Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

03 Juni 2008

Chairil; Kata,Kredo,dan Sajak

Persoalan utama bagi penyair adalah bagaimana menyampaikan ”dunia dalam”kepada dunia luar,dunia bersama,atau dunia publik yang memiliki banyak variabel dan kemungkinan.

Pada saat itu penyair memerlukan bahasa.Persoalan penyair dengan bahasa adalah persoalan bagaimana penyair memilih corak bahasa,memilih materi bahasa berupa kata,dan menata kata untuk mewadahi imajinasi serta perenungannya berkait dengan konteks sosial budaya serta motifnya dalam berkarya.

Kata dalam puisi bagaimanapun selalu dibebani dan dikungkung untuk menyampaikan pengertian atau makna. Namun, di sisi lain, dalam puisi bisa jadi kata menjungkirbalikkan pengertian yang ”umum”yang disandang oleh kata itu sendiri. Pada posisi ini,penyair memperhitungkan, menggempur,bahkan mengingkari semantik yang sudah lazim diemban oleh kata tersebut.

Bagi penyair, mengolah kata adalah pengembaraan tanpa akhir.Suatu saat ia sampai dan berdiam pada sebuah titik. Pada kesempatan lain,ia memorakporandakan titik itu untuk mencari titiktitik yang lain.Karena pengembaraan inilah kata menjadi biang keladi dari sejarah puisi yang tidak pernah tamat dari hiruk-pikuk pencarian dan pencapaian estetis.

Nasib penyair dipertaruhkan saat ia mencari-cari, memilih, dan memakai kata.Kata menjadi urat nadi puisi itu sendiri.Tak mengherankan jika Chairil Anwar pernah berujar,”Puisiku, dalamnya tiap kata akan kugalikorek sedalam-dalamnya hingga ke kernwoord ke kernbeeld!”.

Lalu, Amir Hamzah, Raja Penyair Pujangga Baru, mengingatkan penyair-penyair muda di zamannya, ”Jangan terlalu lekas melompat-lompat dari sebuah tempat ke tempat lain, jangan memakai kata yang belum resap—sampai arti, intinya—ke dalam tulang sumsum.”

Yang membuat Chairil mencapai pencapaian estetis bahasa yang luar biasa adalah keyakinannya terhadap vitalitas. Baginya, vitalitas adalah rumah dan dapur yang tepat untuk membongkar-pasang, m e n j u n g k i r - b a l i k , melempartenggalamkan kata.

Vitalitas adalah kredonya untuk pencarian estetika yang tidak bisa ditawar-tawar, seperti pernah diucapkan dalam sebuah pidatonya: ”…..Vitalitas adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan dalam mencapai suatu keindahan.Dalam seni, vitalitas itu chaotischcoorstadium, keindahan kosmich eindstadium. Tiap seniman harus seorang perintis jalan. Penuh keberanian, tenaga hidup.Tidak segan memasuki hutan rimba penuh binatang buas, mengarungi lautan lebar tak bertepi,seniman adalah dari hidup yang melepas bebas. Jangan pula menceraikan diri dari penghidupan, bersendiri.” (Pidato Chairil Anwar,7 Juli 1943).

Boleh jadi dalam hal ini Chairil terlalu bombastis, tetapi yang jelas kredo ini mampu menghasilkan sajak-sajak yang menggetarkan dan mengantarkan bahasa Indonesia menjadi bahasa ucap yang terbuka dengan berbagai kemungkinan yang paling liar sekalipun.

Lewat Chairil pula mulai dicoba berbagai kemungkinan dan pergulatan membangun bahasa personal sebagai kerja kepenyairan dengan keniscayaan untuk berkomunikasi. Penyair mau tidak mau juga harus menanggung beban untuk menghadirkan misi dalam sajaknya.Penyair tanpa misi adalah pendusta.Tetapi,ia juga bukan seorang ”pegawai pos” yang cuma menyampaikan pesan, juga bukan orator yang meneriakkan pidato di alun-alun.Penyair tetap dibebani pula dengan tanggung jawab pengucapan dalam wilayah estetika yang amat menyeriusi harmonisasi antara kepentingan misi dan pesan dengan tuntutan estetika lainnya.

Keharmonisan ini juga mendapat perhatian dari Chairil.Ia berkeyakinan bahwa penyair memang harus asyik dengan dirinya sendiri, tetapi bukan berarti ia harus ”menceraikan diri dari kehidupan”. Setiap penyair harus concern (aktif dan bersimpati) pada perjuangan bangsa dan kemanusiaan, tetapi harus pula tetap menjaga puisi-puisinya untuk tidak jatuh pada slogan yang vulgar dan bombastis.

Puisi yang sloganis,vulgar,dan verbalistik memang akan segera dapat memancing reaksi dan tanggapan spontan,tetapi reaksi atau tanggapan yang muncul cenderung bersifat lahiriah. Karena itu, kelemahan puisi slogan dan verbal adalah tidak mampu bertahanlama dalam ujian zaman. Ia akan cepat ditinggalkan waktu karena ia hanya bergantung pada satu hal yakni peristiwa atau momentum sosial tanpa diiringi pengendapan dan imajinasi yang tuntas serta pengolahan kata yang cermat.

Keunggulan Chairil terletak pada bagaimana ia dalam mencapai dan menemukan materi bahasa berupa kata yang ekspresif,liar tak beraturan, serta sugestif, tetapi tetap terjaga untuk tidak terjatuh pada verbalistik. Imajinasinya terolah dengan kata-kata yang mampu menghadirkan puisi sebagai dunia yang penuh gairah, pengembaraan vitalitas, pikiran, dan perasaan yang membangun sebuah totalitas kejiwaan yang paradoksal berikut dialog psikologis.

Sajaksajaknya selalu berada pada perspektif humanistik jauh dari kesan menggurui atau membodohi pembacanya. Sajaknya cenderung hadir sebagai komunikator dari jiwa terbelah yang jujur apa adanya ibarat cermin yang memantulkan raut manusia bernama Chairil Anwar .

Chairil telah mewariskan dan mengajarkan pada penerus-penerusnya bagaimana sebuah sajak tidak hanya memiliki fungsi seremonial belaka, tetapi sebaliknya, juga bukan berati sebuah sajak harus tersaji secara vulgar dan verbal.Sajak tetaplah sebuah dialog estetis yang sublim karena sajak bukanlah semboyan atau slogan,baik itu slogan politik,slogan kemanusiaan, ataupun slogan pembangunan.(*)

Tjahjono Widijanto
Penyair, tinggal di Ngawi, Jawa Timur.

Tidak ada komentar: