Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

02 April 2008

Puisi Raudal Tanjung Banua

API BAWAH TANAH
: teringat munir

Hamparan diam tanah gambut
padang tidur belukar perdu
hidup terbelit cinta dan maut
dekat atau jauh, tersembunyi rinduku
dan takutmu.

Sebuah titik-api nyala
di akar sebatang pohon duri
duri yang menjaga
akar yang menghidupkan
secuil titik api
jadi api bawah tanah
sabar menanti
yang bakal runtuh
dan musnah.

Jadi padang basah ini berasap
bukan tanpa sebab. Langit yang tabah
menerima pengaduan
sudah mencatat: setelah pohon-pohon diupacarai
lalu ditebangi, huma digusur kota dibangun
jadi kebun seluas bumi, di mana taman bunga
matahari? Lalu siapa yang bisa
membujuk api? Tak ada.
Kecuali pintaku pada dunia:

Jangan beri aku belukar perdu
menyimpan onak, ular beludak
beri aku sebatang pohon duri
melintas batas padang kerdilmu!

Tapi kau dan sepasukan angin gila
mengepungku dari arah rawa-rawa
dengan tubuh luka dan berdarah
erat kupeluk pohon duri masa kecilku
seperti tubuh ibu yang bergetah
merekat ingatanku sebelum pergi jauh
--bertahan dari runtuh
Lalu angin santer menjala siapa saja
bringas, menggerakkan sepasukan ilalang
mengepungku di lain sisi, bagai penyamun buta
menunggu yang tersekap
jatuh ke bumi.

Ketahuilah wahai dunia
aku tak takut jatuh
aku hanya takut nyangkut
lalu tampak seperti jatuh!

Kemudian datanglah masa itu
masa di mana ibu-pohon-duriku ditebang
seribu titik api dipadamkan
dan seribu berkobar lagi, sendiri
maka aku berkata, selirih gemertak ranting patahan
seperih bisa ular derik musiman:

Mereka yang membunuhku
akan dibunuh oleh waktu
Setiap yang dipadamkan
akan nyala lebih dalam
Setiap yang dilenyapkan
akan bersekutu dengan akar
Jadi api bawah tanah,
jadi puisi tanpa nama
jadi lapar seribu nama...
/Pleihari-Yogyakarta, 2007

BATU DAN PONDOK LADANG

di batu bersemayam arwah nenek-moyang
di batu-batu tertera altar tuhan
di batu belah batu bertangkup
tergores cerita, jejak telapak tangan
para pemecah batu negeri angan-angan

di sini, mesin molen hanya milik mandor
truk-truk menderu seperti kapal
mengangkut kayu, papan dan batu
milik juragan

setelah semua habis,
tinggal sebongkah batu besar
tidak belah tidak bertangkup,
berkubang di tengah ladang
diam dia saling memandang
dengan sebuah pondok ladang
doyong dan kesepian

di jalan pulang,
para pemecah batu singgah
dan seseorang berkata, "Masih ada sebuah
kita pecahkan ayo, serpihannya jadikan kerikil
penambah beli kretek dan mencicil utang harian."

seseorang lain membayangkan ada emasnya
dan seorang lain bicara dingin dengan angin,
"Apa pun, kita tak bakal kaya..."
sia-sia? tidak juga, toh mereka punya butiran kristal
keringat sendiri, kadang di amsal emas murni
walau tiada arti. maka tanpa mimpi, mereka mulai
memecah batu itu dengan nyanyian langit telanjang
yang lain memasukkannya ke dalam keranjang
dan mengangkutnya ke tepian

menjelang petang, telah mereka pikul habis
berkeranjang-keranjang kerikil--emas murni
sebatas kristal keringat masih--dan semua dilayarkan
di sungai hitam di kaki bukit menuju kota
hitam dan sakit
hitam dan sakit

masih ada yang belum terbilang:
pondok ladang, doyong dan kesepian
apakah akan mereka ambil juga
dibongkar tiang-tiang dan diurak kayu usuknya,
siapa tahu ada tembikarnya juga?

tapi tak seorang pun berani mendekat
tampaknya mereka lebih takut kepada pondok
milik seorang peladang pemberani
--yang mati dalam labirin teka-teki--
ketimbang pada batu besar altar tuhan
dan roh suci nenek-moyang

semua menunggu, sampai merah tirai senja menunggu
sampai seseorang dalam rombongan itu, calon mandor
yang gagal, dua tahun lalu, seketika menemukan cara yang tepat
membalas dendam, "Biarkan. Sebagaimana aku tak tahan
mengingat kepal tangan dan seringai kurang ajarnya,
kini arwahnya juga akan lebih menderita."

Dan, benar, tanpa batu besar itu kini
dua jendela pondok menjelma jadi sepasang mata arwah
milik peladang malang yang memandang kosong-hampa
ke tengah ladang: batu berkubang batu telanjang tiada lagi sekarang
dan ia merasa kesepian
doyong dan kesepian
sungguh kesepian.

/Peg. Meratus, Pleihari, 2007

SAJAK PASAK BUMI

hujan turun di padang perdu
angin santer di padang perdu
hujan berakhir dengan reda
atau gerimis lagi, dan berawal dari tiada
atau gerimis juga; angin bangkit sesuka hati
atau tidur lagi, tergantung pada cuaca
tak ada yang mengerti
kecuali sajakku
tegak berjaga
menjadi pasak bumi
bagi ketakutan
lemah hayatmu!

/Pleihari, 2007

IGAU PULAU

--sajak tercecer

Di selembar kain belacu aku menggambar pulau
tanpa menara dan mercu, tiada percakapan kecuali
suara burung-burung liar, riang mungkin murung.
Keheningan mencipta bahasa sendiri dari gemerincing
kerang dan lokan, sesekali raung gelombang dan derak
ruang kapal kayu yang terdampar bertahun, merana,
tak mencurahkan satu pun berita dari lambungnya
yang bocor, pucat dan tohor, kecuali teriakan sial
dan denting botol, bangkit dari seribu tahun keheningan,
maka bisulah terasa daratan itu selama-lamanya...

Tapi ke sana aku 'kan menuju tanpa alamat dalam saku
hanya mimpi-mimpi masa kecil, secuil, jauh terpencil:
berlari menyisir pesisir, sorak-sorai kami adalah suara
hidup seribu pantai dan lagu kumandang penunda
kekalahan laut bosan sebab terlalu lama menunggu
berita baru yang akan menyeret kenangan selaknat
topan, namun, o, jangankan berita baru, kabar lama pun
hampa tak sampai-sampai, kata-kata dihala ke cakrawala
dan bahkan kata doa kami tak punya, sampai tiba suatu hari:

seekor paus raksasa terdampar di pantai dengan getar
tak bersudah, seluruh kampung gempar, susah-payah
merumuskan kejadian: pertanda bala, tulah atau nikmat
segar daging bakar campur mrica? Atau inilah berita
baru itu! Tak seorang pun yang tahu, juga aku, tak
seorang pun yang tahu, juga aku yang gemetar
dengan pisau dan selembar kain belacu kusam di tangan:
bahkan penguasa lautan pun tak tahu apakah akan
kugoreskan pisau itu atau kutikamkan!

/Yogya-Cilacap, 2005-2007

Raudal Tanjung Banua lahir di Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari 1975. Buku puisinya, Gugusan Mata Ibu (2005) memperoleh Anugerah Sastra MASTERA V di Malaysia.

(Koran Tempo, 30 Maret 2008)

Tidak ada komentar: