I
hujan bertabuh rindu
dari ujung soneta beku
berjalan—entah menekuri pasirpasir kaku
bergerak—berputarputar melafaz sendu
labaik Allahumma labaik…
ingin memeluk Ka’bah
dan mengusapkan kainnya kepada tangisku yang pecah
atau membawa sepotong kecil Hajarul Aswad, untuk hadiah
bagi saudara saudaraku yang—berdarah
selintas di kidung fatihah
kulihat bayang menari mendesah
berdendang ria—menerpa wajah
berdiri di atas tiangtiang kubah
ila hadhratin nabiyyil mush-thafaa…
sadar; ku berputar sekali lagi
yang ada tampak sepi
riuh dibawah terik mentari
sedetik hilang dijejaki
panas yang membakar pori
kubah masjidil haram, tibatiba hilang
Ka’bah pun menjadi buram
“dimana?”
II
fajar merah baru saja tampak menyisakan api,
dimalam kemarin yang bau anyirnya saja masih menepi
senapan masih kurangkul,
dalam bisu yang mengucap syukur
Allahumma ya Allah…
siluet yang berpindah kisruh
melambailambai penuh rindu
kini berdiri di kubah Aqsha
berbisik;
“aku masih merindukan sunyi!, di tapal batas kerinduan.”
Seulas senyum pun, ku tularkan pada punggung senapan
“kita masih bersama.”
28 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar