Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

02 April 2008

Mata Biru

Cerpen Luis Rafael Sanchez

AKU berkata, apa yang akan dilakukan si lelaki kulit hitam dengan mata biru itu dan mereka tertawa hingga nyaris terkencing-kencing di celana. Mereka: anak perempuanku Puchuchu dan lelaki kulit hitam yang bersamanya. Puchuchu berkata, lelaki itu membelinya dan ia menyukainya. Puchuchu menggesekkan pusarnya pada pusar lelaki kulit hitam itu dan lelaki kulit hitam itu meraih bokong Puchuchu. Mereka tertawa-tawa dan menjadi liar.

Aku berkata bahwa orang-orang kulit hitam tak perlu memakai mata biru, tapi anak perempuanku bilang mereka memakainya dan mereka membelinya jika seorang kulit putih menjualnya dengan harga yang disepakati, lima puluh dolar untuk satu ons. Karena Fortunato punya lima puluh dolar, ia membeli butiran mata biru milik orang kulit putih itu agar Fortunato menjadi lelaki kulit hitam istimewa.

Tawa menggema meresap hingga ke sumsum tulang mereka. Aku berkata, orang kulit putih bergantung pada mata biru itu dan jika mereka ingin menjual mata biru mereka, mereka akan menjualnya kepada orang kulit putih, bukan kepada orang kulit hitam. Mereka tertawa dan meliuk-liuk seperti nada akordion atau seperti tarian orang-orang miskin di Cortijo. Aku berkata jika yang menjual mata biru itu kepadanya adalah seorang kulit putih, ia pasti akan menjadi beraroma orang kulit putih. Gelak tawa membuat mereka mengentak-entakkan kaki, lalu mereka berciuman sampai basah.

Anak perempuanku menanyakan sesuatu yang tak kutahu kepadaku, tetapi hukuman yang diterimanya karena tertawa ngakak dan tak sopan pasti tak akan luput darinya. Tawa yang nyaring seperti air terjun membuat anak perempuanku Puchuchu terkentut-kentut dan terjatuh, dan lelaki itu ikut jatuh terpelanting saat mencoba mengangkatnya. Kini mereka bertindihan, tak peduli gadis itu sedang berantakan. Lelaki itu berkata kepada Puchuchu, "Sayangku cantik, ayo kita lakukan, sejak semalam aku sudah tak tahan..."

Derai tawa membuat mereka rubuh kembali dan karena mereka tertawa setengah mati aku bilang apakah mereka tidak takut mati ketawa. Aku meraih pegangan kursi agar pingkal tawa itu tak menyeretku seperti angin puting beliung. Anak perempuanku Puchuchu dan lelaki ini tertawa nyaring sehingga seakan-akan hendak meruntuhkan semuanya dan Puchuchu masih sempat bertanya apakah orang kulit putih beraroma seperti Mama.

Tawa meledak dari dalam perut mereka karena putriku Puchuchu selalu tertawa seperti itu dan tampaknya Fortunato ini menirunya pula. Lelaki itu membuka kancing kemeja guayabera-nya dan menggosok kulit perutnya yang berbulu seolah-olah perutnya sakit. Aku berkata aku tak tahu apa-apa soal orang kulit putih dan tak pernah berkeliaran dengan mereka. Aku bilang, "Bila saatnya tiba untukku bersama seseorang, aku akan bersama Papa-mu yang benar-benar seorang lelaki kulit hitam tampan dan keras seperti batako, dan ia seorang lelaki kulit hitam istimewa yang selalu siap tempur."

Lelaki ini, Fortunato, melenguh yang membuatnya jatuh menindih putriku Puchuchu dan putriku mengelus tubuh lelaki itu. Dari bawah tubuh Fortunato, putriku Puchuchu lagi-lagi menanyaiku seperti apa bau tubuh orang kulit putih. Aku berkata, "Puchuchu, jangan meledekku, kau setiap Sabtu pagi membawa lelaki bule ke rumah dan setiap Sabtu siang lelaki bule yang lain datang..."

Lalu aku berkata kepada lelaki ini, Fortunato, "Putriku seorang lonte yang berbisnis hanya dengan orang bule karena Papa-nya menyerahkannya kepadaku dan kabur dari rumah ini..." Fortunato berhenti tertawa dan menyingkirkan Puchuchu dari tubuhnya.

Puchuchu mencoba tertawa dan masih bertingkah seolah sedang tertawa, tapi tawanya tak muncul setitik pun. Fortunato begitu tenang mengancingkan kemejanya dan memasukkan anunya ke dalam celana. Dalam diri lelaki ini kau bisa melihat sesuatu yang tak selesai karena ia seperti seorang lelaki yang terpukul angin yang terpendam.

Putriku Puchuchu mencoba mengubah tawa menjadi senyum. Dia memohon kepada Fortunato dengan tangan menyembah dan ketika Fortunato ini mendorongnya, dia berubah mengamuk seperti kucing marah.

"Kau kulit hitam pencemburu, perbuatan di hari Sabtu itu hanya karena aku sedang merencanakan penipuan. Kau kulit hitam pencemburu, Mama lebih gila daripada pelacur sejak Papa meninggalkannya demi seorang perempuan bule!"

Putriku Puchuchu tak mampu menyembunyikan keputusasaannya yang merekah seperti pohon pisang yang sedang mekar dan ia tak bisa tak memaki. Aku bilang, "Puchuchu bocahku, kita perempuan kulit hitam yang lahir di Kampung Pantat Hitam tak pernah berbicara jorok !" Lalu, aku bilang kepada Fortunato, "Perempuan kulit hitam bisa saja tidur dengan lelaki kulit hitam, tapi jatuh cinta pada lelaki bule dan berpura-pura merasa kesakitan seolah-olah dia perempuan bule!"

Lalu, aku melanjutkan cerita tentang lelaki-lelaki yang datang dan pergi, tapi terhenti karena anak perempuanku Puchuchu menghentikanku dengan pukulan keras yang membuatku rubuh.

Fortunato menggelengkan kepalanya dan berkata, "Kau lebih gila daripada Mama-mu yang gila!" dan pergi ke arah pintu.

Putriku Puchuchu melompat seperti kucing betina dan bergelayut pada bahu Fortunato yang kuat dan berteriak sambil memohon agar lelaki itu tak meninggalkannya, agar ia diberi kesempatan sekali lagi, dan ia berbisik, "Fortunato, kau tahu kita pasangan yang cocok dan aku akan berhenti melacur..."

Aku berkata sambil terkapar di lantai, "Aku akan bilang sekali lagi padamu, Puchuchu bocahku, kita perempuan yang lahir di Kampung Pantat Hitam tak mengotori mulut kita dengan segala kata-kata jorok!"

Begitu aku bicara, putriku Puchuchu menghantam wajahku karena kini ia tak bisa melakukan hal lain selain mencaci-maki dan meludahiku dan menendangku dan mengancamku dengan kata-kata keji, "Aku akan menghajarmu seperti dulu kau melakukannya padaku!"

Fortunato pasti sudah pergi karena suara langkah kaki yang bergegas terdengar menuruni tangga. Aku tak lagi berkata sepatah pun lagi dengan bibir tebalku karena bibirku yang tebal telah sobek dan dari bibirku yang tebal itu aliran darah kental menetes. Putriku Puchuchu melihat tetesan darah itu dan dia bergegas pergi menuruni loteng.

Ketika suara langkah kaki lenyap, aku tak bisa menyembunyikan rasa senangku yang merekah dalam seulas senyum. Aku memutuskan untuk bangkit dan perlahan-lahan mengompres bibirku yang luka dengan es dan memulihkan kesehatanku lagi agar aku tetap bisa bertingkah seperti seorang pelacur gila agar aku tak menjadi gila sungguhan.

Luis Rafael Sanchez adalah penulis Puerto Rico. Cerita di atas diindonesiakan oleh Anton Kurnia dari terjemahan Inggris Clementine Rabassa.

(Koran Tempo, 30 Maret 2008)

Tidak ada komentar: