Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

15 September 2008

Beronjong di Langit Jingga

Oleh: Giyanto

Kang Panut tampak kusut dan nelangsa. Ia membuka caping dan duduk leyeh-leyeh di bawah pohon jengkol. Debu kemarau ditiup angin yang panas menerpa wajahnya yang cokelat kehitaman penuh keringat. Ia sedih menatap beronjong yang nangkring di sepeda onthel warisan bapaknya. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana. Sebentar lagi pemerintah melarang menggunakan beronjong. Padahal setiap hari dia berjualan sayur dengan onthel dan beronjongnya.

Matanya terpejam sebentar, lalu tersentak bangun. Terbayang kata-kata isterinya yang minta uang untuk nyumbang. Hajatan bulan ini memang banyak. Pakdhe Marijo dan Mbah Parto mau mantu, Lik Domo mau menyunatkan anaknya, dan Yu Sawi kemarin melahirkan. Ada empat orang punya hajat. Semua harus rewang dan nyumbang karena adat yang berlaku di kampung Kang Panut memang begitu. Aib jika tidak datang ke tempat orang punya hajat. Nyumbang, tidak sekadar membawa uang. Tapi harus membawa gawan. Beras, tempe, jipang, kelapa, bihun, gula, teh bahkan kadang rokok 1 selop. Kang Panut meraba-raba sakunya. Kempes.

Kang Panut bangun dan kembali menjajakan dagangannya. Di terik matahari musim kemarau yang panas itu, tubuh kurusnya terus mengayuh sepeda onthel memasuki gang-gang di Desa Ngunut.

“Sayur...sayur...! Sayur...sayur...! Sayur... sayur...!”

Suaranya melengking-lengking menawarkan dagangannya yang masih banyak. Biasanya menjelang Asar banyak ibu-ibu yang membeli sayur. Tapi kali ini sepi. Kang Panut tak henti-hentinya menawarkan dagangannya. Melengking-lengking dan parau. Lelah, peluh, dan haus memenuhi tubuh kurusnya. Tapi ia tak gentar. Setiap peluh yang menetes ia niatkan sebagai ibadah. Mencari nafkah untuk anak dan isterinya.

“Beli bandeng, Kang...!”

Ada ibu-ibu melambai-lambaikan tangannya. Kang Panut bersyukur. Ia menghentikan onthel-nya dan melayani dengan gembira. Kang Panut tak henti-hentinya bersyukur. Terbayang isteri dan anak-anaknya di rumah yang rajin beribadah dan mendoakannya. Senik, isterinya adalah wanita yang taat beragama. Dengan sukarela ia membantu menjaga dapur agar tetap berasap. Bekerja sebagai pemilah sampah di TPA sebelah barat kampung. Bau busuk menyengat tak dihiraukannya. Berpuluh-puluh tahun hidup sederhana dan serba pas-pasan dilaluinya dengan tabah.

Pagi ini Kang Panut tidak berjualan. Sejak bangun pagi Kang Panut hanya leyeh-leyeh di dipan serambi rumahnya. Dulu Kang Panut tidak mau menjadi buruh pabrik karena rawan terkena PHK, pemecatan. Dia memilih menjadi pedagang dengan alasan jika ditekuni akan sukses dan tak ada yang memerintah apalagi memecat dia. Kenyataannya tidak demikian. Sekarang Kang Panut kehilangan pekerjaan. Pemerintah melarang pedagang menggunakan beronjong. Memang hanya di kota, tapi untuk kulakan Kang Panut juga harus ke kota. Sama saja dipecat.

“Sudahlah Kang, jangan terlalu dirisaukan! Rezeki sudah ada yang mengatur. Tabah dan tawakal saja!” ucap Senik sambil menghidangkan ubi rebus dan teh.

“Iya, tapi kita kan harus tetap berusaha. Aku tak habis pikir, kenapa pemerintah begitu. Ini kan mematikan usaha rakyat kecil. Tidak hanya pedagang yang memakai beronjong. Tapi juga pengrajin beronjong dan penjual bambu.”

“Oalah Kang, kita itu rakyat kecil, wong cilik ongklak-angklik. Untuk apa mikir yang begitu. Lebih baik berpikir cari pekerjaan lain. Apa sampeyan ikut kerja di TPA saja. Daripada menganggur.”

“Aku ingin merantau saja. Kemarin Pakdhe Karso nawari kerja jadi buruh bangunan di Jakarta. Lumayan, sehari Rp 35.000,” ucap Kang Panut sambil menyeruput teh panas buatan isterinya.

“Kang, jangan merantau. Apalagi ke Jakarta. Di sana semua mahal. Uang Rp 35.000 tidak akan cukup. Di sana juga ramai, sumpek. Pokoknya mangan ora mangan kumpul.”

“Kumpul tidak kumpul, yang penting bisa makan.”

“Terserah, tapi aku tidak setuju.”

Kang Panut menarik nafas dalam-dalam, menahannya sebentar, lalu mengembuskannya lewat mulut. Terasa berat beban yang ditanggungnya kali ini. Sebagai lelaki, kepala rumah tangga, dia harus bisa menghidupi keluarganya. Bekerja, bekerja dan bekerja. Itulah yang ada di benak Kang Panut.

Pagi yang cerah. Kang Panut bertekad bulat untuk berangkat ke Jakarta. Isteri dan anaknya meskipun dengan berat hati, akhirnya mengizinkan Kang Panut. Sebelum berangkat, Kang Panut berpesan pada anak isterinya agar senantiasa mendoakannya. Dipeluknya anak isterinya itu dengan erat.

Empat bulan telah berlalu. Kang Panut belum juga memberi kabar. Senik menangis tiap hari. Ia ingin mengabarkan bahwa dirinya hamil. Tapi ke mana ia akan memberi kabar? Alamat suaminya saja tidak tahu. Pakdhe Karso yang dulu menawari kerja juga tidak tahu. Katanya dulu dititipkan temannya di Jakarta.

Tiap sore, ketika senja yang berwarna jingga menggantung di langit barat, Senik berteriak-teriak memanggil-manggil nama suaminya. Sementara itu di Jakarta, empat bulan lalu, ketika senja yang berwarna jingga menggantung di langit barat, seorang lelaki kampung dirampok dan dibunuh. Mayatnya dihanyutkan di sungai.

(DIMUAT DI SOLO POS, 14 SEPTEMBER 2008)

Tidak ada komentar: