Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

16 November 2007

Sastra di Sekolah Dihapus Saja?

Oleh: Adi Samekto

MENGAPA orang tak pernah merasa jemu membicarakan keluhan soal pengajaran sastra untuk para siswa? Tidakkah itu sesungguhnya berlebihan dalam memandang persoalan yang dihadapi, yang berkaitan dengan dunia pendidikan kita?

Di jagad yang paling "menguasai" kancah sastra seperti Prancis maupun Inggris, ada orang bercerita, sesungguhnya persentase pengajaran sastra di negeri itu tidaklah cukup banyak. Namun, ada persoalan lain yang lebih penting yang berkaitan dengan
dunia sastra dan apresiasi di lingkungan remaja atau siswa maupun universitas yang membuat mereka bisa begitu paham dan tahu membedakan antara yang sastra dan nonsastra.

Ketika meledaknya novel-novel "pop" karya Marga T, La Rose, Yudistira, Eddy D Iskandar, dan sejumlah pengarang lain pada 1970-an, banyak pihak bergembira dengan minat para remaja yang begitu getol dan melahap semua jenis terbitan novel "pop" itu. Dalam bayangan saya, bukan tidak mungkin di antara puluhan ribu remaja kita, peminat novel "pop" itu akan menggeser minat mereka, ketika mereka lebih matang memandang kehidupan.

Ketika itulah sejumlah cacian disemburkan kepada kalangan penulis "pop" yang dianggap "meracuni" remaja kita dengan bahan yang tidak berguna, busa sabun kehidupan, dan menghilangkan kesadaran sejarah sosial. Bertahun-tahun perdebatan ini tak pernah memberikan sesuatu dalam produktivitasnya yang tinggi, kecuali sejumlah tambahan "cacian", yang terus mengira bahwa "pop" adalah biang keladi dari erosinya apresiasi sastra di kalangan remaja atau pelajar kita.

Berhimpitan

Dugaan saya juga mungkin meleset, lantaran apa yang saya pikirkan tidak cukup realistis dalam memandang gejolak sosial yang tumbuh. Himpitan sosial-ekonomi dan politik membuat orang tidak lagi cukup mampu untuk menelan apa yang disajikan oleh
kalangan sastra yang punya "beban" untuk senantiasa "mengkhotbahi" pembacanya. Sementara itu, bacaan yang cukup bermutu hanya boleh dihitung dengan jari yang kita miliki.

Jika Prancis, Inggris, sejumlah negara maju lainnya yang selalu disebut "biang" dari negara sastra bisa menciptakan suatu kondisi di mana sastra "berbicara" kepada
masyarakatnya, ternyata masalahnya bukan hanya terletak pada dunia pendidikan, adanya perpustakaan yang canggih, pengajar yang paham, namun lebih dari itu. Perkembangan jagad sastra berhimpitan dengan dunia elektronika yang berkembang pesat. Dunia seluloid, film, sampai teve adalah bagian yang tak terhindarkan dari dunia sastra.

Kita bisa melacak, bagaimana novel atau cerpen menjadi sebuah film di teve atau pada layar lebar, sementara radio dengan kecanggihan yang bukan main menyajikan play yang bisa orang dengan tekun mendengarkan sambil mencuci piring, atau pakaian serta
menyiapkan makan malam.

Ketika teve menjadi bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan masyarakat di negara-negara technetronic, bacaan yang semula diduga akan lenyap dari peredaran, ternyata justru makin tumbuh dan pasarnya melesat jauh, seiring dengan makin merembesnya hiburan elektronik ke dalam ruang-ruang pribadi.

Mengambil contoh beberapa buku kanak-kanak dalam bentuk kartun (cartoon) yang populer di negara post-industri, yang tampaknya berkaitan bukan hanya dengan hiburan, tapi juga pendidikan, dan menciptakan sejarah sosial lingkungannya, sangat berkaitan erat antara media cetakan dan elektronik. Buku yang populer akan selalu dijadikan bahan sajian untuk media elektronik, teve, film atau siaran dalam bentuk yang lain. Dan tampaknya, pembaca yang semula mengetahui buku akan mencoba mengkonfirmasi dengan sajian elektronik, dan sebaliknya.

Persoalan yang kita hadapi, tampaknya dunia sastra masih saja berkutat dengan dunianya sendiri, sementara itu sajian media elektronik tidak cukup canggih apresiasinya dalam memandang dunia sastra untuk sebuah sajian, kecuali mungkin beberapa sinetron yang mencoba mengangkat novel kita ke televisi. Soalnya, salah
satunya, pengelola di balik media elektronik, teve, film, selalu memandang pertimbangan "ekonomis" dan mungkin tidak berkeinginan untuk berpikir lebih jauh.

Misalnya, membeli film yang sudah siap putar siar, adalah langkah yang paling gampang, dan tidak mengandung risiko ekonomis, walaupun konsekuensi kultural yang terjadi akan berakibat mendalam--munculnya "heroisme" model Amerika, misalnya. Sastra di dunia sekolahan kita, agaknya, sebaiknya dihapuskan, dan tidak lagi menjadi beban para siswa. Sebab, masalah utama dunia pendidikan kita yang sesungguhnya bukanlah menjadikan orang paham atau sedikit tahu tentang sastra, tapi bagaimana dia bisa hidup dengan layak.

Kiranya, sejarah sosial menunjukkan, tidak pernah menjadikan orang bisa hidup dan paham kepada sastra. Usaha yang paling baik untuk menggantikan pengajaran sastra adalah dengan cara memberikan pengajaran kesadaran kepada hak setiap orang, kesadaran
kepada human right, kesadaran kepada berdemokrasi. Jenis pendidikan seperti ini yang paling berguna, ketimbang pengajaran sastra yang hanya "buang-buang waktu".

Jenis pendidikan human right, hak bernegara, hak untuk berdemokrasi, tidak membutuhkan bahan bacaan yang sulit. Setiap hari bisa dikaji lewat koran, radio, teve, dan bahkan kasus-kasus konkret di lingkungan para siswa maupun remaja. Inilah soal yang paling mendesak dari dunia pendidikan kita, ketimbang terus kita merintihi jagad sastra dalam kaitannya dengan sekolah. Jika siswa menginginkan sastra, bisa didapatnya dari koran atau majalah, berdialog langsung dengan sastrawan, bukan dari sekolahan. Dan belajar dari media massa barangkali pilihan yang lebih menarik dan
murah.

Tidak ada komentar: