Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

22 Juni 2008

Indonesia, Merdeka Sekarang Juga!

OLEH: SAYYID MADANY SYANI

Masih kuingat ibu, yang menanak nasi di dapur. Beras yang ditanak tak sampai setekong. Padahal, harus mengenyangkan kami sekeluarga yang terdiri dari ayah, ibu, aku dan lima orang saudaraku. Ibu pun tidak pernah menjawab pertanyaan adik yang paling bungsu;

“bu, kok nasinya cuma sedikit sih? Pakai garam lagi? Kenapa tidak buat ayam goreng saja bu, seperti Retno temanku itu.”

Aku sendiri merupakan anak tertua. Jika dihitung-hitung, umurku sudah layak untuk mengenyam bangku sekolah menengah. Tapi mau diapakan lagi, sekolah dasar pun tak sampai tamat. Ayah, hanya buruh tani. Setiap hari, harus selalu bermandi keringat di tengah sawah. Jika saja aku punya ketapel, akan aku pecahkan matahari yang garang melumat tubuh ayah. Sekali, pernah kulihat ayah membuka bajunya. Sambil bertelanjang dada, ia rebahkan tubuhnya yang kurus itu ke lantai tanah berbalut tikar pandan. Ketika tubuhnya menelungkup, maka tampaklah kulit punggungnya yang hitam seperti terbakar. Oleh karena itu, aku sangat ingin sekali memecahkan matahari.

* * *

Angin malam mulai menusuk perlahan. Kunang-kunang, sesekali tampak juga mengitari. Klap-klip, seperti ingin mengutarakan sesuatu. Tapi sayangnya, aku tak pernah bisa hapal sandi morse. Dulu, sempat aku masuk kepanduan dan belajar morse, tetapi belum sempat kutamatkan kaji untuk menghafalkannya, ayah sudah tak sanggup lagi menyekolahkan. Jadilah, aku pun keluar dari sekolah. Tapi pada saat seperti itu, orang-orang sebaya yang keluar dari sekolah sangat banyak jumlahnya. Bersamaku saja, hampir menguras habis murid di sekolah tersebut. Jadi, aku pun tak terlalu sedih sewaktu ayah menjemputku dari sekolah.

Sedangkan bintang, ah, aku kurang suka dengan bintang. Kata orang, bintang itu bagus, cantik. Tetapi menurutku tidak. Bintang adalah pembohong ulung. Kemunafikannya tampak jelas. Ternyata, bintang yang banyak di langit itu tak semuanya bintang. Yang terlihat dari bumi, hanya sepersekian persen yang bintang, selebihnya adalah pantulan cahaya bintang lain yang terang. Makanya, bintang pun menjadi tidak karuan jumlahnya di langit, seperti arus urbanisasi saja.

* * *

Aku tengah menunggu seseorang. Di depan bioskop Merdeka ini, sudah setengah jam lebih. Jam sudah lewat angka delapan. Lalu lintas tidak lagi padat. Hanya di atas trotoar, banyak berkeliaran gelandangan mencari tempat berteduh. Masih kutunggu, mungkin setengah jam ke depan. Sambil menunggu, masih kuperhatikan kunang-kunang yang sedari tadi bersliweran di depan wajah.

“Menungguku bung?” Dari samping kanan, aku dikagetkan oleh seseorang.

“Bung kelebihan waktu, setengah jam. Kunang-kunang saja sudah bosan melihat wajahku. Lihat bung, mereka beterbangan ke arah selatan itu. Mungkin mencari orang-orang sepertiku yang juga sedang menunggui seseorang.” Suaraku, entah kenapa menjadi agak berat.

“Hahahahhahaa, bung bisa saja. Ah, bung tahu dengan bioskop ini. Hmm, sudah lama aku tidak melihat gedung ini semenjak aku belajar keluar tanah Jawa. Dulu, bioskop ini bernama bioskop Roxy. Sungguh sebuah nama yang terlalu Kapitalistik. Barat, ah mereka tidaklah sehebat yang kita elu-elukan. Ketika Jerman menguasai hampir seluruh daratan Eropa, orang-orang Barat inilah yang tidak bisa menerima ketertindasan. Hidup susah di kamp-kamp. Sungguh, sebuah keterbalikan. Aku sering menyebutnya dengan karma. Siapapun yang menindas, akan pula tertindas. Benarkan bung? Lihat, BIOSKOP MERDEKA bukankah itu sebuah nasionalisme Indonesia? Aku sangat cinta Indonesia.”

“Bung terlalu banyak bicara. Bergegaslah, banyak yang sudah menunggu.”

Orang itu, Nursal namanya. Ya, kuakui dia memang pintar, sehingga dibiayai oleh pemerintah untuk sekolah di Moscow. Namun, orang itu banyak omong. Terus terang, aku kurang suka padanya. Tapi, apa boleh buat, kawan-kawan menyuruhku untuk menjemputnya di depan bioskop Merdeka itu. Entahlah, sampai seberapa jauh kehebatan dia.

Rencananya, Nursal akan memberikan ceramah-ceramah pengetahuan umum. Tempat itu lumayan jauh. Namun sebenarnya, Nursal bisa saja pergi ke tempat itu sendirian tanpa harus ada yang menjemput. Tetapi, situasi ketika itu yang memaksa Darman menyuruhku untuk mengamankan Nursal.

“Kita tidak bisa ambil resiko Nursal diculik kekuatan yang tidak dikenal. Kita semua kan tahu, bahwa situasi sekarang sangat genting. Kita tidak tahu, akan sampai dimana situasi seperti ini berlangsung. Saling hujat, saling keroyok, saling culik. Walaupun sebenarnya, kita tidak pernah menculik siapapun diantara mereka. Land Reform yang dicanangkan telah membuat semuanya salah tanggap. Orang-orang PNI di Malang sudah buat tandingan. Becak-becak juga di-reform-kan.”

Aku mengerti kegelisahan Darman. Semuanya serba awas. Terhadap orang-orang yang tak dikenal, bisa-bisa hanyut di kali belakang. Masih samar, siapa yang jadi lawan. Kawan pun dihantam. Beberapa hari yang lalu, ratusan massa merangsek masuk menghancurkan kantor sekretariat SBKA di jalan Kayutangan. Tidak itu saja, ISRI yang punyanya PNI pun hancur karena latarnya yang merah. Massa hijau itu marah, gara-gara massa merah di belahan pulau yang lain melakukan tindakan sepihak yang juga brutal. Kalimat Nietsche “Tuhan telah mati”, sudah dipergelarkan melalui kesenian ludruk dengan judul “matine gusti Allah”.

Aku berucap syukur, ternyata dalam perjalanan tadi tidak ada gangguan fisik yang berarti. Paling, hanya nyamuk yang menggigiti tubuhku yang lumayan kurus ini. Setelah sampai, Nursal kubawa menghadap Darman.

“Salam revolusi! Bagaimana kabarmu bung Nursal? Apakah Moscow yang dingin sudah melenakan tidur panjangmu?” Darman menyambut Nursal dengan sedikit ejekan. Maklum, Nursal, telah lebih dari lima tahun berada di Moscow.

“Tidak bung, tidak. Aku masih cinta negeriku. Aku masih tertarik dengan gadis-gadis Jawa, sungguh tidak akan bisa kucari kemana jua kecuali di sini.” Dan keduanya pun terlarut dalam gelak tawa. Sedangkan aku, hanya simpul senyum yang satir.

“Mas Sardi, kawan-kawan yang lain sudah menunggu.” Ratih, gadis manis itu mengingatkanku untuk cepat memotong pembicaraan Darman dan Nursal.

“Maaf, kawan-kawan yang lain telah menunggu di aula.”

“Mungkin, setelah berceramah kau harus menceritakan dengan detail bagaimana bentuk Moscow itu.” Darman kembali menjabat tangan Nursal—hangat.

Di aula yang tidak seberapa besar itu, telah menunggu kurang lebih sepuluh orang. Mereka, duduk dengan tertib dan tidak tampak garis-garis lelah di wajah mereka meski waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Segera saja aku melangkah ke depan ruangan. Ya, aku ditugaskan untuk menjadi moderatornya Nursal. Dalam pengantar yang kuberikan, aku menegaskan bahwa masyarakat tidak pernah berhenti bergerak, karena hal itu merupakan hukum yang tidak bisa dipungkiri.

“Sardi, kau pasti tidak suka padaku.” Nursal menyikut rusukku ketika ia akan beranjak menuju podium untuk mulai berceramah. Sambil tersenyum ia melihat lekat padaku, seolah-olah dia begitu mengerti dengan keadaanku.

Nursal memulai ceramahnya. Ia mengatakan bahwa tak seorang pun yang dapat membendung suatu perubahan, betapapun kuatnya bendungan itu, sekali waktu akan jebol juga, sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh perubahan itu sendiri. Kesepuluh peserta ceramah tersebut sepertinya terkesan. Tetapi, kenapa hanya aku yang sepertinya menaruh iri. Selama satu jam ceramahnya itu, ia mengakhiri dengan menyatakan “Siapkah kita untuk menjadi Republiken?” Dan, peserta ceramah seperti terbius dengan propaganda Nursal. Serentak mereka menjawab “Siap!” lalu diiringi oleh tepuk tangan peserta yang riuh rendah. Aku menjadi tambah gusar dan kesal. Kuraba rusuk kiriku yang tiba-tiba rasa sakitnya semakin menjadi. “Nursal dan Republiken-nya.” Kuremas-remas tanganku erat sehingga membentuk kepal tinju yang siap melayang. Tapi, kuurungkan cepat, sebab alasanku tidak cukup kuat. Jika kuteruskan, berarti aku sama saja dengan orang-orang yang main hajar, culik dan main hujat sekenanya. Padahal, aku sangat benci hal itu. Setelah acara berakhir, kulangkahkan kaki menuju kamar belakang.

“Mau langsung tidur mas? Tidak kumpul dulu di ruangannya mas Darman?” Ratih kembali menyapaku.

“Ya, aku langsung ke kamar saja. Badanku agak tidak enak.”

“Ya sudahlah.” Ratih berlalu. Dan aku terus menyeret langkahku ke kamar belakang.

* * *

Show of Force pro revolusi Soekarno masih berlangsung. Pawai Nas-A-Kom, menggurita, namun antara kekuatan-kekuatan tersebut seperti menyimpan api dalam dadanya. Api itu terus membakar, menjadi semangat yang dapat berubah sewaktu-waktu menjadi dendam. Api itu terus menjalar, membakar semangat keeogisan, bukan persatuan seperti yang diidamkan oleh Soekarno sendiri. Lagu, Nasakom Bersatu digubah menjadi Nasakom Jiwaku.

Dan dendam itu memang sudah dekat waktunya. Nursal telah dua bulan lamanya di Indonesia. Dia tidak habis pikir, apa yang sering dilontarkannya sewaktu ceramah-ceramah umum sebentar lagi terjadi. Perubahan yang diibaratkan dengan sebuah bendungan. Tetapi, ia tidak percaya. “Semoga saja prediksiku meleset” gumamnya dalam hati. Kekisruhan hatinya tidak ia tampakkan pada kawan-kawannya yang lain. “Atau, apa betul. Siapa yang dekat dengan kekuasaan adalah pengkhianat perjuangan? Jika tidak dekat dengan penguasa, maka akan disisihkan” Pertanyaan-pertanyaan yang sering melintas tidak segera ia jawab. Nursal masih percaya, bahwa Indonesia sudah berada pada jalur perjuangan yang benar. Konflik yang pada dasarnya hadir karena kesamaan tujuan—ingin berkuasa, merupakan hal yang lumrah bagi negara yang akan menapak umur 20 tahun.

4 bulan kemudian

Jam baru akan berhenti di angka 10. Semuanya telah berkumpul di ruangan Darman.

“Organisasi ini sekarang diujung tanduk. Dimana-mana, terjadi aksi unjuk rasa tidak senang terhadap sepak terjang kita. Kemarin, lasykar Salahudin telah membakar sekretariat CGMI. Mungkin keadaan ini cepat atau lambat juga merembet ke arah kita.” Darman membuka rapat dengan nada putus asa.

“Aku tidak menyangka, matinya para jenderal angkatan darat dihubungkan dengan kegiatan kita. Apa salahnya revolusi?” Ratih menghela nafas yang menyesak dadanya. Ia tidak yakin, Aidit yang merencanakan pembunuhan tersebut.

“Menurutku, kita telah salah jalan. Kita telah dibutakan dengan ambisi kekuasaan. Perjuangan kelas proletar yang kita usung, malah menjadikan kita sebagai orang yang borjuis itu sendiri.”

“Apa maksudmu Nursal?” Darman mengendus. Nafasnya tidak beraturan.

“Ya, di sisi lain, kita bela rakyat. Namun, kita terlalu dekat dengan kekuasaan. Dan satu lagi, kita memang pandai menghimpun massa, tetapi kita telah salah kaprah. Mudah saja orang masuk jadi simpatisan dan anggota. Kita, mudah dihasut dan dipecah belah.” Ujar Nursal selanjutnya.

Sardi dari tadi hanya diam mendengarkan. Tidak ada yang salah dengan ucapan Nursal. Jika ditilik, tidak ada perjuangan proletar yang pengayomnya sendiri duduk senang diatas kursi kekuasaan. Dari dulu, perjuangan proletar seperti ditakdirkan untuk menjadi perjuangan kaum marjinal—orang-orang yang tersisih. Namun, pemikiran Sardi tidak pernah ia utarakan. Pertempuran dalam hatinya masih menggugat apa-apa yang menyisiri pemikirannya.

“Aku pikir, situasi sekarang tidak cukup kondusif untuk menampilkan perjuangan kita seperti beberapa tahun belakangan ini. Kita harus mundur, dan organisasi ini harus bubar. Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal.” Sebenarnya, Ratih pahit juga mengatakan hal seperti itu. Ia pun sebenarnya takut, tidak pernah lagi bertemu dengan kawan-kawannya ini.

“Baiklah. Aku berpikiran sama dengan Ratih. Aku harap, kawan-kawan yang lain mau menerima keputusan ini. Salam perjuangan.” Darman beranjak dari duduknya. Ia segera melangkah keluar ruangan. Tidak lama setelah itu, giliran Ratih terisak meninggalkan kursinya.

“Telah tiba saatnya bendungan itu hancur. Hhh, mungkin karena konstruksi bangunannya menggunakan bahan karbitan. Jadinya tidak tahan lama. Ah, sampai jumpa lagi bung, Sardi, kawanku.” Nursal berlalu dari hadapan Sardi. Sardi sendiri masih kurang percaya, dengan segala perubahan ini. Tetapi dalam hatinya, perubahan tetap harus ditelan. Tidak ada yang manis dalam sebuah perjuangan sejati. Dan ini adalah sebuah konsekuensi.

* * *

Musim telah lama berganti baju

Burung gereja sayup-sayup terbang melintasi utasan kabel-kabel listrik yang melintang panjang. Di atap rumah, ada seekor yang tengah berjemur menatap matahari sore. Apalagi, cuaca amat hangat menyapa sesudah beberapa jam yang lalu terguyur hujan lebat disertai petir yang sempat mematahkan pelepah pisang di ladang belakang. Seseorang tengah duduk di beranda depan rumahnya. Pandangannya selalu nanar menatap jalanan aspal lengang. Hampir terlihat tua, uban tumbuh disana-sini diatas kepalanya.

Dia rindu akan hidupnya yang dulu. Dia rindu tembang genjer-genjer, yang melesapkan jiwanya menjadi teduh. Dalam lamunannya, tak sengaja ia lantunkan juga sebait tembang itu.

Genjer-genjer neng kedokan pating keleler

Emake tole teko-teko mbubuti genjer

Oleh sak tenong mungkur sedot sing tolih-tolih

Genjer-genjer saiki wis digowo mulih

Sangat pelan, ia pun tersenyum-senyum menembangkannya. Matahari, hampir lindap di sudut jauh sawah-sawah yang membentang. Cahaya kuning kemerahan membuatnya meneteskan hujan lokal di wajah. Ia ingat, akan kunang-kunang yang selalu menungguinya.

“ah, kunang-kunang. Mengapa kau tidak datang. Seperti dulu mengitari wajahku yang tengah gusar menunggu perjuangan. Sekarang, aku pun sedang menunggu. Menunggu Indonesia kembali merdeka. Ah, kunang-kunang, kurindui engkau. Kapan engkau datang?”

Matahari pun tergelincir. Meneduhkan langit juga bumi. Berganti dengan sepoi angin gunung yang membawa beku. Sesaat, azan Maghrib hadir. Dan, lelaki itu beranjak dari duduknya pergi ke dalam rumah dan mengunci pintunya dari dalam. “Benarkah Tuhan telah mati? Kalaupun iya, akan kubangunkan lagi Tuhan itu. Sebab aku percaya, Tuhan hanya mati suri.” Sesekali, codot kembali mengulang-ngulang kalimat azan. Mungkin pikirnya, azan yang sekarang kurang sampai ke telinga manusia lain, makanya ia pun mencoba jadi muazin.

Padang, Mei 2008

Catatan:

Genjer-genjer bertaburan di pematang

Emak si buyung datang mencabut genjer

Setelah mendapatkan satu tenong lalu berhenti

Genjer-genjer sekarang dibawa pulang

Tidak ada komentar: