Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

28 September 2008

Di Persimpangan Jalan



Prolog
“Kemana arah kita, kiri atau kanan?” Seorang sahabat pernah menanyakan hal ini. Ketika itu, kami sedang dalam suatu kunjungan ke rumah sahabat lainnya. Gamang berpikir (atau mungkin kelupaan) arah jalan yang benar. Putus asa menunggu akhirnya di teleponlah sahabat itu untuk menjemput kami berdua di persimpangan jalan tersebut yang ternyata tak sampai 500 m lagi ke arah tujuan yang benar.

Hidup memang sebuah kenyataan yang memaksa kita untuk memilih. Pilihan adalah suatu bentuk yang relatif—berubah-ubah. Pilihan dalam hidup, tak mungkin hanya satu saja, sejak lahir hingga digulung lahat. Sama seperti ketika kita berjalan menuju suatu tempat. Akan ada banyak pilihan—kiri, kanan, lurus atau berbelok-belok. Jadi omong-kosonglah sebuah pilihan yang kekal atau yang sering disebut orang sebagai idealisme. Jika kekal—tak berubah-ubah maka namanya bukan pilihan tapi ketentuan—sebuah jalan tol lurus yang dibuat jadi pilihan.

Di Persimpangan Ini, Semoga Bertemu dengan Sebentuk Kebenaran
Perspektif masyarakat Indonesia tentang budaya belum akan berubah. Tidak akan jauh dari artefak budaya. Budaya sering dikaitkan oleh kesenian dan pariwisata. Budaya itu adalah lampau, ketinggalan zaman dan seperti barang yang dicampakkan di tong sampah. Seperti sejarah misalnya yang tak dipedulikan orang meskipun temuan bahkan hasil penelitiannya sudah menumpuk di gedung-gedung arsip. Sedikit guru-guru di sekolah yang bermental seperti Guru Uban, seorang tokoh yang berprofesi sebagai guru sejarah dalam novel “Rahasia Meede” karangan E.S. Ito. Budaya hanya pemanis dalam brosur-brosur pariwisata.

Keadaan ekonomi masyarakat Indonesia yang ngos-ngosan sering dikaitkan dengan perspektifnya tentang budaya. Masyarakat disibukkan dengan pemenuhan kebutuhan finansial sehingga tak ada waktu dengan wacana budaya atau temuan sejarah dan mengkritiknya sekaligus. Karena diabaikan, maka budaya pun dipungut sekenanya oleh pihak bertampang adem untuk kemudian dijadikan alat propaganda efektif dalam menguasai lawan-lawannya.

Esensi budaya yang luas (berwarna-warni) dimutilasi tubuhnya oleh kekuatan-kekuatan yang lebih hebat dan mengimingi dengan slogan “kepedulian terhadap budaya”. Budaya (seperti sastra dan seni) dipaksa menelan pil satu warna dan ditempatkan di garda depan untuk menyerang budaya-budaya (warna-warna) lain. Perang saudara tak dapat dielakkan karena masing-masing diming-imingi oleh slogan tadi. Slogan tersebut jadi bayonet tajam yang menghunus ke jantung serpihan budaya lainnya.

Lupakah kita dengan hakikat sebuah jalan yang tak pernah lurus? Banyak persimpangan yang tentunya banyak pilihan. Jalan lurus bukankah lebih banyak merenggut nyawa? Ya, saya tidak akan menafikan bahwa korban nyawa memang mutlak akan jatuh betapapun kondisi jalan itu. Namun, bukankah ketika jalan berkelok-kelok, orang akan lebih berhati-hati dalam berjalan?

Kita tidak lagi menghormati sebuah persimpangan—entah itu ideologi ataupun kebudayaan. “Tidak ada yang boleh kekiri-kirian! Harus kanan!” atau begitu sebaliknya, saling tarik-ulur, sehingga hidup tak ubah layaknya layangan yang diterbangkan angin ke sana ke mari. Namun, kita saja yang tak sadar telah ditunggangi. Dan anehnya, kita masih percaya bahwa kitalah manusia yang paling berbudaya.

Saya jadi berpikir ulang, mau milih kanan atau kiri karena takut ditunggangi tadi. Sebenarnya bukan soal memilih atau tidak, karena saya yakin persimpangan-persimpangan budaya atau ideologi itu sama-sama mencari suatu kebenaran. Nah, jika benar mencari kebenaran yang hakiki mengapa harus injak sana-sini? Mengapa harus sikut kanan-kiri? Mengapa harus meludahi lawan yang tengah asyik duduk melepas lelah, sementara kita cekikikan karena telah berhasil menyengsarakan lawan itu (mengkhianati pengembaraan kebenaran).

“Hormati Orang Lain, Maka Orang Lain pun Akan Menghormatimu”
Ungkapan ini sering terngiang di telinga saya meski tak jelas siapa pencetusnya pertama kali. Namun bagi saya, ungkapan di atas adalah garis yang tegas bahwasanya kita dituntut untuk mengakui sebuah perbedaan (meskipun sebenarnya, perbedaan-perbedaan itu muncul karena ada kesamaan tujuan yang saling bersinggungan). Namun bengalnya, kita sering mendefinisikan rasa hormat itu terfokus pada diri sendiri. Bahkan anehnya, kata hormat sering dijadikan senjata untuk menundukkan orang yang lebih lemah. Lebih jauh hormat berubah makna menjadi “penjilat”—zaman Orba dulu sering disebut dengan ABS (Asal Bapak Senang). Ya, apa boleh buat nampaknya budaya ini yang terus melekat dalam keseharian manusia Indonesia. E.S. Ito bilang “warisan kolonialisme.” Intelektual, emosi bahkan spiritual manusia Indonesia harusnya dipertanyakan kembali. Atau jangan-jangan sudah dijadikan barang siap jual yang memberi keuntungan berlipat ganda? Tetapi, siapa yang mau capek-capek—mempertanyakan hal itu?

Perbedaan (persimpangan) bukannya dijadikan tolak ukur sebagai ruang pembelajaran dan pemrakarsa bagi tujuan kebenaran yang sempurna (jika ada), namun dijadikan ajang adu otot, dan kekonyolan seperti dua orang anak kecil yang tengah berkelahi memperebutkan pelepah pisang untuk dijadikan pistol-pistolan (tetapi, anak kecil lebih tahu bagaimana menjadikan perbedaan sebagai sebuah kekuatan untuk bersatu). Menghormati pendapat orang lain itu susahnya minta ampun, padahal kita mengaku sebagai umat Muhammad yang kalem jika ada sahabat yang tengah mengutarakan pendapatnya dan menghormati sahabatnya itu. Omong kosong alasan yang mengatakan: “saya kan bukan Nabi Muhammad!” padahal dia mengaku Muslim. Ini adalah dagelan terlucu, jika memang begitu Rukun Iman yang Ke-2 itu mau dikemanakan. “Baranti se lah jadi urang Islam.” Guru ngaji saya bicara seperti itu ketika saya bersikeras tak mau belajar Qur’an (tapi akhirnya mau juga).

Epilog
Maka, hormatilah pendapat orang yang berlainan simpang dengan kita. Tak perlu bersikeras agar orang itu pindah ke simpang yang kita yakini. Toh, banyak cara menuju pintu kebenaran. Jangan ambil tugas Tuhan yang mutlak bisa menjustifikasi kita benar-salah (neraka-surga) di pengadilan akhir. Atas nama manusia yang masih hidup di dunia kedudukannya sama di mata Tuhan.

Budaya pun tak layak dikambing hitamkan hanya gara-gara nafsu kita sebagai manusia yang tamak. Sudah selayaknya, persimpangan budaya dijadikan sebagai alasan kekayaan alam pikiran—kekayaan budaya masyarakat bukan dijadikan alasan untuk berperang saudara. Masihkah kita langgar kebebasan budaya orang lain?

Tidak ada komentar: