Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

19 Juni 2008

Nurani dan Surga

Oleh: RW. Dodo

Tiba-tiba kepalaku terasa nyeri.Segera jemari tanganku merabanya.Dan jemari itu menjadi basah dengan cairan agak kental.Bau amis tercium oleh hidungku.Darah!

Mataku benar-benar terbelalak.Darah masih segar terlihat meleleh menutupi ujung-ujung jemariku. Menetesnetes, membasahi kaos oblong lusuh yang kukenakan. Mulutku menganga. Sepatah kata masih juga belum keluar dari kedua sela bibirku.

Ludah getir perlahan menggelinding ke tenggorokan.Dadaku terasa sesak. ”Bagaimana, Pak? Sakit enggak rasanya?!” Belum sempat mataku yang membulat kembali normal, ketidakpercayaan selanjutnya membuat biji mataku semakin melotot dan hampir terlepas dari kelopaknya. Surga?! Surga, anak semata wayangku tersenyum sinis ke arahku sambil menggenggam sebuah celurit yang mengkilat pada ujungnya.

Bibirku tergetar, tak kuasa menguntai kata sedikit pun, kecuali hanya menganga karena benar-benar tidak percaya dengan kenyataan yang kulihat. Sedetik kemudian senyum sinis dari bocah yang baru beranjak ABG itu memudar. Bibirnya tampak bergetar. Di dalam kelopak matanya terdapat genangan air yang hampir tumpah. ”Tapi itu belum seberapa sakit, Pak, bila dibandingkan dengan rasa sakit hatiku ketika diejek temanteman,” lanjut Surga dengan suara serak.

Tangan kirinya memegang dadanya yang terguncang. Sambil melotot sinis ke arahku,buliran air menggelinding dari kantung matanya. Suasana semakin mencekam.

Kilatan celurit di genggaman bocah itu benar-benar membuat nyaliku terasa menciut. Kugeser tubuhku ke belakang. Aku menggeleng-gelengkan kepala masih tidak percaya. Mimpikah ini? Surga hendak membunuhku? Bukankah dia anak yang baik. Selalu nurut tiap aku nasihati, tidak pernah membantah? Tidak,ini tidak mungkin! ”Oh, masih hidup? Kenapa tidak kau cincang saja,Sur.Oh,apa kau menyisakan nyawanya untuk Emak?”

Ketidakpercayaan demi ketidakpercayaan membuat kepalaku terasa semakin pusing. Ulah Surga yang menurutku tidak masuk akal belum bisa kuterima.Tiba-tiba dengan senyuman sinis dan tatapan tajam Nurani menyembul dari balik pintu kamar.Sebilah pisau dapur setengah karatan juga terlihat digenggamnya dengan erat. Kenyataan apa ini? Aku benarbenar bisa gila! Nurani?!

Dendam apa Nurani denganku sampai-sampai dia berniat membunuhku. Bukankah dia selama ini istri yang...? Ini benar-benar konyol dan tak bisa kuterima! Jika aku punya salah kenapa dia tidak mengadu kepadaku.Bukankah itu lebih baik? ”Kalau mau,Mak,nyawanya aku sisakan untuk Emak.Aku hanya ingin memberinya pelajaran, Mak. Betapa sakitnya menjadi anak sepertiku. Harus hidup berteman dengan cacian dan hinaan,” getas Surga dengan geram.

Giginya terdengar gemeletuk saling beradu. Matanya yang memerah melelehkan air mata, terlihat tajam melumat bayanganku di dasarnya. Surga?! Sebegitu bencinyakah dia denganku? Padahal, kunamakan dia Surga ketika dia tujuh hari terlahir ke dunia dengan harapan menjadi anak yang saleh, berbakti kepada kedua orangtua. Sehingga di akhirat kelak bisa menggandeng kedua orangtuanya untuk masuk ke surga.Tapi kenapa?

”Bagus, Nak. Kalau begitu, aku jangan cuma disisakan nyawanya. Berilah sedikit celah di tubuhnya untuk menancapkan sebilah pisau dapurku ini yang tidak pernah mendapatkan mangsa daging darinya!” ujar Nurani dengan begitu geram. Guratanguratan wajahnya terlihat begitu bengis di mataku. ”Tunggu, tunggu! Ada apa dengan kalian berdua?!” aku menengadahkan kedua tangan berusaha untuk menghentikan mereka.

Darah yang mengucur deras dari kepalaku yang rekah tak kuhiraukan. Nurani dan Surga saling berpandangan. Kemudian mereka berdua sama-sama meringis.Tak lama kemudian mendengus. Muka mereka terlihat kembali bengis menghujam ke arahku.Seolah melumatku di tatapan bola mata mereka. Setelah mengangguk-anggukkan kepala berkali-kali, Surga dengan langkah cepat ke arahku,menebaskan celuritnya ke tangan kananku.

Disusul pisau dapur karatan milik Nurani langsung menancap di belahan dadaku yang kiri. Badanku langsung terkejang- kejang. Dengan tatapan remang kutangkap gambar mereka berdua, di bibirnya merekah sebuah senyum kemenangan. ***

”Tidaaak!” Aku terjingkat! Saat kudapatkan cahaya matahari mengenai mataku dari jendela kamar, aku segera tersadar kalau itu hanyalah mimpi.Aku segera menyeka keringat yang membasahi keningku dan menenangkannafaskuyangtersengal- sengal. Sesaat aku melayangkan pandangan ke samping, sudah tidak kudapatkan Nurani masih tidur di sana.

Di dinding,jam usang warisan bapak,kedua jarum jamnya berimpit menunjukkan pukul tujuh pagi.Spontan aku menerka pasti istriku sudah ke pasar untuk berjualan. Mataku kini tertambat ke arah pintu.Aku segera bergegas ke sana.Perlahan kubuka pintu itu dan kepala kulongokkan untuk melihat sekitar. Tiba-tiba terdengar sebuah seruan dari luar.

”Bapak...!” seru Surga dengan membawa parang di tangannya dari pekarangan rumah berlari ke arahku. Jgerrr! Seketika aku langsung menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Nafasku tersengal naik turun. Gila! Benar-benar gila! Ternyata bukan hanya di mimpi.Surga memang benar dendam kepadaku. Ia ingin membunuhku. Ada apa ini? Brak,brak,brak! ”Pak, buka pintunya! Buka, Pak!” teriak Surga dari balik pintu sambil memukul-mukul daun pintu dengan keras.

Bulu kudukku terasa semakin merinding. Aku menggigil ketakutan. ”Tuhan,apa salahku?”lirihku dengan bibir gemetar. Perlahan kuseka keringat yang membasahi kening dengan punggung tangan. ”Buka,Pak! Bapak kenapa? Kenapa Bapak tadi teriak-teriak!?” Brak,brak,brak! Pikiranku benar-benar kalut.Tibatiba sekelebat aku teringat suatu kejadian yang sempat membuat hatiku miris.

Kejadiannya belum lama. Tetanggaku yang bernama Tarmi mati dibunuh oleh Zaenal—anaknya sendiri— hanya gara-gara tidak memberi uang saku untuk nonton konser di alun-alun Jumat kemarin. Karena geramnya, Zaenal melemparkan kampak di tangannya setelah dipakai untuk membelah kayu bakar tepat di kepala Tarmi. Batok kepalanya pun pecah menjadi dua, dan darah segar langsung mengucur dengan begitu derasnya. Di waktu kejadian, sebenarnya Warto—suami Tarmi—berada di sana.

Dia juga sempat ingin menyelamatkan istrinya.Tapi,justru dia dihadiahi batang kayu jati tepat di tengkuknya oleh Zaenal.Tarmi terkapar dengan kepala pecah menjadi dua bersimbah darah segar,sedangkan Warto meringkuk di atas bongkahan kayu tidak sadarkan diri. Seketika aku terkesiap! ”Pak,sepatuku rusak.Di sekolahan aku diejek teman-teman,” aduan Surga waktu makan semalam melayanglayang di otakku.

”Pak.Kenapa Bapak tidak beli motor saja.Mungkin akan lebih membuat Bapak berwibawa daripada naik sepeda. Selain itu kanaku bisa pinjam buat malam mingguan sama Siti.” ”Sur, gaji Bapak tidak seberapa sebagai guru tidak tetap.Untuk menghidupi keluarga saja pas-pasan.Mengertilah. Dalam keadaan seperti ini, hanyalah sabar yang bisa membuat kita senantiasa tetap bahagia.”

Walau kalimat nasihat itu begitu risih aku katakan, tapi bisa membuat Surga menundukkan kepala dalamdalam. Seolah dia merasa menyesal mengatakannya.Aku yakin di hatinya ada rasa tidak terima. Karena setiap kali ia mencoba mengadu, pasti aku akan mengulang kalimat itu sebagai jawabannya. Aku menelan ludah getir. Sedetik kemudian mataku membulat.Janganjangan, apa ini yang membuatnya dendam kepadaku? Brak,brak,brak! ”Pak...!”

Suara Surga masih terdengar jelas menggema di daun telingaku.Tangannya terdengar begitu ganas menggebrak daun pintu.Aku menggigit bibirku yang mengering.Lututku mulai lemas. Otot-otot kakiku tak berdaya.Perlahan aku terduduk di lantai. Dengan ketakutan yang mencekam aku memeluk kedua lutut dengan erat-erat.

Tak terasa kedua pipiku basah dengan air mata. Lama aku tergugu di bawah pintu kamar.Sudah tidak kudengar lagi teriakan Surga dari luar.Mungkin karena tidak kuhiraukan begitu saja teriakannya, dia jadi kelelahan sendiri.Tapi, belum sempat aku menghela nafas lega, terdengar lagi suara memanggilku dari balik pintu.Kali ini suara seorang wanita.

”Pak,ada apa Pak? Bapak kenapa? Kata Surga,Bapak tadi sempat teriakteriak. Ada apa,Pak? Buka pintu Pak, ini Nurani. Aku sudah pulang, Pak. Bukalah,Pak.” Nurani?! Setelah tahu suara itu milik istriku, aku urung untuk membukakan pintu. Pikiran buruk menyeruak di kepalaku. Aku yakin,walaupun suaranya terdengar halus, pasti dia berniat buruk terhadapku jika aku membukakan pintu.

”Pak,Yu Tutik, tetangga sebelah kita itu, tadi pagi baru saja dibelikan kalung sama Kardi lo. Dengar-dengar, Kardi membawakan uang banyak untuk Yu Tutik dari kota,”cerita Nurani semalam ketika menjelang tidur. Aku yakin,walaupun dia tidak mengatakan ingin dibelikan kalung,pasti sebenarnya dengan cerita itu dia bermaksud minta kepadaku.Tapi, mana mungkin aku bisa membelikannya dengan gajiku yang tak seberapa.Aku pun akhirnya memejamkan mata berusaha untuk cepat tidur.

”Pak, ada uang untuk menambah belanja.Sudah lama kita tidak makan daging. Mungkin sesekali kita perlu membeli daging Pak untuk menambah gizi Surga. Biar dia bisa cerdas” ujar Nurani meminta saat makan bersama sehari sebelumnya. Seketika tanganku terhenti ketika mau menyendok makanan di piring.

”Sudahlah, dinikmati saja yang ada. Dengan bersyukur, sesuatu akan terasa cukup. Lagi pula aku ini guru. Tahu apa yang sebenarnya membuat anak itu cerdas? Bukan makan bergizi semata, tapi belajar giat lebih berperan penting,”jawabku bijak waktu itu. Nurani tidak membantah. Dia hanya diam dan perlahan melahap makanannya lagi, walau terlihat tidak bersemangat.

Kerena itukah, ia membenciku? Apakah benar matanya menjadi gelap karenanya? Brak,brak,brak! ”Pak! Buka Pak!!! Ayo,buka! Bapak kenapa? Jangan buat aku pusing,Pak. Bapak jangan menambah susah kehidupan kita,Pak!” terdengar suara serak Nurani dari balik pintu. Aku masih memegang kedua lututku erat-erat, bergeming.Hanya mataku yang menampakkan sedikit binar harapan, ketika tertumbuk ke arah gunting yang tergolek di atas meja samping ranjang tidur.(*)

(DIMUAT DI SEPUTAR INDONESIA 14 JUNI 2008)

Tidak ada komentar: