Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

22 Juni 2008

Ironi Modernitas

Oleh: Miming Ismail

MODERNITAS mulanya lahir sebagai kritik atas segala bentuk otoritas di luar rasio. Ia datang mengusik kesadaran kita dari tidur dogmatisme pemikiran.

Dari kritik itu lahir situasi abad yang kita sebut modern—untuk merujuk pada periode sejarah tertentu—atau modernitas, merujuk pada ihwal keadaan zaman modern.Meminjam istilah Anthony Gidden, modernitas merupakan konsekuensi logis dari meleburnya keterjarakan ruang dan waktu yang ditandai dengan segenap pencapaian techno-science, gaya hidup (lifestyle), emansipasi, kebebasan, dan anomali-anomali di dalamnya.

Kelahiran modernitas sendiri bukan tanpa latar yang menjadi asal terciptanya iklimyangsekarangsedang meriah dirayakan. Banyak anasir dangagasanmunculdaripersilangan dan pertikaian ide bahkan perang, bisa dari para filsuf, negarawan, teolog,kelas antarbangsa, dan seterusnya, hingga masyarakat manusia dalam fase tertentu memasuki apa yang Immanuel Kant sebut sebagai subjek yang ”Mundichkeith” atau subjek yang sadar diri karena mampu berpikir sendiri.

Dengan semboyannya yang terkenal, yakni, ”sapere aude!”,berpikirlah dengan bebas lepas dari otoritas di luar diri. Modernitas kemudian melaju pesat penuh ditaburi ragam anasir,melankolis, prahara, bahkan anomali yang muncul dalam ragam bentuk ekspresi dan capaian. Lahirnya sains modern yang melahirkan kemajuan sekaligus korban dari dentuman bom atom, akibat meruahnya ideologiideologi besar,

Pesona dan Ironi

Hikayat modernitas memang kompleks, penuh warna dan cita rasa, tak terkecuali di negeri kita.Ada nuansa, prahara,gairah sekaligus kehampaan dan absurditas dalam ruang-ruang yang diciptakan modernitas. Ruangruang yang ditandai fragmentasi seakan mengafirmasi setiap bentuk kemungkinan, bahkan ketidakmungkinan. Modernitas dalam arti tertentu seakan menarik imaji kita ke tengah realitas virtual yang musykil untuk kita renungkan.

Suatu peristiwa yang disebut Baudrillar sebagai taburan citra dan tanda. Bagaimana jalinan citra dan tanda itu beroperasi? Mungkin kita akan dibuatnya njelimet,bila saja waktu kualitatif ala Bergsonian (baca: Dure) untuk memahami ruang tersebut,tak lagi ada dalam keyakinan epistemik kita. Barangkali ramalan Karl Marx dalam Das Capital-nya benar, terutama tesisnya tentang kapitalisme yang kekeuh diri menjadi semacam takdir bagi anak manusia yang hidup di zaman ini.

Kapitalisme memang telah menjadi takdir bagi manusia modern. Hanya saja, mungkin analisa determinasi ekonominya telah pudar karena perubahan fantastis dari modus produksi dan pergeseran nilai tukar sedemikian dahsyatnya bergeser ke wilayah prestise, image, citra, dan seterusnya,yang melahirkan masyarakat konsumeristis. Kepekatan hidup manusiamanusia modern kini telah bermetamorfosa ke arah banalitas.

Maka,pada saat yang sama,manusia modern pun seperti kehabisan waktu untuk mencandra realitas yang intim dengan nuansa pikir dan reflektif. Seakan waktu primordial menjadi sukma unik di ruang-ruang yang terfragmentasi saat ini. Lanskap dan etalase kota modern dan segenap pesona dengan seribu kunang-kunang di dalamnya, seakan telah menutup segala ruang bagi modus eksistensi diri yang autentik.

Pesona dunia menjanjikan suguhan penuh citra dan imaji tentang ektase kehidupan meski di dalamnya absurd. Suatu tanda persilangan dengan apa yang sering kita sebut antara emansipasi, otonomi diri di satu sisi, dan ironi, absurditas di sisi lainnya. Di sanalah letak kontradiksi dan kaum neomarxis meramalkan modernisme sebagai reruntuhan puing sejarah tanpa kepastian subjek dalam mengarungi mitos pengetahuan. Situasi itu persis seperti yang digambarkan Walter Benjamin, seperti situasi- situasi batas manusia kota Paris abad-19.

Tak ada lagi emansipasi, bahkan humanisme! Ungkapan nada pesimisme ini merupakan cermin nyata realitas yang sejauh ini telah mengalami devaluasi dan transgresi dalam modernitas. Kelupaan atas ihwal keyakinan dan kebenaran telah melabrak seluruh dimensi absolut mengenai realitas yang melampaui rengkuhan akal budi instrumental.

Di masa lalu, situasi krisis itu pernah dikhawatirkan banyak kalangan, baik filsuf,sastrawan,ataupun para abdi setia moral.Namun, modernitas seakan tak mengindahkan keyakinan dan keniscayaan lain,kecuali ia adalah revelasi sekuler yang terus menerobos masa depan kemanusiaan modern.

Modernitas di Sudut Malam

Modernitas memang tak selalu kelam dalam kubangan imaji totaliter, rintihan getir kaum yang terdiaspora, lumuran darah yang terhampar dari cita-cita utopis, atau kapitalisme yang mengoyak jati diri manusia dan kehausan tanpa batas atas kapital.Ia (kapitalisme) kadang terlalu cerdik memperlakukan kritik,hingga dalam batas tertentu justru mampu mengatasinya dengan segenap inovasi dan capaian.

Hal itu nyata ketika kita berjalan pada malam hari, di atas desir angin dan desing hilir mudik knalpot yang menghiasi alunan nada realitas hingga menguap bagai simfoni nada.Kerumitan arsitektur kota yang timpang, marginalisasi, eksklusi, dan wajah lusuh lainnya. Di sana tetap ada pesona dan kekaguman pada capaian,kemewahan etalase dan segala kemudahan yang kadang kita dibuatnya tergoda, terkulai malas berpikir tentang sesuatu di luar yang visibel,sekaligus virtual.

Suatu pesona akan pencapaian yang jauh melampaui kerangka pikir abad pertengahan lalu dan kita pun memang telah menggantung cita-cita lama itu dengan menggeser penghayatankosmosdanteloske wilayah perbatasannya. Ruang-ruang yang terfragmentasi dalam lanskap kota dengan segala hiruk-pikuk dan keunikan di dalamnya, seakan menjadi semacam oase bagi pegulat sejati hidup di dunia perkotaan yang riuh rendah dengan segala konstelasi bisnis, politik,dan keacuhan individual.

Modernitas dalam batas tertentu tak selalu merupakan keketatan ilmiah, bahkan keteraturan sosial. Anomali- anomali di dalamnya selalu tercipta. Memang ada canda, tawa, dan rencana, tapi malam memberi gambaran kejujuran baru tentang dunia kita yang penuh anomali.Realitas tak lagi merupakan suatu koherensi dan representasi,ia bahkan seketika menjadi kontradiksi dan anomali. (*)

Miming Ismail
Pegiat sastra dan filsafat pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bagus sekali. Singkat dan padat seta berisi.