Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

26 Desember 2007

Tiada Hari Tanpa Menulis

"Anak muda! Menulislah!
Jangan pernah takut tidak dibaca
atau dibuang orang.
Yang penting tulis, tulis, dan tulis!
Suatu saat pasti akan ada yang membaca
dan (bahkan) menerbitkannya!"


(Pramoedya Ananta Toer/Menjelang kematiannya.)

Prolog

Asyik surfing di media maya. Kadang saya merasa terjebak ke dalam dimensi yang mengurung dan menjadikan diri saya enggan untuk balik ke dimensi yang seharusnya. Ya, akses internet sudah jadi sebuah hobi semenjak tahun 2005 (tahun pertama saya mengenal dunia kampus--dunia kuliah--dunia sastra--dunia kepenulisan).

Antara kampus--kuliah--sastra--serta kepenulisan menjadi dunia yang beruntun saya geluti. Maklumlah, saya menimba ilmu di Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang. Mungkin tidak seperti anak eksakta yang kesehariannya nongkrong di perpustakaan kampus--cari jawaban dari tugas yang diberikan dosen, bidang ilmu sayalah--Humaniora yang mengharuskan saya untuk jeli melihat perkembangan seni, budaya dan sastra. Saya lebih memfokuskan diri melihat perkembangan itu semua lewat media maya.

Inilah Ceritanya

Suatu ketika saat asyik melakukan pencarian di Search Engine tentang sastra, budaya dan seni, terlintas di otak saya satu kata yaitu menulis. Saya pikir, tidak ada salahnya untuk mencari informasi kepenulisan. Akhirnya, melalui Search Engine itu, saya menemukan pengertian dari menulis yang tercantum pada Wikipedia Indonesia;

"Menulis adalah suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara."

Memang tidak begitu jelas runtutan pengertian di atas. Tapi saya tidak ambil pusing dengan pengertian itu. "Ah, tidak penting..." begitu yang terlintas di pikiran saya. Setelah itu, saya pun "mengacak-ngacak" Search Engine tersebut. Saya menemukan beberapa blog yang memuat tips-tips menulis. Juga yang menggelar Sekolah Menulis Online--salah satunya adalah BelajarMenulis.com

Tertarik?

Ya, jujur memang agak tertarik. Dan, ini adalah terobosan yang boleh dibilang baru--sekolah online. Biasanya, yang namanya sekolah atau kursus atau apalah namanya itu adalah konsep tatap muka. Sebenarnya yang mana yang bagus?

Ah, saya tidak bisa menghakimi kalau metode online kurang bagus (Setiap metode pasti ada positif dan negatifnya:) Dulu saat belajar nulis, saya dibimbing langsung oleh senior-senior di kampus. Metodenya cukup sederhana, "ada tulisan diskusikan". Begitu setiap saat. Kapan pun, dan bisa dilakukan di sela-sela jam perkuliahan. Sharing tulisan secara langsung (saya akui agak sakit hati:) tetapi lega sebab pengoreksiannya secara komunal dan "mengena" (disinilah saya belajar dikritik dan mengkritik).

Namun metode online tidak salahnya dicoba. Perkembangan teknologi yang menggurita saat ini cocok untuk dilaksanakannya sekolah online. Saya kembali berpikir, bahwa "online" sepertinya sudah menjadi kebutuhan--kalaupun tidak dikatakan primer, sekunderlah.

Belajar Menulis


Permulaan tulisan ini adalah pesan dari Pram sebelum meninggal (Saya kutip dari postingan seorang kawan di millist Sastra-Pembebasan). Hal ini menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi orang muda dan orang Indonesia untuk bilang bahwa: "Saya tidak bisa menulis!" Banyak cara untuk bisa menulis, apalagi kegiatan ini sudah dilakukan semenjak Sekolah Dasar.

Tentang hal ini, saya sedikit heran dengan ambisi orang muda (kaum aktivis) yang sekarang (mungkin) malas menulis (atau apa cuma terjadi di daerah saya saja ya?)


BelajarMenulis.com



Ah, ya saya sedikit tergelitik ketika mengutak-atik Sekolah untuk Belajar Menulis ini. Ada halaman khusus tentang "Bisnis untuk Penulis" yang merupakan Internet Marketing. Halan in menuju ke situs baru yang berhubungan dengan situs PenulisLepas.com. Hmmm, saya tidak bisa bilang bahwa hal itu tidak perlu sebab siapa pun punya hak untuk menjadikan hidupnya bebas finansial. Tetapi, apa perlu dikhususkan tempatnya?

Saya rasa, cukuplah diletakkan pada link dan untuk bisnis tersebut saya usulkan agar punya situs atau web tersendiri. Jadi tidak terkesan "numpang" dan "aji mumpung" :) Dan saya lihat di links sudah tertera bisnis yang herannya serupa semua mengarah ke AsianBrain. (Ada apakah gerangan?)

Kenapa saya berpikiran seperti itu? ("numpang" dan "aji mumpung") Saya melihat BelajarMenulis.com tujuannya benar-benar untuk media belajar, pengasah kreativitas menulis entah fiksi, semi ilmiah maupun ilmiah sekalipun. Dan jikalau Belajar Menulis menerapkan sistem belajarnya dengan sistem berbayar hal itu bisa diterima asalkan sebatas pembiayaan blog, honor pengajar, maupun honor pengelola blog. Tetapi kalau sampai bertujuan untuk mengeruk keuntungan seperti konsep bisnis Kapitalis... saya pikir penulis-penulis yang dihasilkan oleh Sekolah Belajar Menulis pun akan berpikiran "huruf" Kapital.

Pemikiran Kapital ini yang patut diwaspadai oleh BelajarMenulis.com, (sekali lagi, saya tidak menghakimi pengelola BelajarMenulis ataupun AsianBrain hanya memberi masukan, sebab Kapitalisme sudah terbukti menyesatkan dan merugikan sebagian kelompok yang dinamakan kelompok miskin atau kelompok marjinal).

Dan, saya pikir jika BelajarMenulis.com memang berusaha mengeruk keuntungan dari Sekolah Online ini, maka konsep kepenulisan yang diterapkan harus kembali dipertanyakan.


Epilog


Kembali saya menghaturkan perasaan maaf jika ada yang tersinggung oleh tulisan "prematur" ini. Saya hanya berharap jika memang BelajarMenulis.com ataupun sekolah/kursus memang berniat membantu mengasah kreativitas, maka seharusnya hal itu adalah hal yang murah bahkan "gratis". Ya, walaupun jika dipaksakan untuk gratis, nantinya akan negatif juga dan ujung-ujungnya Sekolah ini pun tutup.

Menulis merupakan hal yang mengasyikkan. Sebagian penulis ternama bahkan menjadikannya sebagai profesi. Saya mengenalnya beberapa seperti Ragdi F Daye, Iggoy El Fitra, Gus Tf Sakai, Iyut Fitra. Semuanya adalah penulis dari Minang. Terutama Gus Tf (saya biasa memanggilnya Bang Gus)ia selalu men-support para penulis muda seperti saya agar berkompetisi menaklukkan media massa. Juga bang Ade (panggilan saya terhadap Ragdi F Daye) dia adalah pengkritik tajam setiap tulisan saya. Mereka tidak pernah menganggap rugi ketika proses kreatifnya dibagi-bagi kepada penulis pemula.

Untuk itu, kepada BelajarMenulis.com jadilah Sekolah yang terkenal akan kualitas dan eksistensi pengajarnya dalam menulis. Saya mungkin tidak berharap jika BelajarMenulis nantinya terkenal akan biayanya yang "super" dan tidak terjangkau oleh orang muda (mahasiswa) seperti saya. (Jangankan bayar biaya Sekolah Online, bayar SPP saja susahnya minta ampun, utang dimana-mana, makan pun susah). Saya jadi ingat lagunya orkes Pemuda Harapan Bangsa (PHB) yang judulnya "Mahasiswa Rantau";

"Mahasiswa rantau, makan tak teratur..."

Semoga Sekolah Belajar Menulis (SBM) bisa memperlihatkan eksistensinya.

Salam

Padang, 26 Desember 2007

24 Desember 2007

Akhir-Akhir Ini, Diri Saya Terasa Aneh

Bukan cuma isapan jempol belaka. Tetapi ya, minggu-minggu terakhir ini diri saya terasa aneh. Ada "kekosongan" yang maha dahsyat menimpa saya. Puncaknya setelah melaksanakan Shalat Idul Adha (20 Desember 2007).

Sesampainya di rumah, perasaan cemas datang silih berganti. Ada-ada saja yang saya cemaskan. Mulai dari mencemaskan ibu yang sedang menjaga kakek di Bukittinggi. Padahal, tiap malam ibu selalu telepon mengabarkan kondisi kakek (saya biasa memanggil kakek dengan sebutan "abo"--sebutan khas orang daerah Sigiran Maninjau), juga mencemaskan kakak yang saat ini bekerja jadi operator warnet berjarak sekitar setengah jam dari rumah. Pikiran-pikiran seperti mereka berdua itu tertimpa musibah lain (Astagfirullah) terus menimpa-nimpa, lalu sesaat kosong.

Perasaan yang tak menentu itu sampai sekarang (sampai saya mengetikkannya di blog ini). Apakah saya tertimpa kondisi kejiwaan yang jenuh? Atau apakah ada kaitan dengan peristiwa lain? (mungkin saja)

***

Pas malam takbiran, saya sedang berseda gurau dengan teman-teman satu profesi. Bercerita tentang tulisan apa yang baru dibuat, sudah terbit dimana saja dan honor. Diantara teman-teman (lumrah saja) mereka pamer; "aden, caliaklah tulisan den tembus ka Kompas." Ujar Struk alias Esha Tegar Putra yang sudah dua kali puisinya dimuat di Kompas. Sedangkan saya cuma tersipu malu, sebab belum apa-apa dibandingkan mereka. Pilihan diksi saja masih kacau balau.

Nah, beberapa menit kemudian, tiba-tiba saja seorang cewek (mahasiswi) pakai jilbab histeris. Kadang ia mengumpat kepada orang-orang yang lewat... "WAHAI MANUSIA, MENGAPA KALIAN MASIH SAJA TERSENYUM SEMENTARA AZAB ALLAH AKAN DATANG SEBENTAR LAGI!"
Lalu, ia juga mengaji. Surat Ar-Rahman, Al-Baqarah (Ayat Kursi), An-Naas dll.

"Lah ini orang kenapa?!"

Saya pribadi bingung. Plus masyarakat sekitar yang langsung mengurubungi cewek itu. Kata orang, dia kesurupan. Nama jinnya Abdul... (wah saya lupa, yang penting namanya nama Arab gitu lah) Ada kali satu jam lebih cewek tersebut berlaku seperti itu. Saya sendiri pun melihatnya heran, kok kesurupannya aneh?

Masyarakat pun menghubung-hubungkan fenomena ini dengan isu tanggal 23 Desember 2007. (Bagi masyarakat kota Padang, beredar isu bahwa pada tanggal tersebut akan terjadi tsunami dahsyat, namun sampai saat ini belum terjadi apa-apa.) Semoga tidak! Amiin

Selama si cewek masih dalam cengkraman si jin, saya sempat memperhatikan matanya yang berkilat tajam. Akhirnya, datang para ikhwan dan akhwat kampus. Sepakat dengan keluarga dan masyarakat si cewek dibawa ke Ruqiah Centre.

***

Nah, semenjak itulah, saya merasa aneh. Mudah cemas, mudah tersinggung. Apalagi, libur memang panjang. Dan sehabis itu lagsung digedor sama Ujian Akhir Semester. Apa karena itu?

Ah, semoga saja dada ini bisa kembali tenang. Doakan!

22 Desember 2007

Komunitas Sastra

Silang sengkarutnya wacana sastra `tidak bermoral` atau `bermoral` pada tahun 2007 ini menjadi pratanda kalangan sastra Indonesia kembali memasuki wilayah etis bernama tanggungjawab. Pertanyaannya: sejauh mana konflik wacana ini sanggup memberi jalan terang benderang terhadap tanggungjawab yang diemban para pelaku sastra?

Tanggungjawab sendiri bagi sastrawan mempunyai dua arah, yaitu: tanggungjawab secara profesional dan tanggungjawab moral.

Tanggungjawab profesional sastra terkait dengan penentuan standar sastra sekaligus perilaku profesional sastrawan dalam berkarya dengan mengemban paradigma sastra sebagai bagian dari humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan yang menekankan kreativitas, kebaruan, orisinalitas, keunikan, mencari makna dan nilai, bertujuan menumbuhkan kekaguman, bersifat normatif dan deskriptif, pemahaman rasional dan imajinasi, bahasa yang dramatik, emosional, dan purposif.

Tanggungjawab moral terkait dengan standar legal dalam berkarya sastra, berperan sebagai pemandu perilaku profesional dan pengendali integritas pribadi pelaku sastra sekaligus karyanya jangan sampai melanggar hukum dan standar moral yang secara umum berlaku dalam masyarakat, dalam lingkup lokal maupun global, sekaligus pemandu ketika terjadi konflik antarstandar moral, atau konflik antara standar moral dengan standar legal.

Peran komunitas-komunitas sastra sangat menentukan bagaimana wujud tanggungjawab karya sastra menjadi hidup dalam keberadaannya sebagai diri sastra sendiri, sekaligus sebagai bagian dari masyarakat serta peradaban. Akibatnya, kita sangat mengenal bagaimana corak standar berkarya kreatif antarmasing- masing komunitas menjadi sangat berbeda-beda.

Sebagai contoh, bandingkan corak standar karya sastra antara Boemipoetra (BP) dengan Komunitas Utan Kayu (KUK) yang dibombardir dengan berbagai cara juga dengan menunggangi Manifesto Ode Kampung pada pertengahan 2007 ini. Boemipoetra mengaku sebagai kelompok dengan karya sekaligus perilaku bermoral dengan menuding KUK sebagai
penghasil karya sekaligus berperilaku tidak bermoral. Sementara, KUK mempunyai standar moral sekaligus standar profesional yang berbeda, dan punya cara tersendiri dalam menyikapi tudingan itu. Perbedaan keduanya tampak diwadahi dan diakomodasi dalam kelompok masyarakat (komunitas) sendiri-sendiri.

Bahkan, pada hakekatnya BP yang menggerakkan Manifesto Ode Kampung ternyata merupakan komunitas yang begitu cair, yang di dalamnya sendiri penuh dengan perbedaan standar profesional sastra maupun standar moral antar `anggota`. Salah satu komunitas besar yang hadir dalam acara Ode Kampung 2007 yang melahirkan manifesto tersebut adalah Forum Lingkar Pena (FLP), meski dalam urusan tanda tangan manifesto adalah urusan pribadi masing-masing anggota. Jelas, standar bersastra dan moral FLP sangat seragam dengan nilai-nilai Islami-nya.

Contoh pengaruh kebijakan komunitas ini terhadap karya sastra terungkap dalam acara Ode Kampung 2 tersebut. Kurnia Efendi yang punya standar penulisan sastra berbeda, bersedia menyesuaikan diri dengan standar penulisan ala FLP dalam antalogi cerpen bersama Asma Nadia, di antaranya dalam cerita berpacaran pun gadis dan pemuda tidak bersentuhan tangan yang dalam kaca mata FLP sudah masuk wilayah moral.

Peran komunitas sastra memang sangat penting dalam membentuk paradigma pelaku sastra terhadap tanggungjawab berikut alasannya dalam kegiatan sastra bahwa: bagaimanapun, kegiatan bersastra merupakan bagian integral kegiatan manusia yang wajib dipertanggungjawabk an, lalu ada dampak pengaruh karya sastra bagi kehidupan manusia, serta kenyataan semakin pendeknya jarak waktu antara karya sastra dalam penulisan dan sosialisasinya dalam berbagai media.

Sastra sebagai bagian dari humaniora pada hakekatnya mengembangkan asumsi tentang hakekat manusia sebagai animal symbolicum, tidak hanya puas dengan pemenuhan kebutuhan materi, makhluk yang mencari dan memberi makna yang dinyatakan dalam simbol. Tindakan manusia adalah tindakan yang keluar dari kebebasannya, tidak dideterminasi oleh institusi sosial dan kultural, namun tetap saja apa yang dilakukan mesti dapat dipertanggungjawabk an.

Contoh komunitas sastra yang berhasil dalam konteks pengembang asumsi hakekat manusia ini adalah Komunitas Utan Kayu yang diakui Ayu Utami dalam novel Saman-nya bahwa atas dukungan untuk komunitas inilah novel ini lahir sehingga dia mengatakan novel itu untuk `Komunitas Utan Kayu`. Saman sendiri dianggap sebagai sastra `pendobrak` pada tatanan kebekuan Orde Baru tentang aktivis HAM termasuk dengan kehidupan seks pribadinya, sebagai wakil dari manusia sebagai makhluk yang terus mencari.

Bagaimanapun, sastra mempunyai peran besar dalam menanamkan kesadaran betapa besar dampak pengaruh karya sastra bagi kehidupan manusia. Selain kitab-kitab agama semawi yang dianggap sebagai karya sastra agung, Cicero (106-43 SM) telah memulainya dengan humanitas sebagai pendidikan manusia agar lebih manusiawi (humanior), berlanjut abad 14 muncul Cicero studia humanitas dengan meliputi mata pelajaran tradisional gramatika, retorika dan puisi.

Berlanjut masa renesans sebagai masa kelahiran kembali kesusastraan dan seni dengan ciri-ciri penemuan dunia, individualitas, kebebasan dan obyektivitas, muncul humanisme renesans yang merupakan gerakan susastra dan filsafat abad 14 sampai 17, yang terus menjadi jiwa masa Pencerahan dan seterusnya sampai sekarang. Belum lagi kita hitung karya-karya sastra dunia dan nasional yang menjadi inspirasi perjuangan bangsa-bangsa, negara-negara dan kemanusiaan bahkan dalam konteks Indonesia dengan karya-karya puncak sastrawan-sastrawan Indonesia.

Memang para pelaku sastra dapat berkembang secara induvidu sesuai dengan kenyataan umum kerja sastra adalah kerja kreatif individu. Peran komunitas sastra justru untuk menumbuhkan dan pemicu kerja individu ini semakin berkembang dan bertumbuh kuat memberikan makna bagi lahirnya karya-karya sastra yang pada gilirannya mewarnai sejarah. Munculnya guru dan murid bahkan kurikulum pendidikan humaniora dan sastra dalam sejarah dunia bidang humaniora tersebut menjadi cermin bahwa di situ terdapat komunitas tertentu yang menumbuhkan sastra!

Kita tinggal menghitung berapa banyak fakultas sastra atau ilmu budaya hadir di perguruan tinggi di seluruh tanah air. Selain melahirkan ilmuwan sastra, kita tinggal menghitung jumlah sastrawan yang muncul dari pendidikan formal itu. Belum lagi dari `pendidikan non formal` dalam berbagai komunitas.

Komunitas sastra berkembang bentuknya dari masa ke masa, menjadi penegas dari asumsi (oleh sastra sebagai bagian dari humaniora) tentang masyarakat bahwa: masyarakat adalah riil atau merupakan konstruksi relasi obyektif Aristoteles untuk suatu manfaat empiris. Komunitas tradisional yang merupakan kelompok-kelompok yang berkumpul secara fisik dalam pertemuan bersama, berkembang secara korespondensi surat-menyurat, dan terakhir secara maya melalui media elektronik internet, sebagai konstruksi masyarakat yang berelasi obyektif punya minat sama di dunia sastra.

Konstruksi relasi obyekif untuk suatu manfaat empiris dalam komunitas fisik tampak pada komunitas pengarang yang berkumpul secara informal di Balai Budaya Jakarta pada 1980-an yang dalam prakteknya punya manfaat besar dalam penggiliran pemuatan cerpen dan puisi di Harian Kompas masa itu, lantaran redaktur dan pengarang adalah teman-teman sendiri. Saksi sejarahnya Arie MP Tamba, Hamsad Rangkuti, Korrie Layun Rampan, dan lain-lain.

Meja Budaya yang bertemu secara rutin dua minggu sekali di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, di antaranya punya manfaat empiris pembahasan manuskrip karya-karya aktivis komunitas di antaranya karya Akhmad Seku (novel Jejak Gelisah), Sihar Ramses Simatupang (novel Lorca), Martin Aleida (novel Jamangilak Tak Pernah Menangis) dan penulis sendiri (novel Lanang) yang masing-masing terbukti mempunyai makna bagi nasib dan prestasi karya yang dibahas.

Konstruksi relasi obyektif untuk manfaat empiris dalam komunitas maya yang akhirnya pun mengadakan `aksi fisik` (bukan sebatas `maya`) tampak pada Milis Apresiasi Sastra dengan anggota dari berbagai belahan dunia mampu melahirkan karya sastra antologi
Selasar Kenangan, berbagai lomba sastra puisi, cerpen, esai, dan para anggotanya menerbitkan buku-buku bahkan penulisan di berbagai media.

Milis Sastra Pembebasan pun menghimpun 37 penulis yang tersebar tempat di belahan-belahan bumi yang berbeda untuk suatu konstruksi relasi obyektif penyuaraan tragedi 1965 sebagai tragedi besar bangsa dan kemanusiaan yang mesti dirampungkan, dalam bentuk Buku Antologi Tragedi 65 (Puisi-Cerpen- Esai-Curhat Tragedi Kemanusiaan 1965-2005).

Kondisinya jauh berbeda dengan zaman Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66 bahkan angkatan 1980-1990-an, yang untuk menunggu karya sastra muncul membutuhkan waktu terbit media cetak dalam mingguan, bulanan bahkan tahunan. Kemajuan teknologi telah memperpendek jarak waktu antara karya sastra dalam penulisan dan
sosialisasinya dalam berbagai media. Di sini muncul tuntutan komunitas sastra mesti memainkan peranan sebagai konstruksi relasi obyektif yang secara cermat menjaga agar para anggotanya tidak terjebak pada produksi karya instan atau karya-karya bernilai
katarsis guna suatu pencapaian sastra.

Di sinilah kita kembali mengejawantahkan tanggungjawab sastrawan secara internal berdasar standar perilaku profesional di mana komunitas sastra dapat berperan menjaga dan meningkatkan kompetensi profesional para anggotanya. Dengan cara-cara teruji, komunitas sastra dapat berperan mendorong para pelaku sastra anggotanya untuk secara disiplin punya kemampuan analitik, sintetik dan kritis yang boleh dikata merupakan asumsi tentang metodologi bidang kesusastraan sebagai bagian dari humaniora. Komunitas sastra mesti sanggup mencipta atmosfir agar para anggota mampu menjaga dan setia berpegang pada hati nurani profesional kesusastraan.

Adapun tanggungjawab secara eksternal berdasarkan standar moral sebagai sastrawan, pelaku sastra perlu bersikap dan bertindak jujur, bersikap terbuka atas segala masukan dan informasi yang berkembang. Namun, tetap menjaga otonomi dan integritas diri sebagai sastrawan sekaligus mematuhi hukum yang berlaku.

Di sini komunitas sastra dapat memainkan peran sebagai payung bagi anggotanya dalam berhadapan dengan dunia luar ketika berhadapan dengan hak karya cipta, tuduhan pelanggaran HAM dan kejahatan dalam karya dan berkarya, berhubungan dengan penerbit, sosialiasi karya ke masyarakat dan lain-lain. Asosiasi PEN Indonesia sebagai bagian dari PEN Internasional contohnya, akan melindungi para pengarang Indonesia dalam soal-soal ini, hanya sayangnya nasib lembaga ini: hanya ada saat awal! Adapun kalau penerbit sastra dimasukkan dalam katagori komunitas sastra: juga patut menegakkan tanggungjawab secara profesional dan moral dalam konteks ini.

Upaya peningkatan tanggungjawab kesusastraan memang membutuhkan pendidikan (dalam arti luas) yang menjamin integritas profesional dan moral, juga membutuhkan kontrol publik terhadap kinerja para pelaku sastra dalam berbagai ranah. Komunitas yang tidak ada kontrol dan menyerahkan kendali kepada seseorang tanpa kontrol internal dalam komunitas dan kontrol eksternal dari publik, bakal menjadi pintu masuk komunitas sastra lepas tanggungjawab kedua-duanya: profesional sekaligus moral.

* Yonathan Rahardjo, adalah Penulis Novel "LANANG" salah satu
Pemenang Lomba Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006

(Jurnal Nasional 16 Desember 2007)

Review Buku yang Kubeli Pada Desember 2007

Buku-buku di bawah ini adalah hasil petualangan saya di toko buku. Dari honor menulis di koran atau di ABN, beberapa persennya saya belikan buku. Lumayan banyak daripada November lalu.



"Cara Pinter Jadi Event Organizer"; saya tertarik dengan cara kerja EO. Mungkin nantinya bisa saya aplikasikan. hehehehehe



"Rahasia Meede"; Penulisnya digemborkan sebagai Pram kedua. Benarkah?



"Peluang Usaha Untuk Anak Muda"; Buku ini pas sekali bagi para mahasiswa yang seret duit jajan. Apalagi bagi yang kost alias tinggal jauh dari orang tua. Bisa mencerahkan lo!



"Al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel"; Melihat sejarah perang Salib, tak akan asing dengan Panglima Fatih pemimpin pasukan Islam yang menaklukkan Konstantinnopel.



"Aku Ingin Jadi Peluru" adalah buku rangkuman dari 5 buah buku puisi-puisinya Wiji Thukul yaitu; "Lingkungan Kita Si Mulut Besar", "Ketika Rakyat Pergi", Darman dan lain-lain", "Puisi Pelo", "Baju Loak Sobek Pundaknya".



"Al-Wala' Wal-Bara'" Buku tulisan Syaikh Aiman Azh-Zhawahiri ini sengaja saya beli. Buku ini adalah landasan bagi para martir muslim bagaimana mereka harus bersikap... Kalau mendengar atau membaca Al-Wala' Wal-Bara' saya akan teringat oleh video tentang perjuangan muslim Cechnya dalam menghadapi gempuran Rusia. Al-Wala' Wal-Bara' adalah sebuah materi (teori) yang wajib dikuasai oleh mujahidin sebelum berangkat berperang. Namun perlu diingat, Al-Wala' Wal-Bara' tidak menghakimi bahwa semua yang beragama tidak selain Islam adalah musuh. Sama sekali tidak! Tetapi, mengklasifikasikan musuh yang benar-benar memusuhi Islam dalam artian telah memukul genderang perangnya terhadap Islam, dan konsep jihad hanya sebatas daerah konflik tidak dipukul rata bahwa seluruh jagad adalah wilayah peperangan.



"Negara dan Revolusi Sosial" adalah pokok-pokok pikiran Tan Malaka. (saya baru akan baca)...

Mungkin, dari seluruh buku-buku di atas ada yang bingung sama saya. Kok bercampur aduk sih? Ada tentang sastra, trus pengembangan diri, lalu materi keislaman (garis keras) dan dihantam pula dengan pemikiran sosialismenya Tan Malaka? Ya itulah saya.

Saya suka dalam hal memperbandingkan. Dan, saya nge-fans dengan Fatih Sang Pembawa Kemenangan yang merebut Konstantinopel--hamir sama pula dengan kesukaan saya terhadap sosok Shalahudin Al Ayubi. Begitu pula dengan Tan Malaka. Di kampus sering teman-teman mereferensikan pendapatnya dengan Tan Malaka, tetapi belum pernah membaca karya-karyanya. Oleh karena itu, saya pun adalah salah satu fans juga dari Tan Malaka yang memburu karya-karya dia.

Teman-teman pernah menuding saya sebagai pengkhianat agama dan sosialis sejati. He...he...he... ada juga yang menjuluki saya sebagai Sufi Sosialis (SS). Hmm, terserahlah apa orang mau kata terhadap diri saya. Yang terpenting bagi saya adalah, membaca membaca dan membaca. (Kepinginnya sih netral, tapi...)

Goblok tu orang yang puritan terhadap suatu ideologi tapi gak mau "membaca" tentang ideologinya sendiri dan "membaca" ideologi musuhnya. Apakah saya orang dari golongan tengah?

Ya ampun, kok jadi ngelantur begini. Ok, inilah buku yang saya ambil (beli) pada Desember 2007. Semoga Januari tahun depan bisa nambah koleksi lagi.

Salam

13 Desember 2007

LOMBA PENULISAN NASKAH ”NOVEL INSPIRASI”

Kriteria lomba:

Lomba terbuka untuk semua warga negara Indonesia berusia 18 tahun ke atas.
Tema cerita bebas dan harus memberikan inspirasi dan motivasi.
Tidak bertentangan dengan SARA, tidak mengandung unsur pornografi, tidak bermuatan politik, dan tidak menghasut pihak lain.
Naskah merupakan karya asli, bukan terjemahan atau saduran.
Naskah belum pernah dipublikasikan di media massa cetak maupun elektronik dan tidak sedang diikutsertakan dalam sayembara lain.
Panjang naskah 150-200 halaman A4, 1,5 spasi, 12 pt, font Times New Roman.
Ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik.
Naskah dikirimkan dalam bentuk hardcopy (print out) sebanyak 3 bendel yang dijilid rapi dengan sampul warna biru, disertai secara terpisah sinopsis cerita, biodata & foto, serta fotokopi tanda pengenal peserta (KTP/identitas lain).
Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu karya.

Naskah sebanyak 3 bundel dikirimkan kepada:

Panitia Lomba Naskah “Be a Novelist!”
Redaksi Fiksi Penerbit Andi
Jl. Beo no 38-40 Yogyakarta 55281

Cantumkan NOVEL INSPIRASI di pojok kiri atas amplop. Batas akhir penerimaan naskah adalah 6 Maret 2008. Sertakan struk/bon asli pembelian salah satu novel terbitan Sheila (Penerbit Andi) untuk masing-masing judul karya yang dikirimkan.

Catatan:
Semua naskah berupa hardcopy yang masuk akan menjadi milik panitia. Hak cipta tetap ada pada penulis. Lomba ini tidak berlaku bagi karyawan Penerbit Andi dan keluarganya. Keputusan juri mengikat dan tidak dapat diganggu gugat. Tidak diadakan surat-menyurat.

Hadiah:

Juara I Rp. 7.500.000,- + trofi + sertifikat + hadiah lainnya
Juara II Rp. 4.000.000,- + trofi + sertifikat + hadiah lainnya
Juara III Rp. 3.000.000,- + trofi + sertifikat + hadiah lainnya
Juara IV Rp. 2,000.000,- + trofi + sertifikat + hadiah lainnya
Juara V Rp. 1,500.000,- + trofi + sertifikat + hadiah lainnya

Sistem penjurian:

Naskah akan diseleksi oleh juri internal dari Penerbit Andi hingga terseleksi 10 besar terbaik. 10 Besar Naskah terbaik akan diseleksi oleh juri profesional di bidangnya untuk menentukan 3 naskah terbaik. Sinopsis, outline dan judul dari tiga naskah terbaik tersebut akan menjadi materi untuk lomba desain cover.

Juri profesional:

Fx. Rudy Gunawan : Penulis fiksi (Penulis : Tahta Suci Vatikan, Mirror, Bangsal 13 dan Tusuk Jelangkung)

Fira Basuki : Penulis fiksi & redaktur majalah Cosmopolitan

Ari ´Kinoysan´ Wulandari : Penulis fiksi (mantan script editor di MULTIVISION PLUS, JAKARTA)

Koordinator lomba :

Dessy Danarti : Product Manager Lini Fiksi Penerbit Andi

Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2007

Pemenang Sayembara Kritik Sastra tahun 2007 yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta telah diumumkan pada Malam Anugerah Sayembara Kritik Sastra pada Jumat, 7 Desember 2007 lalu di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Cikini. Tahun ini, Sayembara Kritik Sastra DKJ 2007 mengambil tema “Sastra Indonesia Memasuki Abad ke-21”. Sayembara ini telah berlangsung sejak diumumkan pada Juli 2007 sampai akhir Oktober 2007.

Penjurian dilakukan dengan kriteria penilaian yang telah diumumkan, yaitu kebaharuan (orisinalitas) dan perspektif yang segar dalam menelaah karya sastra, keterbacaan tulisan, kedalaman dan ketajaman menggali kekhasan karya, serta keabsahan argumentasi. Melibatkan Dewan Juri yang terdiri dari Melani Budianta, Franki Budi Hardiman, dan AS Laksana, dari 64 naskah yang lolos syarat administrasi (dari 75 naskah yang masuk ke panitia), berikut pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ tahun 2007:

Pemenang I
Tamsil tentang Zaman Citra: Perihal Segugusan Cerpen Nukila Amal, oleh Arif Bagus Prasetyo

Pemenang II (dua pemenang)
Memandang Bangsa dari Kota: Telaah atas”Cala Ibi” (Nukila Amal) dan “Jangan Main-main dengan Kelaminmu” (Djenar Maesa Ayu) oleh Manneke Budiman

Rumah, Puisi, Penyair (Kisah Rumah: Perpuisian Indonesia Modern) oleh Bandung Mawardi

Pemenang III
Suara-suara Perempuan yang Terbungkam dalam “Sihir Perempuan” oleh Bramantio

Nominee
Selain empat pemenang di atas, Dewan Juri memilih enam naskah Nominee untuk dipublikasikan dalam buku acara* Malam Anugerah Sayembara Kritik Sastra DKJ 2007. Menurut Dewan Juri, keenam naskah tersebut dianggap menyampaikan aspek yang menarik dalam sastra Indonesia masa kini, dan memperkaya kritik sastra. Keenam naskah yang dimaskud adalah:

- Humor yang Politis, Humor yang Tragis (Mengingat Yudhis, Menikmati Jokpin) oleh Bandung Mawardi

- Hibriditas, Spiritualitas dan Interpertasi Baru Atas Omkara dalam “Supernova: Akar” oleh Bramantio

- “Saman”: Identitas yang Bergelincir dalam Wacana Hutan yang Liar oleh Irsyad Ridho

- Ditunggu: Kehadiran Novel Polifonik oleh Tirto Suwondo

- Religiusitas dan Erotika dalam Sajak-sajak Acep Zamzam Noor oleh Tia Setiadi

- Etnisitas dan Kota oleh Katrin Bandel

Masing-masing pemenang, selain mendapatkan Piagam Penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, juga memperoleh sejumlah uang tunai, yaitu:

Pemenang I : Rp10.000.000

Pemenang II : Rp7.500.000

Pemenang III : Rp5.000.000

Nominee : @ Rp1.500.000

“Sebagian besar naskah yang masuk secara langsung dan tidak langsung bersoal dengan tema yang diangkat oleh Sayembara Kritik Sastra DKJ 2007, yakni “Sastra Indonesia Memasuki Abad ke-21.” Salah satu hal yang diamati para penulis adalah gejolak penulisan yang meningkat. Tetapi seperti yang sering dibicarakan di media massa, gejolak ini dianggap kurang diikuti dengan proses seleksi, pematangan dan pembelajaran sastra, karena kurang hidupnya kritik sastra, atau kurang sehatnya relasi-kuasa dalam produksi-reproduksi sastra, komunitas sastra, dan sistem pendukung bagi khalayak pengamat sastra. Sejumlah penulis menganggap bahwa posisi sastra Indonesiadalam konteks globalmasih perlu dikuatkan melalui berbagai cara.”
Kutipan catatan Dewan Juri –

* Bunga rampai naskah pemenang sayembara kritik sastra Dewan Kesenian Jakarta 2007 bisa didapatkan di Dewan Kesenian Jakarta dengan mengubungi: Nina Samidi / 0817.078.1719, khusus untuk wartawan untuk kepentingan penulisan berita. Jumlah terbatas!

10 Desember 2007

Lomba Menulis Menyambut Tahun 2008

Menyambut hadirnya portal? Menulis Sangat Mudah?, www.menulismudah.com mengadakan lomba menulis: "Pengalaman Menulis".

Setiap orang tentu mempunyai pengalaman dalam menulis: gembira, sedih, bangga, sebal, atau apa saja. Menulis yang dialami, apa adanya, dimodifikasi atau ditransper dalam berbagai olahan, tentu sangat menarik. Tulis dan kirim ke www.menulismudah.com melalui email: lomba@menulismudah.com

Tidak ada persyaratan aneh-aneh. Yang penting, tulisan bukan duplikasi apalagi contekan, dan menjadi hak www.menulismudah.com. Apabila terpilih untuk dibukukan, kalau ada pelanggaran kode etik, tanggung jawab penulis.

Pilahan tulisan (pilihlah satu tema saja, dan judul tulisan bebas:
1. Mengapa Saya Menulis
2. Tentang Tulisan Pertama Saya (bisa di blog, media cetak, lomba, dsb.)
3. Halangan (kesulitan) dalam Menulis
4. Harapan (kebanggaan) dalam Menulis
5. Dihujat Ketika Menulis
6. Dipuji Ketika Menulis

Tulisan yang diikutkan lomba sudah masuk paling telat 31 Desember 2007. Pemenang diumumkan bulan Februari 2008 setelah dinilai oleh Tim Penilai yang diketuai Jumadi, Doktor kebahasaan, dosen FKIP Unlam Banjarmasin. Sekadar penghargaan, disediakan bagi pemenang:

1. Piagam dan Piala Rudy Ariffin, Gubernur Kalsel, uang Rp1.000,000,00
2. Piagam dan Piala Rudy Resnawam, Walikota Banjarbaru, uang Rp750.000,00
3. Piagam dan Piala www.menulismudah.com, uang Rp500.000,00

Penyelenggara
www.menulismudah.com

05 Desember 2007

50 Tahun Meninggalnya Thomas Mann

Pada 12 Agustus 2005, genap 50 tahun meninggalnya Thomas Mann. Thomas Mann lahir di Lübeck, Jerman pada 6 Juni 1875. Dia anak kedua dari lima bersaudara pasangan ayah pengusaha serta senator bernama Thomas Johann Heinrich Mann dan ibu berdarah Brasil bernama Julia da Silva Bruhns. Ketika Thomas Mann berusia 16 tahun ayahnya meninggal. Peristiwa inilah yang menandai hancurnya usaha ayahnya, dan sekaligus mengilhami karyanya yang paling legendaris berjudul “Buddenbrooks“ terbit tahun 1901. Novel inilah yang akhirnya mengantar Thomas Mann mendapat nobel pada tahun 1929. Ketika manuskrip novel ini dikirim Thomas Mann dari Italia ke penerbit Samuel Fischer di Berlin. Penerbitnya enggan menerbitkan. Thomas Mann disarankan oleh penerbitnya agar meringkas hingga setengahnya. Kata penerbit, siapa orang yang akan membaca novel setebal itu? Tapi Thomas Mann menolak. Pada akhirnya novel itu diterbitkan juga. Dalam waktu yang singkat novel bertema hancurnya sebuah keluarga pengusaha tersebut dianggap sebagai novel berbobot di kalangan pemerhati sastra berbahasa Jerman. Sebenarnya dia tidak sendirian punya bakat menulis, kakaknya Heinrich Mann duluan terkenal dengan karya Best Seller nya berjudul „Warganegara Monarki“ (Der Untertan). Heinrich Mann juga banyak menulis novel. Kakak beradik ini dalam perjalanan kariernya bersaing, namun Thomas Mann akhirnya yang lebih menonjol . Pada tahun 1905 Thomas Mann kawin dengan Katia Pringsheim dari keluarga intelek Yahudi. Pasangan ini dikaruniai enam anak; Erika Mann, Klaus Mann, Monika Mann, Golo Mann, Elisabeth Mann, dan Michael Mann. Di tengah kesibukan mengurus keluarga dengan enam anak, Thomas Mann masih tetap tekun berkarya. Novel Thomas Mann berikutnya berjudul „Kematian di Venesia“ (Der Tod In Venedig) terbit pada tahun 1912. Selang 12 tahun lagi, tepatnya pada tahun 1924 novelnya paling tebal dengan 1004 halaman terbit berjudul „Gunung Ajaib“ (Der Zauberberg.

Berawal dari kemenangan partai Nazi (Nationalsozialisten) pada 31 Juli 1932, sejak itu di Jerman dikuasai oleh rezim ekstrem kanan di bawah Hitler. Melihat kekacauan politik dalam negeri, Thomas Mann aktif memberikan ceramah politik di berbagai kota menentang kebijakan rezim. Pada beberapa ceramahnya dia banyak ditentang oleh pengikut Nazi. Bahkan Thomas Mann pernah dapat kiriman paket berisi novelnya „Buddenbrooks“ yang sudah menjadi abu. Dalam keadaan politik yang mencekam, akhirnya pada 11 Februari 1933 Thomas Mann bersama keluarganya bereksil ke Switzerland. Sebagian besar harta bendanya di Jerman ditinggalkan. Padahal ketika Thomas Mann menerima hadiah nobel di Swedia, jumlahnya lebih dari setengah juta Euro dengan perhitungan kurs sekarang. Dia sudah diingatkan oleh seorang wartawan Yahudi, agar uang tersebut disimpan saja di luar negeri. Saran wartawan itu sangat beralasan. Namun Thomas Mann tak menggubris saran itu. Orang-orang penting Jerman yang bereksil saat itu sekitar 37 orang, termasuk Albert Einstein dan juga Heinrich Mann bereksil ke Perancis. Antara Albert Einstein dan Heinrich Mann sering melakukan kegiatan politik. Bahkan Heinrich Mann berinisiatif mengorganisasi para penulis Jerman eksil untuk menekan Hitler. Akan tetapi Thomas Mann membantah, agar penulis dibebaskan tanpa harus diikat dalam suatu wadah. Hubungan kakak beradik makin renggang, terbukti atas tanggapan Thomas Mann pada esai kakaknya tentang Emile Zola yang dianggapnya kering.

Dengan berjalannya sang waktu, keenam anak Thomas Mann mulai menginjak dewasa. Akan tetapi hubungan antara anak-anak dengan ayahnya sangat tidak harmonis. Golo Mann mengakui, di pagi hari kami anak-anaknya harus tenang, karena ayah sedang menulis. Di sore hari, kami juga harus diam, karena ayah sedang membaca. Di malam hari kami harus segera tidur, karena ayah sibuk lagi dengan serius. Thomas Mann sosok sastrawan yang sangat serius. Pada bukunya „Tentang Diriku Sendiri“ (Über mich selbst) menyebutkan, waktuku menulis di pagi hari. Aku suka kata-kata Goethe: „Pagi-pagi, Tuhan memberkati! Semua yang rajin dan berharga, ada di pagi hari.“ Aku terbiasa menulis di dalam ruangan tertutup. Di udara terbuka hanya mengganggu pikiranku. Nama besar sastrawan Thomas Mann makin dikenal sebagai rival Hitler di luar Jerman. Sedang hubungan di dalam keluarganya sendiri tidak berjalan mulus. Menurut majalah „Der Spiegel“ no:52, 17 Desember 2001, bahwa kedua anak Thomas Mann, Erika dan Klaus dimungkinkan melakukan hubungan inses. Klaus menjadi pecandu heroin dan tumbuh sebagai pemuda homoseks. Klaus mengakui: „Bila aku impoten, itu tidak benar, melainkan aku lebih banyak kebingungan dalam pendirian nafsuku.“ Belakangan adiknya Golo Mann juga seorang homoseks. Meskipun Thomas Mann sendiri sebenarnya ada kecenderungan sebagai seorang biseks. Kakaknya Heinrich Mann kawin lagi dengan seorang hostes night club bernama Nelly Kroger.

Pada tahun 1938 Thomas Mann bersama keluarganya meninggalkan Switzerland bereksil lagi ke Amerika. New York Times edisi 21 Februari 1938 menurunkan berita tentang kehadiran sastrawan terkemuka Jerman itu. Ucapan Thomas Mann di koran tersebut:

„It is hard to bear. But what makes it easier is the realization of the poisoned atmosphere in Germany. That makes it easier because it`s actually no loss. Where I am, there is Germany. I carry my German culture in me. I have contact with the world and I do not consider myself fallen.“

Tak berapa lama lagi agen FBI memeriksa Thomas Mann, disinyalir Thomas Mann seorang komunis. Sedang anak pertamanya Erika juga diperiksa FBI dikira spion dari Stalin. Thomas Mann mendapat pekerjaan sebagai dosen pada universitas Princeton. Kakaknya Heinrich Mann dari Perancis juga menyusul ke Amerika hingga meninggal di Kalifornia tahun 1950. Selama di Amerika Thomas Mann menghasilkan dua novel berjudul „Lotte di Weimar“ (Lotte in Weimar), dan „Doktor Faustus“. Tahun 1949 pada acara ulang tahun kelahiran Goethe yang ke 200 (1749-1949), Thomas Mann diundang ke Jerman. Pertama kalinya dia sejak 16 tahun kembali ke tanah airnya. Thomas Mann mengunjungi Frankfurt dan rumah Goethe di Weimar. Sekitar 1,5 juta warga Jerman mendatangi orasi politik Thomas Mann. Pada tahun 1952 Thomas Mann sekeluarga memutuskan kembali ke Switzerland dan tinggal di pinggir danau Zürich.

Keluarga Mann hidup dalam ketenaran. Katia Mann, sebagai ibu yang sabar dan bertindak sebagai manager yang mengurus karya-karya suaminya. Pada masa tuanya tahun 1970 Katia Mann juga menulis buku berjudul „Kenang-Kenanganku yang Tak Tertulis“ (Meine ungeschriebenen Memoiren). Pada buku tersebut Katia Mann mengatakan, harusnya di keluarga ini ada orang yang tidak menulis. Cukup lama Katia Mann berdiam diri, karena semua penghuni rumah menulis. Bakat mengarang Thomas Mann menurun pada keenam anak-anaknya. Erika, anak pertamanya selain sebagai pengarang juga sering bermain teater dan aktif sebagai wartawan. Klaus Mann sudah menerbitkan karyanya berjudul „Mephisto“ serta disusul karya-karya yang lain. Golo Mann, disamping sebagai sastrawan juga sebagai sejarawan. Monika Mann sebagai sastrawan. Elisabeth Mann, sebagai sastrawan juga ahli kelautan. John Irving, novelis Amerika masa kini dalam bukunya „Perjalanan di Jerman“ (Deutschlandreise) bercerita pada kawannya Günter Grass, bila dia pada perjalanan pesawat dari Toronto ke Paris tak sengaja duduk di sebelahnya anak perempuan Thomas Mann yang bernama Elisabeth Borgese Mann. Irving malu, karena sempat memperkenalkan diri sebagai novelis, ternyata orang di sebelahnya itu anak sastrawan besar Jerman. Terakhir adalah Michael Mann sebagai pemusik dan ilmuwan sastra di universitas Berkeley. Cucu kesayangan Thomas Mann bernama Frido Mann dari pasangan Michael Mann dan Gret Moser, juga seorang sastrawan dan psikolog di Kalifornia. Sulit dicari bandingannya pada sejarah sastra dunia, seluruh keluarga mempunyai kecintaan dan berkutat penuh dengan dunia sastra. Thomas Mann sebagai sastrawan yang cukup produktif. Dia meyakini, sebagai seorang yang jenius selalu terkait dengan empat hal pokok; bakat, rajin, disiplin, dan karakter. Adapun karya-karyanya yang lain; „Tonio Kröger“, „Tristan“, „Mario dan Tukang Sihir“ (Mario und der Zauberer), „Joseph dan Saudara-Saudaranya,“ (Joseph und seine Brüder), serta esai-esai tentang sastra dan politik.

Namun kemegahan karier dan kebesaran nama Thomas Mann harus ditebus dengan badai keluarga. Klaus Mann ditemukan meninggal di Cannes, Perancis pada tahun 1949 karena overdosis menelan obat tidur. Pada buku hariannya disebutkan: „Aku tidak akan meneruskan menulis buku harian ini. Aku tidak ingin hidup lagi tahun ini.“ Disusul Erika meninggal tahun 1969 karena tumor otak. Nelly Kroger istri Heinrich Mann akhir hidupnya dengan bunuh diri. Demikian pula Michael Mann, anak terkecil Thomas Mann akibat punya penyakit syaraf, dia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Pada 12 Agustus 1955 Thomas Mann meninggal dunia di Zürich, Switzerland. Pada pesannya dia tidak mau dimakamkan di Jerman. Jerman dia anggap buas dan asing. Untuk merayakan ke 50 tahun meninggalnya Thomas Mann, di Jerman dan Switzerland banyak digelar acara diskusi sastra, tayangan film di TV berjudul „Keluarga Mann“ (Die Mann), penerbitan ulang karya-karyanya, dan berbagai analisis baru termasuk polemik keluarga Mann. Majalah Jerman „Der Spiegel“ pernah memuat edisi khusus sastrawan ini dengan foto Thomas Mann di cover depan selama tiga kali, pada no: 21, tahun 1947, no: 52, tahun 1954 dan no: 51, tahun 2001. Rumah kelahiran Thomas Mann di Lübeck, Jerman utara tiap tahunnya banyak didatangi puluhan ribu pengunjung yang kebanyakan pelajar. Thomas Mann sering disebut sebagai penerus Goethe. Marcel Reich-Ranicki, kritikus sastra Jerman berpendapat: „Thomas Mann telah mendefinisikan Jerman dengan perspektif yang baru. Sebab itu aku menganggapnya sejak tahun 1832 sampai abad ke 20 tidak ada sastrawan Jerman lain sebesar Thomas Mann.“