Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

19 Juni 2008

Sastra Cyber Babak Baru?

Oleh: Gunoto Saparie

Ketika sebuah antologi puisi dari dunia maya,Graffiti Gratitud, diluncurkan di Jakarta beberapa waktu lalu, Medy Loekito, salah satu editornya, mengatakan bahwa sastra Indonesia memasuki babak baru.

Puisi yang terhimpun dalam antologi ini seluruhnya diambil dari jaringan internet, baik yang beredar di mailing-list (milis) ataupun situs-situs sastra. Mengapa disebut memasuki babak baru? Menurut Medy, karena proses penciptaan karya-karya penyair yang terhimpun di sini terasa lebih spontan dan demokratis, sesuai karakter yang dimunculkan oleh jaringan internet itu sendiri.

Babak baru yang dimaksudkannya lebih merujuk pada medium penciptaan, yakni jaringan maya, ketimbang pencapaian estetika baru. Memang harus diakui,bahwa spontanitas dan demokratisasi yang dibawa internet secara mengejutkan telah ”menciptakan” penyair-penyair baru dengan kualitas karya yang tak bisa dianggap enteng.

Sutan Iwan Soekri Munaf, editor yang lain, menunjukkan bagaimana internet lebih mempercepat kematangan dan kemunculan penyair wajah baru tersebut. Dia mencontohkan nama-nama macam Candra Malik,Teguh Pinang Setiawan, Loektamadji, Yono Wardito, yang karyanya boleh bersaing dengan karya penyair koran yang lebih senior.

Dalam medium konvensional seperti media massa dan penerbitan, boleh jadi nama-nama penyair baru yang potensial akan terhambat muncul karena berbagai kendala teknis dan nonteknis. Mereka harus ”bertarung”lebih dulu dengan selera redaktur budaya dan keterbatasan ruangan yang ada.

Ruang Alternatif

Menarik apa yang dikatakan Saut Situmorang bahwa kelahiran sastrawan cyberIndonesia tak dapat dilepaskan dari kemunculan teknologi canggih internet dalam dunia komunikasi. Revolusi komunikasi yang dilakukan teknologi internet telah menciptakan ruang-ruang alternatif baru di luar dunia media massa cetak yang ada.

Revolusi ini sendiri sangat demokratis, siapa saja dapat menggunakannya.Ruangruang alternatif baru yang tercipta karena internet telah memungkinkan para penggunanya tidak berhenti hanya jadi pemakai yang pasif, seperti ketika seorang pembaca membaca koran, tapi sekaligus jadi pencipta message pada ruangruang tersebut.

Dialektika pencipta-pembaca- pencipta/pembacapencipta- pembaca dimungkinkan secara interaktif dalam ruang sastra di internet.Sebuah ruang atau situs sastra internet juga telah memungkinkan para pencipta karya sastra untuk sangat produktif mengumumkan karya-karyanya tanpa dihantui lagi oleh kecemasan traumatis bakal ”ditolak” oleh seorang ”polisi sastra” bernama editor atau redaktur.

Persoalannya sekarang, bagaimana soal mutu karya-karya sastra cyber Indonesia itu? Ahmadun Yosi Herfanda pernah mempertanyakan soal kualitas dan estetika karya-karya sastra internet ini. Menurut Ahmadun, penyebutan sastra cyber tentu mengundang beberapa pertanyaan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Apakah sastra cyber yang dimaksud itu sebuah genre sastra atau sekadar menunjuk jenis media tempat karya itu disosialisasikan.

Apakah karya-karya sastra yang diambil dari media cyber dan diterbitkan dalam media cetak (buku) masih dapat disebut sebagai sastra cyber? Atau sebaliknya, apakah karya-karya sastra yang berasal dari media cetak kemudian diubah jadi teks elektronik dan dimasukkan ke media cyber lantas dapat disebut sebagai sastra cyber?

Ahmadun menunjukkan bahwa secara estetik karya-karya sastra cyber tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan yang dipublikasikan melalui media cetak.Tidak ada upaya untuk membangun tradisi sastra cyber dalam bentuk ”perjuangan estetik” guna membangun suatu anutan puitik yang berbeda dengan anutan puitik yang tumbuh di media cetak.

Agaknya media digital hanya dimanfaatkan sebagai media alternatif sosialisasi karya sastra.Bahkan media cyber ternyata hanya sekadar dijadikan sebagai sarana ”tayang ulang” (resosialisai) karya-karya sastrawan yang pernah dipublikasikan melalui media cetak. Ia sekadar dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan wilayah sosialisasi agar mengglobal melampaui batas-batas negara.

Dengan agak sarkastis,Ahmadun bahkan menyebut bahwa selebihnya media cybercenderung hanya diperlakukan sebagai ”tong sampah” karya-karya yang tidak tertampung— untuk tidak mengatakan ”ditolak”—oleh media sastra cetak. Tetapi memang begitulah kecenderungan makro tradisi sastra cyberyang tampak di permukaan, yang tertayang pada situs-situs sastra ternama.

Mengingat sifatnya, sebenarnya media cyber membuka ruang yang luas bagi tumbuhnya sastra alternatif (baca: puisi alternatif) yang ”memberontak” terhadap kemapanan estetika yang lazim, dan bukan hanya menjadi media duplikasi dari tradisi sastra cetak.

Di sanalah tempat bagi semangat dan kebebasan kreatif,seliar-liarnya sekalipun, yang selama ini tidak mendapat tempat selayaknya di media sastra cetak, baik di rubrik sastra koran, majalah sastra, maupun antologi sajak. Jika para redaktur media sastra cetak—karena berbagai tuntutan kelaziman—menjadi konservatif dalam memilih karyakarya yang dimuat, maka media sastra cyber-lah ruang alternatif bagi para sastrawan yang ingin menemukan kebebasan sejatinya dalam berkreasi.

Tetapi, bagaimana jika redaktur sastra media cyber juga bersikap konservatif dalam memilih karya karena sekadar memindah tradisi sastra cetak ke sastra cyber? Para sastrawan dapat membuat home page sendiri dan memasukkan puisi macam apa saja ke dalamnya. Jika malas mengelola home page sendiri, masih ada mailing-list di e- Groups—juga di Cybersastra.Net— yang bisa menjadi ”truk besar” bagi karya-karya siapa saja dan macam apa saja.

Selain menyediakan ruang terbuka bagi kebebasan estetik dan tematik, media cyber juga membuka berbagai alternatif penyajian karya sastra (puisi). Sayang, potensi yang dimiliki sastra cyber tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh para pelakunya. Babak baru sastra yang pernah dilontar Medy Loekito ternyata hanya berhenti sebagai wacana.(*)

Gunoto Saparie,
Penyair dan Sekretaris Dewan Kesenian Jawa Tengah

(DIMUAT DI SEPUTAR INDONESIA, 14 JUNI 2008)

Tidak ada komentar: