Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

07 Mei 2008

Mencari lagi

Oleh: Agus Susanto

Sulit untuk mencerna kata-kata Sang Kiai saat memberi kutbah tadi. Apa karena keterbatasanku sebagai orang awam atau memang otakku memang bebal.

”Di dunia ini hanya ada dua hal.”
”Apa itu Kiai?”
”Dua hal saling bertentangan.”
”Maksudnya?”
”Ada siang ada malam, itu alam. Ada baik ada buruk, itu sifat.”
Sungguh, aku masih saja tak mengerti meski telah mencoba memahami. Untuk apa semua ini?
”Eh tumben kamu datang ke pengajian. Apa sudah insyaf?”
Ternyata untuk sekadar berbuat baik menimbulkan banyak gunjingan. Parahnya dituduh ada pamrih. Kalau tidak masalah wanita pasti masalah utang-piutang.
”Ayo... main kartu saja daripada bengong!” ajakan ini lebih menarik sederhana. Tanpa maksud apa-apa.
”Pakai taruhan?”
”Ya... percaya botoh nanggung.”
Memang tak ribet. Cukup empat sampai tujuh orang dan satu kartu domino.
”Ini juga pelajaran.”
”Kalau empat harus dipukul pakai empat, perlu siasat.”
”Supaya lawan sekarat.”
Begitulah ocehan ngalor ngidul para botoh kendil. Istilah bagi mereka, menang sedikit mengundurkan diri. Ketika sedang asyik tenggelam mengamati balak satu atau kosong suara sirine meraung.
”Gropyokan.”
”Lari.”
”Selamatkan uang.”

Mereka lari tunggang langgang. Beberapa terjatuh. Ditangkap petugas. Aku tak bergerak sedikit pun. Masa bodoh kalau mau ditangkap. Ternyata tidak, mereka terheran-heran. Salah satu berteriak.
”Kamu mata-mata?”

Aku menggeleng, karena aku sendiri tak mengerti. Kulangkahkan kaki menyusuri jalan kadang lurus, kadang berliku. Tak ada arah dan tujuan. Tiba pada satu keramaian wajah. Wajah tampak lelah di tengah keramaian.
”Ada apa?” tanyaku.
”Antre Sembako,” jawab mereka ala kadar.

Oh, di negeri adil makmur ini Sembako harus ngantre. Berarti banyak keluarga tidak sejahtera, pra sejahtera dan sebagainya. Apa aku masuk di dalamnya aku juga tak tahu. Hanya teman-teman botoh menganggapku keluarganya. Lainnya acuh. Tak ada perhatian apalagi kepedulian. Sangat jauh. Mau hidup terserah mau mati terserah, begitu ungkapan mereka.

Terus kulanjutkan melangkah. Makam sunyi tak ada suara. Di sini tampaknya ada ketenangan. Aku salah. Ternyata sebentar saja sudah riuh rendah oleh satu rombongan upacara pemakaman. Ada orang meraung-raung, ada orang tak peduli, bahkan tersenyum saat suasana duka.
”Akhirnya mati juga.”
”Kalau tidak?”
”Kita tak pernah berhasil.”

Kurang jelas apa maksud mereka. Aku juga tak mengerti. Salah seorang mendekatiku.
”Hei gembel, nich buat makan,” uang Rp 5.000-an disodorkan padaku.

Kuterima saja dan berlalu. Astaga! Apakah sudah menjadi gembel aku ini? Mungkin karena berhari-hari aku tidak menemukan cermin untuk berkaca. Melihat bagaimana keadaan wajahku ini. Ah peduli amat.
”Bagaimana Mas, ramai?” aku menoleh. Kalau ini memang pemulung.
”Apanya?”
”Lho kan Mas baru mulung di kuburan tadi.”

Astaga, ternyata tak seperti di sinetron. Harapanku bertemu atau ditemukan orang kaya dan diangkat anak. Ternyata berbalik 180 derajat. Dianggap gembel, sekarang disamakan pemulung.
”Lumayan nich buat kamu,” kuberikan uang Rp 5.000 tadi.
”Makasih Mas, buat makan,” ungkapan polos dan tulus. Tak ada pamrih apapun. Aku pun tak merasa kehilangan. Ternyata jadi gembel ada manfaatnya juga.
Suara kendaraan meraung-raung.
”Kampanye Mas!”
”Para calon.”
”Calon apa?”
”Calon koruptor kali,” kami tertawa. Entah berapa lama aku tak bisa tertawa seperti ini. Lalu timbul satu pertanyaan, damaikah aku dalam kehidupan seperti ini? Sederhana, apa adanya dan tidak memikirkan apa-apa. Tak politik-politikan.
”Sudah... sana kerja dulu.”
”Oke Mas,” entah kenapa aku bisa cepat akrab dengan bocah polos ini. Adakah kesamaan nasib? Bisa ya bisa juga tidak.
Perjalananku makin panjang. Tapi aku masih juga tak mengerti apa yang kucari. Sampai orang menganggapku kurang waras, kurang kerjaan atau menganggapku apalah. Aku terus saja berjalan.
”Heiii...,” aku menoleh. Apakah orang itu meneriaki aku. Diam saja. Aku melangkah lagi dengan gontai tapi...
”Heiii kamu... kemari,” aku menoleh lagi. Orang itu melambaikan tangan padaku. Aku menuju ke arahnya.
”Mari ikuti aku,” seperti orang dungu aku mengikuti langkah orang tak dikenal ini. Entah apa tujuan dan maksudnya. Setelah agak lama kubuka suara.
”Siapa kamu?”
”Malaikat atau setan apa kamu peduli?”
”Tidak!”
”Baik atau buruk, peduli?”
”Tidak!”
”Bagus, bearti kamu telah mati dalam hidup,” entahlah, sungguh aku tak mengerti apa arti semua ini.
”Lalu?”
”Lanjutkan perjalananmu!”

Aku ingin menanyakan sesuatu tapi mulut terasa terkunci, kaki melangkah juga terasa berat. Sekitarku mendadak gelap gulita. Lalu...
”Bangun...,” kuraba mukaku ada air. Mereka mengguyurku lagi.
”Jangan malas-malas.”

Entah mengapa akhir pencarianku berakhir di Rumah Sakit Jiwa. Hanya karena aku menjawab asal saat terkena razia polisi pamong praja. Bicara memang bisa membawa kemana saja. Aku makin tak tahu tentang apa dan siapa kucari. Tanpa akhir pasti.

(Dimuat di SOLO POS 4 Mei 2008)

Tidak ada komentar: