Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

09 Juni 2008

Pascastruktur Kebudayaan

Oleh: Syaiful Arif

Persoalan struktur kebudayaan kini mengemuka lagi,terkhusus terkait dengan hadirnya pascastrukturalisme. Di sini struktur tidak lagi dimaknai sebagai kesatuan unsur integratif yang membentuk dan menggeret kebudayaan pada satu tuju nan determinis.

Struktur kini dimaknai sebagai kuasa bahasa, yakni makna lebih merupa reproduksi kekuasaan, bukan produk internal sistem tanda. Dari sini terlihat kebudayaan bahkan menjadi rahim kekuasaan dengan bentuk struktur tidak tunggal, tetapi tergerus dalam kontestasi makna. Struktur kebudayaan pertama kali digagas filsafat kebudayaan.

Di sini struktur diposisikan sebagai bangunan budaya yang merangkum segenap unsur kebudayaan, yakni sains, agama, seni, ekonomi, dan politik, membentuk konfigurasi integratif yang mengikat ketunggalan makna. Kebudayaan menjelma das Umgrifende— meminjam Karl Jaspers— yakni nilai yang didukung organ sosial, di atas landasan material yang sesuai nilai tersebut sehingga membentuk kerangka besar,tempat sektor mikro mendapat arah.

Kebudayaan berdiri sebagai supersektor, yang terbentuk dan melingkupi segenap sektor kehidupan.Sektor ini mengacu pada struktur sosial (keluarga, pendidikan, lembaga agama) yang berbasis pada infrastruktur ekonomi sehingga menopang suprastruktur politik. Kebudayaan menjelma pijak nilai dan kognisi yang memberikan arah, sekaligus pengikat segenap struktur ke dalam satuan integratif nan teratur. Dari sini l a h i r l a h strukturalfungsional itu.

Kebudayaan tidak lagi menjadi landas nilai,tetapi hanya subsistem dari struktur sosial. Pada aras psikobiologis, ia menjelma conditioning, tempat manusia memenuhi kebutuhan hidupnya.Pada aras struktural, ia menjelma legitimasi dan ”pengondisian kultural” bagi suksesnya agenda politik. Dua rezim terlama kita melakukan hal ini; Soekarno dengan ”kepribadian nasional”, Soeharto dengan ”jati diri bangsa”.

Dengan klaim identitas ini, negara telah terekspresi sebagai kebudayaan, nilai lokal didaulat menjadi sistem nasional.Yang kultural tertahbis menjadi yang politik.Risiko nyatanya ialah negara otoriter karena ia berdiri di atas legitimasi budaya. Pada level internal,struktur ini terbentuk dalam bahasa. Ia mendedahkan determinisme kebudayaan,yakni perilaku budaya selalu terbentuk oleh struktur pemikiran.

Hal ini terjadi karena bahasa memiliki otonomi begitu kuat. Eksistensinya tidak berada dalam parole,yakni ungkapan bahasa dalam konteks sosial, tetapi dalam langue,yakni struktur internal sistem tanda.Di sini kebudayaan bisa dilihat melalui simbol linguistik karena di balik simbol tersebut, terdapat struktur makna yang merepresentasikan hakikat kebudayaan.

Ini yang membuat kebudayaan tereduksi dalam human mind sehingga hanya dengan membaca konsep jagad gedejagad cilikmisalnya,kita bisa menangkap universalitas makrokosmos manusia Jawa.Tentu yang bermasalah di sini adalah stabilitas makna dalam internal bahasa, yang kemudian memosisikan subjek manusia sebagai ”boneka”dari struktur terberi.

Kuasa Simbolik

P e r - k e m - bangan p a s c a - strukturalisme telah merombak segenap konsepsi di atas.Kesalahan utama adalah stabilitas makna tunggal dalam bahasa yang membentuk fungsionalitas budaya dalam stabilitas sosial. Kedua stabilitas ini terkritik karena logosentrisme (klaim universalitas kebenaran) telah mengarahkan kebudayaan pada homeostationer (gerak dinamis menuju keadaan statis).

Pemelesetan makna menjadi pembebas sehingga pemahaman akan bahasa kini dibarengi kritisisme atas peran reproduktif kekuasaan atas kebudayaan. Ini terjadi misalnya dengan developmentalisme. Oleh strukturalfungsional, kebudayaan dalam hal ini berarti rasionalisme dan sekularisasi. Yang pertama merujuk pada usaha pembebasan dari mitos sehingga manusia mampu menempatkan unsur alam secara relasional, bukan memujanya sebagai ”kepungan gaib”.

Dengan akal,manusia mampu mengarahkan pemikiran, tidak demi kausalitas akhir (final causes) selayak kerja falsafi, tetapi technical know how, yakni persoalan utama terletak pada bagaimana mengatur segala sesuatu demi kemudahan hidup. Hal sama terjadi pada sekularisasi. Demi lancarnya pembangunan, nilai harus dipisahkan dari otoritas primordial karena ruang publik tidak memperkenankan terjadinya konflik sektarian.

Pemisahan kultural ini kemudian dibarengi diferensiasi struktural, yakni nilai terlembaga dalam birokratisasi sehingga bisa diatur dan dimanfaatkan secara politik. Di sinilah demokrasi menjadi alat terbaik, sebab ia memberikan mekanisme dan ruang yang menjamin segenap nilai tidak bertubrukan, tetapi teralokasi baik dalam parlemen, struktur negara, hingga kebijakan umumrasional.

Hanya saja, bentuk struktur ini dikritik karena meniscayakan kekuasaan pada level negara. Melampaui itu, pascastrukturalisme telah menemukan kekuasaan justru pada bahasa.Hal ini melahirkan dua risiko. Satu sisi, kebudayaan tidak an sich milik ”yang kultural”, tetapi terlebih mesin reproduktif bagi kekuasaan. Sisi lain,kekuasaan tidak lagi merupa represivitas dominatif, tetapi sebuah diskursus, yakni pengetahuan menjelma kekuasaan.

Diskursus mengacu pada penggerakan bahasa oleh pranata sosial sehingga mencipta regulasi nilai; sebuah biopolitik yang hendak mendisiplinkan tubuh (disciplinary). Di sini kekuatan bahasa tidak lagi terdapat dalam struktur internal sistem tanda, tetapi dalam materialitas pranata sosial yang mendistribusikan makna demi pendisiplinan masyarakat. Dari pergeseran ini nyata bahwa strukturalisme yang mengikat kebudayaan dalam ketunggalan makna dan struktural-fungsional yang mengorbankan kebudayaan demi kemanfaatan politik harus direvisi.

Kenapa? Karena ia telah mencipta kesadaran palsu dengan mendaulat negara sebagai pengembang dan penjamin kebudayaan. UUD 45 mengamanatkannya dan ini salah kaprah.Kesalahan terletak pada sifat autosentris dari kebudayaan, yang berbeda dengan negara. Kebudayaan merupa kehidupan sosial manusiawi.Karena itu,menjadi arah serta ”rem moral” atas gerak negara yang lebih merupa alat bagi tujuan tersebut. (*)

Peneliti Kebudayaan Ciganjur Centre, Jakarta

(TERBIT DI SEPUTAR INDONESIA, 7 JUNI 2008)

Tidak ada komentar: