Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

03 Juni 2008

Murka Murda

”Rusuh!””Itu jalan satusatunya. Biar mereka dengar!” Salim berujar lantang. Mukanya yang tirus semakin tampak keras dan sangar dengan cambang tak tercukur.Setiap kali bicara,tak hanya kata-kata yang meluncur. Air ludah ikut muncrat menghujani lantai.

Murda tetap diam.Tatap matanya menerawang.Ia tampak tak terusik kata-kata Salim yang menggelegar. Sesekali ia isap rokoknya. Jemari yang menjepit batang rokoknya tampak bergetar.Tiba-tiba bola matanya bergerak liar.Air mukanya mengeras.Giginya diadu gemerutuk.

Kini pandangnya menyiratkan murka. Lalu, tangannya bergerak cepat mematikan rokok di asbak.Kepalanya menegak.Urat leher menegang. ”Ya.Tampaknya kita harus ambil jalan itu.”Pandang matanya bergerak mengitari semua.Sekitar dua puluh lima orang duduk bersila,melingkar di sebuah ruang yang sempit tanpa jendela. Semuanya bersila.Wajah mereka mengelam.

Tak ada senyuman, yang ada hanya gemuruh. Suasana yang tadinya riuh berangsur hening.Semua menatap Murda, sang pemimpin. Semua menunggu putusannya. ”Kita terpaksa ambil jalan kekerasan. Mereka harus kita beri pelajaran!” lanjut Murda. Salim menyeringai puas.Tangannya mengepal,tatap matanya semakin nyalang.

Lalu ia tegak berdiri dan teriak lantang,”Rusuh.Ayo kita bikin rusuh!” ”Benar!” ”Rusuh!” ”Rusak!” ”Hancurkan!” teriak semua.Asap rokok memenuhi ruang.Wajah-wajah yang semakin legam tersapu kabut asap.Udara panas memanggang, terbakar amarah yang menggelegak. ”Benar! Tapi bagaimana caranya?” teriak Murda memenggal riuh, ”kita tak terbiasa melakukan kerusuhan. Kita tak suka kekerasan. Kita tak pernah diajari menghancurkan.”

”Tapi mereka telah merusak dan menghancurkan kita lebih dulu!” tukas Salim tanpa menurunkan volume. Tak pernah ia turunkan suara, seperti muncratan ludahnya yang tak pernah kering.Suasana semakin panas.Udara menegang,asap rokok mengental. ”Benar kata Salim.Kita tak pernah berniat merusak. Kalau mereka terus dibiarkan, kita pasti binasa.

Tak perlu menunggu lama, anak cucu kita pasti binasa. Kini waktunya memilih, kita atau mereka yang binasa,”ujar seorang tua bersuara serak. Ia paksakan berteriak menyaingi gelegar suara Salim. Debu amarah menyebar menyarati ruang.Semua mata memandang Murda. Semua menunggu putusan.

”Baiklah,”ujar Murda lirih. ”Semuanya diam!” teriak Salim sambil menggebrak meja,”Ketua hendak bicara!” ”Jangan sebut aku ketua. Kita bukan mereka,” pandangan Murda menumbuk Salim. Sunyi sesaat menghampiri.Asap rokok mengabut. Debu amarah membiakkan diri.

”Bertahun-tahun kita hidup di sini, di desa ini. Sejak Mbah Buyut Arya Kamuning, kita selalu hidup damai, tenteram,dan tenang.” Suara Murda berderap mengawali pidato. Semua diam. Tangan mereka menyibakkan kabut asap.Debu amarah mulai mengeras.

”Sejak zaman kakek, buyut, cicit, bao,janggawareng,dan lama sebelumnya, kita rasakan hidup yang tenteram. Tak pernah kita pelihara amarah. Meski tak kaya,kita bangga dengan hidup kita.Tak ada anak kita yang mati akibat busung lapar.Tak ada rumah kita yang digenangi air di musim hujan atau yang terpanggang di musim matahari. Tak ada maling.Tak ada pencoleng, apalagi perampok.Kita pun tak kenal lintah darat.”Asap rokok menipis.

Debu amarah berhimpun satu sama lain membentuk butir-butir sebesar kelereng. ”Kita bisa sekolahkan anak kita,kita ajari mereka mengaji. Kita didik mereka agar tak jadi maling, perampok, atau koruptor.Kita bisa sembah Tuhan kita dengan tenang,” suara Murda meluncur semakin mantap. ”Tetapi selama lima tahun terakhir, ketenangan kita diusik. Tak khusyuk lagi kita ibadah.Tak pulas lagi kita tidur.Anak-anak kita biarkan berkeliaran di jalanan.

Kita tak berwaktu mengurusi mereka.Semua itu bermula se-jak mereka curi air kita.Ketika mereka rampas sumber hidup kita. Mereka penggal aliran sungai kita, tepat di batang lehernya. Mereka alirkan air kita ke kota-kota, ke rumah-rumah orang kaya.Memenuhi tabung mandi mereka, mengaliri pancuran mereka, lalu melimpah membasahi jalanan mereka dan mengering terbawa udara. Akibatnya, sawah kita kekeringan.

Sumur kita menjadi lubang hampa. Untuk minum pun kita harus antre membeli. Kemarin si Carman membakar batang padinya yang belum berisi karena tak pernah bisa diairi.Kita tengkari saudara demi mendapatkan air. Kita asah kita punya pa-rang, bukan untuk menebas batang pisang, melainkan untuk menakuti tetangga. Kini,kita tak lagi punya waktu istirah, apalagi untuk ibadah.

Hampir se-luruh waktu kita gunakan untuk mencari air, mendapatkan sumber hidup. Kini saatnya untuk memaksa mereka mendengar. Sudah waktunya bikin perhitungan. Kita harus tempuh jalan rusuh!” ”Ya,betul.Rusuh!”teriak Salim. ”Rusuh!”sambut Semua. ”Asah parang kalian. Runcingkan arit kalian.Lancipkan linggis kalian!” muncratan ludah Salim menipiskan asap rokok.

”Tunggu dulu!” teriak Murda menebas gaduh. ”Kita harus bicarakan caranya. Amarah tak boleh bikin kita gegabah.” ”Kita racuni saja pangkal aliran pipa mereka.Biar mampus semua orang kota itu,” seorang anak muda berkata ragu sambil menoleh kiri kanan. ”Bodoh. Kita bukan pembunuh. Dan kau, anak ingusan, kau takkan pernah tahu rasanya jadi pembunuh,” ujar si tua bersuara serak. Semua diam.Bola mata mereka liar saling pandang.Akhirnya semua mata menumbuk mata Murda.

”Saudara-Saudara, apa yang hendak kita lakukan bukan untuk menghancurkan? Kita mau mereka mendengar suara kita.Esok kita alirkan derita dan kesulitan seperti yang kita rasakan. Cukuplah itu sebagai peringatan untuk mereka.”Murda berujar bijak. ”Jadi tepatnya, apa yang akan kita lakukan?”tanya si tua. ”Siapkan parang, linggis, cangkul, martil, dan kampak yang kita punya. Esok,seusai Subuh,kita hancurkan pipa mereka.

Setebal apa pun, pasti ada celah untuk dirusak.Kita rampas kembali sumber hidup kita. Sekarang, pulanglah dan bersiaplah.” ”Ayo kita pulang.Asah parang kalian!” bak wakil komandan, Salim membubarkan lingkaran. Udara masih panas memanggang. Butir amarah menyelinap melalui lubang telinga dan bersarang di setiap kepala.Mereka pulang. Butir amarah melayang ke rumah.

Esok harinya, saat subuh belum lagi usai, semua telah berhimpun di sawah. Semua membawa beragam senjata. Kini, butir amarah telah sekepalan tangan. Menggelayut di pundak setiap orang.Tanpa dikomando satu per satu mereka berjalan menyusuri setapak menuju pangkal sungai. Begitulah titah Murda.

”Aku segera menyusul,”katanya. Matahari mulai berbentuk ketika semua tiba di pangkal sungai.Lalu semua mengerumuni pipa sepelukan orang dewasa.Tak ada yang diam.Tak ada yang tertawa.Semua bicara.Bicara satu sama lain hingga hutan menjadi pasar pagi. Matahari telah hilang rupa. Yang tinggal hanya panas dan cahaya.Tapi Murda belum juga tiba.

Suara-suara semakinriuh.Hawa amarahmenyeruak membelah angkasa.Tanpa kobaran api, gunung kehilangan dingin. Matahari semakin tinggi. Orangorang resah. Gelisah. Murka. Me-nunggu Murda. ”Ayo kita rusak saja sekarang.Kita robohkan tanggul penahan.Atau kita hancurkan pipa sialan ini,” teriak seorang pemuda melempar amarah. ”Jangan.Kita tunggu Murda sekejapan lagi.Mungkin dia segera tiba,” ujar si tua. Butir amarah terus berbiak. Matahari naik sedepa.Murda tak juga tiba.

”Bangsat si Murda itu! Ayo kita hancurkan. Jangan lagi tunggu pemimpin sialan itu!” pekik Salim seraya mengayunkan kampak dan mulai menggedor pipa.Bak minyak tersentuh api, Semua mulai merusak.Apa saja mereka rusak.Tak peduli akibat, yang penting rusak, rusuh, dan runtuh.Wajah mereka tak lagi bisa dikenali. Butir amarah telah membesar sebesar kepala.

”Tunggu dulu. Hentikan!” sesuara keras menyapu rusuh. Orangorang tanpa wajah menghentikan gerak. Bergegas kerumuni Suara. Murda telah tiba. ”Ayo Murda. Kita hancurkan semua. Kita rusak segala,” pekik satu suara. Dari muncratan ludahnya, mungkin suara Salim. Pandang Murda berkeliling menatap semua.Wajahnya tampak berkerut. Butir kantuk menggelayut di kelopak matanya. Mungkin ia tak tidur semalam suntuk.

”Semalaman saya berpikir. Semalaman saya merenung. Usai subuh baru saya dapat putusan.Kita tak mungkin merusak. Kita tak terbiasa menghancurkan. Rusuh bukan adat kita. Apa yang hendak kita lakukan setelah merusak? Apa yang akan kita katakan setelah menghancurkan? Tak ada yang berguna.Memang ada ribuan jawaban bagi satu masalah,tetapi merusak sama sekali bukan jawaban.

Setelah merusak,kita akan kehilangan dada, kepala, dan tanda-tanda. Setelah rusuh, kita akan kehilangan kita.Kita tak lagi menjadi kita.” Suara Murda berapi-api dan bergunung-gunung. Semua diam.Pepohonan diam. ”Jangan dengarkan dia kawankawan! Bangsat Kau,Murda! Pengecut Kau,jahanam! Selama ini kami percaya. Selama ini kami setia.Kami tak lagi mau mendengarmu.Bangsat kau! Jahanam! Mampuslah!” suara berludah menggelegar.

Sebongkah amarah dilempar.Murda terkapar.Kepalanya berdarah. ”Dasar pengecut!” pekik semua. Lalu bongkahan-bongkahan amarah terlempar.Murda tak bergerak. Seluruh tubuhnya berubah darah.Matahari memerah. Semua bergerak.Semua menyalak. Semua melempar.Liar.

Tanpa komando,ramai-ramai mereka gotong tubuh berwarna merah itu. Mereka jejalkan ke dalam pipa. Setelah merusak segala, wajahwajah tanpa kepala, tanpa dada, dan tanpa tanda itu bergegas pulang. Esok harinya,warga kota gempar. Air minum mereka licin dan bau amis darah. Kuningan,November 2006

DEDI SLAMET RIYADI,
Kuningan, Jawa Barat.

(TERBIT DI SEPUTAR INDONESIA, 31 MEI 2008)

Tidak ada komentar: