19 Oktober 2008
Perjalanan
nafas bebatuan seperti memanggil pulang
cerita tentang pepohonan, tualang yang menitip siang
dengan air yang menguntit karam
dan selendang gadis muda yang
hanyut dibawa pasang
pada garis tangan ibu
senja menjejakkan catatan-catatannya
dimana ketulusan menjadi garang
dan kampung halaman meneruka dalam bayang
jadilah kepulangan adalah sesuatu yang mustahil
meski kereta telah lambat menemukan peron
o, gadis muda dengan selendang hijaunya
berjalan dalam riang malam
kandas dalam lautan
hingar dalam nestapa kampung halaman
F 2.5, Oktober 2008
Ode Badai
adakah arus hilir mencerabuti pepohonan akasia
rimbun dalam benam badai
menikam gemuruh, dan air mata sungai
yang terisak riuh
mata yang menikam bebatuan
dalam upacara purnama yang basah
darah meruap dalam bara kemenyan
menutup kalap badai yang bertempuran
badai...badai...badai...
tak lekang tangis menghilang dalam letusan sangkakala
dinding-dinding batu penuh kesumat
bersama dengan keheningan yang hilang cekam
menusuk lewat bantal, guling dan kasur
siapa yang melaknat diri?
mengharap darwis lewat di sisian rumah
sambil mengatakan; “mari mati
mari...mari....
demi nurani!”
AA. Navis, September 2008
Perempuan Ilalang (X)
;nta
nta, mungkinkah aku bertemu kekasih hari ini?
terakhir kali, dalam siang yang remang.
bersitatap dalam ruang kereta yang berlainan
mimpi usang, dan aku terjebak dalam bayang.
o, kekasih yang riuh dilamar ilalang,
mungkinkah kau bermalam dalam raut kuning pucat?
tak lagi kau rindukan basah asin laut padang
dimana nurbaya pernah berkubur
dan bersemayam menikam cinta
tak lagi kau cium batu arca
yang tersujud dalam ngiang ibu
memulangkan kembali kesedihan
pada senja dengan cahaya pualam
sementara kau meliuk-liuk dalam hamparan ilalang
mencipta keputusasaan dalam hati
yang berpenat diri
ya nta, aku telah berputus asa.
Rumah Cinta, September 2008
Subuh Permai di Sebuah Danau dengan Riak Menerpa-nerpa Ujung Keramba
;Esha Tegar Putra
siapa yang menangis?
ketika subuh yang permai diawali oleh dedaunan mawar
berjatuhan dalam lindap pertemuan
eden! aku cuma tangisan yang tergenang
di subuh permai itu. membentuk laguna dengan sepotong
cinta yang padam dalam wajah bujang sambilan
wajah yang begitu gaib
merupa sepasukan langit yang kau impikan
cinta yang pernah menuai marah Tuhan
sementara garis tangan ibu adalah wajahku yang lelah
lelah menunggu ayah, lelah menunggu sang kekasih
yang bersembunyi dalam kelenaan jala
tak perlulah kau tampung air hujan untuk melepas lelahku
sebab keriangan danau ini telah menyatu dalam kalbuku
tak perlu juga kau nyanyikan setakat doa
sebab pesisir yang mengguncang air asin dengan telaga
telah mengobati rasa perihku
biar subuh yang permai ini tergelincir di ujung keramba nenekku
dan aku tetap menjadi sebuah bayang
mungkin berebut maut dengan bunian
yang menghuni leladang durian di belakang rumah kakekku
Rumah Cinta, Oktober 2008
12 Oktober 2008
Sajak-Sajak Minggu Ini
Jejak Penantian
apa yang kau rindukan
mungkinkah desah kereta
yang mengalun
yang membuat jiwamu gundah
dari sisimu
aku pun menunggu,
dekah raung kereta yang telah
terlambat pula rupanya
aku kembali berjalan
kau pun juga
mengarungi Drina hingga Gangga
menanti,
Isa, atau mesias yang lalai
turun ke bumi
KaranggoNet, Oktober 2007
Saat Cinta Terkubur Batu Lawanga
saat ini
ketika musim tidak akan pernah berganti
daun-daun mawar telah berguguran di
depan melati
aku, tidak sempat mengutarakan
maksudmu, yang mendesah panjang di tepian
jurang,
ketika aku menyebut, “cinta”
atau, apakah cinta menggadaikan diri
untuk dosa-dosa
dan Lawanga
mengubur kau bersama dengan mayat-
mayat yang tersenyum kaku
KaranggoNet, Oktober 2007
*Lawanga; daerah di Poso
Genjer-Genjer
;untuk terulang kalinya
dalam ketakutan yang juga belum sirna
dekapan eratmu di jantungku
menyendat aliran deras
tahta kidung yang kugambarkan
jerit nafas tubuh
menggila,
disusuri alunan yang dikira
iblis sedang merayu—mendayu
“kidungku tak terlukiskan, Jer”
takut selimuti genderang perang
dan aku sendiri, disekap jeruji
pelog dan slendro
F.25, November 2006
Seorang itu
Namanya sepi,
Aku—kita berjalan
Bertiga
Gedung-gedung kusam
Sudah lama mereka mencongkel matanya sendiri
Tidak sanggup (lagi) meratapi
Debu dan asap berkepulan
Rumah Cinta-Padang, Desember 2006
Jika Kuntum Tak Lagi Mekar (II)
cikal di tepi terjal
belum lagi akan kembang dan mekar
angin sayup gusar
menggoyangoyangkan kuncup
cikal di tepi terjal
belum juga akan kembang dan mekar
bebunga sayup
meneruka ke dalam hati batu
masih menunggu
kapan saatnya akan kembang dan mekar
hanya bebatu deras berhujan
yang turun
kuntum tak lagi datang
leladang2, 22 Mei 2007
Jika Kuntum Tak Lagi Mekar (VIII)
di sini, telah kutanam kata per-kata
agar kelak tumbuh, dan berbunga
bersemi indah
leladang8, Desember 2007
Sayyid Madany Syani, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang
(DIMUAT DI HARIAN SINGGALANG 12 OKTOBER 2008)
apa yang kau rindukan
mungkinkah desah kereta
yang mengalun
yang membuat jiwamu gundah
dari sisimu
aku pun menunggu,
dekah raung kereta yang telah
terlambat pula rupanya
aku kembali berjalan
kau pun juga
mengarungi Drina hingga Gangga
menanti,
Isa, atau mesias yang lalai
turun ke bumi
KaranggoNet, Oktober 2007
Saat Cinta Terkubur Batu Lawanga
saat ini
ketika musim tidak akan pernah berganti
daun-daun mawar telah berguguran di
depan melati
aku, tidak sempat mengutarakan
maksudmu, yang mendesah panjang di tepian
jurang,
ketika aku menyebut, “cinta”
atau, apakah cinta menggadaikan diri
untuk dosa-dosa
dan Lawanga
mengubur kau bersama dengan mayat-
mayat yang tersenyum kaku
KaranggoNet, Oktober 2007
*Lawanga; daerah di Poso
Genjer-Genjer
;untuk terulang kalinya
dalam ketakutan yang juga belum sirna
dekapan eratmu di jantungku
menyendat aliran deras
tahta kidung yang kugambarkan
jerit nafas tubuh
menggila,
disusuri alunan yang dikira
iblis sedang merayu—mendayu
“kidungku tak terlukiskan, Jer”
takut selimuti genderang perang
dan aku sendiri, disekap jeruji
pelog dan slendro
F.25, November 2006
Seorang itu
Namanya sepi,
Aku—kita berjalan
Bertiga
Gedung-gedung kusam
Sudah lama mereka mencongkel matanya sendiri
Tidak sanggup (lagi) meratapi
Debu dan asap berkepulan
Rumah Cinta-Padang, Desember 2006
Jika Kuntum Tak Lagi Mekar (II)
cikal di tepi terjal
belum lagi akan kembang dan mekar
angin sayup gusar
menggoyangoyangkan kuncup
cikal di tepi terjal
belum juga akan kembang dan mekar
bebunga sayup
meneruka ke dalam hati batu
masih menunggu
kapan saatnya akan kembang dan mekar
hanya bebatu deras berhujan
yang turun
kuntum tak lagi datang
leladang2, 22 Mei 2007
Jika Kuntum Tak Lagi Mekar (VIII)
di sini, telah kutanam kata per-kata
agar kelak tumbuh, dan berbunga
bersemi indah
leladang8, Desember 2007
Sayyid Madany Syani, mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang
(DIMUAT DI HARIAN SINGGALANG 12 OKTOBER 2008)
Langganan:
Postingan (Atom)