Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

25 Januari 2008

Sastra yang 'Bisu'

Oleh: A. Rizky

Apa yang menarik dibicarakan oleh para sastrawan selain perihal sastra dan sekelumit problema serta rasa yang terselip di dalamnya? Ya, sastra memang telah menjadi sebentuk urat nadi bagi pencipta sekaligus penikmatnya sehingga mereka tak bisa lepas dari sastra itu sendiri semudah menanggalkan pakaian. Sastra begitu luas untuk dipersempit--memang tak harus dipersempit, karena sastra selalu mengalami perkembangan sesuai zaman yang didudukinya.

Karya-karya sastra itu sendiri pun telah menjadi semacam manifesto yang telah sudi menjadi saksi perkembangan peradaban yang dimulai dari era pramodern hingga posmodern. Bahkan sastra telah menorehkan tintanya pada manuskrip-manuskrip yang bisa dinikmati oleh lintas generasi dan menyajikannya dalam berbagai forum diskusi. Namun apakah segala achievment sastra itu telah mencapai sebuah titik pencapaian yang dimimpikan para pekerja sastra itu sendiri?

Dalam berbagai diskusi, diputuskan bahwa sastra telah begitu berjasa dalam pembentukan jati diri anak bangsa. Terbukti dengan banyaknya penghargaan yang berdatangan dari berbagai macam award dunia untuk sastrawan Indonesia. SEA Write Award dan Dinny O'Hearn Prize for Literary misalnya, yang setidaknya memberi predikat kepada sastrawan dalam negeri yang berkekuatan magis untuk tetap mempertahankan idealisme dalam bersastra. Namun masalahnya, apakah kesemua itu bisa menambah lahan orang-orang yang non sastra agar bisa menikmati atau bahkan mengkaji karya sastra itu sendiri? Inilah agaknya sebuah 'PR' bagi para kuli sastra dalam menyempurnakan pencapaian yang mungkin dimimpikan oleh semua sastrawan itu sendiri. Memang ini bukanlah hal yang mudah, karena sastra sering dianggap sebagai disiplin yang cukup banyak memakan energi intelektual. Sebuah alasan mengapa banyak orang engggan mengkajinya yang menyebabkan hasil kristalisasi keringat para sastrawan itu hanya dinikmati para sastrawannya dan orang-orang yang berada dalam lingkaran sastra itu saja seperti mahasiswa sastra, pers, dan guru-guru sastra.

Fenomena ini awalnya hanya perasaan tak beralasan penulis saja, namun setelah melewati berbagai macam seminar dan pagelaran, ternyata karya sastra memang hanya dinikmati 'wajah-wajah lama' saja. Tentu ada hal yang membuat karya sastra itu berkesan seperti barang mewah yang hanya digeluti kalangan tertentu saja. Seolah-olah sastralah yang mengeksklusifkan diri di balik budaya masyarakat yang mabuk dalam realitas virtual, gaya hidup, konsumerisme, strukturalisme, cyberspace, globalisasi dan sekelumit 'penyakit' yang mencuat akibat pluralisme habis-habisan.

Akhirnya ini menjadi penting. Karena seyogyanyalah sastra mulai menampakkan taring dan melebarkan sayapnya agar sastra tidak hanya dibicarakan oleh para sastrawan itu sendiri. Sudah saatnya sastra membangun space baru di tengah masyarakat di luar dari seminar-seminar dan pagelaran-pagelaran yang dihadiri oleh wajah itu-itu saja yang tetap tidak membawa perubahan kepada masyarakat luas setelah mereka keluar dari gedung seminar atau pertunjukan kecuali untuk pengayaan diri yang bersangkutan saja. Bukan bertujuan untuk menjadikan setiap individu sebagai sastrawan atau seniman, tetapi lebih kepada penyampaian makna spiritual ketimbang ritual belaka.

Ada hal yang menarik dewasa ini, yaitu menjamurnya situs-situs bertema sastra di dunia maya. Sastra ikut berperan dalam merayakan pesta blog yang ada di internet. Ini menyiratkan perkembangan yang cukup otentik dalam penyebaran spiritualitas sastra, namun tetap saja situs ini hanya di akses oleh kalangan tertentu yang mengerti akan sastra saja. Dimanakah orang-orang non sastra? Jika begini tentu bisa dipastikan bahwa sastra telah mengalami stagnansi di dalam bidangnya sendiri. Lalu cara apalagi agar sastra bisa diterima dengan mudah oleh setiap kalangan masyarakat dengan tanpa menghilangkan sisi eksklusifitasnya? Sastra lisan agaknya bisa dijadikan pilihan jawabannya.

Sastra lisan sebenarnya bukanlah hal yang update untuk dibicarakan, karena jauh sebelum karya sastra merebak dalam bentuk tulisan yang dimulai dari angkatan Balai Pustaka hingga kontemporer yang kini menjamur di toko-toko buku, pementasan berupa teater atau pembacaan puisi dan perfilman, sastra lisan telah mengambil tempat tersendiri di kalangan masyarakat yang disebarkan dari mulut ke mulut seperti Kaba di Minangkabau.

Sastra lisan lebih mudah dicerna oleh masyarakat dan sering menjadi menu utama di radio-radio yang berbentuk pembacaan puisi, cerita dongeng atau naskah drama. Namun hal tersebut menjadi jarang ditemui lagi kecuali oleh kalangan pencinta sastra itu sendiri. Sebenarnya sastra lisan bisa berbentuk pembacaan puisi, pementasan drama, seminar sastra, dan obrolan-obrolan ringan atau berat menyangkut sastra itu sendiri. Tapi kendalanya yaitu sastra lisan tak mampu mempertahankan eksistensinya sehingga harus dirubah menjadi sastra tulisan agar tidak hilang dimakan zaman.

Namun seiring dengan perkembangan zaman yang kini kaya teknologi, agaknya sastra lisan bisa kembali dibangkitkan dengan menciptakan media audio dalam rangka pemekaran lahan sastra yang mungkin mengalami stagnansi ini.

Sebagai contoh, mungkin para sastrawan perlu membuat sebuah rekaman yang berbentuk musikalisasi puisi yang diformat ke dalam kaset atau CD kemudian diedarkan di toko-toko kaset yang mungkin bisa jadi alternatif bagi para penikmat musik yang tentu saja mencari 'gaya baru' dalam pengayaan diri mereka sekaligus menyeimbangi gaya hidup masyarakat yang serba digital.

Langkah ini agaknya belum pernah dijamah para pekerja sastra (katakan saya salah) dari dulu hingga saat ini. Yang ada hanya karya sastra berbetuk tulisan di koran, majalah, dan buku yang memunculkan anggapan keliru bahwa sastra itu bisu yang hanya bicara lewat tulisan saja.

Sastra memang telah menjadi pemeran aktif dalam mencatat sejarah yang menyempurnakan peradaban umat manusia. Namun adakah pilihan lain untuk mencatatkan sejarah itu?

(Esai Sastra ini dimuat di Harian Independen Singgalang edisi Minggu 20 Januari 2008)

Tidak ada komentar: