Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

05 April 2008

Apresiasi Sastra: dari Kompetensi Pembaca hingga sebuah Standar

Oleh: Fadli Akbar

Pada awalnya saya cukup tidak menduga bahwa tulisan saya tentang 'teori sastra: sebuah perkakas analisis dan standar apresiasi' ditanggapi dengan sangat kritis oleh Esha Tegar Putra (dan mungkin juga oleh teman-teman yang lainnya) dengan memunculkan wacana "adakah standar apresiasi sastra?" Hal ini terjadi karena pada dasarnya saya tidak bermaksud dalam tulisan itu menciptakan sebuah standar apresiasi, yang setelah saya teliti lebih lanjut ternyata dilihat sebagai hasil dan sebuah penilaian. Kalau memang demikian pemahaman tentang standar, mungkin saya pun ragu apakah standar apresiasi yang bermuara pada hasil akhir itu ada, dan yang lebih penting lagi adalah apakah ia perlu. Namun perlahan keraguan itu membimbing saya pada sebuah percikan penalaran yang membuka sebuah pintu pemikiran bahwa pada konteks tertentu dan pada sebuah perkembangan zaman tertentu ternyata standar itu dibutuhkan. Tentunya ia muncul dari sebuah pemahaman yang berbeda secara ontologis dari saya mengenai "standar" dan "apresiasi" itu sendiri secara pribadi.

Pertama, saya bukan tidak setuju dengan definisi sekaligus deskripsi yang diketengahkan oleh Esha Tegar Putra tentang standar, yakni sebuah penilaian dan tentang sesuatu yang memiliki batasan tinggi rendahnya. Artinya standar adalah tak lebih dari sebuah hasil konvensi, yang di sini berarti sebuah kesepakatan kolektif. Berbicara tentang konvensi tentu tak bisa lepas dari subjektifitas. Sementara itu subjektifitas otomatis berbicara tentang sesuatu yang tak bisa distandarkan, tak bisa diuniversalkan. Apalagi untuk sebuah hasil akhir. Hanya kuasa yang bisa menentukannya. Nah, mungkin disinilah permasalahannya. Dalam tulisan itu saya menggambarkan bagaimana sebuah teori sastra diharapkan akan menciptakan pemikiran kritis yang berujung "membimbing pada standar apresiasi."

Di sini, "membimbing pada sebuah standar" adalah sebuah frasa yang secara implisit bisa diartikan pada sesuatu yang belum selesai, atau mungkin cenderung "terbengkalai" dan butuh terus direhab. Di sinilah awal benturan itu.

Hakikatnya, ungkapan di atas adalah ungkapan yang lebih kurang saya coba pahami bagaimana standar itu bukanlah melulu masalah hasil, sebuah penilaian. Namun lebih dari itu ia adalah masalah proses dan terus berproses membentuk kualitasnya sendiri. Lalu apakah ada standar kualitas untuk sebuah proses? Ada. Karena proses butuh ketrampilan, dan tanpa ketrampilan proses akan stagnan. Lebih jauh lagi dalam subjektifitas saya sebuah penilaian datang dari proses itu sendiri, atau sebuah standar yang diciptakan oleh proses. Standar dalam apresiasi adalah proses itu sendiri. Di sinilah sebuah perbedaan pemahaman itu.

Kedua, adalah masalah apresiasi. Pada dasarnya saya juga bukan tidak setuju dengan apa yang Esha Tegar Putra jabarkan mengenai makna apresiasi secara ontologis, sekaligus keberadaannya dalam batasan-batasannya dengan kritik ataupun penelitian. Namun beranjak dari harapan saya pada sebuah proses, dengan konteks tertentu dan tujuan tertentu bukan tidak mungkin batasan-batasan ontologis itu melebur atau lebih tepatnya bisa dilebur. Secara definisi ia tak lebih dari permasalahan ruang lingkup dan tingkat abstraksi. Namun secara fungsionalitas mereka mungkin memiliki muara yang tidak jauh berbeda. Dan satu hal lagi yang menjadi minat saya disini dalam melihat apresiasi adalah apresiasi bukan melulu diartikan sebagai sebuah penilaian, akan tetapi ia lebih kepada masalah pemahaman dan penafsiran (artinya biarlah pemahaman dan penafsiran itu sendiri yang memunculkan penilaian tanpa harus penilaian itu dikemukakan secara eksplisit), dan juga sebuah pemaknaan yang juga tidak tertutup digali lebih dalam. Persoalannya, bukankah itu adalah lahan kritik sastra? Atau apakah ini tak lebih dari sebuah pemaksaan.

SEBUAH KOMPETENSI

Saya tidak mengatakan dan tidak bermaksud untuk melihat standar apresiasi sebagai sebuah pemaksaan. Hal ini disebabkan, pertama oleh karena saya melihatnya bukan sebagai hasil namun sebagai proses. Kedua, ia berhubungan dengan apa yang kaum resepsionis pernah tawarkan dengan teori resepsinya. Adalah seorang Jonathan Culler (1977) dengan ide yang ia kembangkan tentang kompetensi pembaca. Di sini apresiator adalah pembaca itu sendiri. Dan jika seorang apresiator dikatakan bukan melulu pembaca maka ia terlalu kurang ajar untuk bisa dikatakan apresiator. Pembacaan terhadap karya sastra melalui pembacaan Culler adalah sebuah aktifitas membaca yang memprasyaratkan pembaca dengan sejumlah konsep, bukan pembaca sebagai "tabularasa". Artinya pembaca tidak datang untuk membaca dengan isi kepalanya yang masih kosong selayaknya kertas putih yang belum pernah ditulis. Hal ini tidak lain sebagai sebuah upaya menciptakan pembaca yang kreatif sekaligus produktif. Selain dari itu, standar di sini juga menyangkut dengan konvensi. Konvensi di sini maksudnya adalah sebuah sistem aturan yang memungkinkan untuk mengarahkan pada penafsiran yang relatif sama. Sebuah mekanisme kerja yang mempermudah. Sebagai contoh, sistem konvensi untuk memahami novel detektif jelas berbeda dengan sistem konvensi untuk memahami puisi lirik ataupun drama tragedi. Lalu apakah dengan ini berarti terjadi sebuah penyangkalan akan teks yang polisemik? Tidak sama sekali, karena itu tak lebih dipahami sebagai permasalahan teknis. Sebuah cara untuk mempermudah. Bahkan pada level ini, saya sangat setuju dengan Esha Tegar Putra yang mengatakan bahwa teks itu tidak bermakna tunggal. Saya sangat memegang pemahaman Stanley Fish yang pernah disinggung oleh Besley (1980) mengenai teks polisemik yang menggiring pembaca pada level resiko. Mengapa demikian? Karena konsep seperti ini telah berhasil berkontribusi menciptakan pembaca dalam posisi yang tidak nyaman. Dan ketidaknyamanan ini ternyata cukup bagus. Artinya konsep Fish ini mengantarkan pembaca pada posisi yang penuh dengan rintangan. Pembacaan seperti ini terkesan mengganggu (namun bagus), karena dengan begini teks secara tidak langsung mengharuskan pembacanya mempelajari dan mencari secara teliti segala sesuatu yang mereka percayai dan di dalam mana mereka hidup. Teks akhirnya menjadi bersifat didaktik--dalam pengertian yang lebih khusus--tidak mengajarkan kebenaran, akan tetapi meminta para pembacanya menemukan kebenaran bagi mereka sendiri. Dan penemuan kebenaran bukan hanya masalah opini-opini dan nilai-nilai dari pembaca, akan tetapi juga rasa harga diri. Lalu apakah pembaca dibebani? Mungkin iya secara tidak langsung. Hanya saja, penjabaran di atas lebih melingkupi sebuah proses interpretasi. Namun begitu bukan berarti tidak bisa dipaksakan pada level (proses) apresiasi. Persoalannya adalah apakah ia bisa munculk dengan proses yang stagnan? Di sinilah letak standar itu. Sebuah kompetensi yang muncul melalui proses pembacaan yang semakin yang semakin hari semakin membaik.

Ketiga, kalaupun saya harus menerima bahwa saya adalah seorang pemkasa ini semua tidak lebih daripada persetujuan saya dengan argumen yang pernah dimunculkan oleh Cornel West, seorang filsuf sosialis yang melihat semakin memudarnya ilmu-ilmu Humaniora di tengah arus Kapitalisme mutakhir. Artinya kondisi kekinian adalah kondisi dimana kaum-kaum humaniora adalah sekelompok kaum yang semakin terpinggirkan oleh kaum sains ataupun teknologi yang bagi kebanyakan masyarakat lebih memberikan kontribusi dalam realitas, khususnya pada bangsa ini. Apresiasi masyarakat terhadap sains dan teknologi telah mengubur potensi-potensi humaniora (sastra salah satunya) pada posisi yang tereksklusifkan secara indah dalam marginalitas. Artinya sebagai bagian dari kajian Humaniora sastra terus berkembang, namun berkembang pada titik-titik spesial namun minor. Nah, fungsi apresiasilah untuk mengangkat kembali lahan ini. Namun dalam realitanya, cukup memilukan kalau kenyataan ini harus diterima karena ulah para penggiat sastra itu sendiri bersama apresiasinya. Hipotesis ini muncul atas kenyataan yang cukup rendah dalam kemampuan berapresiasi.

Selama ini apresiasi selalu dipahami dan dihambai sebagai sebuah penilaian. Apresiasi tak lebih terbentang sebagai pencarian titik henti, menilai dan menilai namun tidak mencoba memasuki dunia pemahaman, wacana dimana ilmu-ilmu bersirkulasi dengan sangat bebasnya serta sarana berdialektika yang sangat mengasyikkan.

Sehingga yang muncul adalah sebuah keputusan yang kadang-kadang sedikit meresahkan. Sebagai contoh, kita "flash back" pada apresiasi film yang pernah digelar DKSB pada sebuah film yang berjudul "Trophy Buffalo". Saya tidak yakin apakah panelis yang dihadirkan adalah seorang kritikus, namun yang pasti mereka telah menjadi apresiator yang sangat baik. Akan tetapi coba perhatikan apresiator lain yang berposisi sebagai audiens. Secara subjektif, saya melihat audiens lebih menghamba pada sebuah penilaian dan selalu berputar-putar dalam ranah penilaiannya, walaupun tidak untuk semua audiens. Dan semua orang dalam gedung itu tahu apa yang sedang terjadi. Pertanyaannya, apakah itu yang bernama apresiasi? Dimana proses pemikiran kritisnya? Memang pada dasarnya sudah ada kritikus, akan tetapi sekat-sekat itu semakin membuat jurang yang cukup dalam antara apresiator dan kritikus. Sehingga yang tercipta adalah kemandekan pemikiran kritis. Batasan itu memang penting, namun mungkin tidak berlaku jika jika yang terjadi adalah dekadensi yang ternyata diakibatkan oleh pergolakan.

Di sinilah pemahaman saya perihal bagaimana apresiator pada sebuah kondisi musti direduksi pada level tertentu. Ini adalah semacam pemajuan apresiator. Mengapa apresiator? Mengapa bukan kritikus? Karena apresiator adalah tentang kesemuaan. Sedangkan kritikus telah terlalu kukuh dalam posisinya yang lebih stabil. Apresiator adalah basement sekaligus fondasi atas berhasil tidaknya sebuah proses berjalan dengan maksimal, sehingga diharapkan didapatkan sebuah hasil yang beriringan dengan proses tadi.

Setiap orang berhak untuk menjadi apresiator, namun mungkin tidak untuk kritikus. Karena memang ada struktur yang membuat mereka tak bisa disatukan. Namun begitu saya sedikit ragu dengan peryataan Esha TEgar Putra yang menyatakan bahwa: "seorang apresiator belum tentu kritikus akan tetapi seorang kritikus sudah menjadi seorang apresiator." Menurut saya itu sebuah pertanyaan yang realis, namun bukan mesti. Sekarang adalah saatnya bagi apresiator untuk menjadi kritikus. Ini bukan permasalahan pemaksaan tetapi lebih kepada sebuah penyadaran. Terlalu sedikit kritikus sastra yang kritis di negeri ini dikarenakan oleh apresiasi yang berputar-putar di dalam sebuah tempurung penilaian, namun tidak mencoba untuk melihat dunia yang lebih luas dalam balutan pemikiran-pemikiran.

Ruangsempit, 2008

(Terbit di Harian Singgalang Padang tanggal 6 April 2008)

Tidak ada komentar: