Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

21 Januari 2008

Melihat Indonesia dengan Hati

Oleh: Sayyid Madany Syani

Kegentingan moral seperti yang ditakuti oleh Taufik Ismail membuat bangsa ini terkurung oleh sosok hantu yang bersiap meluluh-lantakkan negara ini. Paradigma fakta sosial yang diungkapkan oleh Durkheim (Pelly, 1994: 138) seperti norma, hukum, kultur dan lain-lainnya yang dipandang oleh anggota masyarakat sebagai sesuatu yang datang dari luar dirinya untuk diikuti terabaikan seiring derap masa yang terus melakukan pembaruan. Semuanya mengarah pada bentuk pemaknaan kebebasan yang diartikan secara dangkal sehingga kebebasan milik sendiri adalah hak yang mesti diperjuangkan, sedangkan hak orang lain bukanlah suatu kewajiban.

Jika Tan Malaka masih hidup sekarang ini, tentu ia akan kecewa dengan konsep negara dan masyarakat Murba (Musyawarah Rakyat Banyak). Dalam tiga kumpulan brosurnya yang dijadikan satu oleh Penerbit Marjin Kiri berjudul “Merdeka 100%” (2005) ditulis di Surabaya dalam gempuran sekutu, Tan Malaka dengan semangat revolusioner menekankan konsep Murba untuk melawan bentuk Imperialisme negara lain. Konsep tersebut ialah percaya dengan kekuatan dalam negeri, satu visi ekonomi yang bukan berkiblat kepada negara Imperialis tetapi berdasarkan kepentingan rakyat banyak. Tetapi, faktanya konsep tersebut tidak dipakai lagi oleh Republik Indonesia. Malah, konsep ekonomi negara ini berkiblat kepada Washington—yang merupakan dedengkot dari ekonomi Imperialis dan Kapitalis.

Sikap individualistis yang akar tunggang itu, makin mencukam ke dalam tanah. Ia mengalahkan akar-akar serabut yang walaupun banyak tetapi mudah saja dicabut. Sebagai contoh dari sikap individualitas itu dapat dilihat pada momen pergantian tahun baru. Berapa banyak event digelar, berapa banyak manusia-manusia (khusus Indonesia) yang ikut berpesta pora. Hal ini tidak luput pula dengan acara yang merangkul semangat religiusitas. Zikir bersama, melantunkan Asmaul Husna dengan berbalut pakaian muslim mahal, mukena mahal, Al-Qur’an yang baru beli di toko. Ditambah dengan hembusan angin buatan (AC) yang rencananya untuk mengkhusukkan jemaah, padahal tidak juga. Mereka memejamkan mata mungkin karena menahan pipis, atau kedinginan atau malah tidur sehingga apa yang disugestikan dari acara tersebut tak sampai ke hatinya. Belum lagi, di tempat parkir, berbagai merek kendaraan mahal menguatkan semangat prestise di antara jamaah. Ah, tentu jika diuraikan lebih jauh, masih banyak sikap individu tersebut yang menampik persoalan krusial sosial yang tengah terjadi seperti kemiskinan, pengangguran, anak-anak putus sekolah, anak-anak tak bisa sekolah yang sebenarnya adalah persoalan klasik dan sebagai bukti dari gagalnya konsep Murba yang diidamkan oleh Tan Malaka.

Melihat Indonesia dengan Sastra
Tidak bisa dipungkiri, bahwa realita sosial sekarang ini jadi lahan subur bagi para sastrawan atau penulis untuk menggarapnya. Ada yang dengan semangat murni untuk perjuangan kaum miskin, ada yang bersemangat menuliskannya hanya untuk menambah finansial pribadi, dan ada pula yang bersabar dengan konsep kebenaran yang disandarkan oleh ideologi tertentu, serta tak tertutup kemungkinan ada yang menuliskannya tidak berdasarkan semangat apapun. Tentunya yang bisa menilai secara jitu adalah para sastrawan dan penulis itu sendiri.

Saya sependapat dengan Georg Lukacs bahwa sastra merupakan cermin dari realitas kehidupan. Menurut Lukacs mencerminkan berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan “realitas” tetapi lebih dari itu memberikan kepada kita “sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik” yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah “proses yang hidup”. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif (Selden dalam Taum, 1997: 50-51).

Tampaknya menarik saja jika melihat Indonesia hari ini dari novel “Nagabonar Jadi 2” yang ditulis Akmal Nasery Basral. Lo, kenapa harus dari novelnya. Filmnya kan sudah ada? Saya mungkin adalah yang setuju dengan Hernadi Tanzil (pengelola blog Buku yang Kubaca). Tanzil mengatakan bahwa mungkin sebagian besar masyarakat menilai menonton film lebih asyik daripada membaca. Hal ini adalah sikap dari orang-orang yang malas membaca. Itu adalah realitas tersendiri yang membentuk pribadi bangsa ini.

Apa Kata Dunia!
Setting yang diambil oleh novel ini tentu bukan lagi masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan seperti pada film Nagabonar yang ditayangkan tahun 1987 itu. Akmal menampilkan Indonesia modern yang tidak lagi berupa hutan-hutan lebat tetapi tergantikan oleh hutan-hutan beton yang banyak ditanam orang. Dari sini saja sudah menyiratkan sebuah kritik sosial walaupun kita mengira hal itu lumrah saja.

Ide utama dari novel ini yaitu tentang rencana Bonaga anak dari Nagabonar yang akan membuat suatu resort—tempat peristirahatan di atas ladang sawit bapaknya. Tentu Nagabonar mulanya tidak mengizinkan sebab di sana terdapat kuburan Emak, Kirana (istri tercinta) dan Bujang (sahabatnya yang bengak). Alhasil, Nagabonar pun pergi dari ruang rapat kantor anaknya. Dari sini, dimulailah petualangan Naga di rimba beton Jakarta. Bertemu beberapa sopir Bajaj, khususnya Umar yang setia menemani Nagabonar kemana pun dia pinta. Juga bertemu dengan anak Umar yang setia pula menemani Naga bermain bola di lapangan sebelah rumah Bonaga. Selain itu, Naga pun bertemu dengan musuhnya dahulu—Maryam yang sekarang telah berubah nasibnya menjadi seorang asisten Menteri.

Beberapa adegan dari novel ini terasa menyentuh bahkan mempunyai makna yang luas dan dalam. Seperti ketika Naga melihat contoh maket proyek anaknya. Ia tak peduli betapa pun pentingnya bangunan-bangunan itu, yang ia tanyakan hanya letak lapangan sepakbola. Di sini Naga mulai menebarkan ideologi kepeduliaan terhadap sosial. Ia melawan arus individu dengan memperjuangkan lapangan sepakbola. Sebab, sepakbola adalah permainan juga olahraga humanis yang bisa diterima oleh kalangan apapun. Juga ketika ia mengunjungi patung Jenderal Sudirman. Saya pikir, di sinilah letak ketabahan seorang jenderal sejati. Naga dengan lantang berucap:
“Jenderaaaaal... siapa yang kau hormati siang dan malam itu? Apa karena mereka yang lalu lalang di depanmu itu memakai roda empat, Jenderal? Bah, tidak semua dari mereka pantas kau hormati Jenderal. Turunkan tanganmu! Jenderaaaallll... turunkan tanganmu! Bukan kau yang harus menghormati mereka! Tapi bangsa ini yang harus menghormatimu!” (Basral, 2007: 91).
Dan, adegan lain yang juga sarat dengan cermin pemaknaan kekinian adalah ketika Naga beserta anaknya mengunjungi sebuah diskotik dan bertemu Jaki, teman sekantor Bonaga.
Tiba-tiba kulihat Jaki di depan kerumunan orang yang sedang joget. Dia berjalan menuju kami sambil menyisir rambutnya dengan jari dan mengelap wajahnya yang tampak basah seperti bekas berair.
Sesampainya di depan kami Jaki tampak terkejut melihatku.
“Eh, ada om, ada di sini juga. Apa kabar, om?”
“Baik,” sahutku sambil memperhatikan lebih cermat wajahnya.
“dari mana lu, Jak?” Bonaga bertanya sambil terus kepalanya bergoyang.
“Sembahyang.”
“Sembahyang?” Aku benar-benar terkejut mendengar alasan yang diungkapkan Jaki. “Sempat-sempatnya kau sembahyang di sini?”
“Dunia dan akhirat itu harus seimbang, om,” katanya sambil menggoyangkan badannya mengikuti suara musik. (Basral, 2007: 170)

Adegan-adegan tersebut di atas menurut saya adalah adegan yang patut direnungkan lebih dalam. Di titik-titik tersebut merupakan sosialisasi dari novel itu yang berteriak secara mistis tentang kehidupan modern dan individualitas. Sedangkan adegan-adegan lain hanyalah penunjang dari adegan-adegan utama itu.

Mati Kau Di Makan Cacing!
Seperti yang telah disebutkan di atas, sastra adalah pencerminan dari sebuah kehidupan. Dan novel “Nagabonar Jadi 2” adalah novel yang menarasikan dengan gamblang ketidakpedulian kita (rakyat Indonesia) terhadap sosok kita yang lain (rakyat Indonesia juga).

Tentu jadi jawaban yang rumit ketika pertanyaannya adalah; pertama, pernahkah kita peduli dengan pembinaan mental generasi muda? (Di dalam novel ini dicontohkan tentang lapangan sepakbola tempat anak-anak latihan dan bermain bola.) Kedua pedulikah kita dengan sejarah bangsa? (Dicontohkan patung Jenderal Sudirman yang sedang menghormat kepada orang yang lalu lalang, tetapi tak ada yang menghormat kepadanya) Ketiga patutkah kita bersenang-senang sementara ada sosok kita yang lain justru tidak hidup dengan senang? (Kehidupan malam merupakan ajang bagi para eksekutif atau pengusaha dalam melepaskan penat.)

Tiga pertanyaan yang saya kemukakan tersebut, murni terlintas setelah membaca dan mencoba memahami novel ini. Tiga pertanyaan yang menurut saya mencoba menohok nurani manusia Indonesia hingga bermuara kepada satu pertanyaan besar lainnya yaitu “Apa yang sudah kita kerjakan demi tanah air Indonesia?”

Tentunya, jika kita peduli dan berhasil mengaplikasikan jawaban yang benar dari pertanyaan-pertanyaan tersebut maka Taufik Ismail tak akan takut dengan hantu pendangkal moral yang merasuk ke jiwa-jiwa manusia Indonesia. Kita pun takkan melihat ada yang jadi pengungsi atau pengemis di negeri sendiri.

Begitu mirisnya kondisi sosial kita, sehingga berita mantan pejabat yang sekarat saja adalah yang terpenting daripada mengorek berita tentan sudut mana lagi di negeri ini yang penduduknya tidak kenyang hari ini. Atau, di lorong mana lagi di negeri ini dimana anak-anak harus putus sekolah dan menjadi pengemis demi membantu penghidupan keluarga.

“Nagabonar Jadi 2” walaupun terkesan glamour, tetapi suasana yang diciptakan memang cerminan realitas masyarakat itu sendiri. Terlepas dari hal itu, masih ada polemik yang mempertanyakan apakah tokoh Nagabonar benar-benar ada.?

Lalu, novel ini menarasikannya dengan menjadikan seluruh kisah dilihat dari mata orang pertama. Maka Nagabonar memiliki lebih banyak kesempatan untuk melakukan monolog interior tentang hal-hal yang menjadi harapannya, kecemasannya, pandangannya terhadap cinta sang istri, kegalauannya melihat perkembangan masyarakat, impiannya memajukan generasi muda, dan juga kesempatan untuk merenungkan dirinya sendiri. Pendalaman emosi seperti ini akan memberikan konstruksi pemahaman yang lebih menyeluruh terhadap profil seorang Nagabonar selain citranya sebagai orang yang selalu bicara ceplas-ceplos.

Tidak ada komentar: