Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

19 Januari 2008

Menatap Perfilman Indonesia 2008

Penulis: Brahmanto Anindito

..orang-orang di negara maju berani berjalan kemana-mana dan bekerja hingga larut malam, orang kita? Melangkahkan kaki sedikit sudah ketakutan, jangan-jangan di situ muncul sundel bolong, genderuwo, pocong, hantu jeruk purut, kuntilanak, siluman babi, leak, suster ngesot, Nyi Loro Kidul, si manis jembatan Ancol ... alamak! Banyak sekali sosok yang wajib ditakuti warga Indonesia!

TAHUN 2007 sudah habis. Di tahun itu, industri perfilman kita telah sukses merilis 49-an film bioskop. Tiga besar sementara adalah Nagabonar Jadi Dua (film komedi dengan 1,3 juta penonton), Get Married (film Komedi dengan 1,2 juta penonton), dan Terowongan Casablanca (film Horor dengan 1,1 juta penonton).

Saya tulis sementara karena ada film yang berpeluang menyodok ke posisi tiga besar itu, seperti Quickie Express (komedi) dan film horor (komedi). Cuma lantaran rilis mereka baru November 2007, belum bisalah kita membandingkannya dengan film-film lain yang telah mencapai ujung lifecycle-nya pada tahun yang sama.
Apa saja genre ke-49 film tersebut? Tak banyak berubah, tetap didominasi oleh horor, dan disusul percintaan. Sebenarnya, film drama diproduksi lebih banyak. Namun kalau genre yang memang terlampau luas itu dipecah-pecah menjadi subgenre seperti drama percintaan, drama komedi, maka hororlah yang nomor satu.
Republik Mistik

Sekitar 20 film atau 41 persen dari total film 2007 bernuansakan horor semua. Tampaknya, industri perfilman Indonesia masih menganggap genre ini sebagai jimat bagi kelarisan film. Memang, dalam tahun-tahun belakangan ‘jimat’ tersebut terbukti keampuhannya. Apalagi ada bonus tambahan membuat film horor jatuhnya lebih murah dibanding genre drama. Salah satu sebabnya, film horor tidak membutuhkan bintang top, cukup pendatang baru.
Bandingkan saja dua film dari sutradara yang sama (Hanung Bramantyo) ini. Bujet Get Married adalah sekitar 4,5 milyar, sementara Legenda Sundel Bolong hanya perlu dana di kisaran 2,5 milyar. Itupun sudah tergolong besar. Kadang-kadang bujet sebuah film horor bisa ditekan di bawah angka 2 milyar rupiah. Tapi tetap laris bak kacang goreng! Soal ini sangat bisa jadi dipengaruhi oleh karakteristik penonton Indonesia.

Diakui atau tidak, film-film bergenre horor tumbuh subur lantaran penonton begitu menikmatinya. Kita ini senang sekali ditakut-takuti. Tidak ada yang salah dengan fakta itu. Seseorang menonton film laga supaya dibuat tercengang dan ikut ngos-ngosan. Menonton film komedi agar dibuat tertawa ngakak. Menonton film horor, apa lagi tujuannya kalau bukan supaya dibuat ketakutan? Sepintas tidak ada yang salah, memang.

Tapi apapun kalau berlebihan pasti ada efek sampingnya. Tidak usah membicarakan anak kecil (karena perkembangan jiwa anak yang terbiasa ditakut-takuti dan anak yang dibiarkan tumbuh tanpa dicekoki tahayul jelas-jelas beda). Sementara orang-orang di negara maju berani berjalan kemana-mana dan bekerja hingga larut malam, orang kita? Melangkahkan kaki sedikit sudah ketakutan, jangan-jangan di situ muncul sundel bolong, genderuwo, pocong, hantu jeruk purut, kuntilanak, siluman babi, leak, suster ngesot, Nyi Loro Kidul, si manis jembatan Ancol ... alamak! Banyak sekali sosok yang wajib ditakuti warga Indonesia!

Masyarakat kita mau-maunya membuang waktu untuk mempelajari dunia yang seharusnya bukan urusan manusia itu. Coba, mengapa dukun togel masih juga laris? Mengapa orang percaya pada kartu tarot? Sebagian anak muda yang seharusnya merupakan generasi berpola pikir modern pun bergantung pada zodiak dalam menjalani hidupnya (kalau tidak, mengapa rubrik ‘ramalan bintang’ di media-media remaja/kosmopolitan masih ditunggu-tunggu juga?).

Orang bilang, masyarakat kita spiritualis (baca: terlalu banyak ‘percaya’. Jadi bagaimana mungkin perfilman Indonesia bisa lepas dari genre-genre klenik? Mustahil! Bagi yang tidak suka dengan genre ini, siap-siap saja kecewa. Karena horor, mistik, klenik dan kawan-kawannya masih akan terus diproduksi di tahun 2008.

Meskipun demikian, ternyata keadaan belum sepesimis itu. Harsiwi Achmad, Direktur Program televisi swasta, pernah mengatakan kalau stasiun televisinya berkomitmen menghindari film yang mengangkat kisah-kisah mistik atau kehidupan gelap. Misalnya pocong-pocongan, hantu-hantuan, atau setan yang mengeksplorasi kejahatan dan kegelapan.

Komitmen yang patut diacungi jempol. Entah bagaimana stasiun TV lainnya. Yang jelas, di tahun 2006 saja KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) menerima 199 pengaduan masyarakat tentang tayangan mistik. Itu belum termasuk film-film bioskop yang kita bicarakan di awal-awal tadi.

Pasar Bicara Lain

Sekali lagi keadaan belumlah sepesimis itu. Kalau kita meneropong kembali tahun 2007, kita akan melihat bahwa ternyata sebuah pergeseran tren sedang terjadi. Posisi film terlaris tahun 2007 dan runner up-nya justru dipegang film non horor, atau tepatnya film komedi. Setelah itu baru judul-judul semacam Terowongan Casablanca (horor), Suster N (horor), Malam Jumat Kliwon (horor lagi), Pocong 3 (lagi-lagi horor), Kuntilanak (idem), Bukan Bintang Biasa (baru drama percintaan), dan Lawang Sewu (horor).

Hegemoni horor masih terasa, namun dia bukan lagi yang terlaris. Masyarakat mulai jenuh. Yang berjaya di festival-festival film pun genre komedi, dalam hal ini diwakili Get Married, Nagabonar Jadi 2, Mengejar Mas-Mas, dan Maaf, Saya Menghamili Istri Anda. Tengok saja, Nagabonar Jadi 2 memperoleh penghargaan film terpilih, film terlaris. Penulis naskah terpilih dan pemeran pembantu pria terpilih pada Festival Film Jakarta. Film besutan Deddy Mizwar itu juga merajalela di Festival Film Indonesia 2007.

Syukurlah, ternyata mencari sesuap nasi tak perlu dengan terus-terusan mengeksploitasi tahayul dan tuyul. Komedi pun bisa keren. Merespon pergantian hembusan tren ini, beberapa film komedi bahkan sudah diproduksi pada tahun 2007 lalu untuk dirilis tahun ini. Salah satunya ‘Otomatis Romantis’ yang dibintangi Tukul Arwana.

Lantas, apakah genre ini yang akan menjadi primadona di tahun 2008? Entahlah. Satu yang pasti, film-film komedi yang disebut di sini bukan komedi-komedi slapstik dan klise seperti yang masih banyak dipertahankan stasiun-stasiun TV kita. Ini adalah komedi-komedi yang dikemas secara elegan dan cerdas. Di sinilah kita patut menatap perfilman Indonesia 2008 dengan optimisme.

Tapi alangkah bagusnya kalau hadir semakin banyak variasi dalam perfilman kita. Action, thriller, petualangan, musikal, bahkan animasi. Bagaimana, Bapak atau Ibu Produser? (*)

(* Penulis Adalah Peneliti film-komik-sastra di komunitas Warung Fiksi)
Diambil dari millis Koran-Sastra

Tidak ada komentar: