Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

29 November 2007

Langit Merah Fanta


;lukisan hari pertama

november, hujan bersemi indah
ringis menitik dalam-dalam
menyerbu ke balik ruang kamar pengap

november, decak riang katak di taman
bermain-berlompatan di hujan rindang
mengais serpihan kebahagiaan
yang tinggal di ujung daun rumput, basah

;lukisan hari kedua

preman dan aku duduk di beranda sore
menikmati kicauan senja
yang bertempuran di langit barat

dedaun bergemeretak bersama ranting
dan suara cuit kelelawar yang terbang
di atas bunga kamboja

langit oranye terbunuh
berdarahdarah
mencipta senja jadi merah
semerah fanta yang kureguk
dalam keramaian maghrib yang menyuram

Kampus-Pasar Baru, November 2007

26 November 2007

Sajak Puncak Marapi



Sajak Sayyid Madany Syani

pesanggrahan

mulai jejak pasang
ditemani gemericik embun
yang turun dan singgah
membelai halus pori-pori kulit

"mari, kuantar hingga decak mentari pagi
membasuh wajah dengan berseri"

begitu ucap embun yang senyum
menitikkan sejuta kesegaran dan dingin

akar

sementara itu, puncak Marapi
telah tersenyum halus
dalam gelap yang bercucuran

dedaun hijau tersibak ke tepi
jejurang pun semakin menemani langkah
dingin mencerabuti hawa panas dari badan

digantikan kabut tebal
yang menutupi bulan sepenuh kepal
namun langkah belum akan mati

"hanya sejenak istirah"
lalu bergegas kembali, mengejar senyum fajar
di titik tertinggi

lumut

oh, semakin berlarian waktu
meninggalkan jejak hijau dedaun
digantian tumbuhan paku
yang penuh di sesisian jalan setapak

tanah coklat berganti dengan kelicinan lumut
sesekali hampir terperosok ke dalam jurang
namun, nasib baik masih berpihak

masih dalam gelap
cucuran keringat yang berubah seketika menjadi es
membekukan badan hingga pori-pori jaket

"ah, bisakah beristirahat sebentar!"

pada waktu ini, harus bijak mengambil keputusan
istirahat, atau terus berjalan
supaya dapat mengejar senyum fajar
yang sebentar lagi merekah

cadas
hawa dingin semakin menggigit
puncak Singgalang sudah disiram cahaya kekuning-kuningan
juga puncak Tandikek, mencerai-beraikan kabut
yang bersatu membentuk benteng

tambah ke atas
dedaun hijau semakin sedikit
digantikan bebatuan terjal
yang tajam menusuk mata

kemah didirikan di atas tanah miring
"harus cepat, sebelum senyum fajar habis!"
dan berkejaranlah menuju titik tertinggi
garis kawah, puncak Merpati, lapangan pasir vulkanis

"ah, indahnya senyum fajar di pagi ini"
udara segar bercampur dingin dan belerang
membelai hidung, tenggorokan dan paru-paru

edelwis
belum tuntas perjalanan
dari tugu Abel, masih berniat memetik bunga abadi
edelwis, dengan sejuta pesona
menyiratkan sejuta kemenangan

belerang masih muntah dari mulut kawah
terus berjalan beriringan menuju taman abadi

"petik, petik dan terus petik"

kesunyian pula yang memadamkan niatku untuk memetik edelwis
"jika kupetik, siapa lagi yang akan menemani puncak ini"
kekosongan yang lain

sampai turun, aku masih merindukan suasana yang tenang itu
suasana di puncak sana
tempat aku melihat fajar kembali tersenyum saat berada di Barat

ditulis sehari setelah perjalanan menaklukkan puncak Marapi.

26 November 2007

20 November 2007

Buku yang Aku Beli

Sungguh menyenangkan jika punya koleksi buku-buku bagus. Mulai bulan ini, saya tengah memburu buku-buku berkualitas tersebut. Di bawah ini adalah hasil pencarian buku bulan November 2007.



"Becoming Che; Sebab Mundur Adalah Pengkhianatan", merupakan biografi dari tokoh Sosialis yang berasal dari Amerika Latin bernama Ernesto Che Guevara. Buku ini saya beli, sebab saya penasaran terhadap sosok Che yang dipuja banyak pemuda terutama di Indonesia. Gerangan apa yang membuat dirinya terkenal...




"Merdeka 100%; Tiga Percakapan Ekonomi Politik", merupakan karya imajinatif dari Tan Malaka. Tidak bisa dikatakan bahwa Tan Malaka adalah seorang Komunis tulen. Kenyataannya Tan Malaka lebih memilih pergerakan Sosialis Demokrat yang lebih revolusioner. Buku ini lain daripada buku-buku biasanya. Disajikan dengan gaya narasi drama antara empat tokoh; Godam (wakil kaum buruh), Pacul (wakil kaum tani), Denmas (wakil priyayi), Toke (wakil kelas pedagang), Mr. Apal (wakil kaum intelektual).




"Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan", ini adalah skripsi Soe Hok Gie. Buku ini berkisar pada sejarah dan perjuangan kaum Komunis semenjak Pemberontakan 1926, hingga Madiun Affair 1948. Ternyata, kaum Komunis pun tersebar menjadi beberapa sekte yang saling baku hantam. Misalkan saja, grup Tan Malaka yang ditentang habis-habisan oleh grup PKI Marxis/Leninis. Bahkan sekte-sekte lain seperti Partai Sosialis, Pesindo dll.




"Chairil Anwar; Sebuah Pertemuan", merupakan tulisan yang dikemukakan oleh Arief Budiman. Buku ini adalah esai tentang karya Chairil maupun yang berkaitan dengan tokohnya.













"Kisah 47 Ronin", karya John Allyn ini menurut saya merupakan pemberontakan kaum muda terhadap kaum tua yang stagnan dan lebih menekankan kehidupan istana yang hura-hura.








"Perantau" adalah kumpulan cerpennya Gus Tf. Sakai. Perantau menyiratkan sebagai kebiasaan lelaki Minang yang sudah baligh untuk pergi merantau. Kultur budaya amat kuat pada Kumcer tersebut.

Desember besok dilanjutkan lagi ya!

17 November 2007

Eksistensi Komunitas Kebudayaan

Kebudayaan merupakan suatu kelaziman bahkan kelayakan dalam siklus kehidupan manusia. Seiring dengan bergantinya generasi, maka kebudayaan pun serupa itu. Berganti terus–bergerak tidak stagnan pada satu titik dan tentu saja tidak monoton.

Itulah, sekelumit pemikiran yang dituangkan oleh Afrizal Malna tanggal 12 November 2007 di Taman Budaya Padang Sumatra Barat. Komunitas kebudayaan merupakan “pagar budaya” yang mengarahkan kemana arah budaya.

Namun sayangnya, komunitas kebudayaan dewasa ini seperti orang-orang “pengecut”, tidak mau ambil resiko yang signifikan jika hal tersebut akan menguras tenaga dan kocek mereka. Lebih lanjut, Afrizal mengatakan bahwa komunitas budaya sekarang berbeda dengan kerja komunitas budaya sebelumnya di era 90-an. Komunitas budaya era 90-an, dipacu oleh pemerintahan represif sehingga memunculkan ide-ide kreatif yang janggal dirasa oleh para komunitas budaya era sekarang.

Permasalahannya ada pada diri pekerja seni tersebut. Mereka terlalu terbuai dengan kejayaan masa lalu, sehingga ketika terbentur oleh suatu permasalahan tertentu (kebanyakan masalah internal) mereka pun “mati”, hilang–raib.

Kebiasaan membaca pun menjadi tolak ukur penting dalam membangung eksistensi komunitas. Dan tentu saja bisa ditebak, pekerja seni sekarang tidak ada waktu untuk membaca (bahkan untuk koran minggu sekalipun), karena dikejar deadline, sibuk mengurusi pertunjukan ini-itu.

Dengan kata lain, eksistensi komunitas kebudayaan di Indonesia tidaklah sehebat yang didengungkan. Bagaimana caranya mau melawan Malaysia dengan propaganda kebudayaan, toh banyak yang tidak perduli dengan kebudayaan ataupun eksistensi komunitas penggeraknya itu.

Antologi E-Fordisastra

Setelah terbilang sukses menyelenggarakan Sayembara Cipta Puisi, menjelang ulang tahunnya yang kedua tanggal 22 November 2007, web Fordisastra mengundang para penyair Indonesia untuk mengirimkan 5 puisi terbaiknya yang akan diantologikan dalam format e-book (pdf).

Puisi-puisi dapat dikirim ke alamat:
antologifordisastra@yahoo.com

Jika tidak ada halangan, maka pada tanggal 22 November 2007, file puisi yang telah terseleksi sudah dapat didownload pada web Fordisastra. Jangan lupa biodata dan alamat situs atau blog
anda. Kirim segera, batas waktu hingga 20 November 2007.

Redaksi Fordisastra
Nanang Suryadi - Dino F Umahuk - Hasan Aspahani

16 November 2007

Sastra di Sekolah Dihapus Saja?

Oleh: Adi Samekto

MENGAPA orang tak pernah merasa jemu membicarakan keluhan soal pengajaran sastra untuk para siswa? Tidakkah itu sesungguhnya berlebihan dalam memandang persoalan yang dihadapi, yang berkaitan dengan dunia pendidikan kita?

Di jagad yang paling "menguasai" kancah sastra seperti Prancis maupun Inggris, ada orang bercerita, sesungguhnya persentase pengajaran sastra di negeri itu tidaklah cukup banyak. Namun, ada persoalan lain yang lebih penting yang berkaitan dengan
dunia sastra dan apresiasi di lingkungan remaja atau siswa maupun universitas yang membuat mereka bisa begitu paham dan tahu membedakan antara yang sastra dan nonsastra.

Ketika meledaknya novel-novel "pop" karya Marga T, La Rose, Yudistira, Eddy D Iskandar, dan sejumlah pengarang lain pada 1970-an, banyak pihak bergembira dengan minat para remaja yang begitu getol dan melahap semua jenis terbitan novel "pop" itu. Dalam bayangan saya, bukan tidak mungkin di antara puluhan ribu remaja kita, peminat novel "pop" itu akan menggeser minat mereka, ketika mereka lebih matang memandang kehidupan.

Ketika itulah sejumlah cacian disemburkan kepada kalangan penulis "pop" yang dianggap "meracuni" remaja kita dengan bahan yang tidak berguna, busa sabun kehidupan, dan menghilangkan kesadaran sejarah sosial. Bertahun-tahun perdebatan ini tak pernah memberikan sesuatu dalam produktivitasnya yang tinggi, kecuali sejumlah tambahan "cacian", yang terus mengira bahwa "pop" adalah biang keladi dari erosinya apresiasi sastra di kalangan remaja atau pelajar kita.

Berhimpitan

Dugaan saya juga mungkin meleset, lantaran apa yang saya pikirkan tidak cukup realistis dalam memandang gejolak sosial yang tumbuh. Himpitan sosial-ekonomi dan politik membuat orang tidak lagi cukup mampu untuk menelan apa yang disajikan oleh
kalangan sastra yang punya "beban" untuk senantiasa "mengkhotbahi" pembacanya. Sementara itu, bacaan yang cukup bermutu hanya boleh dihitung dengan jari yang kita miliki.

Jika Prancis, Inggris, sejumlah negara maju lainnya yang selalu disebut "biang" dari negara sastra bisa menciptakan suatu kondisi di mana sastra "berbicara" kepada
masyarakatnya, ternyata masalahnya bukan hanya terletak pada dunia pendidikan, adanya perpustakaan yang canggih, pengajar yang paham, namun lebih dari itu. Perkembangan jagad sastra berhimpitan dengan dunia elektronika yang berkembang pesat. Dunia seluloid, film, sampai teve adalah bagian yang tak terhindarkan dari dunia sastra.

Kita bisa melacak, bagaimana novel atau cerpen menjadi sebuah film di teve atau pada layar lebar, sementara radio dengan kecanggihan yang bukan main menyajikan play yang bisa orang dengan tekun mendengarkan sambil mencuci piring, atau pakaian serta
menyiapkan makan malam.

Ketika teve menjadi bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan masyarakat di negara-negara technetronic, bacaan yang semula diduga akan lenyap dari peredaran, ternyata justru makin tumbuh dan pasarnya melesat jauh, seiring dengan makin merembesnya hiburan elektronik ke dalam ruang-ruang pribadi.

Mengambil contoh beberapa buku kanak-kanak dalam bentuk kartun (cartoon) yang populer di negara post-industri, yang tampaknya berkaitan bukan hanya dengan hiburan, tapi juga pendidikan, dan menciptakan sejarah sosial lingkungannya, sangat berkaitan erat antara media cetakan dan elektronik. Buku yang populer akan selalu dijadikan bahan sajian untuk media elektronik, teve, film atau siaran dalam bentuk yang lain. Dan tampaknya, pembaca yang semula mengetahui buku akan mencoba mengkonfirmasi dengan sajian elektronik, dan sebaliknya.

Persoalan yang kita hadapi, tampaknya dunia sastra masih saja berkutat dengan dunianya sendiri, sementara itu sajian media elektronik tidak cukup canggih apresiasinya dalam memandang dunia sastra untuk sebuah sajian, kecuali mungkin beberapa sinetron yang mencoba mengangkat novel kita ke televisi. Soalnya, salah
satunya, pengelola di balik media elektronik, teve, film, selalu memandang pertimbangan "ekonomis" dan mungkin tidak berkeinginan untuk berpikir lebih jauh.

Misalnya, membeli film yang sudah siap putar siar, adalah langkah yang paling gampang, dan tidak mengandung risiko ekonomis, walaupun konsekuensi kultural yang terjadi akan berakibat mendalam--munculnya "heroisme" model Amerika, misalnya. Sastra di dunia sekolahan kita, agaknya, sebaiknya dihapuskan, dan tidak lagi menjadi beban para siswa. Sebab, masalah utama dunia pendidikan kita yang sesungguhnya bukanlah menjadikan orang paham atau sedikit tahu tentang sastra, tapi bagaimana dia bisa hidup dengan layak.

Kiranya, sejarah sosial menunjukkan, tidak pernah menjadikan orang bisa hidup dan paham kepada sastra. Usaha yang paling baik untuk menggantikan pengajaran sastra adalah dengan cara memberikan pengajaran kesadaran kepada hak setiap orang, kesadaran
kepada human right, kesadaran kepada berdemokrasi. Jenis pendidikan seperti ini yang paling berguna, ketimbang pengajaran sastra yang hanya "buang-buang waktu".

Jenis pendidikan human right, hak bernegara, hak untuk berdemokrasi, tidak membutuhkan bahan bacaan yang sulit. Setiap hari bisa dikaji lewat koran, radio, teve, dan bahkan kasus-kasus konkret di lingkungan para siswa maupun remaja. Inilah soal yang paling mendesak dari dunia pendidikan kita, ketimbang terus kita merintihi jagad sastra dalam kaitannya dengan sekolah. Jika siswa menginginkan sastra, bisa didapatnya dari koran atau majalah, berdialog langsung dengan sastrawan, bukan dari sekolahan. Dan belajar dari media massa barangkali pilihan yang lebih menarik dan
murah.

Selamat Datang!

Ini merupakan dunia baru. Sebagaimana kita sendiri yang menjadi subjek dalam pemikiran sastra. Blog ini hadir, dengan pemahaman yang jelas tentang penuh artinya sebuah puisi. Maka, terimalah, semoga bermanfaat!

Salam
Sayyid Madany Syani