapulai. Bukan pekerjaan yang kupersoalkan atau masalah setoran yang cukup membuat repot tapi ini adalah persoalan anjuran agama. Besok aku akan melaksanakan akad nikah. Gadis pinangan yang dipilih abakbukanlah perempuan yang kucintai. Sebenarnya aku belum berniat mencari pendamping hidup dengan alasan bahwa aku masih ingin menikmati kesendirian dengan pekerjaanku. Jadi, tak perlu kiranya kusebutkan bagaimana sebenarnya perempuan itu.

Yang jelas, ia bukan perempuan yang dapatmembuatakujatuhhatipadanya. Tidak ada pesona yang menarik. Sebenarnya, apa yang kulakukan adalah atas permintaan abak. Ia bersikeras menentukan pilihan untukku dengan pertimbangan bahwa sebelum meninggal ia ingin mengalami bagaimana rasanya menimang seorang cucu. Aku tidak habis pikir dengan permintaan abak tersebut.

Sementara emak, hanya mengamini kata-kata abak.Ia tak dapat menentang apa yang digariskan kepada perempuan-perempuan Minang sejak dahulu. Di dalam rumah maupun di dalam keseharian emak hanya dianggap abak sebagai istri yang kerjanya mengurusi dapur, sumur dan kasur. Tapi, inilah yang menjadi persoalan berat bagiku sebab pernikahan bukanlah suatu taruhan tetapi perbuatan adat yang sakral.Apa yang kupikirkan akan selalu bertentangan dengan keinginan abak.

Memang,apapun yang orang-orang lakukan mengenai pernikahan yang sakral dikarenakan atas dasar harga diri dan diawali dengan niat yang baik. Ah, setidak-tidaknya masih ada orang yang berani melakukannya demi suatu prestise.Seperti halnya paniboyang diberikan pihak keluargaku kepada perempuan itu tiga minggu yang lalu. Seperangkat selimut tebal dan pakaian.

Sebaliknya,tidak ada uang jemputan. Kemudian, beberapa hari setelah itu, ia menerimanya.Percobaan abak berhasil dengan sangat sukses. ”Oi marapulai, tidak lama lagi kau akan basandiang. Sudah lurus ucapan kau?”seloroh abakdi ruang makan. Lalu kujawab pertanyaan abak itu dengan seulas senyum dan anggukan kecil. Entah bagaimana caranya aku menjelaskan kepada abak kalau aku tidak ingin menikahi perempuan itu.

Aku hanya khawatir penyakit jantung abak akan kambuh lagi jika kukatakan yang sebenarnya. Hal itulah yang sangat tidak kuinginkan. Sebentar kemudian, kubaca satu ayat saja. Mudah-mudahan nantinya akan terang jalan pikiranku. Napas panjang kuhirup lalu mulailah kubaca lafaz-lafaz yang cukup populer.Betapa kurasakan hati yang begitu tenang dan dada yang tiba-tiba menjadi lapang.

Aku menghargai niat baik abak. Tapi, tidak ada salahnya apabila aku menentukan pilihanku sendiri. Sekarang kan bukan zaman Siti Nurbaya lagi.Lagi pula,aku ini seorang laki-laki sejati dan laki-laki berdarah Minang seperti aku selayaknya sudah merantau ke negeri orang mencari kerja yang lebih mapan dan perempuan pilihan untuk dinikahi. Jadi, aku berhak menentukan perempuan yang akan kujadikan teman bersanding sampai mati. Aku tidak ingin perempuan yang dipilih abaknantinya akan celaka.

*** Orang-orang berbondong menuju masjid.Menuju tempat dilaksanakannya akad nikah.Anak-anak di kampung pun ikut meramaikan. Mereka bersorak- sorai sambil mengikuti arakan dari belakang.Beberapa bungkus penganan dan beras dihantarkan dalam perhelatan tersebut. Wah, suasana yang gegap gempita pun memenuhi ruang masjid.

Bisik-bisik keras terus bersahutan dan menyayat daging telingaku. Aku yakin mereka sedang membicara kan aku dan perempuan ini. Sebentar kemudian suasana menjadi hening.Penghulu mengambil posisi duduk di hadapan kami. Mata orang-orang tertuju padaku dan perempuan yang duduk di sampingku. Kami tak mampu bertatapan. Entah apa yang membuat aku tiba-tiba menjadi gugup.Menjadi tak keruan.

”Ah,jangan! Jangan sampai ini terjadi. Aku tak berniat untuk jatuh hati padanya jadi aku tak boleh gugup,” kataku dalam hati.Pelan-pelan kuberanikan diri untuk meliriknya dengan sudut mata kananku. Ku beranikan pula wajahku menatap wajahnya dengan sedikit kebencian.Tanpa sengaja kutemukan matanya yang begitu tulus, kepalanya menunduk seperti penuh tanda tanya.

Satu hal lagi yang membuat jantungku terasa ingin lepas adalah ketika kuperhatikan wajahnya yang molek dan bersih.Hari ini perempuan itu benar-benar kelihatan cantik. Pantas jika ia disebut anak daro. Ah, aku tidak ingin jadi duri dalam daging. Aneh.Aku merasa bahwa diriku baru saja bersikap seperti seorang anak kecil yang tengah sibuk memilih mainan di sebuah kios.

Pikiranku tambah tidak karuan ketika melihat binar di wajah abakdan emak. Mereka terus memperhatikan aku dan kubayangkan kalau mereka tengah berpikir bahwa semoga aku akan lurus mengucapkannya. ”Bagaimana marapulai?” Penghulu itu menyela ke tengah pikiranku. ”Kau sudah siap?” Perempuan itu mengusap keringat di keningnya dengan selendang yang membaluti lehernya.

Kemudian dengan segera ia sampaikan wajah setulus peri dan selembut awan di hadapanku. Tatapan yang sangat tidak kuinginkan. Tatapan yang membuat aku terus berpikir ulang dalam mengambil sikap. ”Saya siap datuk penghulu.” Lalu, sambil kubetulkan posisi duduk.

”Silakan dimulai datuk penghulu”. Sementara penghulu itu membacakan segala hal dan tetek bengek lainnya, aku kembali pada tujuanku untuk tidak menghafal ucapan dan nama perempuan itu. Lalu, sebentar kemudian kuperhatikan anak daro mencubit lengan kirinya dan dilanjutkan dengan meremasnya. Wajahnya memerah seperti warna sari buah apel.Ia begitu gugup.” Sebegitu gugupkah, ”pikirku.

Dapat kubayangkan kalau ia begitu menantikan pernikahan ini.Mungkin memang benar bahwa ia telah benarbenar pasrah dengan putusannya ini. Barangkali saat ini ia sedang berpikir bahwa aku juga sungguh mencintainya. Betapa tololnya perasaan. Selalu tidak sesuai dengan apa yang orangorang pikirkan dan tentang perasaan itu sendiri akan ada banyak hal dan peristiwa dapat dipelajari.

Seperti halnya apa yang dipikirkan anak daro kepadaku saat ini,di dalam masjid ini. Lalu, peristiwa yang paling mendebarkan adalah pada saat aku mulai mengucapkan janji nikah. Penghulu itu mendekap tanganku dengan tangan keriputnya. Hal yang tidak dapat kusangkasangka adalah bahwa aku telah berhasil menyebut nama perempuan itu. Nama yang berusaha untuk aku singkirkan dari pikiranku.

Aku tidak tahu apakah aku harus lega atau menyesal telah melakukannya. Setelah semua orang mulai beranjak meninggalkan Masjid, aku masih gelisah membatu.Seketika itu pula abakmenjentik daun telingaku. ”Ndeh, kau jangan bikin malu abak di depan orang kampung.” Bisik abak ke telingaku. ”Ayo, pulang! ”Akhirnya, aku telah sah menjadi suami perempuan itu.Dapat kupastikan pula bahwa pada saat baralek gadangesok aku akan segera bersanding di pelaminan bersama perempuan yang kusebut Lisa.

*** Malam ini aku disidang abakdi meja makan—ketika orang kampung tengah sibuk mempersiapkan baralek gadang.Ia begitu murka dan entah dari mana mengetahui bahwa aku tidak setuju dengan pernikahan ini. Sementara emak terus berusaha memadamkan amarah abakyang sedang terbakar. Sebentar kemudian, abak kembali tenang setelah dadanya sedikit terasa sesak.

”Kau harusnya mengerti kenapa abak bersikeras menikahkan engkau dengan Lisa.”Abakmelirih dan sesekali matanya menatap aku dengan penuh harapan. ”Abak hanya ingin menyelamatkan hidupnya. Kalau tidak segera abaknikahkan engkau dengannya,lakilaki biadab itu akan menjualnya.” Aku menjadi bingung dengan penjelasan abak yang tiba-tiba itu.

Kemudian abak menjelaskan dengan sejelas- jelasnya tentang ayah Lisa yang berniat menyerahkan Lisa kepada agen gelap di Batam.Abakjuga mengatakan bahwa ayah Lisa adalah laki-laki yang tega melakukan perbuatan busuk apa pun demi mencapai tujuannya. Maka pada akhirnya,ibunya,mendesak agar abakbersedia menikahkan Lisa denganku sebelum laki-laki itu pulang beberapa hari lagi. ”Untuk itulah abak menikahkan kau dengan Lisa.

Abak ingin menimang cucu itu hanya alasan yang abak buat-buat saja.”Kemudian abakminta dipapah emak ke bilik tidur. ”Kau pikir-pikirlah lagi. Lisa benar-benar telah mencintaimu.” Kemudian, aku menjadi kalut di ruang makan yang berlampu buram. Urat-urat di kepalaku seperti akan keluar.Pikiranku kacau.Dan sungguh, aku tak bisa memutuskan apapun untuk kubicarakan pada Lisa di malam pengantin nanti.Aku belum siap menerima kenyataan sesungguhnya. Hal yang tak pernah terbayangkan olehku selama ini. Sayup-sayup kudengar isak tangis emak di dalam kamar.

*** Aku benar-benar telah bersanding dengan perempuan itu. Pelaminan menemani kami untuk duduk berdua. Jelas kusaksikan senyum lepas dari bibir Lisa.Pesta usai dengan damai. Di rumah yang kami tempati sementara, di dalam kamar pengantin, aku telah menciptakan kekakuan yang abadi. Berjam-jam kami tak mengeluarkan sepatah kata pun.

Beberapa saat kemudian,dengan perlahan, Lisa melepaskan gaun pengantin yang melekat di tubuhnya. Malam pun lekas meninggi. Aku harus berani jujur terhadap perasaan yang sesungguhnya.Walaupun aku telah lurus menyebut namanya tetapi aku harus tetap menentukan putusanku malam ini juga.

Setidak- tidaknya agar aku tidak terus tenggelam oleh desakan perasaan seperti ini. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan ayah Lisa.Ternyata ia datang lebih awal dari waktu yang diperkirakan. Suaranya terdengar jelas dari dalam rumah. Ia memekik dan menjerit dengan suara lantang di halaman. Memanggil-manggil nama anaknya. Lisa lekas membetulkan pakaiannya. Dengan sigap aku segera bergegas ke pintu muka. Menghadang laki-laki itu dengan penuh amarah.(*)

DELVI YANDRA,
kelahiran Palangki 10 Desember 1986.
Dia aktif berkegiatan di Komunitas Rumah Teduh, Putapilem dan rumah kreatif Kandangpadati. Saat ini sedang menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

Ironi Modernitas

Oleh: Miming Ismail

MODERNITAS mulanya lahir sebagai kritik atas segala bentuk otoritas di luar rasio. Ia datang mengusik kesadaran kita dari tidur dogmatisme pemikiran.

Dari kritik itu lahir situasi abad yang kita sebut modern—untuk merujuk pada periode sejarah tertentu—atau modernitas, merujuk pada ihwal keadaan zaman modern.Meminjam istilah Anthony Gidden, modernitas merupakan konsekuensi logis dari meleburnya keterjarakan ruang dan waktu yang ditandai dengan segenap pencapaian techno-science, gaya hidup (lifestyle), emansipasi, kebebasan, dan anomali-anomali di dalamnya.

Kelahiran modernitas sendiri bukan tanpa latar yang menjadi asal terciptanya iklimyangsekarangsedang meriah dirayakan. Banyak anasir dangagasanmunculdaripersilangan dan pertikaian ide bahkan perang, bisa dari para filsuf, negarawan, teolog,kelas antarbangsa, dan seterusnya, hingga masyarakat manusia dalam fase tertentu memasuki apa yang Immanuel Kant sebut sebagai subjek yang ”Mundichkeith” atau subjek yang sadar diri karena mampu berpikir sendiri.

Dengan semboyannya yang terkenal, yakni, ”sapere aude!”,berpikirlah dengan bebas lepas dari otoritas di luar diri. Modernitas kemudian melaju pesat penuh ditaburi ragam anasir,melankolis, prahara, bahkan anomali yang muncul dalam ragam bentuk ekspresi dan capaian. Lahirnya sains modern yang melahirkan kemajuan sekaligus korban dari dentuman bom atom, akibat meruahnya ideologiideologi besar,

Pesona dan Ironi

Hikayat modernitas memang kompleks, penuh warna dan cita rasa, tak terkecuali di negeri kita.Ada nuansa, prahara,gairah sekaligus kehampaan dan absurditas dalam ruang-ruang yang diciptakan modernitas. Ruangruang yang ditandai fragmentasi seakan mengafirmasi setiap bentuk kemungkinan, bahkan ketidakmungkinan. Modernitas dalam arti tertentu seakan menarik imaji kita ke tengah realitas virtual yang musykil untuk kita renungkan.

Suatu peristiwa yang disebut Baudrillar sebagai taburan citra dan tanda. Bagaimana jalinan citra dan tanda itu beroperasi? Mungkin kita akan dibuatnya njelimet,bila saja waktu kualitatif ala Bergsonian (baca: Dure) untuk memahami ruang tersebut,tak lagi ada dalam keyakinan epistemik kita. Barangkali ramalan Karl Marx dalam Das Capital-nya benar, terutama tesisnya tentang kapitalisme yang kekeuh diri menjadi semacam takdir bagi anak manusia yang hidup di zaman ini.

Kapitalisme memang telah menjadi takdir bagi manusia modern. Hanya saja, mungkin analisa determinasi ekonominya telah pudar karena perubahan fantastis dari modus produksi dan pergeseran nilai tukar sedemikian dahsyatnya bergeser ke wilayah prestise, image, citra, dan seterusnya,yang melahirkan masyarakat konsumeristis. Kepekatan hidup manusiamanusia modern kini telah bermetamorfosa ke arah banalitas.

Maka,pada saat yang sama,manusia modern pun seperti kehabisan waktu untuk mencandra realitas yang intim dengan nuansa pikir dan reflektif. Seakan waktu primordial menjadi sukma unik di ruang-ruang yang terfragmentasi saat ini. Lanskap dan etalase kota modern dan segenap pesona dengan seribu kunang-kunang di dalamnya, seakan telah menutup segala ruang bagi modus eksistensi diri yang autentik.

Pesona dunia menjanjikan suguhan penuh citra dan imaji tentang ektase kehidupan meski di dalamnya absurd. Suatu tanda persilangan dengan apa yang sering kita sebut antara emansipasi, otonomi diri di satu sisi, dan ironi, absurditas di sisi lainnya. Di sanalah letak kontradiksi dan kaum neomarxis meramalkan modernisme sebagai reruntuhan puing sejarah tanpa kepastian subjek dalam mengarungi mitos pengetahuan. Situasi itu persis seperti yang digambarkan Walter Benjamin, seperti situasi- situasi batas manusia kota Paris abad-19.

Tak ada lagi emansipasi, bahkan humanisme! Ungkapan nada pesimisme ini merupakan cermin nyata realitas yang sejauh ini telah mengalami devaluasi dan transgresi dalam modernitas. Kelupaan atas ihwal keyakinan dan kebenaran telah melabrak seluruh dimensi absolut mengenai realitas yang melampaui rengkuhan akal budi instrumental.

Di masa lalu, situasi krisis itu pernah dikhawatirkan banyak kalangan, baik filsuf,sastrawan,ataupun para abdi setia moral.Namun, modernitas seakan tak mengindahkan keyakinan dan keniscayaan lain,kecuali ia adalah revelasi sekuler yang terus menerobos masa depan kemanusiaan modern.

Modernitas di Sudut Malam

Modernitas memang tak selalu kelam dalam kubangan imaji totaliter, rintihan getir kaum yang terdiaspora, lumuran darah yang terhampar dari cita-cita utopis, atau kapitalisme yang mengoyak jati diri manusia dan kehausan tanpa batas atas kapital.Ia (kapitalisme) kadang terlalu cerdik memperlakukan kritik,hingga dalam batas tertentu justru mampu mengatasinya dengan segenap inovasi dan capaian.

Hal itu nyata ketika kita berjalan pada malam hari, di atas desir angin dan desing hilir mudik knalpot yang menghiasi alunan nada realitas hingga menguap bagai simfoni nada.Kerumitan arsitektur kota yang timpang, marginalisasi, eksklusi, dan wajah lusuh lainnya. Di sana tetap ada pesona dan kekaguman pada capaian,kemewahan etalase dan segala kemudahan yang kadang kita dibuatnya tergoda, terkulai malas berpikir tentang sesuatu di luar yang visibel,sekaligus virtual.

Suatu pesona akan pencapaian yang jauh melampaui kerangka pikir abad pertengahan lalu dan kita pun memang telah menggantung cita-cita lama itu dengan menggeser penghayatankosmosdanteloske wilayah perbatasannya. Ruang-ruang yang terfragmentasi dalam lanskap kota dengan segala hiruk-pikuk dan keunikan di dalamnya, seakan menjadi semacam oase bagi pegulat sejati hidup di dunia perkotaan yang riuh rendah dengan segala konstelasi bisnis, politik,dan keacuhan individual.

Modernitas dalam batas tertentu tak selalu merupakan keketatan ilmiah, bahkan keteraturan sosial. Anomali- anomali di dalamnya selalu tercipta. Memang ada canda, tawa, dan rencana, tapi malam memberi gambaran kejujuran baru tentang dunia kita yang penuh anomali.Realitas tak lagi merupakan suatu koherensi dan representasi,ia bahkan seketika menjadi kontradiksi dan anomali. (*)

Miming Ismail
Pegiat sastra dan filsafat pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina