Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

15 September 2008

Ketupat

Oleh: Lumaksono

”Apa? Dibuang? Jangan, jangan Kau buang!” Tetapi gerakan istriku tak tercegah.Dengan cekatan dan pasti tangannya mulai memindahkan ketupat yang tergantung di dapur ke dalam kantung plastik hitam.Kata-kataku tak lagi digubrisnya.

Dengan menahan nafas dan wajah yang dijauhkan untuk menghindarkan hidungnya dari isi bungkusan,dia ikat kuatkuat kedua ujungnya. Terlihat raut mukanya yang jengkel. Sambil memastikan bahwa ikatannya telah kuat dan tak mungkin menebarkan lagi bau menyengat, dia tenteng kantung plastik yang kelihatan berat itu ke luar rumah.

”Tolong jangan dibuang!” sekali lagi aku memohon.Bahkan kali ini dengan suara yang aku buat sememelas mungkin.Aku masih berharap istriku tak membuangnya.Aku kerahkan segala kemampuan, termasuk merayunya dengan pandangan mataku yang menghujam ke bola matanya, sama seperti dulu ketika aku meluluhkan hatinya untuk menerima cintaku.

Tetapi kali ini agaknya segala usahaku tak membuahkan hasil. Bahkan istriku sepertinya sengaja tak mau menatap mataku. Dengan masih berpaling dia menjawab,”Apa sih enaknya ketupat, sampai kau tak lagi kasihan kepadaku? Kepalaku pusing tiap mencium baunya! Bahkan hanya dengan melihatnya perutku langsung mual!”

”Mana mungkin bau! Bukankah ketupat itu masih baru?” ”Bukan bau busuk, tetapi aroma ketupat ini yang membuatku pusing!” istriku berkata dengan nada marah. Tak lagi memedulikan aku, dia langsung bawa bungkusan itu ke tempat sampah di balik pagar depan rumah.

Seakan tak mau lagi berlamalama dekat dengan bungkusan ketupat itu,dia lemparkan saja dari kejauhan. Suaranya berdebum menimpa tumpukan sampah yang telah lebih dulu berserakan.Aku hanya bisa menelan ludah.Hilang sudah harapanku untuk menikmati ketupat sepuasnya.

Padahal baru sekali aku menikmatinya, pagi tadi seusai salat id. Entah apa yang terjadi dengan istriku kali ini hingga dia bersikap demikian. Aku tahu selama ini dia memang tak suka dengan ketupat, tetapi selama lima tahun aku hidup bersama, belum pernah aku melihat dia begitu benci dengan jenis makanan yang satu ini.

Makanan yang menjadi kesukaanku setiap Lebaran tiba. Bagiku tidak pantas disebut Lebaran jika tanpa ketupat.Karena itu sebagai tanda cintanya kepadaku,walaupun dia tak pernah menyentuh, istriku tetap menyediakan ketupat saat Lebaran.Itu pun beli.

Hanya sekali dia pernah membuatnya khusus untukku, di tahun pertama pernikahan kami. Walaupun belum dikaruniai anak setelah lima tahun lebih menikah, kehidupan kami baik-baik saja. Dia begitu pengertian, selalu berusaha memenuhi segala yang menjadi kesukaanku.

Dia juga tidak banyak menuntut. Tak pernah dia minta yang macam-macam. Baru kali ini aku melihat istriku marah. Sampai aku tak tahu harus berbuat apa. Aku pandangi makanan kesukaanku yang teronggok di tempat sampah. Tebersit rasa di hati untuk mengambilnya kembali.

Aku tak dapat menerima tindakan istriku yang membuang makanan seenaknya.Apalagi itu adalah makanan kesukaanku. Bukankah untuk menghilangkan aromanya cukup dengan membungkusnya rapatrapat? Bukankah ada tindakan yang lebih baik daripada harus membuangnya?

Apa dia tak tahu bahwa di luar sana masih banyak orang yang harus mempertaruhkan nyawa dan kehormatan hanya demi sesuap nasi? Apa dia tak tahu bahwa dengan membuang makanan berarti telah melukai perasaan mereka? Makanan seperti ini tentu sangat berarti bagi mereka!

Kulihat istriku telah menghilang ke dalam rumah. Segera saja aku bersijingkat ke luar pagar mendekati tempat sampah.Sebelum beraksi,aku pastikan dulu bahwa keadaan benarbenar aman.Tak ada satu pun orang yang melihat. Untunglah, kompleks perumahan kami memang sepi saat Lebaran seperti ini.

Sebagian besar warga pulang kampung ke daerah asal masing-masing.Yang lain menghabiskan Lebaran di hari pertama dengan mengunjungi orangtua dan sanak saudara mereka dan biasanya sore hari baru mereka kembali. Aku sendiri tidak betah berlama-lama di rumah orangtua atau pun saudara.

Ternyata,segala sesuatunya tak semudah yang aku bayangkan. Setelah ketupat aku ambil lagi, aku dihadapkan pada satu pertanyaan,di mana aku akan menyimpannya? Di tempatnya semula jelas tidak mungkin, karena istriku pasti akan segera tahu. Kalau harus disembunyikan, di mana?

Dalam kebingunganku,aku mencoba mereka- reka apa penyebab istriku begitu benci pada ketupat ini,padahal biasanya tidak demikian. Apakah benar dia tidak tahan dengan baunya? Atau dia cemburu terhadap orang yang memberi ketupat ini? Cemburu kepada Herningsih,muridku yang baru kelas dua SMP?

Tetapi rasanya tidak.Istriku bukanlah tipe pencemburu. Atau mungkin dia mencurigai ketupat itu adalah bentuk suap, agar aku memberikan nilai yang tinggi? Dan istriku tak ingin aku makan suap? Mengenai dugaanku ini, istriku memang tak mengatakannya secara langsung, dia hanya menyindir saat muridku itu mengantarkan ketupat dengan opor ayamnya.

”Kira-kira kalau kau tidak lagi menjadi gurunya,dia akan tetap mengirim makanan kesukaanmu atau tidak, ya?” begitu pertanyaannya. Aku masih berdiri dekat pintu samping dengan menenteng kantung plastik warna hitam yang berisi ketupat. Belum juga kutemukan jalan pasti hendak dikemanakan ketupat ini.

Secara perlahan, langkah kakiku membawaku ke gudang,ruangan yang jarang sekali disambangi istriku. Pikirku, pasti aman kalau kusimpan di situ. Dia tak akan tahu. Sehingga aku pasti masih bisa menikmatinya nanti. Tetapi, bukankah di gudang banyak tikusnya? Sering aku melihat tikus mondar-mandir keluar masuk gudang, kotoran mereka pun sering aku jumpai menumpuk di sudut.

Tentu ketupat ini akan dijadikan pesta bagi bangsa pengerat itu.Tidak! Aku tak mau ketupat kesukaanku dijadikan sebagai ajang pesta pora para tikus, binatang menjijikkan. Kalau di tempat sampah tadi aku tak rela berbagi dengan anjing kurap atau kucing liar yang sering mengacak-acak tong sampah, maka aku lebih tak suka ketupatku dimakan oleh tikus.

Aku sama sekali tak mau mereka makan makanan yang sama denganku. ”Apa yang kau bawa, Pak?” suara istriku mengejutkanku. Mungkin jika aku bisa melihat wajahku sendiri, pastilah terlihat pucat karena tiba-tiba saja aliran darahku seakan terhenti. Sehingga aku tak bisa cepat menjawab. Sampai istriku bertanya lagi. ”Kau pungut kembali ketupat itu?!” ”E,iya!” aku tak bisa berbohong.

Padahal untuk memuluskan niatku, bisa saja aku berkata yang lain. Bisa saja aku katakana, ”Tidak!” selain jawaban ”Ya!” Sayangnya, itu semua bukanlah kebiasaanku. Selama ini aku usahakan tak berkata bohong, terutama kepada istriku,sebab sekali berbohong, maka akan butuh kebohongan selanjutnya untuk terus menutupi kebohongan yang pertama.

”Lalu akan kau taruh di dapur lagi, agar aku pusing dan mual terus muntah-muntah mencium baunya, apa seperti itu maumu,Pak?” ”Tentu saja tidak! Aku hanya merasa sayang jika makanan yang masih bisa dimakan harus dibuang di tempat sampah menjadi makanan anjing dan kucing liar atau pun tikus! Sementara di luar sana banyak orang yang tak bisa makan!” ”Ah,alasan!”

”Aku memang mau mencicipinya sedikit lagi, selanjutnya ketupat ini akan kuberikan saja kepada orang yang mau! Bagaimana?” ”Cepatlah kau enyahkan ketupat sialan itu!” Mendapat jawaban yang tak kusangka-sangka seperti ini, segera saja bungkusan ketupat itu aku bawa keluar lagi.

Aku sama sekali tak ingin terjadi pertengkaran hanya gara-gara ketupat.Apalagi sekarang adalah hari lebaran.Aku mulai dihadapkan pada situasi sulit kembali, akan kuberikan siapa? Diberikan kepada tetangga, rasanya tak mungkin. Mereka ratarata orang berpunya, mereka sama sekali tak kekurangan makan.

Aku ingin memberikannya kepada yang betul-betul membutuhkan, sesuai tujuan semula. Atau kuberikan saja kepada pengemis yang datang.Tetapi, mana ada pengemis di hari lebaran? Harus menunggu berapa lama? Lama aku biarkan ketupat tetap teronggok begitu saja.Belum kutemukan jalan keluar yang baik.

Bahkan kini muncul pikiran untuk tetap membiarkan ketupat begitu saja, siapa tahu pusing istriku sudah berangsur hilang. Sehingga aku punya harapan untuk menikmati ketupat lebih banyak lagi, paling tidak hingga dua hari,seperti tahun-tahun berselang.

Takut keburu malam,akhirnya aku ambil sepeda motor dan kubawa bungkusan ketupat itu ke jembatan di sebelah barat kompleks perumahan kami. Akan aku berikan kepada tuna wisma yang sering kulihat ada di bawah jembatan itu.Tentu mereka akan senang menerimanya.

Biar mereka merasakan berlebaran dengan makan ketupat. Mudah-mudahan saja mereka masih ada,tidak ikut mudik atau pergi ke mana pun. Kalau tidak, akan aku hanyutkan saja di sungai biar terbawa sampai ke laut. Aku lebih rela ketupat itu dimakan ikan-ikan daripada tikus dan anjing liar.

Sesampai di sana, aku dibuat tercengang! Bagaimana tidak, ternyata dari atas jembatan tempatku berdiri, terlihat mereka sedang menikmati ketupat! Makanan yang sama dengan makanan yang akan aku berikan,bahkan terlihat lebih enak ketupat mereka daripada ketupat yang aku bawa.

Terlihat dari cara mereka melahapnya, terlihat dari keceriaan mereka. Hatiku seperti tertohok menyaksikan hal ini. Walaupun mereka berpakaian kumal, walaupun badan mereka terlihat dekil, tetapi mereka dapat menikmati makanannya dengan sempurna.Seorang ayah,ibu dan dua orang anaknya yang masih kecil.

Sesekali kulihat canda mereka, tawa renyah anak-anak mereka di sela-sela mengunyah makanan.Walaupun alas makanku lebih mahal dan bagus daripada yang mereka gunakan, tetapi jelas kenikmatan yang dihasilkan lebih mereka rasakan. Kini aku merasa aku tak lebih baik dari mereka.Bahkan aku merasa yang perlu dikasihani bukannya mereka melainkan diriku.

Mereka lebih berpunya daripada aku.Mereka punya kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan. Tak ingin berlama-lama menyaksikan kebahagiaan mereka yang hanya menerbitkan cemburu hatiku melihat anak-anak mereka bercanda, aku putuskan untuk membuang ketupatku saja.

Segera aku jatuhkan, dan ”byurr!”Bersamaan dengan itu,mereka serentak menoleh ke arah bungkusan dan ke arahku secara bergantian. Kulihat sorot mata mereka memancarkan harapan,dan wajahnya menyiratkan bahagia.Tetapi,bungkusanku tak terbawa arus! Ada semacam tali yang menahannya terbentang di permukaan air dari tepi ke tepi.

Cepat-cepat aku berlalu. Tak kuhiraukan lagi bungkusan ketupatku. Aku tak mau tahu lagi apa yang terjadi dengannya.Matahari sore mengantarkan aku kembali. Sinarnya yang lembut kemerahan tampak indah menyentuh pucuk-pucuk daun. Setiba di rumah aku disambut ”oekoek” istriku seperti muntah.

Seketika perasaanku tak menentu.Antara kecewa karena tak bisa menikmati ketupat dan kasihan melihat kenyataan bahwa istriku tak main-main dengan pusing dan mual-mualnya.Kulihat istriku sedang membungkuk di kamar mandi berusaha mengeluarkan sesuatu lewat mulutnya.

Tetapi semakin dikeluarkan dengan keras, semakin sulit saja rupanya.Yang tampak keluar hanya air ludah dan suaranya saja yang kian keras. Segera saja timbul harapan di dada. Aku ingat cerita orang-orang tentang bagaimana keadaan perempuan yang tengah hamil muda.

Aku ingat bahwa Ramadhan ini istriku berpuasa sebulan penuh, tak seperti biasanya. Jadi,biarlah ketupatku hilang karena telah tergantikan oleh sesuatu yang aku nantikan selama lima tahun.

Tegal,September 2008

Lumaksono
lahir di Tegal, 22 Maret 1967.
Bekerja sebagai guru.
Karya-karyanya telah dimuat di berbagai media massa, antar lain Bandung Pos, Mitra Dialog, Radar, dan SINDO.

(DIMUAT DI SEPUTAR INDONESIA, 13 SEPTEMBER 2008)

Tidak ada komentar: