Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

28 September 2008

Mengingat Kembali Apresiasi Puisi Sosial



Hanya ada satu kata, Lawan! Kalimat pendek itu jauh lebih dikenali ketimbang Wiji Thukul sebagai seorang yang telah menorehkan puisi perlawanan (Munir dalam Thukul, 2004: xix). Memang, Wiji Thukul mengambil sastra dan seni sebagai corak budaya perlawanan dalam menghadapi budaya kekerasan yang diterapkan penguasa Orde Baru.

Di saat itu, puisi (sastra) membuktikan bahwa bentuknya tidaklah sepele seperti yang diyakini orang. Dalam konteks yang terpatron di dalam otak kita, puisi merupakan bentuk estetis yang berisi pernyataan romantis. Biasanya digunakan sebagai pemulus jalan dalam menyatakan perasaan cinta terhadap lawan jenis. Bahkan pada suatu kesempatan, Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah murka di hadapan para guru ketika mendengarkan sebuah puisi yang dibaca oleh mantan rektor IKIP Jakarta Prof. Dr. Winarno Surachmad. Inilah isi puisi itu yang dinilai oleh Wakil Presiden sebagai pelecehan terhadap harga diri bangsa Indonesia (Fadlillah, 2006: 182-183):

‘Apa artinya bertugas mulia ketika kami hanya
terpinggirkan tanpa ditanya, tanpa disapa.
Kapan sekolah kami lebih dari kandang ayam.
Sejuta batu nisan guru tua yang terlupakan
oleh sejarah terbaca torehan darah kering.
Di sini terbaring seorang guru, semampu membaca
bungkus sambil belajar menahan lapar, hidup
sebulan dari gaji sehari’

Terlepas dari nanarnya Wakil Presiden terhadap puisi, maka ada satu pelajaran yang bisa diambil. Puisi (sastra) merupakan senjata yang paling tajam daripada pisau, yang lebih dahsyat ledakannya daripada bom atom. Dan, begitu pula sebaliknya, puisi pun bisa selembut kain sutra, dan sesejuk oase di tengah gurun. Tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan dimana puisi itu lahir dan dibesarkan.

Puisi seperti karya sastra lainnya adalah cermin dari kehidupan. Seperti yang diyakini Georg Lukacs bahwa sastra sebagai cermin berarti menyusun sebuah struktur mental (Taum, 1997: 50). Sastra tidak hanya mencerminkan realitas tetapi lebih dari itu memberikan kepada kita sebuah refleksi realitas yang besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik yang mungkin melampaui pemahaman umum. Namun, terkadang orang menafikan sastra sebagai cermin. Sastra dianggap hanya bermain pada lingkup fiksi yang sekali lagi telah terpatron ke dalam benak kita sebagai bagian ilusi, fiktif yang jauh dari kebenaran dan bersifat nihil atau tidak pernah ada. Padahal Sapardi Djoko Damono telah menjelaskannya dalam buku “Sosiologi Sastra; sebuah pengantar ringkas” (1979: 1) bahwa:
“Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat; ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium: bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.”

Hal inilah yang menjadi jawaban selama ini, kenapa sastra dilarang, dibredel dan dijauhi sebagai kehidupan tanpa masa depan. Lebih lanjut, Fadlillah dalam bukunya “Kecerdasan Budaya” (2006: 182) memaparkan:
“Maka dapat dipahami, mengapa sastra itu dilarang, dibakar dan para sastrawannya diburu, dikejar, dibunuh, dipenjara. Jawabannya adalah bahwa kata-kata itu jauh lebih tajam daripada senjata yang dimiliki para serdadu, tentara, apapun yang hebat di muka bumi ini.”

Namun kita patut berbangga, sebab pada masa ini puisi (sastra) kian diminati. Mungkin, puisi (sastra) tersebut sudah menjadi kebutuhan manusia yang mencari arti estetis dari kehidupan yang dijalaninya. Lebih lanjut Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo mengatakan (dalam “Teori Penelitian Sastra”, 1994: 122):
Pada waktu sekarang, puisi kian diminati oleh masyarakat, baik oleh pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, puisi atau sajak sukar dimengerti karena kompleksitas, pemadatan, kiasan-kiasan, dan pemikirannya yang sukar. Puisi merupakan kristalisasi pengalaman, maka hanya inti masalah yang dikemukakan; untuk mencapai hal itu perlu pemadatan.

Begitulah puisi (sastra), bentuk yang sangat ditentukan oleh kondisi sosial ketika ia dilahirkan dan dibesarkan. Tidak ada masalah ketika puisi berkembang pada masa “aman” dan kondusif. Puisi akan bermain dengan diksi yang menarik kadang unik dan inspiratif. Namun sebaliknya, jika puisi (sastra) berkembang pada ritme kehidupan yang tertekan, dimana perbedaan kelas menjadi jurang yang dalam, dan sikap penguasa yang otoriter maka puisi pun berubah menjadi alat propaganda, senjata yang tidak disukai oleh penguasa. Puisi akan menjadi simbol perlawanan, dan mengabaikan bentuknya yang mempermainkan diksi, tetapi lebih terkonsentrasi pada segi pemaknaan. Wiji Thukul pernah mengatakan bahwa:
“Sulit membayangkan keindahan dalam keadaan yang kumuh dan miskin seperti kehidupan buruh, tukang becak, atau masyarakat yang sengaja dimarjinalkan. Tak bakal ada keindahan dalam got yang bau dan keringat yang mengucur deras, yang bisa memicu kelahiran karya sastra. Kemiskinan dan penderitaan hanya melahirkan lembaran pamflet, bukan sajak atau puisi. Keindahan sejati hanya terkandung dalam kisah-kisah cinta yang wangi. Keindahan tak bisa beriringan dengan protes yang mengandung kemarahan, tuntutan, dan kekecewaan.”

Menarik untuk melihat bagaimana puisi-puisinya Wiji Thukul mengambil tempat sebagai simbol perlawanan kaum proletar. Salah satunya puisi berjudul “Peringatan”, yang pada baris dan bait terakhir tertera kalimat Hanya ada satu kata, Lawan!

Tidak ada komentar: