Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

06 April 2008

Melukis Matahari

Oleh: Azizatus Suhailah

Semilir angin pembuka cakrawala. Bahkan dia sama sekali tidak mengeluh. Gadis itu. Matanya hanya menatap hampa dunia. Dirinya mengambang dalam ketidakmengertian hidup. Bagaimana ia hendak mengeluh? Apa yang kan ia keluhkan?

Hidupnya pun tak bersuara sebab ia bisu, tak bernada lantaran ia tuli, tak pula berwarna sebab cakrawala penglihatannya yang buta warna hanya dapat melihat hitam dan putih. Bagaimana cara mengeluh?

Dunia yang hitam putih. Hitam dan putih dunia.

***

Pagi itu sebenarnya langit biru telah turun ke cakrawala. Biru. Sebenarnya biru. Bukan putih kelabu seperti penglihatannya. Gadis itu.

Kali ini ia termangu di balik jeruji pagar sebuah rumah mewah. Duduk saja di sana. Menatap lalu lalang orang-orang. Kota yang besar itu bising dalam hiruk pikuk seiring meningginya hari. Manusia bersliweran dan berkejaran mengejar waktu.

Gadis itu menggerak-gerakkan jari-jemarinya menghitung. Sudah berapa lama ia di sini? Dua hari, tiga hari, seminggu? Bukan. Bukan. Gadis itu menggelengkan kepalanya dengan kening berkerut.

Ia menengadahkan wajah, lalu refleks memicingkan mata. Silau. Ah, ya ini saatnya. Biasanya, saat-saat seperti ini perempuan itu lewat.

Perempuan itu...
Perempuan yang selalu ia tandai semenjak ia terkurung di balik jeruji ini. Perempuan itu setiap hari lewat di depan jeruji pagar ini. Kadang berjalan santai. Lain waktu agak tergesa, bahkan pernah ia melihat perempuan itu berlari. Sampai di ujung blok, perempuan itu melambai-lambaikan tangannya. Menyetop bus.

Perempuan itu...
Selalu menggodanya untuk menunggu. Menunggu setiap pagi dan melihatnya lewat. Setiap hari hampir serba sama. Ia sendiri tidak bisa membedakan. Hitam putih saja yang tampak olehnya. tak ada beda.

Tapi satu hal membuat ia terpaku. Perempuan itu yang kadang tergesa-gesa tetap meninggalkan bekas keanggunan. Entah dimana letak keanggunan itu ia pun tidak tahu persis. Mungkin di balik kain panjang yang menutup kepala dan hampir seluruh tubuhnya. Melambai-lambai ditiup angin. Ia bisa melihat kesejukan itu. Meski dunianya hanyalah hitam putih. Hampa suara. Tanpa nada...

Kesejukan itu mengirimkan perasaan rindu pada dirinya. bilakah ia akan melambai bebas seperti perempuan itu. Yang selalu ia tunggu setiap pagi...

Dulu. Ah, tidak. Lebih tepatnya beberapa waktu lalu, dia adalah seorang gadis kumal pengamen. Ia tidak menyanyi. Ia dibawa oleh seorang laki-laki. Sedikit lebih tua dari dirinya. Berpatroli di terminal, naik dan turun bus. Laki-laki itu menyanyi, ia yang menjalankan bungkus bekas permen. Menampung recehan demi recehan...

Ia percayakan hidupnya pada laki-laki itu. Cukup lama mereka hidup bersama. Mengamen bersama. Berbagi uang bersama. Lalu malam harinya tidur di gerbong kereta berkarat yang sudah tak terpakai.

Keesokan pagi kembali menceburkan diri ke terminal yang hiruk-pikuk. Meskipun ia tidak mendengar apa-apa. Sebab hidupnya hampa suara. Tanpa nada...

Gadis itu...
Ia kembali menggerakkan jari jemarinya menghitung. Sudah berapa lama ia hidup dengan laki-laki itu> Satu, dua, tiga tahun? Entahlah. Cukup lama dan laki-laki itu memberinya cukup rasa aman. Ia aman bersama laki-laki itu. Meski ia hanya melihatnya sebagai hitam dan putih.

Namun, kemudian laki-laki itu membawanya ke tempat ini. Masih ia ingat senyum dikulum yang disedekahkan laki-laki itu padanya sambil menyembunyikan sebuah amplop tebal di balik baju. Sebuah rumah yang mewah. Dirinya pun dibersihkan. Didandani cantik. Diberi baju bersih dan bagus. Ia tidak lagi tidur di gerbong bekas dan berkarat. Tapi di ranjang yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Hangat.

Di rumah itu, lalu lalang bermacam-macam wanita. Juga bermacam-macam laki-laki. Mereka berpasang-pasang dengan berbagai macam gaya. Ia tidak mengerti warna tingkah mereka selain hitam dan putih.

***
Ketika malam menuju puncaknya.

Gadis itu...
Ia meringkuk menggigil di lantai kamar mandi. Ia sedang tertidur di balik selimut hangatnya ketika dunianya tiba-tiba gelap. Ia tak melihat apa-apa selain hitam. Dua-duanya warna yang ia miliki pun telah lenyap satu.

Lampu tiba-tiba dihidupkan dan semuanya putih lagi. Seorang monster berkumis berdiri gagah siap menerkamnya. Ia membuka mulut. Tak ada suara.

Sungguh ia tidak mengerti. Bertahun-tahun ia hidup bersama laki-laki itu di gerbong bekas tapi laki-laki itu tidak pernah merenggut putih dari warna hidupnya dan menerkamnya tiba-tiba.

Nalurinya berbicara. Ia adalah gadis. Ia bukan wanita-wanita banyak tingkah yang lalu lalang itu. Impuls-impuls dendrit bersliweran di benaknya. Ia adalah gadis. Ia punya kehormatan. Meskipun ia hanya seorang asisten pengamen kumal dan kotor. Tidur di gerbong kereta api tidak terpakai. ulu hatinya terasa nyeri. Buliran-buliran air meruntuhkan bendungan matanya. Ia menangis.

Ia adalah gadis. Bukan wanita banyak tingkah seperti mereka.

Oh,. karena inikah laki-laki itu menendangnya ke sangkar emas in dan menukarnya dengan sebuah amplop?

Ia disambut oleh wanita paruh baya menor dan sok ramah. Berisyarat bahwa ia akan bekerja sebagai pembantu. Menyuruhnya meniru pekerjaan sekelompok orang sebayanya yang juga berpenampilan kumal dan berantakan.

Beberapa hari saja. Dan ia disulap menjadi boneka cantik.

Panas matahari tidak lagi menyengatnya seperti di terminal. Ia senang menemukan teman kumal yang senasib di rumah mewah nan sejuk. Dibalasnya senyum dikulum laki-laki itu dengan senyumannya yang ia buat paling manis. Mengira laki-laki itu akan mengubah hidupnya dan tidak benar-benar meninggalkannya...

Laki-laki yang bertahun-tahun melindunginya. Sungguh ia tidak menyangka.

Lobus ingatannya meledak. Memuntahkan serpihan-serpihan realita menjadi kemarahan. Darah panas hilir mudik mengaliri mengaliri pembuluh darah nadinya. Rahangnya mengeras. Diludahinya monster berkumis itu. Monster itu malah membesar seukuran raksasa dan semakin gila. Dilemparnya monster itu dengan lampu meja mewah milik si nyonya menor. Lampu itu pecah. Dahi si moster robek. Ia menggerung semakin gila. Dilakukannya apa saja. Melempar, memukul, mencakar...

Sekarang ia meringkuk di lantai basah kamar mandi. Menggigil kedinginan dan kehabisan tenaga. Sungai air mata mengalir semakin deras itu telah menjadi tanda perayaan keberhasilannya membebaskan diri dari monster bejat itu.

Terbayanglah segala hidupnya dalam dunia hitam putih. Naik turun bus di terminal. Membuntuti laki-laki itu sambil menyodorkan bekas bungkusan permen sembari menampung recehan...ketika laki-laki itu menjaganya di dalam gerbong kereta yang dingin. Lalu waktupun berjalan dan laki-laki itu menjualnya.

O, betapa sekarang ia rasakan. Jauh lebih dingin lantai kamar mandi in daripada gerbong kereta api tidak terpakai itu. Betapa ia rindu gerahnya cuaca saat ia mengamen. Setidak-tidaknya ia hidup damai di sana. Betapa ia rindu...

Kerinduan itu bermuara pada sosok perempuan yang selalu ia perhatikan di balik jeruji. Sosok yang begitu ingin ia lukis. Sosok yang baginya sungguh hangat sekaligus menyejukkan. Seperti tak pernah di sore hari.

Ah, tak pernah. Semenjak lama ia ingin menjadi matahari. Ia tidak tahu seperti apa matahari itu. Namun ia percaya matahari itu kuat. Lebih kuat dari dunianya yang hitam putih. Lebih kuat dari hiruk pikuk terminal, lebih kuat dari laki-laki pengkhianat itu, juga lebih kuat dari si jagal monster berkumis.

Buktinya, setiap orang menatap bintang besar itu, tidak ada yang mampu menantangnya. Itulah sebabnya ia ingin menjadi matahari. Agar ia kuat. Agar tidak yang menantang untuk menganiayanya. Seperti si jagal.

Matahari. Sungguh ingin ia lukis seperti besarnya hasratnya untuk melukis si perempuan bersahaja itu. Perempuan berkain panjang menutup seluruh tubuh yang selalu mengirimkan kesejukan padanya di balik jeruji. Setiap pagi.

Dalam derai air mata gadis bisu, tuli dan buta warna itu berusaha melukis sang matahari. Di atas hidupnya yang hitam putih.

***

Malam sudah melewati sepertiga terakhirnya.

Gadis itu...
Dunianya yang hitam putih semakin kelabu. Hampa suara dan tanpa nada. Pun telah dicemari oleh sangkar emas kotor berwujud rumah pelacuran. Hiruk pikuk terminal bahkan gerbong kereta api yang dingin barangkali lebih baik baginya daripada rumah mewah dengan jeruji penjara itu.

Fajar pun mengetuk-ngetuk pintu pagi untuk segera terbit. Malam belum lagi menyerahkan kepekatannya pada pagi.

"Ayo, siramkan bensinnya ke arah sini. Bakar!!! Bakar... musnahkan tempat ini. Tempat laknat!!!!"

Gadis tuli, bisu dan buta warna itu terjaga. Mata hitam legamnya berputar cepat. Apa yang terjadi? Mengapa ia dihantui ketakutan begini? Semuanya serba lain. Serba aneh. Gelap.

Gadis itu meraba-raba. Lantai kamar mandi yang dingin, tiba-tiba berubah menjadi hangat. Dimana ini. Di terminalkah? Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Serbuan asap mengunci tenggorakannya. Ia terbatuk-batuk.

"Tambahkan lagi bensinnya. Di sini. Di sini." ratusan suara mendengung di luar seiring dengan kobaran api yang semakin membesar. PRANGG..!!! Kaca kamar mandi dipecah. Gadis itu menoleh.

Ia melihat cahaya. Terang. Hangat dan berkabut. Sesosok hitam melompat ke dalam. Detik berikutnya ia sudah dibawa keluar melalui jendela yang pecah. Ia berusaha memfokuskan pandangan mencerna siapa sosok hitam itu. Waktu tidak tersisa banyak. Tubuhnya tersayat-sayat beling sementara asap nyaris memblok seluruh pernapasannya. Ia pingsan.

***

Fajar merambat cakrawala.

Gadis itu membuka mata. Sekujur tubuhnya terasa nyeri. Ia mengusap pelipisnya. Cairan kental. Diciumnya cairan itu. Amis. Bau darah.

Diangkatnya kepalanya, berat sekali, kerongkongannya tercekat. Diraba-rabanya tempat itu. Ini adalah tempat yang biasa. Gerbong kereta api.

Hanya perlu sepersekian detik ia mencerna siapa yang telah menyelamatkannya.

Laki-laki itu.
Seketika tubuhnya mengejang ketakutan. Tidak! Ini tidak boleh terjadi lagi. Ia adalah gadis buta warna yang tidak mau kehilangan tongkat dua kali.

Ia adalah gadis. Bukan wanita banyak tingkah. Ia punya akal. Ia punya naluri. Naluri itulah yang membawanya berlari menembus remang-remang fajar. Tidak peduli kakinya tanpa alas menginjak-injak jalanan yang kasar. Pun tidak peduli kerongkongannya yang terkunci enggan menerima udara.

Entah berapa lama. Langit belum lagi terang. Dunia hitam putihnya oleng. Dia terjatuh mrnabrak sesuatu. Ia mendongak. Ia menabrak sesosok...

ya Tuhan, ia menabrak perempuan itu. Perempuan dengan baju panjang yang melambai-lambai. Ia meringis kesakitan. Perempuan itu membantunya berdiri.

"Maaf, saya tidak sengaja..."

Ia tidak peduli. Dipeluknya perempuan itu erat-erat. Sengau dan gerakan tangannya yang bergetar berusaha menjelaskan mengapa ia terisak di hadapan perempuan itu. Juga darah dan pakaiannya yang robek.

Perempuan itu mengangguk paham. Digamitnya tangan gadis itu.

"Siapa namamu?" senyumnya ramah.

Gadis itu menggeleng bingung. Apa yang ditanyakannya? Namakah? Apakah perempuan itu menanyakan namanya?

Digerak-gerakkannya bibir dan tangannya. Perempuan itu tidak mengerti. Ah, ia ingin menamakan dirinya matahari. Tapi bagaimana cara mengatakannya? Ia ingin menunjukkan matahari pada perempuan itu untuk memperkenalkan dirinya. Namun, matahari yang ditunggunya itu belum muncul di ufuk timur.

Tapi matahari itu selalu ada. Tak peduli siang ataupun malam. Sebab sedari tadi matahari itu telah dilukisnya. Di dalam hatinya.

Padang, 2 Maret dinihari

(Singgalang, 6 April 2008)

Tidak ada komentar: