Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

21 April 2008

Sajak-sajak Poetry Maulina January

Maaf untuk bumiku

Bola kehidupan tercipta
manusia lahir lebih sempurna
semua, semua dan semua
diambil habis tanpa kembali
Bumiku...
maaf untukmu
tangan-tangan bernyawa
koyak rantak tirai indahmu
bobol jantung rentamu
keringkan samudra tanpa batas
milikmu....
Kau marah?
Marahlah!!!
tapi beri satu kesempatan
jangan biarkan kami berhenti
nikmati harum nafas ini
Bumiku...
Kau memang terlalu baik

Rindu pulang

Di sana bunda...
dengan senyum kearifan
penuh wibawa
Kuingin kembali
pulang ke rumah damai
Benar...
sibuknya dunia
buat jasmani terpisah
semoga bukan batin
Kurindu pulang
dunia luar mengubah tingkah
kangen semua aturan rumah
pulang kuingin kembali

Lingkaran rasa

hariku senang, esok menangis
kini tawa, sedetik kristal bening
mengalir
basahi pipi... hangat
janji terbiar tanpa bukti
luka menganga disiram tirta
perih...

Heran,
tanpa jeritan
Rasakan mati
Bahagia dan luka silih berganti

*Poetry Maulina January, mahasiswa Fakultas Teknik UNS Solo.

(Diterbitkan di Solo Pos, 20 April 2008).

Firasat

Cerpen Eka Dewi WJ

Sudah beberapa hari ini aku dilanda keresahan luar biasa. Tanpa ada sebabnya, perasaanku selalu gundah, tidak tenang, campur aduk yang ada di dadaku.
Mimpi-mimpi buruk selalu mengganggu tidurku, sehingga aku jadi sering bangun di malam hari dan susah untuk melanjutkan tidur lagi. Akhirnya bangunku selalu siang dan selalu terburu-buru menyiapkan sarapan pagi buat suami dan dua orang anak-anakku. Untung saja mereka tidak protes kalau aku hanya masak seadanya. Mereka paling cuma tanya, ”Kok Simbok sekarang bangunnya telat terus, lagi mikir apa ta?”
Jelas mereka heran dan bertanya-tanya, lha wong dulu aku gak kayak begini. Dulu sebelum ayam berkokok aku sudah bangun, masak sarapan buat mereka. Karena memang aku tidak suka diburu waktu. Aku lebih senang mengerjakan segala sesuatu tanpa dibebani waktu, bisa lebih dinikmati.

Padahal jarang orang seperti kami bisa menikmati waktu. Kebanyakan orang miskin seperti kami diburu waktu untuk mencari duit untuk memenuhi tuntutan hidup. Memang kami harus banyak bersyukur atas segala nikmat yang telah dan akan diberikan Tuhan.
Memang benar kami ini bukan orang punya. Suamiku cuma tukang becak, dan aku pun hanya buruh cuci. Tapi, alhamdulillah penghasilan kami lumayan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan dua orang anak kami, Syaiful dan Aisyah. Bahkan kami masih sempat menabung buat jaga-jaga kalau mereka nanti melanjutkan ke bangku kuliah. Meskipun bukan orang berpunya, kami juga ingin nanti anak-anak kami jadi orang berguna yang dapat mengangkat derajat sosial kami.

Selama ini aku cukup bahagia dan tenteram dengan kehidupan kami. Tapi benar-benar akhir-akhir ini aku sering mendapat firasat buruk yang gak tau datangnya dari mana. Selain mimpi-mimpi buruk, kadang tanganku tiba-tiba gemetar dan selalu menjatuhkan barang yang ada di tanganku sampai pecah. Belum lagi aku sering kejatuhan cicak. Benar-benar mengganggu pikiran dan perasaan juga dilanda was-was yang gak beralasan. Aku pun jadi sering melamun, mencoba memikirkan ada pertanda apa, sehingga Tuhan memberikan kegelisaan kepadaku.

Suatu malam, ”Bune, sampeyan ki sebenarnya kenapa? Ada apa ta? Aku perhatikan akhir-akhir ini kok sering bengong, nglamun, persis seperti orang linglung, mikir apa ta?” tanya suamiku ketika kami hendak tidur.

”Ora ana apa-apa kok Pak, cuma aku lagi punya firasat buruk,” jawabku sekenanya.
”Firasat buruk apa?” suamiku penasaran.

Lalu kuceritakan semua yang aku rasakan akhir-akhir ini, kegelisahanku, kekhawatiranku, dan firasat buruk yang sedang menyelimutiku.

”Ya wis Bu, gak usah terlalu dipikirin, banyak-banyak doa saja, semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk kepada kita, sudah sekarang sampeyan tidur, capek ta, seharian nyuci nyetrika, besok kan harus bangun pagi,” seperti biasa suamiku dengan lembut selalu berusaha menenangkanku.

Tapi memang malam ini firasat itu semakin kuat mencengkeram perasaanku, Astaghfirullah hal adziim..., ucapku dalam hati, berharap segala firasat buruk itu segera pergi.

Kulihat suamiku sudah pulang, tidak seperti biasa baru jam sepuluh sudah selesai narik. Semakin perasaanku dicekat penasaran yang berlebihan saat melihat kegundahan yang bergelayut di wajah suamiku, ”Ya Allah ada apa ini,” ucapku dalam hati.

”Bune aku punya berita buruk,” kata suamiku dengan terbata-bata sambil menatapku tajam.

”Mulai besok kita gak punya rumah lagi, besok rumah kita akan dieksekusi,” lanjutnya sambil menitikkan air mata penyesalan.

Duh...Gusti rupanya ini semua jawaban pertanyaanku selama ini. Jawaban segala firasat burukku akhir-akhir ini. Jawaban mimpi-mimpi buruk di beberapa malam ini. Jawaban kenapa tanganku tiba-tiba gemetar. Inikah jawaban kenapa sering cicak jatuh menimpaku? Tapi apa benar jawaban ini? Mengapa rumah kami harus dieksekusi, sampai sekarang aku tidak mengerti. Yang aku mengerti rumah ini adalah warisan almarhumah orangtuaku.

Yang aku tahu kami sudah mengatasnamakan rumah ini dengan nama kami. Walaupun ternyata akhirnya lembaran kertas sertifikat rumah kami dianggap palsu, tidak sah, ilegal...kami tetap tidak mengerti dan sampai sekarang kami tetap tidak mengerti. Tapi siapa yang mau peduli dengan ketidakmengertian kami.

(Diterbitkan di Solo Pos 20 April 2008

08 April 2008

Lagi PEngen Jadi HB. Jassin

Saya lagi terinspirasi berat dengan HB. Jassin. Juga berkat sodoran sugesti seorang dosen bahwa kliping atau dokumentasi sastra itu penting. Di blog "Lentera Susastra" yang saya kelola saya telah membuat satu kategori khusus kliping sastra.

Memang sih, masih tampak amburadul, tapi seiring waktu saya akan coba maksimal bagaimana menempatkan kliping sastra itu dengan baik.

Temu PeNyair???

Tanggal 27-29 April mungkin akan diadakan Temu Penyair Lima Kota di Payakumbuh (Bali, Lampung, Bandung, Jogja dan Sumbar). Juga beberapa daerah lain yang diundang sebagai peserta peninjau; Jakarta, Bangka belitung, Pekanbaru, Kendari. Ini saya kirimkan beberapa nama-nama penyair muda dari Sumbar yang diundang:

1. Anda. S
2. Chairan Afzan
3. Deddy Arsya
4. Esha Tegar Putra
5. Fadhila Ramadhona
6. Feni Effendi
7. Fitra Yanti
8. Heru JP
9. Iggoy el Fitra
10. Nilna R Isna
11. Pinto Anugrah
12. Ragdi F Daye
13. Romi Zarman
14. Sayyd Madani Sani
15. Zelfeni Wimra

Sebetulnya saya senang diundang ke acara temu-temuan ini. Tersanjung sekaligus menambah prestise bahwa "ooo, sudah jadi penyair Sumatra Barat ya..."

Tetapi, saya masih ragu untuk menyebut ini sebagai langkah yang sehat dalam ekologi Sastra Indonesia. Sekedar melepas kangen dengan kenalan penyair lain yang tentu saja berada di kota lain.

Kenapa saya ragu, sebab masih ada suara-suara miring tentang berlakunya acara ini. Terus terang saya gamang untuk melangkahkan kaki ke Payakumbuh tanggal 27-29 April 2008 itu.

Polemik antara yang muda dengan yang tua? Ah, entah kapan akan berkesudahan... (atau memang tidak akan berkesudahan).

06 April 2008

Hikayat Racun Peranggi

Oleh Azhari

DAHULU kala, entah ada entah tiada, waktu segala binatang belum mempunyai kulit, bulu dan cangkang, waktu kisah tentang nabi belum diawali dan diakhiri, hiduplah seekor kura-kura jantan yang sangat cendekia, sehingga ia dijadikan tempat bertanya sekalian makhluk di dunia.

Sampai pada suatu malam meledaklah langit nun jauh di sana karena terlanggar sebuah larangan. Langit terbelah dan jatuhlah Buah Kebahagiaan.

Pada malam yang terang benderang bagaikan siang itulah serentak seluruh binatang berdoa memohon perlindungan dan ampunan pada Yang Mahakuasa. Sejak itu, kata yang punya cerita, maka bulu, kulit, dan cangkang yang membungkus tubuh sekalian binatang.

Adapun perihal terbelahnya langit dan jatuhnya Buah Kebahagiaan ke dunia fana ini hanya diketahui oleh kura-kura cendekia belaka. Ia juga tahu, andai ia kejar Buah Kebahagiaan maka pengetahuannya bakal menyusut sebanyak jumlah ia melangkah. Semakin jauh ia mencari, semakin banyaklah pengetahuannya yang hilang.

Tapi tak ada yang mampu menolak godaan Buah Kebahagiaan. Kura-kura cendekia telah berhitung, bahwa jumlah pengetahuan yang ia punya sama dengan sembilan kali ia mengelilingi bumi. Dan kura-kura yakin bahwa jika Buah Kebahagiaan ia temukan dalam dua kali putaran, sisa pengetahuan yang ia miliki tetap tak akan menggoyahkannya sebagai makhluk paling cendekia di dunia ini.

Karena Buah Kebahagiaan tak jatuh di bawah cangkangnya maka berkelanalah kura-kura ke seluruh penjuru dunia untuk menemukannya. Apabila sesat di jalan, sukalah kura-kura kita bertanya pada pohon kayu pertama yang dijumpainya, di dahan bagian manakah engkau simpan Buah Kebahagiaan itu wahai Pohon Kayu budiman? Dan si pohon menjawab, wahai Kura-kura kelana, begitu engkau tiba, Yang Mahakuasa segera memindahkan Buah Kebahagiaan ke dahan pohon zaitun kerabatku yang terletak di negeri Saba', sebab buah itu akan Ia titipkan kepada seseorang yang anak keturunannya kelak memenuhi isi dunia.

Telah lebih dari sembilan kali putaran kura-kura kelana mencari Buah Kebahagiaan. Bahkan telah ia tanyakan ratusan kali hal yang sama pada pohon kayu yang sama hingga tumbuh janggut di dagunya, tanpa pernah ia ketahui bahwa pada suatu masa Yang Mahakuasa telah memberikan Buah Kebahagiaan kepada orang yang benar.

SEBELUM Taman Kenikmatan berdiri, cerita Kura-kura Berjanggut bisa membuat ia yang kelak menjadi Sultan kami, tepatnya Sultan Lamuri, tergelak dan mengucurkan air mata kebahagiaan. Biasanya segera selepas aku menceritakan kisah itu dengan sigap ia menyambar, "Kura-kura yang malang, karena engkau sungguh lamban, jangan salahkan jika Lim Kam si tabib Cina begitu mudah menangkapmu guna disuling menjadi minyak usap yang mahal harganya namun mujarab tiada terkira. Itu semua demi hidupnya kejantanan ini, demi kenikmatan kekasih-kekasih kami, Buah Kebahagiaan yang kini masih kaucari-cari."

Pada kesempatan itu tak lupa kami mencela Barang Sigasoe, bekas orang kasim, sultan yang hendak ia gulingkan, yang tak dapat lagi merasakan kehangatan usapan minyak bulus atau membuat selir-selirnya mencengkeram tungkai ranjang.

Cerita Kura-kura Berjanggut kemudian ia pilih sebagai sandi untuk menggulingkan Barang Sigasoe. Cerita itu aku ulangi sekali lagi, menjelang aku dibuang ke tanah taklukan, setelah lama kami lupakan cerita itu, untuk mengingatkannya akan mara yang tak kelihatan, yang akan segera muncul dari Taman Kenikmatan.

AKHIRNYA di tanah buangan, melalui cerita yang dijual kafilah kapal pengangkut tanah cempaga yang menuju Narathiwat--di mana penyakit kulit lebih terkutuk daripada sultan yang lalim--kuketahui bahwa Sultan Lamuri telah wafat (semoga Tuhan meluaskan kuburnya).

Awak kapal angkut itu tahu benar tak ada yang lebih penting bagi orang-orang lemah di negeri-negeri taklukan kecuali menunggu kematian Sultan Lamuri, dan mereka berharap kabar kematian itu akan dibawa kafilah asing ke negeri mereka.

Nakhoda dan awak kapal angkut sengaja memperlambat ketibaan mereka di Narathiwat dengan terlebih dahulu menyinggahi semua bandar negeri-negeri taklukan guna menjual cerita mengenai kematian Sultan Lamuri. (Semoga orang Narathiwat yang sedang menanggung buduk di tubuh mereka kelak membakar kapal itu begitu tiba di sana karena telah menunda-nunda membawakan mereka obat penyembuh).

Sekalipun begitu rinci para awak kapal pengangkut tanah cempaga menceritakan kematian Sultan Lamuri, seolah-olah mereka itu berada di samping Sultan saat ia melawan ajalnya, sesungguhnya tak ada seorang pun di dunia ini yang lebih tahu daripada aku bagaimana Sama La'in telah menggunakan racun kebahagiaan untuk membunuh Sultan kami perlahan-lahan.

RACUN itu datang dari tanah taklukan, dari bandar tempat kapal angkut tanah cempaga menjual cerita kematian sultan, tanah pengasingan yang baru saja aku tinggalkan.

Jika tidak ada campur tangan Sama La'in, kisah kematian Sultan kami mungkin akan lebih mirip dengan kisah yang kerap dikhayalkan para penulis kitab hikmah tentang bagaimana jenazah bangkit dari liang lahatnya dan membalas kematiannya di dunia ini.

Karena ketakutan yang teramat besar--barangkali sebesar dosa yang dia perbuat di hadapan Yang Mahakuasa--begitu mendengar kabar Raja Asahan bertekuk lutut begitu mendengar suara letusan meriam kapal perang kami jauh di lautan, diikuti dengan jatuhnya satu per satu bandar-bandar di sekitar Tanah Semenanjung tak lama kemudian, penguasa Samari berpikir bahwa cepat atau lambat Sultan Lamuri tentu akan menuju ke bandarnya.

Tapi sungguh malang si penguasa Samari. Tak ada satu pun bijak bestari di bandarnya yang dapat memberikan dia nasihat bagaimana menyelamatkan diri dari serbuan Sultan Lamuri. Mereka cuma memberi saran agar ia berserah diri kepada Tuhan sambil menyiapkan rencana balas dendam. Akhirnya, dengan berat hati ia menyetujui satu usulan yang menurut dia paling bijak dari sekian banyak nasihat.

Usul itu datang dari Sama La'in, saudagar budak dari Tulawie, orang yang biasa menyediakan perempuan penghibur untuk tamu istana dan kerap juga melayani kebutuhan serdadu Peranggi di Malaka.

"Tuanku, ada satu rahasia yang sahaya simpan selama ini. Rahasia yang membuat sahaya terus-menerus beroleh keuntungan yang berlipat ganda. Rahasia ini sahaya sebut penyakit Peranggi. Tuanku, penyakit ini mencederai orang kulit putih pada bagian kelaminnya dan, melalui hubungan badan, dapat menulari kelamin lawan jenisnya."

Rahasia penyakit Peranggi ini nyaris membuat si penguasa Samari kehilangan kesabarannya sekaligus menambah-nambah kepanikannya. Tebersit keinginan untuk mengusir saja si orang Tulawie dari hadapannya. Namun, Samari mencoba menahan diri sebab dia tahu Sama La'in kerap mempunyai rencana yang tiada terduga.

"Jadi usul sahaya, angkatlah beberapa perempuan jelita sebagai anak. Sahaya akan pilihkan beberapa perempuan rupawan dengan keahlian bercinta tiada tanding dengan penyakit Peranggi di kelamin mereka. Itulah perangkap apabila Sultan Lamuri kelak benar-benar menyerang bandar kita dan bala tentara kita tak kuasa melawannya. Usul menyangkut penyakit Peranggi sahaya kira tentu tidak akan ada gunanya jika kita tidak mempertimbangkan pula kebiasaan Sultan Lamuri mengambil perempuan-perempuan jelita untuk mengisi tamannya setiap ia habis merebut bandar-bandar merdeka. Kita beri Sultan takabur itu racun Peranggi yang akan bekerja perlahan-lahan hingga merenggut ajalnya," demikian Sama La'in menutup nasihatnya.

Sama La'in, yang kini menjadi sultan baru Lamuri, tidak hanya memberikan nasihat kepada penguasa yang lemah itu, namun juga memanfaatkan ketakutannya. Dia nasihati pula agar Samari tak hanya bersandar pada kelamin perempuan, namun juga membantu kaum Peranggi di Pintu Neraka, yang saat itu sedang payah terkepung armada perang kami yang gemilang.

MAKA terjadilah apa yang sudah menjadi takdir Yang Mahatinggi. Apabila tidak datang bala bantuan dari Samari pada saat itu, barangkali kami sudah mengubur riwayat Pintu Neraka. Tak akan pula Sultan mengirimkan bala tentara dalam jumlah besar andai ia tak mendengar usul Sama La'in.

Tak lama sebelum Samari mengikat janji dengan Peranggi dan mengirimkan bantuannya untuk mencegat kapal perang kami di kuala masuk Pintu Neraka, Sama La'in meninggalkan rumah bordilnya dan bersimpuh di hadapan Sultan Lamuri. Kepada Sultan kami dia sampaikan seluruh rencana Samari yang hendak mengirim bala tentaranya untuk menghadapi armada perang kami di Pintu Neraka.

Bukan karena aku, Si Ujud, orang tempat Sultan meminta pendapat, sedang berada di tengah lautan sehingga ia tak langsung percaya pada mulut seorang majikan para pelacur. Memang demikianlah watak Sultan kami dalam menjaga kemuliaannya dari segala hasutan.

Bukan karena kekalahannya di Pintu Neraka yang membuat Sultan kami murka dan meratap memanggil Tuhan, tapi karena ia lihat bagaimana tiba-tiba saja bagai tikus tanah tak kurang dari seribu pasukan tak dikenal muncul dan menyergap pasukan kami yang sedang memanjat dinding benteng Famosa. Pada saat yang bersamaan hampir tiga ratus jung dengan meriam di jungur menghanguskan kapal-kapal perang kami yang ditinggalkan pasukan.

PADA tahun kekalahan kami yang di luar dugaan itu aku melihat kehancuran sudah begitu dekat dengan Sultan. Jika Sultan Iskandar Dhulqarnain tak datang pada saat yang tepat ke dalam mimpinya, barangkali Sultan kami telah menguburkan impiannya untuk menguasai Malaka maupun membalas kelancangan sekutu Peranggi penyebab kekalahan.

Begitu bangkit dari kehancurannya, Sultan mengambil hikmah dari kegagalannya merebut Malaka: bahwa bandar-bandar di sepanjang pantai timur sekaligus di teluk-teluk kecil di tanah semenanjung haruslah dilihat sebagai ancaman yang nyata walau pun hanya ada sepuluh kapal perang pada setiap galangan mereka.

Demi tegaknya kembali impian Sultan, aku mengabaikan keahlianku dalam ilmu firasat, ilmu yang membuat aku mudah memindai nafsu dan keinginan orang hanya dengan melihat kerut di wajah, gerak bibir, ataupun cara berjalannya.

Mestinya aku sudah melihat apa yang diinginkan orang Tulawie itu sejak pertama sekali Sultan memperkenalkannya padaku sebagai Utusan yang Tidak Kita Indahkan Keterangannya.

Tidak untuk yang pertama dan tidak akan pernah untuk selama-lamanya.

DUA tahun setelah kekalahan di Malaka, kami telah menempatkan gubernur-gubernur kami yang tepercaya di tanah taklukan. Tak lupa Sultan mengirim sejumlah mufti untuk mendampingi para wakil sultan itu, sebab, menurut Sultan, di samping Peranggi, para penguasa bandar yang ingkar iman adalah musuh yang tak kalah nistanya.

Dan harus kuakui bahwa Sama La'in mempunyai peranan besar dalam setiap penaklukan itu. Kehadiran Sama La'in di tengah-tengah kami telah membuat impian Sultan terlaksana lebih segera. Bukan hanya itu, kecermatan telaah dan hitungan Sama La'in membuat kami menderita kerugian lebih sedikit daripada penaklukan-penaklukan sebelumnya. Terhadap keberhasilan ini Sultan menjuluki Sama La'in sebagai Karunia Lamuri. Dan Sama La'in menyambut sebutan Sultan ini dengan mengatakan bahwa kedatangannya ke Lamuri sejak awal memang guna memerangi kafir kulit putih yang telah membinasakan kaum kerabatnya di Sulu dan bahwa dia ternyata telah memilih tempat dan orang yang pantas.

Jadi semakin tipislah kemungkinan bagiku untuk menyelia siapa sesungguhnya Karunia Lamuri.

SAMPAI pada suatu hari di bulan Ramadan aku terlibat perdebatan sengit dengan Sama La'in mengenai kapan kami harus menghancurkan penguasa bandar yang telah membakar kapal-kapal kami di Malaka tiga tahun silam.

Aku katakan pada Sultan, bahwa waktu yang tepat adalah akhir bulan Syawal, waktu yang tak meleset menurut hisab. Tapi Sama La'in menyanggah dengan mengatakan termasuklah kita di antara orang-orang yang kufur apabila menunda-nunda suatu peperangan sementara kemenangan sejelas matahari yang terbit esok hari.

Sama La'in meyakinkan Sultan bahwa aku menyaksikan dengan jelas apa yang seharusnya sudah kulihat beberapa tahun sebelumnya. Tapi aku tahu bahwa gerak bibir, kerut dahi dan ayunan tangan adalah pertanda dari orang yang mempunyai nafsu yang keji. Apa yang aku lihat telah menghilangkan kecerdasanku untuk menyanggah isi perdebatan.

Pada akhir tahun itu, selain membawa kemenangan, Taman Kenikmatan juga penuh dengan penghuni baru. Dan Sultan, begitu tiba di Lamuri dari penaklukan, selalu mengganti isi taman maupun penjaga taman.

PADA suatu hari, tak lama setelah penguasa Samari binasa, ketika kami sedang menyiapkan penyerangan besar-besaran atas benteng Famosa, Sultan memanggilku untuk membicarakan perihal Taman Kenikmatan.

"Ujud, panglimaku, lama di lautan membuat kita akrab dengan kecurigaan. Aku harus terus-menerus mengganti penghuni sekaligus penjaga taman. Apakah engkau dapat menemukan seseorang yang bisa kupegang amanatnya saat aku jauh dalam peperangan sehingga hatiku selalu tenteram?"

Aku tahu bahwa sindiran itu ditujukan kepadaku. Sultan tentu lebih menyukai sepuluh orang panglima dungu yang sepakat kapan saat yang tepat untuk menyerang lawan daripada mempunyai dua panglima cendekia namun kerap berselisih paham.

Itu sebabnya kemudian aku memutuskan untuk menjaga Taman Kenikmatan, agar firasatku tidak mengganggu impian Sultan. Kini bukankah telah ia temukan seseorang yang dapat menggantikanku di lautan?

Keputusan inilah yang membuat aku dirundung sesal sepanjang hayat dan sungguh itu tak akan tuntas sebelum aku membinasakan orang yang telah menyebabkan kematian Sultan. Ternyata Sama La'in tak hanya telah menebarkan perangkap di dalam Taman Kenikmatan, tapi juga meminta orang kepercayaan Sultan guna menjaga perangkap yang telah disiapkannya.

DI Taman Kenikmatan, selama bertahun-tahun aku lihat dengan begitu terang bagaimana perangkap yang ditanam Sama La'in mulai memakan Sultan setiap habis menggempur Peranggi di Malaka.

Sudah kulakukan apa yang pantas kulakukan demi keselamatan Sultan sekalipun itu mengkhianatinya. Dengan demikian dia bakal mengganti penjaga taman sekaligus isi taman.

Memang Sultan pada akhirnya mengadili kelancanganku. Dan aku telah siap apabila Sultan memancungku. Maka kuceritakanlah kembali perihal Kura-kura Berjanggut, sandi yang pernah ia gunakan tatkala menggulingkan Barang Sigasoe.

Tapi aku salah sangka. Justru Sultan yang tak memahami kenapa sampai hati aku mengkhianatinya. "Ujud, kau salah jika kaupikir bahwa perang bertahun-tahun dengan Peranggi mengurangi keperkasaanku sehingga penghuni tamanku membutuhkan pejantan selain aku."

Dan, kata Sultan, sebaiknya aku segera meninggalkan Lamuri sebelum malam tiba, sebab, kalau tidak, dia akan membunuhku sebagaimana orang-orang sebelum aku.

Kupilihlah tanah Samari, bandar yang baru saja aku tinggalkan ini, tempat asal-muasal racun Peranggi, untuk mengetahui bagaimana Sama La'in merancang kematian Sultan. Aku berharap suatu waktu nanti aku diberi kesempatan oleh-Nya untuk membalas kematian Sultan.

Azhari, bekerja di Komunitas Tikar Pandan dan menjadi wali di Sekolah Menulis Dokarim, keduanya di Banda Aceh.

>>>>>> kutipan >>>>> Sekalipun begitu rinci para awak kapal pengangkut tanah cempaga menceritakan kematian Sultan Lamuri, seolah-olah mereka itu berada di samping Sultan saat ia melawan ajalnya, sesungguhnya tak ada seorang pun di dunia ini yang lebih tahu daripada aku bagaimana Sama La'in telah menggunakan racun kebahagiaan untuk membunuh Sultan kami perlahan-lahan. <<<<<<<<

(Koran Tempo, 6 April 2008)

Puisi TS Eliot (1888-1965)

YANG MENDAHULUI

I

Musim dingin malam menenangkan
Dengan aorama stik di kejauhan jalan.
Jam enam tepat.
Terbakar musnah penuh hari-hari berasap.
Dan kini seliuk angin ribut pancuran membungkus
Sisa kotoran
Dari dedaunan melayu selingkar kakimu
Dan koran begitu hampa;
Pancuran-pancuran memukul
Pada kebutaan dan jambangan cerobong asap,
Dan di sudut jalan
Sebuah kereta kuda uap kesepian dan menghentak
kaki.
Dan kemudian cahaya menerangi

II

Pagi muncul dengan sadar
Aroma bir jahanam memusingkan
Dari serbuk gergaji menginjak jalan
Semua kakinya berlumpur tertekan
Pada awal jamuan kopi.
Dengan penyamaran lain
Waktu berlanjut,
Orang berpikir dari semua tangan-tangan
Yang sedang bangkit dari bayangan kumal
Pada seribu perkakas ruangan.

III

Kau lemparkan sebuah selimut dari tempat tidur
Kau baringkan pada punggungmu, dan tunggulah
Kau tidur sejenak, dan tontonlah penampakan\
malam
Ribuan pikiran kotor
Yang mana jiwamu diangkat;
Mereka mengedip melawan langit-langit.
Dan bila semua dunia kembali
Dan cahaya merangkak pelan diantara penutup
jendela
Dan kau mendengar burung pipit di pancuran atap,
Kau miliki sebuah impian pada jalanan
Sebagaimana jalanan sulit dimengerti;
Duduklah sepanjang ujung tempat tidur, dimana
Kau lengkungkan kertas-kertas dari rambutmu,
Atau jepitan sol kuning di kaki
Pada telapak tangan berlumur tanah.

IV

Jiwanya meregang rapat melintasi angkasa
Yang pudar di belakang kota terkunci,
Atau diinjak kaki bertubi
Pada jam empat atau lima;
Dan jejari persegi pendek mengisi pipa-pipa,
Dan koran malam, dan mata
Yakin seyakin-yakinnya,
Suara hati dari sebuah jalanan buruk
Tak sabar memikul dunia.

Aku digerakkan oleh khayalan yang dilengkungkan
Sekitar imej ini, dan melekat:
Pikiran dari beberapa kelembutan tak hingga
Tak hingga menderita.

Sapulah tanganmu melewati mulutmu, dan
tertawalah;
Dunia berputar bagaikan wanita kuno
Menghimpun mengisi kekosongan.

1917

SWEENEY DIANTARA BURUNG BULBUL

Leher Sweeney membentangkan lututnya
Membiarkan lengannya menggantung tertawa,
Zebra membelang sepanjang rahangnya
Membesar menodai jerapah.

Lingkaran bulan badai
Menyelip ke Barat menuju Sungai PLate
Kematian dan Raven mengalir terus
Dan Sweeney menjaga terompet gerbang.

Orion suram dan anjingpun sama
Diselubungi; dan heninglah lautan lisut;
Seorang bermantel Spanyol
Mencoba duduk di lutut Sweeney

Tergelincir dan tariklah meja pakaian itu
Membalikkan sebuah cangkir kopi,
Mengantur kembali pada lantai
Ia menganga dan menarik sebuah kaus kaki;

Lelaki diam dalam coklat moka
Terlentang pada ambang jendela dan anggur;
Pelayan membawakan jeruk
Pisang ara dan anggur rumah panas;

Vetebrata diam dalam warna coklat
Perjanjian dan memusatkan pikiran, menyendiri;
Rachel Rabinovitch nama waktu gadis
Airmata anggur dengan cakar kejam;

Ia dan perempuan itu dalam mantel
Dicurigai, pikiran dalam perkumpulan
Untuk itu lelaki dalam mata berat
Mundur selangkah, menunjukkan keletihan,

Meninggalkan ruangan itu dan muncul lagi
Di luar jendela itu, bersandarlah,
Cabang wistaria
Membatasi sesungging seringai emas;

Tuan rumah dengan seorang tak dikenal
Bercakap pada bagian pintu,
Burung bulbul sedang bernyanyi riuh
Biarawan dari roh Kudus,

Dan bernyanyi dalam kayu berdarah itu
Saat Agamemnon meraung keras,
Biarkan cairan mereka pindah jatuh
menodai mayat berkain kafan aib.

1919

Diterjemahkan oleh Edo Virama Putra dari Antologi American Poetry

Padang Ekspres, 6 April 2008

Melukis Matahari

Oleh: Azizatus Suhailah

Semilir angin pembuka cakrawala. Bahkan dia sama sekali tidak mengeluh. Gadis itu. Matanya hanya menatap hampa dunia. Dirinya mengambang dalam ketidakmengertian hidup. Bagaimana ia hendak mengeluh? Apa yang kan ia keluhkan?

Hidupnya pun tak bersuara sebab ia bisu, tak bernada lantaran ia tuli, tak pula berwarna sebab cakrawala penglihatannya yang buta warna hanya dapat melihat hitam dan putih. Bagaimana cara mengeluh?

Dunia yang hitam putih. Hitam dan putih dunia.

***

Pagi itu sebenarnya langit biru telah turun ke cakrawala. Biru. Sebenarnya biru. Bukan putih kelabu seperti penglihatannya. Gadis itu.

Kali ini ia termangu di balik jeruji pagar sebuah rumah mewah. Duduk saja di sana. Menatap lalu lalang orang-orang. Kota yang besar itu bising dalam hiruk pikuk seiring meningginya hari. Manusia bersliweran dan berkejaran mengejar waktu.

Gadis itu menggerak-gerakkan jari-jemarinya menghitung. Sudah berapa lama ia di sini? Dua hari, tiga hari, seminggu? Bukan. Bukan. Gadis itu menggelengkan kepalanya dengan kening berkerut.

Ia menengadahkan wajah, lalu refleks memicingkan mata. Silau. Ah, ya ini saatnya. Biasanya, saat-saat seperti ini perempuan itu lewat.

Perempuan itu...
Perempuan yang selalu ia tandai semenjak ia terkurung di balik jeruji ini. Perempuan itu setiap hari lewat di depan jeruji pagar ini. Kadang berjalan santai. Lain waktu agak tergesa, bahkan pernah ia melihat perempuan itu berlari. Sampai di ujung blok, perempuan itu melambai-lambaikan tangannya. Menyetop bus.

Perempuan itu...
Selalu menggodanya untuk menunggu. Menunggu setiap pagi dan melihatnya lewat. Setiap hari hampir serba sama. Ia sendiri tidak bisa membedakan. Hitam putih saja yang tampak olehnya. tak ada beda.

Tapi satu hal membuat ia terpaku. Perempuan itu yang kadang tergesa-gesa tetap meninggalkan bekas keanggunan. Entah dimana letak keanggunan itu ia pun tidak tahu persis. Mungkin di balik kain panjang yang menutup kepala dan hampir seluruh tubuhnya. Melambai-lambai ditiup angin. Ia bisa melihat kesejukan itu. Meski dunianya hanyalah hitam putih. Hampa suara. Tanpa nada...

Kesejukan itu mengirimkan perasaan rindu pada dirinya. bilakah ia akan melambai bebas seperti perempuan itu. Yang selalu ia tunggu setiap pagi...

Dulu. Ah, tidak. Lebih tepatnya beberapa waktu lalu, dia adalah seorang gadis kumal pengamen. Ia tidak menyanyi. Ia dibawa oleh seorang laki-laki. Sedikit lebih tua dari dirinya. Berpatroli di terminal, naik dan turun bus. Laki-laki itu menyanyi, ia yang menjalankan bungkus bekas permen. Menampung recehan demi recehan...

Ia percayakan hidupnya pada laki-laki itu. Cukup lama mereka hidup bersama. Mengamen bersama. Berbagi uang bersama. Lalu malam harinya tidur di gerbong kereta berkarat yang sudah tak terpakai.

Keesokan pagi kembali menceburkan diri ke terminal yang hiruk-pikuk. Meskipun ia tidak mendengar apa-apa. Sebab hidupnya hampa suara. Tanpa nada...

Gadis itu...
Ia kembali menggerakkan jari jemarinya menghitung. Sudah berapa lama ia hidup dengan laki-laki itu> Satu, dua, tiga tahun? Entahlah. Cukup lama dan laki-laki itu memberinya cukup rasa aman. Ia aman bersama laki-laki itu. Meski ia hanya melihatnya sebagai hitam dan putih.

Namun, kemudian laki-laki itu membawanya ke tempat ini. Masih ia ingat senyum dikulum yang disedekahkan laki-laki itu padanya sambil menyembunyikan sebuah amplop tebal di balik baju. Sebuah rumah yang mewah. Dirinya pun dibersihkan. Didandani cantik. Diberi baju bersih dan bagus. Ia tidak lagi tidur di gerbong bekas dan berkarat. Tapi di ranjang yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Hangat.

Di rumah itu, lalu lalang bermacam-macam wanita. Juga bermacam-macam laki-laki. Mereka berpasang-pasang dengan berbagai macam gaya. Ia tidak mengerti warna tingkah mereka selain hitam dan putih.

***
Ketika malam menuju puncaknya.

Gadis itu...
Ia meringkuk menggigil di lantai kamar mandi. Ia sedang tertidur di balik selimut hangatnya ketika dunianya tiba-tiba gelap. Ia tak melihat apa-apa selain hitam. Dua-duanya warna yang ia miliki pun telah lenyap satu.

Lampu tiba-tiba dihidupkan dan semuanya putih lagi. Seorang monster berkumis berdiri gagah siap menerkamnya. Ia membuka mulut. Tak ada suara.

Sungguh ia tidak mengerti. Bertahun-tahun ia hidup bersama laki-laki itu di gerbong bekas tapi laki-laki itu tidak pernah merenggut putih dari warna hidupnya dan menerkamnya tiba-tiba.

Nalurinya berbicara. Ia adalah gadis. Ia bukan wanita-wanita banyak tingkah yang lalu lalang itu. Impuls-impuls dendrit bersliweran di benaknya. Ia adalah gadis. Ia punya kehormatan. Meskipun ia hanya seorang asisten pengamen kumal dan kotor. Tidur di gerbong kereta api tidak terpakai. ulu hatinya terasa nyeri. Buliran-buliran air meruntuhkan bendungan matanya. Ia menangis.

Ia adalah gadis. Bukan wanita banyak tingkah seperti mereka.

Oh,. karena inikah laki-laki itu menendangnya ke sangkar emas in dan menukarnya dengan sebuah amplop?

Ia disambut oleh wanita paruh baya menor dan sok ramah. Berisyarat bahwa ia akan bekerja sebagai pembantu. Menyuruhnya meniru pekerjaan sekelompok orang sebayanya yang juga berpenampilan kumal dan berantakan.

Beberapa hari saja. Dan ia disulap menjadi boneka cantik.

Panas matahari tidak lagi menyengatnya seperti di terminal. Ia senang menemukan teman kumal yang senasib di rumah mewah nan sejuk. Dibalasnya senyum dikulum laki-laki itu dengan senyumannya yang ia buat paling manis. Mengira laki-laki itu akan mengubah hidupnya dan tidak benar-benar meninggalkannya...

Laki-laki yang bertahun-tahun melindunginya. Sungguh ia tidak menyangka.

Lobus ingatannya meledak. Memuntahkan serpihan-serpihan realita menjadi kemarahan. Darah panas hilir mudik mengaliri mengaliri pembuluh darah nadinya. Rahangnya mengeras. Diludahinya monster berkumis itu. Monster itu malah membesar seukuran raksasa dan semakin gila. Dilemparnya monster itu dengan lampu meja mewah milik si nyonya menor. Lampu itu pecah. Dahi si moster robek. Ia menggerung semakin gila. Dilakukannya apa saja. Melempar, memukul, mencakar...

Sekarang ia meringkuk di lantai basah kamar mandi. Menggigil kedinginan dan kehabisan tenaga. Sungai air mata mengalir semakin deras itu telah menjadi tanda perayaan keberhasilannya membebaskan diri dari monster bejat itu.

Terbayanglah segala hidupnya dalam dunia hitam putih. Naik turun bus di terminal. Membuntuti laki-laki itu sambil menyodorkan bekas bungkusan permen sembari menampung recehan...ketika laki-laki itu menjaganya di dalam gerbong kereta yang dingin. Lalu waktupun berjalan dan laki-laki itu menjualnya.

O, betapa sekarang ia rasakan. Jauh lebih dingin lantai kamar mandi in daripada gerbong kereta api tidak terpakai itu. Betapa ia rindu gerahnya cuaca saat ia mengamen. Setidak-tidaknya ia hidup damai di sana. Betapa ia rindu...

Kerinduan itu bermuara pada sosok perempuan yang selalu ia perhatikan di balik jeruji. Sosok yang begitu ingin ia lukis. Sosok yang baginya sungguh hangat sekaligus menyejukkan. Seperti tak pernah di sore hari.

Ah, tak pernah. Semenjak lama ia ingin menjadi matahari. Ia tidak tahu seperti apa matahari itu. Namun ia percaya matahari itu kuat. Lebih kuat dari dunianya yang hitam putih. Lebih kuat dari hiruk pikuk terminal, lebih kuat dari laki-laki pengkhianat itu, juga lebih kuat dari si jagal monster berkumis.

Buktinya, setiap orang menatap bintang besar itu, tidak ada yang mampu menantangnya. Itulah sebabnya ia ingin menjadi matahari. Agar ia kuat. Agar tidak yang menantang untuk menganiayanya. Seperti si jagal.

Matahari. Sungguh ingin ia lukis seperti besarnya hasratnya untuk melukis si perempuan bersahaja itu. Perempuan berkain panjang menutup seluruh tubuh yang selalu mengirimkan kesejukan padanya di balik jeruji. Setiap pagi.

Dalam derai air mata gadis bisu, tuli dan buta warna itu berusaha melukis sang matahari. Di atas hidupnya yang hitam putih.

***

Malam sudah melewati sepertiga terakhirnya.

Gadis itu...
Dunianya yang hitam putih semakin kelabu. Hampa suara dan tanpa nada. Pun telah dicemari oleh sangkar emas kotor berwujud rumah pelacuran. Hiruk pikuk terminal bahkan gerbong kereta api yang dingin barangkali lebih baik baginya daripada rumah mewah dengan jeruji penjara itu.

Fajar pun mengetuk-ngetuk pintu pagi untuk segera terbit. Malam belum lagi menyerahkan kepekatannya pada pagi.

"Ayo, siramkan bensinnya ke arah sini. Bakar!!! Bakar... musnahkan tempat ini. Tempat laknat!!!!"

Gadis tuli, bisu dan buta warna itu terjaga. Mata hitam legamnya berputar cepat. Apa yang terjadi? Mengapa ia dihantui ketakutan begini? Semuanya serba lain. Serba aneh. Gelap.

Gadis itu meraba-raba. Lantai kamar mandi yang dingin, tiba-tiba berubah menjadi hangat. Dimana ini. Di terminalkah? Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Serbuan asap mengunci tenggorakannya. Ia terbatuk-batuk.

"Tambahkan lagi bensinnya. Di sini. Di sini." ratusan suara mendengung di luar seiring dengan kobaran api yang semakin membesar. PRANGG..!!! Kaca kamar mandi dipecah. Gadis itu menoleh.

Ia melihat cahaya. Terang. Hangat dan berkabut. Sesosok hitam melompat ke dalam. Detik berikutnya ia sudah dibawa keluar melalui jendela yang pecah. Ia berusaha memfokuskan pandangan mencerna siapa sosok hitam itu. Waktu tidak tersisa banyak. Tubuhnya tersayat-sayat beling sementara asap nyaris memblok seluruh pernapasannya. Ia pingsan.

***

Fajar merambat cakrawala.

Gadis itu membuka mata. Sekujur tubuhnya terasa nyeri. Ia mengusap pelipisnya. Cairan kental. Diciumnya cairan itu. Amis. Bau darah.

Diangkatnya kepalanya, berat sekali, kerongkongannya tercekat. Diraba-rabanya tempat itu. Ini adalah tempat yang biasa. Gerbong kereta api.

Hanya perlu sepersekian detik ia mencerna siapa yang telah menyelamatkannya.

Laki-laki itu.
Seketika tubuhnya mengejang ketakutan. Tidak! Ini tidak boleh terjadi lagi. Ia adalah gadis buta warna yang tidak mau kehilangan tongkat dua kali.

Ia adalah gadis. Bukan wanita banyak tingkah. Ia punya akal. Ia punya naluri. Naluri itulah yang membawanya berlari menembus remang-remang fajar. Tidak peduli kakinya tanpa alas menginjak-injak jalanan yang kasar. Pun tidak peduli kerongkongannya yang terkunci enggan menerima udara.

Entah berapa lama. Langit belum lagi terang. Dunia hitam putihnya oleng. Dia terjatuh mrnabrak sesuatu. Ia mendongak. Ia menabrak sesosok...

ya Tuhan, ia menabrak perempuan itu. Perempuan dengan baju panjang yang melambai-lambai. Ia meringis kesakitan. Perempuan itu membantunya berdiri.

"Maaf, saya tidak sengaja..."

Ia tidak peduli. Dipeluknya perempuan itu erat-erat. Sengau dan gerakan tangannya yang bergetar berusaha menjelaskan mengapa ia terisak di hadapan perempuan itu. Juga darah dan pakaiannya yang robek.

Perempuan itu mengangguk paham. Digamitnya tangan gadis itu.

"Siapa namamu?" senyumnya ramah.

Gadis itu menggeleng bingung. Apa yang ditanyakannya? Namakah? Apakah perempuan itu menanyakan namanya?

Digerak-gerakkannya bibir dan tangannya. Perempuan itu tidak mengerti. Ah, ia ingin menamakan dirinya matahari. Tapi bagaimana cara mengatakannya? Ia ingin menunjukkan matahari pada perempuan itu untuk memperkenalkan dirinya. Namun, matahari yang ditunggunya itu belum muncul di ufuk timur.

Tapi matahari itu selalu ada. Tak peduli siang ataupun malam. Sebab sedari tadi matahari itu telah dilukisnya. Di dalam hatinya.

Padang, 2 Maret dinihari

(Singgalang, 6 April 2008)

05 April 2008

Puisi Rian Siregar

DI UFUK UTARA

Sarang matamu yang memiliki lendir-lendir kekejaman
Memikat semua harta bunga dari kahang tanganmu
Memanggul dari langit badan ke dalam saku tangan
Matamu yang memiliki lendir tak bernyali ke belakang
di pesisir ufuk utara sedauh ruku ajal menunggu
menanti gumpalan kelam matamu.
meski benteng emas mengelilingi tubuhmu
ksatria bercula bisa melelehkannya
menyatukan bersama tanah makam
ditemani seuntai kantil sebagai perhiasan terakhir

kandangpadati Desember 2007

DI PANTAI

Di cerutan matahari sore kelam
mulut-mulut zina menemaniku berpanorama
diiringi perkelahian ombak dengan pasir
dalam secelah cangkangnya siput menyaksikan malu-malu
angin pun ikut serta menyusup dari reranting bakau
menusuk-nusuk lubang kepiting dijejak kaki pantai
menghiasi perisai dalam pesisir langit
mata teriris terbunuh tertikam dipantai tempat umat bercermin
kaki dan tubuh takkan tertapak lagi dihayati ceritamu

kandangpdati 2007

DI SETAPAK JALAN KERIKIL

kita bertemu bersama jatuhnya angkasa
disitu bulan berkhianat pada lorong-lorong malam
membuat jiwa khilaf karena disanding gelap
setapak jalan kerikil menggelitik kabut jiwa
seperti pesta dua napas menderu dalam taman malam
dimana kunang tak lagi berlalulalang mengitari jalan
rerumputan merunduk memandang permainan jalang
kerikil menusuk dalam napas riang
embun pagi yang tak diundang terhempas untuk menjelang
kita berpisah ketika angkasa terbang
disitu matahari bernazar menerangi jalan tuk pulang
sampai ujung setapak jalan kerikil.

kandangpadati, Desember 2007

BUNDA

adalah penuntun dari remang lampu kota ke bening rembulan
tersesat dalam gumpalan kabut terbawa ke asap purba
di tanah yang terus terinjak engkau tak sabar menataku
terdapat jalan penuh air hitam kau basuh dengan sehelai selendang embun
menghiasi tubuhku dalam percikan kasih sayang sejagad raya
tahun ini yang dihiasi berjuta kembang udara
kumimpikan kapan kecilnya diriku
angin lembut yang tak menyakiti
air yang selalu turut perkataan hulu dan hilir

kandangpadati, 2008

KABUT SUTRA

Kabut sutra, hadirmu menyelimuti tubuhku
mengikutsertakan hiasan guanin-guanin dari artik
seakan menaungi sejenak kadipaten-kadipaten kahang

dirimu selembut sutra dah indahnya dijadikan sari
sarinya membuat alam bersijundai
pencubit kulit ari telah terawang-awang terpampang tegang
seketika jejak-jejak sutramu melambai lari sembunyi
kutemui sejejak dirimu berjuntai-juntai di udara
tapi dia tak bernazar kapan akan kembali

Kadangpadati, 2007

PION

Aku selalu berjalan selangkah demi selangkah
diatas jalan hitam dan putih
berdiri didepan mengawal kerajaan siaga dengan kematian
aku melangkah bukan untuk menjadi paria yang menerima bingkisan hina dina
seharusnya diriku yang pantas mendapatkan penghargaan ksatria
bukan mereka yang berdiri mati suri sebagai karib si topi salib tapi diselangkah yang putih diriku sudah mati

Padang, 2007

Apresiasi Sastra: dari Kompetensi Pembaca hingga sebuah Standar

Oleh: Fadli Akbar

Pada awalnya saya cukup tidak menduga bahwa tulisan saya tentang 'teori sastra: sebuah perkakas analisis dan standar apresiasi' ditanggapi dengan sangat kritis oleh Esha Tegar Putra (dan mungkin juga oleh teman-teman yang lainnya) dengan memunculkan wacana "adakah standar apresiasi sastra?" Hal ini terjadi karena pada dasarnya saya tidak bermaksud dalam tulisan itu menciptakan sebuah standar apresiasi, yang setelah saya teliti lebih lanjut ternyata dilihat sebagai hasil dan sebuah penilaian. Kalau memang demikian pemahaman tentang standar, mungkin saya pun ragu apakah standar apresiasi yang bermuara pada hasil akhir itu ada, dan yang lebih penting lagi adalah apakah ia perlu. Namun perlahan keraguan itu membimbing saya pada sebuah percikan penalaran yang membuka sebuah pintu pemikiran bahwa pada konteks tertentu dan pada sebuah perkembangan zaman tertentu ternyata standar itu dibutuhkan. Tentunya ia muncul dari sebuah pemahaman yang berbeda secara ontologis dari saya mengenai "standar" dan "apresiasi" itu sendiri secara pribadi.

Pertama, saya bukan tidak setuju dengan definisi sekaligus deskripsi yang diketengahkan oleh Esha Tegar Putra tentang standar, yakni sebuah penilaian dan tentang sesuatu yang memiliki batasan tinggi rendahnya. Artinya standar adalah tak lebih dari sebuah hasil konvensi, yang di sini berarti sebuah kesepakatan kolektif. Berbicara tentang konvensi tentu tak bisa lepas dari subjektifitas. Sementara itu subjektifitas otomatis berbicara tentang sesuatu yang tak bisa distandarkan, tak bisa diuniversalkan. Apalagi untuk sebuah hasil akhir. Hanya kuasa yang bisa menentukannya. Nah, mungkin disinilah permasalahannya. Dalam tulisan itu saya menggambarkan bagaimana sebuah teori sastra diharapkan akan menciptakan pemikiran kritis yang berujung "membimbing pada standar apresiasi."

Di sini, "membimbing pada sebuah standar" adalah sebuah frasa yang secara implisit bisa diartikan pada sesuatu yang belum selesai, atau mungkin cenderung "terbengkalai" dan butuh terus direhab. Di sinilah awal benturan itu.

Hakikatnya, ungkapan di atas adalah ungkapan yang lebih kurang saya coba pahami bagaimana standar itu bukanlah melulu masalah hasil, sebuah penilaian. Namun lebih dari itu ia adalah masalah proses dan terus berproses membentuk kualitasnya sendiri. Lalu apakah ada standar kualitas untuk sebuah proses? Ada. Karena proses butuh ketrampilan, dan tanpa ketrampilan proses akan stagnan. Lebih jauh lagi dalam subjektifitas saya sebuah penilaian datang dari proses itu sendiri, atau sebuah standar yang diciptakan oleh proses. Standar dalam apresiasi adalah proses itu sendiri. Di sinilah sebuah perbedaan pemahaman itu.

Kedua, adalah masalah apresiasi. Pada dasarnya saya juga bukan tidak setuju dengan apa yang Esha Tegar Putra jabarkan mengenai makna apresiasi secara ontologis, sekaligus keberadaannya dalam batasan-batasannya dengan kritik ataupun penelitian. Namun beranjak dari harapan saya pada sebuah proses, dengan konteks tertentu dan tujuan tertentu bukan tidak mungkin batasan-batasan ontologis itu melebur atau lebih tepatnya bisa dilebur. Secara definisi ia tak lebih dari permasalahan ruang lingkup dan tingkat abstraksi. Namun secara fungsionalitas mereka mungkin memiliki muara yang tidak jauh berbeda. Dan satu hal lagi yang menjadi minat saya disini dalam melihat apresiasi adalah apresiasi bukan melulu diartikan sebagai sebuah penilaian, akan tetapi ia lebih kepada masalah pemahaman dan penafsiran (artinya biarlah pemahaman dan penafsiran itu sendiri yang memunculkan penilaian tanpa harus penilaian itu dikemukakan secara eksplisit), dan juga sebuah pemaknaan yang juga tidak tertutup digali lebih dalam. Persoalannya, bukankah itu adalah lahan kritik sastra? Atau apakah ini tak lebih dari sebuah pemaksaan.

SEBUAH KOMPETENSI

Saya tidak mengatakan dan tidak bermaksud untuk melihat standar apresiasi sebagai sebuah pemaksaan. Hal ini disebabkan, pertama oleh karena saya melihatnya bukan sebagai hasil namun sebagai proses. Kedua, ia berhubungan dengan apa yang kaum resepsionis pernah tawarkan dengan teori resepsinya. Adalah seorang Jonathan Culler (1977) dengan ide yang ia kembangkan tentang kompetensi pembaca. Di sini apresiator adalah pembaca itu sendiri. Dan jika seorang apresiator dikatakan bukan melulu pembaca maka ia terlalu kurang ajar untuk bisa dikatakan apresiator. Pembacaan terhadap karya sastra melalui pembacaan Culler adalah sebuah aktifitas membaca yang memprasyaratkan pembaca dengan sejumlah konsep, bukan pembaca sebagai "tabularasa". Artinya pembaca tidak datang untuk membaca dengan isi kepalanya yang masih kosong selayaknya kertas putih yang belum pernah ditulis. Hal ini tidak lain sebagai sebuah upaya menciptakan pembaca yang kreatif sekaligus produktif. Selain dari itu, standar di sini juga menyangkut dengan konvensi. Konvensi di sini maksudnya adalah sebuah sistem aturan yang memungkinkan untuk mengarahkan pada penafsiran yang relatif sama. Sebuah mekanisme kerja yang mempermudah. Sebagai contoh, sistem konvensi untuk memahami novel detektif jelas berbeda dengan sistem konvensi untuk memahami puisi lirik ataupun drama tragedi. Lalu apakah dengan ini berarti terjadi sebuah penyangkalan akan teks yang polisemik? Tidak sama sekali, karena itu tak lebih dipahami sebagai permasalahan teknis. Sebuah cara untuk mempermudah. Bahkan pada level ini, saya sangat setuju dengan Esha Tegar Putra yang mengatakan bahwa teks itu tidak bermakna tunggal. Saya sangat memegang pemahaman Stanley Fish yang pernah disinggung oleh Besley (1980) mengenai teks polisemik yang menggiring pembaca pada level resiko. Mengapa demikian? Karena konsep seperti ini telah berhasil berkontribusi menciptakan pembaca dalam posisi yang tidak nyaman. Dan ketidaknyamanan ini ternyata cukup bagus. Artinya konsep Fish ini mengantarkan pembaca pada posisi yang penuh dengan rintangan. Pembacaan seperti ini terkesan mengganggu (namun bagus), karena dengan begini teks secara tidak langsung mengharuskan pembacanya mempelajari dan mencari secara teliti segala sesuatu yang mereka percayai dan di dalam mana mereka hidup. Teks akhirnya menjadi bersifat didaktik--dalam pengertian yang lebih khusus--tidak mengajarkan kebenaran, akan tetapi meminta para pembacanya menemukan kebenaran bagi mereka sendiri. Dan penemuan kebenaran bukan hanya masalah opini-opini dan nilai-nilai dari pembaca, akan tetapi juga rasa harga diri. Lalu apakah pembaca dibebani? Mungkin iya secara tidak langsung. Hanya saja, penjabaran di atas lebih melingkupi sebuah proses interpretasi. Namun begitu bukan berarti tidak bisa dipaksakan pada level (proses) apresiasi. Persoalannya adalah apakah ia bisa munculk dengan proses yang stagnan? Di sinilah letak standar itu. Sebuah kompetensi yang muncul melalui proses pembacaan yang semakin yang semakin hari semakin membaik.

Ketiga, kalaupun saya harus menerima bahwa saya adalah seorang pemkasa ini semua tidak lebih daripada persetujuan saya dengan argumen yang pernah dimunculkan oleh Cornel West, seorang filsuf sosialis yang melihat semakin memudarnya ilmu-ilmu Humaniora di tengah arus Kapitalisme mutakhir. Artinya kondisi kekinian adalah kondisi dimana kaum-kaum humaniora adalah sekelompok kaum yang semakin terpinggirkan oleh kaum sains ataupun teknologi yang bagi kebanyakan masyarakat lebih memberikan kontribusi dalam realitas, khususnya pada bangsa ini. Apresiasi masyarakat terhadap sains dan teknologi telah mengubur potensi-potensi humaniora (sastra salah satunya) pada posisi yang tereksklusifkan secara indah dalam marginalitas. Artinya sebagai bagian dari kajian Humaniora sastra terus berkembang, namun berkembang pada titik-titik spesial namun minor. Nah, fungsi apresiasilah untuk mengangkat kembali lahan ini. Namun dalam realitanya, cukup memilukan kalau kenyataan ini harus diterima karena ulah para penggiat sastra itu sendiri bersama apresiasinya. Hipotesis ini muncul atas kenyataan yang cukup rendah dalam kemampuan berapresiasi.

Selama ini apresiasi selalu dipahami dan dihambai sebagai sebuah penilaian. Apresiasi tak lebih terbentang sebagai pencarian titik henti, menilai dan menilai namun tidak mencoba memasuki dunia pemahaman, wacana dimana ilmu-ilmu bersirkulasi dengan sangat bebasnya serta sarana berdialektika yang sangat mengasyikkan.

Sehingga yang muncul adalah sebuah keputusan yang kadang-kadang sedikit meresahkan. Sebagai contoh, kita "flash back" pada apresiasi film yang pernah digelar DKSB pada sebuah film yang berjudul "Trophy Buffalo". Saya tidak yakin apakah panelis yang dihadirkan adalah seorang kritikus, namun yang pasti mereka telah menjadi apresiator yang sangat baik. Akan tetapi coba perhatikan apresiator lain yang berposisi sebagai audiens. Secara subjektif, saya melihat audiens lebih menghamba pada sebuah penilaian dan selalu berputar-putar dalam ranah penilaiannya, walaupun tidak untuk semua audiens. Dan semua orang dalam gedung itu tahu apa yang sedang terjadi. Pertanyaannya, apakah itu yang bernama apresiasi? Dimana proses pemikiran kritisnya? Memang pada dasarnya sudah ada kritikus, akan tetapi sekat-sekat itu semakin membuat jurang yang cukup dalam antara apresiator dan kritikus. Sehingga yang tercipta adalah kemandekan pemikiran kritis. Batasan itu memang penting, namun mungkin tidak berlaku jika jika yang terjadi adalah dekadensi yang ternyata diakibatkan oleh pergolakan.

Di sinilah pemahaman saya perihal bagaimana apresiator pada sebuah kondisi musti direduksi pada level tertentu. Ini adalah semacam pemajuan apresiator. Mengapa apresiator? Mengapa bukan kritikus? Karena apresiator adalah tentang kesemuaan. Sedangkan kritikus telah terlalu kukuh dalam posisinya yang lebih stabil. Apresiator adalah basement sekaligus fondasi atas berhasil tidaknya sebuah proses berjalan dengan maksimal, sehingga diharapkan didapatkan sebuah hasil yang beriringan dengan proses tadi.

Setiap orang berhak untuk menjadi apresiator, namun mungkin tidak untuk kritikus. Karena memang ada struktur yang membuat mereka tak bisa disatukan. Namun begitu saya sedikit ragu dengan peryataan Esha TEgar Putra yang menyatakan bahwa: "seorang apresiator belum tentu kritikus akan tetapi seorang kritikus sudah menjadi seorang apresiator." Menurut saya itu sebuah pertanyaan yang realis, namun bukan mesti. Sekarang adalah saatnya bagi apresiator untuk menjadi kritikus. Ini bukan permasalahan pemaksaan tetapi lebih kepada sebuah penyadaran. Terlalu sedikit kritikus sastra yang kritis di negeri ini dikarenakan oleh apresiasi yang berputar-putar di dalam sebuah tempurung penilaian, namun tidak mencoba untuk melihat dunia yang lebih luas dalam balutan pemikiran-pemikiran.

Ruangsempit, 2008

(Terbit di Harian Singgalang Padang tanggal 6 April 2008)

02 April 2008

Puisi Raudal Tanjung Banua

API BAWAH TANAH
: teringat munir

Hamparan diam tanah gambut
padang tidur belukar perdu
hidup terbelit cinta dan maut
dekat atau jauh, tersembunyi rinduku
dan takutmu.

Sebuah titik-api nyala
di akar sebatang pohon duri
duri yang menjaga
akar yang menghidupkan
secuil titik api
jadi api bawah tanah
sabar menanti
yang bakal runtuh
dan musnah.

Jadi padang basah ini berasap
bukan tanpa sebab. Langit yang tabah
menerima pengaduan
sudah mencatat: setelah pohon-pohon diupacarai
lalu ditebangi, huma digusur kota dibangun
jadi kebun seluas bumi, di mana taman bunga
matahari? Lalu siapa yang bisa
membujuk api? Tak ada.
Kecuali pintaku pada dunia:

Jangan beri aku belukar perdu
menyimpan onak, ular beludak
beri aku sebatang pohon duri
melintas batas padang kerdilmu!

Tapi kau dan sepasukan angin gila
mengepungku dari arah rawa-rawa
dengan tubuh luka dan berdarah
erat kupeluk pohon duri masa kecilku
seperti tubuh ibu yang bergetah
merekat ingatanku sebelum pergi jauh
--bertahan dari runtuh
Lalu angin santer menjala siapa saja
bringas, menggerakkan sepasukan ilalang
mengepungku di lain sisi, bagai penyamun buta
menunggu yang tersekap
jatuh ke bumi.

Ketahuilah wahai dunia
aku tak takut jatuh
aku hanya takut nyangkut
lalu tampak seperti jatuh!

Kemudian datanglah masa itu
masa di mana ibu-pohon-duriku ditebang
seribu titik api dipadamkan
dan seribu berkobar lagi, sendiri
maka aku berkata, selirih gemertak ranting patahan
seperih bisa ular derik musiman:

Mereka yang membunuhku
akan dibunuh oleh waktu
Setiap yang dipadamkan
akan nyala lebih dalam
Setiap yang dilenyapkan
akan bersekutu dengan akar
Jadi api bawah tanah,
jadi puisi tanpa nama
jadi lapar seribu nama...
/Pleihari-Yogyakarta, 2007

BATU DAN PONDOK LADANG

di batu bersemayam arwah nenek-moyang
di batu-batu tertera altar tuhan
di batu belah batu bertangkup
tergores cerita, jejak telapak tangan
para pemecah batu negeri angan-angan

di sini, mesin molen hanya milik mandor
truk-truk menderu seperti kapal
mengangkut kayu, papan dan batu
milik juragan

setelah semua habis,
tinggal sebongkah batu besar
tidak belah tidak bertangkup,
berkubang di tengah ladang
diam dia saling memandang
dengan sebuah pondok ladang
doyong dan kesepian

di jalan pulang,
para pemecah batu singgah
dan seseorang berkata, "Masih ada sebuah
kita pecahkan ayo, serpihannya jadikan kerikil
penambah beli kretek dan mencicil utang harian."

seseorang lain membayangkan ada emasnya
dan seorang lain bicara dingin dengan angin,
"Apa pun, kita tak bakal kaya..."
sia-sia? tidak juga, toh mereka punya butiran kristal
keringat sendiri, kadang di amsal emas murni
walau tiada arti. maka tanpa mimpi, mereka mulai
memecah batu itu dengan nyanyian langit telanjang
yang lain memasukkannya ke dalam keranjang
dan mengangkutnya ke tepian

menjelang petang, telah mereka pikul habis
berkeranjang-keranjang kerikil--emas murni
sebatas kristal keringat masih--dan semua dilayarkan
di sungai hitam di kaki bukit menuju kota
hitam dan sakit
hitam dan sakit

masih ada yang belum terbilang:
pondok ladang, doyong dan kesepian
apakah akan mereka ambil juga
dibongkar tiang-tiang dan diurak kayu usuknya,
siapa tahu ada tembikarnya juga?

tapi tak seorang pun berani mendekat
tampaknya mereka lebih takut kepada pondok
milik seorang peladang pemberani
--yang mati dalam labirin teka-teki--
ketimbang pada batu besar altar tuhan
dan roh suci nenek-moyang

semua menunggu, sampai merah tirai senja menunggu
sampai seseorang dalam rombongan itu, calon mandor
yang gagal, dua tahun lalu, seketika menemukan cara yang tepat
membalas dendam, "Biarkan. Sebagaimana aku tak tahan
mengingat kepal tangan dan seringai kurang ajarnya,
kini arwahnya juga akan lebih menderita."

Dan, benar, tanpa batu besar itu kini
dua jendela pondok menjelma jadi sepasang mata arwah
milik peladang malang yang memandang kosong-hampa
ke tengah ladang: batu berkubang batu telanjang tiada lagi sekarang
dan ia merasa kesepian
doyong dan kesepian
sungguh kesepian.

/Peg. Meratus, Pleihari, 2007

SAJAK PASAK BUMI

hujan turun di padang perdu
angin santer di padang perdu
hujan berakhir dengan reda
atau gerimis lagi, dan berawal dari tiada
atau gerimis juga; angin bangkit sesuka hati
atau tidur lagi, tergantung pada cuaca
tak ada yang mengerti
kecuali sajakku
tegak berjaga
menjadi pasak bumi
bagi ketakutan
lemah hayatmu!

/Pleihari, 2007

IGAU PULAU

--sajak tercecer

Di selembar kain belacu aku menggambar pulau
tanpa menara dan mercu, tiada percakapan kecuali
suara burung-burung liar, riang mungkin murung.
Keheningan mencipta bahasa sendiri dari gemerincing
kerang dan lokan, sesekali raung gelombang dan derak
ruang kapal kayu yang terdampar bertahun, merana,
tak mencurahkan satu pun berita dari lambungnya
yang bocor, pucat dan tohor, kecuali teriakan sial
dan denting botol, bangkit dari seribu tahun keheningan,
maka bisulah terasa daratan itu selama-lamanya...

Tapi ke sana aku 'kan menuju tanpa alamat dalam saku
hanya mimpi-mimpi masa kecil, secuil, jauh terpencil:
berlari menyisir pesisir, sorak-sorai kami adalah suara
hidup seribu pantai dan lagu kumandang penunda
kekalahan laut bosan sebab terlalu lama menunggu
berita baru yang akan menyeret kenangan selaknat
topan, namun, o, jangankan berita baru, kabar lama pun
hampa tak sampai-sampai, kata-kata dihala ke cakrawala
dan bahkan kata doa kami tak punya, sampai tiba suatu hari:

seekor paus raksasa terdampar di pantai dengan getar
tak bersudah, seluruh kampung gempar, susah-payah
merumuskan kejadian: pertanda bala, tulah atau nikmat
segar daging bakar campur mrica? Atau inilah berita
baru itu! Tak seorang pun yang tahu, juga aku, tak
seorang pun yang tahu, juga aku yang gemetar
dengan pisau dan selembar kain belacu kusam di tangan:
bahkan penguasa lautan pun tak tahu apakah akan
kugoreskan pisau itu atau kutikamkan!

/Yogya-Cilacap, 2005-2007

Raudal Tanjung Banua lahir di Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Buku puisinya, Gugusan Mata Ibu (2005) memperoleh Anugerah Sastra MASTERA V di Malaysia.

(Koran Tempo, 30 Maret 2008)

Mata Biru

Cerpen Luis Rafael Sanchez

AKU berkata, apa yang akan dilakukan si lelaki kulit hitam dengan mata biru itu dan mereka tertawa hingga nyaris terkencing-kencing di celana. Mereka: anak perempuanku Puchuchu dan lelaki kulit hitam yang bersamanya. Puchuchu berkata, lelaki itu membelinya dan ia menyukainya. Puchuchu menggesekkan pusarnya pada pusar lelaki kulit hitam itu dan lelaki kulit hitam itu meraih bokong Puchuchu. Mereka tertawa-tawa dan menjadi liar.

Aku berkata bahwa orang-orang kulit hitam tak perlu memakai mata biru, tapi anak perempuanku bilang mereka memakainya dan mereka membelinya jika seorang kulit putih menjualnya dengan harga yang disepakati, lima puluh dolar untuk satu ons. Karena Fortunato punya lima puluh dolar, ia membeli butiran mata biru milik orang kulit putih itu agar Fortunato menjadi lelaki kulit hitam istimewa.

Tawa menggema meresap hingga ke sumsum tulang mereka. Aku berkata, orang kulit putih bergantung pada mata biru itu dan jika mereka ingin menjual mata biru mereka, mereka akan menjualnya kepada orang kulit putih, bukan kepada orang kulit hitam. Mereka tertawa dan meliuk-liuk seperti nada akordion atau seperti tarian orang-orang miskin di Cortijo. Aku berkata jika yang menjual mata biru itu kepadanya adalah seorang kulit putih, ia pasti akan menjadi beraroma orang kulit putih. Gelak tawa membuat mereka mengentak-entakkan kaki, lalu mereka berciuman sampai basah.

Anak perempuanku menanyakan sesuatu yang tak kutahu kepadaku, tetapi hukuman yang diterimanya karena tertawa ngakak dan tak sopan pasti tak akan luput darinya. Tawa yang nyaring seperti air terjun membuat anak perempuanku Puchuchu terkentut-kentut dan terjatuh, dan lelaki itu ikut jatuh terpelanting saat mencoba mengangkatnya. Kini mereka bertindihan, tak peduli gadis itu sedang berantakan. Lelaki itu berkata kepada Puchuchu, "Sayangku cantik, ayo kita lakukan, sejak semalam aku sudah tak tahan..."

Derai tawa membuat mereka rubuh kembali dan karena mereka tertawa setengah mati aku bilang apakah mereka tidak takut mati ketawa. Aku meraih pegangan kursi agar pingkal tawa itu tak menyeretku seperti angin puting beliung. Anak perempuanku Puchuchu dan lelaki ini tertawa nyaring sehingga seakan-akan hendak meruntuhkan semuanya dan Puchuchu masih sempat bertanya apakah orang kulit putih beraroma seperti Mama.

Tawa meledak dari dalam perut mereka karena putriku Puchuchu selalu tertawa seperti itu dan tampaknya Fortunato ini menirunya pula. Lelaki itu membuka kancing kemeja guayabera-nya dan menggosok kulit perutnya yang berbulu seolah-olah perutnya sakit. Aku berkata aku tak tahu apa-apa soal orang kulit putih dan tak pernah berkeliaran dengan mereka. Aku bilang, "Bila saatnya tiba untukku bersama seseorang, aku akan bersama Papa-mu yang benar-benar seorang lelaki kulit hitam tampan dan keras seperti batako, dan ia seorang lelaki kulit hitam istimewa yang selalu siap tempur."

Lelaki ini, Fortunato, melenguh yang membuatnya jatuh menindih putriku Puchuchu dan putriku mengelus tubuh lelaki itu. Dari bawah tubuh Fortunato, putriku Puchuchu lagi-lagi menanyaiku seperti apa bau tubuh orang kulit putih. Aku berkata, "Puchuchu, jangan meledekku, kau setiap Sabtu pagi membawa lelaki bule ke rumah dan setiap Sabtu siang lelaki bule yang lain datang..."

Lalu aku berkata kepada lelaki ini, Fortunato, "Putriku seorang lonte yang berbisnis hanya dengan orang bule karena Papa-nya menyerahkannya kepadaku dan kabur dari rumah ini..." Fortunato berhenti tertawa dan menyingkirkan Puchuchu dari tubuhnya.

Puchuchu mencoba tertawa dan masih bertingkah seolah sedang tertawa, tapi tawanya tak muncul setitik pun. Fortunato begitu tenang mengancingkan kemejanya dan memasukkan anunya ke dalam celana. Dalam diri lelaki ini kau bisa melihat sesuatu yang tak selesai karena ia seperti seorang lelaki yang terpukul angin yang terpendam.

Putriku Puchuchu mencoba mengubah tawa menjadi senyum. Dia memohon kepada Fortunato dengan tangan menyembah dan ketika Fortunato ini mendorongnya, dia berubah mengamuk seperti kucing marah.

"Kau kulit hitam pencemburu, perbuatan di hari Sabtu itu hanya karena aku sedang merencanakan penipuan. Kau kulit hitam pencemburu, Mama lebih gila daripada pelacur sejak Papa meninggalkannya demi seorang perempuan bule!"

Putriku Puchuchu tak mampu menyembunyikan keputusasaannya yang merekah seperti pohon pisang yang sedang mekar dan ia tak bisa tak memaki. Aku bilang, "Puchuchu bocahku, kita perempuan kulit hitam yang lahir di Kampung Pantat Hitam tak pernah berbicara jorok !" Lalu, aku bilang kepada Fortunato, "Perempuan kulit hitam bisa saja tidur dengan lelaki kulit hitam, tapi jatuh cinta pada lelaki bule dan berpura-pura merasa kesakitan seolah-olah dia perempuan bule!"

Lalu, aku melanjutkan cerita tentang lelaki-lelaki yang datang dan pergi, tapi terhenti karena anak perempuanku Puchuchu menghentikanku dengan pukulan keras yang membuatku rubuh.

Fortunato menggelengkan kepalanya dan berkata, "Kau lebih gila daripada Mama-mu yang gila!" dan pergi ke arah pintu.

Putriku Puchuchu melompat seperti kucing betina dan bergelayut pada bahu Fortunato yang kuat dan berteriak sambil memohon agar lelaki itu tak meninggalkannya, agar ia diberi kesempatan sekali lagi, dan ia berbisik, "Fortunato, kau tahu kita pasangan yang cocok dan aku akan berhenti melacur..."

Aku berkata sambil terkapar di lantai, "Aku akan bilang sekali lagi padamu, Puchuchu bocahku, kita perempuan yang lahir di Kampung Pantat Hitam tak mengotori mulut kita dengan segala kata-kata jorok!"

Begitu aku bicara, putriku Puchuchu menghantam wajahku karena kini ia tak bisa melakukan hal lain selain mencaci-maki dan meludahiku dan menendangku dan mengancamku dengan kata-kata keji, "Aku akan menghajarmu seperti dulu kau melakukannya padaku!"

Fortunato pasti sudah pergi karena suara langkah kaki yang bergegas terdengar menuruni tangga. Aku tak lagi berkata sepatah pun lagi dengan bibir tebalku karena bibirku yang tebal telah sobek dan dari bibirku yang tebal itu aliran darah kental menetes. Putriku Puchuchu melihat tetesan darah itu dan dia bergegas pergi menuruni loteng.

Ketika suara langkah kaki lenyap, aku tak bisa menyembunyikan rasa senangku yang merekah dalam seulas senyum. Aku memutuskan untuk bangkit dan perlahan-lahan mengompres bibirku yang luka dengan es dan memulihkan kesehatanku lagi agar aku tetap bisa bertingkah seperti seorang pelacur gila agar aku tak menjadi gila sungguhan.

Luis Rafael Sanchez adalah penulis Puerto Rico. Cerita di atas diindonesiakan oleh Anton Kurnia dari terjemahan Inggris Clementine Rabassa.

(Koran Tempo, 30 Maret 2008)