Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

29 Juni 2008

Randu

Oleh: Kusprihyanto Namma

Mula-mula aku tidak mengerti,kenapa orangorang kampung mulai gemar lagi duduk bergerombol.Di prapatan,pos ronda, lincak,buk,dan warungwarung wedang.

Sejak kedatangan Kiai Jafar, kebiasaan bergerombol seperti itu lambat laun menghilang. Mereka mulai mau mengisi langgar,tempat Kiai Jafar memberi pengajian.Mereka jadi enggan duduk bergerombol yang ujung-ujungnya membicarakan dapur orang lain. ”Itu ghibah!” terang Kiai. ”Bicara tentang yang baik-baik saja tak baik, apalagi tentang hal-hal jelek. Bisabisa jadi fitnah.

Kalau tak sanggup bicara yang bermanfaat,lebih baik diam. Itu perilaku orang-orang zuhud!” Kalau yang menyampaikan katakata itu orang pemerintahan (kepala desa, pak camat, atau bupati) tak seorang pun dari kami yang percaya.Sebab, seperti kita ketahui sendiri, para pejabat itu lain di mulut lain di hati. Bicaranya baik-baik, penuh suasana agamais.

Namun harta negara yang mestinya diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat diembat sendiri. Lain dengan Kiai Jafar, benarbenar pribadi unggul. Ia hanya bicara dalam pengajian dan saat menjawab orang-orang yang bertanya soal fikih. Selebihnya, diam. Beliau berilmu padi. Semakin berisi makin menunduk ke bumi.Tingkah lakunya pun sopan. Bisa menghargai kalangan muda dan kaum tua. Hukum-hukum lama tak begitu saja dilabrak dan dihabisinya.

Namun, dengan pelan-pelan ia masuki.Ia luruskan hakikatnya. Tapi kenapa kini orang-orang kampung sepertinya mau kembali pada kebiasaan lama: duduk bergerombol. Lalu, ada orang yang mbandari ndemndeman. Sepakat bukak kertu. Nonton ndangdut di desa sebelah.Untuk mencari jawaban, akhirnya aku juga ikut duduk bergerombol bersama mereka. Tentu saja, kadang nyuit-nyuiti gadis yang lewat.Peduli amat pada lakinya yang melotot. Kita toh di kampung sendiri.

”Randu itu jadi ditebang?” selidik Mitro. ”Aku sudah mengingatkan Mbok Jiyem,tapi ia tetap saja nekat!”jawab Kiyun. ”Waah,bilahi!”sungut si Mitro. ”Gak usah khawatir. Gak-gak kalau jadi!”Min mencoba menenangkan keadaan. ”Sudah lima kali ini randu itu katanya mau ditebang.Tapi begitu melihat betapa wingitnyarandu itu,orang yang mau menebang mundur sendiri!” ”Ya,aku juga cocok denganmu.

Tak usah terlalu cemas. Tidak akan ada orang yang berani nebang randu itu!” sela Jeprik. ”Apa kalian ndak ingat, randu Lik Karto yang ditebang lima tahun lalu? Lik Karto selaku penjual, mati mendadak. Matanya mendelik. Mukanya hitam. Lalu yang menebang juga mati kecelakaan!” Orang-orang yang hadir kembali mengingat-ingat kejadian yang telah silam. Memang apa yang dikatakan Jeprik pernah terjadi di kampungku.

Sejak itu tak seorang pun berani menebang pohon randunya. Konon setiap pohon randu dihuni gondoruwo. Bangsa jin yang miripmirip Gorilla.Tinggi besar. Rambutnya panjang, acak-acakan.Baunya seperti ketela bakar. Suka menggoda. Terlebih pada wanita-wanita yang sering ditinggal sendirian oleh suaminya. Biasanya si gondoruwo menjelma suami si wanita.

Lalu minta jatah biologis. Setelah si suami asli datang, barulah si wanita menyadari bahwa dirinya ditiduri gondoruwo. Untung kalau hubungan itu tidak berbuah.Kalau sampai berbuah, akan lahirlah anak yang setengah manusia setengah jin. Pernah aku mencari tahu, siapa si wanita itu.Tapi jawaban yang keluar, itu cerita turun-temurun yang mesti dipercaya.

Kejadiannya sudah sangat lama. Bahkan kakek-buyut saja tidak bisa menyebut secara pasti.Yang jelas kejadian itu pernah terjadi. Itulah budaya orang kampung,memercayai hal-hal yang tak pasti, terutama yang berhubungan dengan klenik. ”Berapa sih Mbok Jiyem minta bayar? Biar aku belinya sendiri. Tapi randu itu enggak usah ditebang!”kata Mukiran.

”Aku juga punya pikiran seperti itu.Tapi Mbok Jiyem tetap memaksa randu itu ditebang,walau tidak dibayar sama sekali.” ”Seharusnya ia jangan memikirkan dirinya sendiri.MbokJiyem harus memikirkan keselamatan kampung!” ”Masa cuma takut gentingnya kejatuhan buah randu,lalu pohon randunya yang ditebang.Itu kanketerlaluan!” ”Bagaimana kalau kita demo saja ke rumah MbokJiyem?”celetuk Bagong.

Kami yang sedang bergerombol terdiam seketika.Apa yang disampaikan Bagong bisa jadi merupakan jalan keluar terbaik.Ya,demo.Mbok Jiyem mesti tahu bahwa orang kampung tidak menghendaki penebangan pohon randunya.Apalagi diyakini di pohon randu Mbok Jiyem bersemayam raja gendoruwo. Penguasa para gondoruwo di pohon-pohon randu kampung kami.

Ketika orang-orang kampung masih tarik-ulur menetapkan hari pelaksanaan demo, mendadak sebuah truk besar membelah jalanan kampung kami. Debunya yang beterbangan ke angkasa menampar muka kami. Delapan orang yang kekar-kekar tubuhnya segera mempersiapkan semua peralatan untuk penebangan. Orang kampung seperti tersedot daya magnet.

Segera terkumpul di sekitar rumah Mbok Jiyem, tapi tak hendak melakukan demo.Begitu truk datang,pikiran demo lenyap begitu saja. ”Ruuuummmmm…..” gergaji mesin memekakkan telinga. Seseorang memanjat pohon membawa tali. Setelah mengikat erat-erat pohon randu, ia turun lagi. Cuma seorang saja yang bertugas memotong pangkal pohon randu, yang lain menarik tali agar pohon jatuh ke tempat yang aman.

Tak sampai 20 menit, pohon randu terbesar di kampung kami tumbang. Antara percaya dan tidak, kami mlongo.Ndomblong.Betapa mudahnya pohon wingit itu tumbang.Lalu di mana kesaktian sang gondoruwo. Begitu mudahnya ia menyerah tanpa memberikan perlawanan sama sekali. Sebenarnya kami berharap, begitu gergaji berhasil menebang pohon, si pohon randu itu kembali utuh seperti sedia kala.Digergaji lagi.

Utuh lagi.Atau kalaupun tumbang,itu hanya semenit saja. Lalu dengan penuh keajaiban,bangkit lagi dan berdiri seperti sedia kala. Tapi pohon randu itu benar-benar tumbang.Menampar muka kami.Memukul keyakinan kami.Mbok Jiyem sumringah wajahnya.Tukang-tukang gergaji itu seperti semut menemukan roti. Segera memotong-motong kayu randu sesuai permintaan pasar.

Mereka tampak bersemangat. Mungkin membayangkan uang yang bakal mereka kedukdari pohon yang cuma diberi harga Rp300.000 itu. Tepat menjelang magrib truk gergaji dan penumpangnya selesai mengerjakan tugas. Pohon randu yang telah berubah papan-papan tipis beralih ke truk lain yang akan mengantarnya ke para pemesan. Pohon randu yang perkasa itu telah lenyap dari mata kami. Diam-diam kami merasa kehilangan sesuatu.

Kehilangan sebuah keluarga yang telah bertahuntahun hidup bersama. ”Nisa step.Nisa step!”demikian berita yang dibawa orang kampung. Kami segera melesat menuju rumah Pak Amir, ayah Nisa. Benar Nisa step.Matanya mlilik-mlilik.Tangannya kejang.Mulutnya berbusa.Segera kami usung ke rumah sakit.

Belum selesai geger si Nisa, kampung kami digegerkan lagi dengan step-nya Ririn, anak Pak Subur.Anak Pak Wiwid yang baru berusia tiga tahun juga step. Kampung kami benar-benar gempar. Semua kerisauan dialamatkan ke Mbok Jiyem.Dialah biang keladi dari musibah kampung ini. Seandainya pohon randu itu tak ditebang,tak akan ada anak yang step beruntun.Padahal anak-anak itu tidak sakit.

Mereka sehat sehat saja.Tapi begitu pohon randu ditebang mereka keganggugondoruwo. Itulah kejadian malam hari ketika siang harinya pohon randu itu ditebang. Malam berikutnya,tak ada anak step lagi.Tapi si Parmin tiba-tiba saja jatuh terjerembab karena merasa dijegal oleh sosok tinggi besar. Slamet mesti lari tunggang langgang karena merasa dikejar makhluk tak dikenal dengan bendo di tangan. Priyadi bahkan secara meyakinkan melihat bayangan yang berdiri dengan mata merah dan rambut merah di tonggak pohon randu.

Orang-orang segera kasak-kusuk. Menggelar aneka cerita dan berita dari hasil rekaannya sendiri.Ada yang mengatakan umur MbokJiyem tinggal menunggu hari. Bahkan ada yang menyatakan tinggal beberapa jam. Begitu juga bagi tukang-tukang senso yang telah lancang menebang randu. Karena kekeramatan si pohon randu mereka pasti akan kenabilahi.Paling sial, mereka akan terserang penyakit aneh, atau bahkan mati dicekik.

Kami diam-diam tengah menanam harapan buruk,yakni menunggu musibah datang. Kami tak peduli, anakanak yang step sudah bisa bermainmain seperti biasanya. Kami juga tak peduli lagi cerita tonggak pohon randu yang semakin nganeh-nganehi. Kami benar-benar menunggu apa yang akan terjadi dengan Mbok Jiyem. Sepekan berlalu. Sebulan. Dua bulan. Tapi Mbok Jiyem tak juga kena bendu.Malah makin aktif mendatangi pengajian Kiai Jafar.

Ia juga berhasil mengajak ibu-ibu yang lain. Dengan tumbangnya pohon randu, langgar, makin hari makin ramai jamaahnya. Para bapak pun kembali mengisi saf salat jamaah. Mereka kembali mendengarkan pengajian Kiai Jafar. ”Apakah Kiai percaya adanya bangsa jin?” tanya Slamet yang tak bisa lagi menahan kepenasarannya. ”Tentu saja percaya. Bukankah jin itu termasuk makhluk ciptaan Allah?”

”Kiai percaya pohon randu Mbok Jiyem yang ditebang beberapa waktu yang lalu dihuni gondoruwo?” ”Tidak!”jawab Kiai Jafar tegas. ”Dan untuk membuktikan bahwa pohon randu itu tidak ada gondoruwonya, saya meminta Ibu Jiyem untuk menebang pohon randunya!” Mendengar pengakuan Kiai Jafar kami benar-benar kaget. Sama sekali tak menduga bahwa kengototan Mbok Jiyem ternyata atas kehendak Kiai.

”Saya menilai pohon randu itu mengganggu keimanan Bapak-Ibu sekalian. Dengan penebangan itu, saya berharap keimanan Bapak-Ibu tak lagi bercabang!” ”Nah, karena sudah terbukti tak ada peristiwa apa-apa setelah penebangan pohon randu, saya akan memberikan satu lagi tambahan pelajaran tentang iman!”lanjut Kiai Jafar. ”Besok,Ahad, kita bersihkan sendang.

Berhala-berhala yang ada di sana kita singkirkan. Dahan-dahan beringin yang sudah lapuk kita potong sekalian agar tidak membahayakan …… !” Kelanjutan ajakan Kiai Jafar tak bisa kami dengar lagi. Suaranya mendengking di telinga kanan.Adapun di telinga kiri, suara kaki dhanyang nini dhanyang melengking-lengking. Membuat kami pening. Membuat kami pening.(*)

KUSPRIHYANTO NAMMA,
Kelahiran Ngawi, 30 Oktober 1965, Alumni FKIPUniv. Sebelas Maret Surakarta, Guru Bahasa Indonesia MAN Ngawi, Pendiri Kelompok Peron FKIP-UNS Surakarta, Kini menetap di komunitas Teater Magnit Ngawi

(DIMUAT DI SEPUTAR INDONESIA, 28 JUNI 2008)

Sutardji Memberikan Contoh

Oleh: Rikobidik

Menempatkan puisi sebagai status ontologis bahasa nampaknya sebuah eksplorasi mengenai hakikat bahasa yang cukup menjanjikan. Meski ciri-ciri puisi di sini janganlah seperti yang kita kenal yang konon melekat di semua tata permainan bahasa membuat bahasa gaul otomatis termasuk di dalamnya.

Kenapa tidak dikatakan saja bahwa bahasa gaul sebagai status ontologis bahasa? Memberikan nama memang terkadang merepotkan. Berbekal sisa ingatan materi kuliah filsafat bahasa (khususnya filsafat analitis—R), tulisan ini akan mencoba menganalisis konsep status ontologis bahasa sebagai puisi yang sepertinya sangat diperjuangkan A Boy-Mahromi.

Ketidakteraturan, permainan, dan bahasa sebagai mantra

Kata ”ketidakteraturan” yang menjadi salah satu ciri dari puisi barangkali digunakan A Boy-Mahromi dalam konteks arti kata sebagai ”kegunaan”. Kalau memang demikian, saya akan memahami kata ”ketidakteraturan” sebagai ketidaksamaan keadaan, kegiatan, atau proses yang terjadi beberapa kali.

Barangkali benar apa yang dikatakan A Boy-Mahromi bahwa bahasa dalam kehidupan berlaku sebagai ”ketidakteraturan”.Sebab, kehidupan yang menyangkut pemahaman terhadap manusia sulit sekali dimengerti dengan pola verifikasi positivistik. Kata ”permainan” yang menjadi salah satu ciri dari puisi sebagai ontologis bahasa barangkali digunakan A Boy-Mahromi dalam konteks arti kata sebagai ”kegunaan”.

Jika memang demikian, saya akan memahami kata ”permainan” sebagaimana pemahaman penafsiran saya menurut Wittgenstein II. Permainan bahasa yang dimaksudkan Wittgenstein II (1983) adalah setiap penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia memiliki aturannya masing-masing. Meskipun aturan itu sulit ditentukan secara normatif dan sulit ditentukan batasbatasnya secara tepat, manusia memahami bagaimana menggunakan bahasa di setiap aspek kehidupan yang sangat beraneka ragam.

Mayoritas ahli bahasa di Pusat Bahasa kerap kali mengabaikan aspek ini,terutama dengan menerapkan istilah baku dan tidak baku yang menurut saya bertendensi melecehkan. Namun, penafsiran Yunit dan A Boy-Marhomi terhadap kata ”permainan” ternyata berbeda dengan tafsiran saya di atas.Dengan penafsiran yang saling berbeda seperti inilah barangkali Yunit menyandingkan kata ”hanyalah”pada ungkapan ”hanyalah permainan” pada artikelnya yang terbit di harian SINDO (11/ 05/08).

Dilekatkannya kata ”hanyalah” itu menyebabkan saya menafsirkan ”permainan”-nya Yunit kepada pengertian perbuatan yang dilakukan dengan tidak sungguhsungguh.

Status ontologis bahasa adalah penggunaannya

Dengan meniru sifat curiga Wittgenstein seraya mengambil keuntungan dari pernyataan Derrida,saya mengajak para pembaca untuk curiga, jangan-jangan pemahaman Yunit dan A Boy-Mahromi atas Heidegger mengenai kebenaran hakikat bahasa sesungguhnya terdapat dalam puisi pun bisa jadi mengalami ”perbedaan” dan ”penundaan”.

Mengingat pemahaman A Boy-Mahromi mengenai Wittgenstein, Heidegger, dan Sutardji pun tersampaikan melalui bahasa yang hanya bisa ditafsir tanpa harus terbirit-birit untuk memutlakkan diri paling tahu bukan? Saya mengajak para pembaca untuk kembali kepada yang diungkapkan Sutardji, yaitu ”kata-kata harus dibebaskan dari kungkungan pengertian, kembalikan kepada fungsi kata seperti dalam mantra”.

Dalam ungkapan Sutardji tersebut, saya akan mendekatinya sebagai berikut.Misalnya, kata-kata harus dibebaskan dari kungkungan pengertian. Sutardji tentu tidak bermaksud seadanya dengan ungkapan tersebut. Ungkapan tersebut sebaiknya ditafsirkan secara memadai, yaitu bahwa kata-kata yang beredar dalam kehidupan kita yang berwujud maksud (pengertian) harus ditafsirkan kegunaannya (dibebaskan dari kungkungan) terlebih dahulu.

Secara sederhana, dapat saya simpulkan bahwa Sutardji bermaksud supaya kita mampu menyibak maksud atau menafsirkan (dibebaskan dari kungkungan pengertian) suatu ungkapan bahasa. Tafsiran ini ditopang dari pengertian arti kata sebagai ”maksud” seperti yang diungkapkan Wittgenstein II (1983) bahwa ”maksud” adalah sesuatu yang seluruhnya tetap ada dalam bahasa dan bukan sesuatu yang dianggap terpisah dari bahasa.

Saya tambahkan lagi, jika arti yang dikandungnya sebagai maksud, penggunaannya tidak menggambarkan katakata dan arti itu sendiri. Sementara untuk memahami arti kata sebagai kegunaan, dilakukan dengan cara menerangkannya. Mudahnya, jika seseorang ingin memahami penggunaan kata ”mantra”, 0harus dicari penjelasan dari arti kata tersebut.

Sebab,arti sesuatu dari satu kasus menunjukkan pada pengertian arti kata dalam penggunaannya. Kata ”mantra”yang digunakan Sutardji dapat diurai menjadi perkataan yang memiliki kekuatan gaib. Kata ”gaib” berarti tidak kelihatan, tersembunyi, tidak nyata.Berhubung Sutardji berbicara dalam konteks kata (bahasa) dalam puisi seperti yang dinyatakan Yunit, dirinya bermaksud supaya kita jangan terlalu sibuk mengurusi bahasa dari sistem tanda dan struktur fisis seperti yang dilakukan kaum linguistik struktural.

Dengan memberikan contoh fungsi kata seperti dalam mantra, saya menafsirkan, dia berkehendak untuk menunjukkan bahwa walaupun dalam mantra tidak ditemui penggunaan aturan gramatikal yang ketat seperti yang diyakini kaum linguistik struktural, kata-kata itu tetap berfungsi, yaitu memiliki kekuatan yang tersembunyi dalam kata.

Yaitu,makna! Jika ditambah dengan tafsiran pada tidak ditemuinya aturan gramatikal yang ketat pada ”mantra”, dapatlah saya tafsirkan aturan gramatikal bahasa sebaiknya disesuaikan dengan penggunaannya. Artinya, ungkapan Sutardji ”kembalikan kepada fungsi kata seperti dalam mantra” adalah ikhtiarnya dalam memberikan contoh, meski secara tidak langsung,mengenai aspek ontologis bahasa yang berujung kepada penggunaannya.

Sebab, seperti kita ketahui, pada masa itu sulit sekali berbicara terangterangan menolak dominasi kaum linguistik struktural yang mayoritas berbasis di Pusat Bahasa. Status ontologis bahasa,menurut Wittgenstein II—yang kemudian secara tidak langsung dicontohkan Sutardji, adalah penggunaannya.Aspek ontologis bahasa ini secara tidak langsung berkorelasi dengan semangat nilai-nilai pluralitas yang mendobrak tatanan universalitas.(*)

Rikobidik,
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Nasional, Jakarta.

(DIMUAT DI SEPUTAR INDONESIA, 28 JUNI 2008)

22 Juni 2008

Marapulai

Oleh: Delvi Yandra

Malam ini adalah malam terberat sepanjang hidupku.Pikiranku terus melambung.Aku hanya terus duduk merenung di sudut kamar. Di atas lapik kubentangkan kitab suci tanpa membaca suratsurat di dalamnya.

Sesungguhnya,besok aku akan menjadi marapulai. Bukan pekerjaan yang kupersoalkan atau masalah setoran yang cukup membuat repot tapi ini adalah persoalan anjuran agama. Besok aku akan melaksanakan akad nikah. Gadis pinangan yang dipilih abakbukanlah perempuan yang kucintai. Sebenarnya aku belum berniat mencari pendamping hidup dengan alasan bahwa aku masih ingin menikmati kesendirian dengan pekerjaanku. Jadi, tak perlu kiranya kusebutkan bagaimana sebenarnya perempuan itu.

Yang jelas, ia bukan perempuan yang dapatmembuatakujatuhhatipadanya. Tidak ada pesona yang menarik. Sebenarnya, apa yang kulakukan adalah atas permintaan abak. Ia bersikeras menentukan pilihan untukku dengan pertimbangan bahwa sebelum meninggal ia ingin mengalami bagaimana rasanya menimang seorang cucu. Aku tidak habis pikir dengan permintaan abak tersebut.

Sementara emak, hanya mengamini kata-kata abak.Ia tak dapat menentang apa yang digariskan kepada perempuan-perempuan Minang sejak dahulu. Di dalam rumah maupun di dalam keseharian emak hanya dianggap abak sebagai istri yang kerjanya mengurusi dapur, sumur dan kasur. Tapi, inilah yang menjadi persoalan berat bagiku sebab pernikahan bukanlah suatu taruhan tetapi perbuatan adat yang sakral.Apa yang kupikirkan akan selalu bertentangan dengan keinginan abak.

Memang,apapun yang orang-orang lakukan mengenai pernikahan yang sakral dikarenakan atas dasar harga diri dan diawali dengan niat yang baik. Ah, setidak-tidaknya masih ada orang yang berani melakukannya demi suatu prestise.Seperti halnya paniboyang diberikan pihak keluargaku kepada perempuan itu tiga minggu yang lalu. Seperangkat selimut tebal dan pakaian.

Sebaliknya,tidak ada uang jemputan. Kemudian, beberapa hari setelah itu, ia menerimanya.Percobaan abak berhasil dengan sangat sukses. ”Oi marapulai, tidak lama lagi kau akan basandiang. Sudah lurus ucapan kau?”seloroh abakdi ruang makan. Lalu kujawab pertanyaan abak itu dengan seulas senyum dan anggukan kecil. Entah bagaimana caranya aku menjelaskan kepada abak kalau aku tidak ingin menikahi perempuan itu.

Aku hanya khawatir penyakit jantung abak akan kambuh lagi jika kukatakan yang sebenarnya. Hal itulah yang sangat tidak kuinginkan. Sebentar kemudian, kubaca satu ayat saja. Mudah-mudahan nantinya akan terang jalan pikiranku. Napas panjang kuhirup lalu mulailah kubaca lafaz-lafaz yang cukup populer.Betapa kurasakan hati yang begitu tenang dan dada yang tiba-tiba menjadi lapang.

Aku menghargai niat baik abak. Tapi, tidak ada salahnya apabila aku menentukan pilihanku sendiri. Sekarang kan bukan zaman Siti Nurbaya lagi.Lagi pula,aku ini seorang laki-laki sejati dan laki-laki berdarah Minang seperti aku selayaknya sudah merantau ke negeri orang mencari kerja yang lebih mapan dan perempuan pilihan untuk dinikahi. Jadi, aku berhak menentukan perempuan yang akan kujadikan teman bersanding sampai mati. Aku tidak ingin perempuan yang dipilih abaknantinya akan celaka.

*** Orang-orang berbondong menuju masjid.Menuju tempat dilaksanakannya akad nikah.Anak-anak di kampung pun ikut meramaikan. Mereka bersorak- sorai sambil mengikuti arakan dari belakang.Beberapa bungkus penganan dan beras dihantarkan dalam perhelatan tersebut. Wah, suasana yang gegap gempita pun memenuhi ruang masjid.

Bisik-bisik keras terus bersahutan dan menyayat daging telingaku. Aku yakin mereka sedang membicara kan aku dan perempuan ini. Sebentar kemudian suasana menjadi hening.Penghulu mengambil posisi duduk di hadapan kami. Mata orang-orang tertuju padaku dan perempuan yang duduk di sampingku. Kami tak mampu bertatapan. Entah apa yang membuat aku tiba-tiba menjadi gugup.Menjadi tak keruan.

”Ah,jangan! Jangan sampai ini terjadi. Aku tak berniat untuk jatuh hati padanya jadi aku tak boleh gugup,” kataku dalam hati.Pelan-pelan kuberanikan diri untuk meliriknya dengan sudut mata kananku. Ku beranikan pula wajahku menatap wajahnya dengan sedikit kebencian.Tanpa sengaja kutemukan matanya yang begitu tulus, kepalanya menunduk seperti penuh tanda tanya.

Satu hal lagi yang membuat jantungku terasa ingin lepas adalah ketika kuperhatikan wajahnya yang molek dan bersih.Hari ini perempuan itu benar-benar kelihatan cantik. Pantas jika ia disebut anak daro. Ah, aku tidak ingin jadi duri dalam daging. Aneh.Aku merasa bahwa diriku baru saja bersikap seperti seorang anak kecil yang tengah sibuk memilih mainan di sebuah kios.

Pikiranku tambah tidak karuan ketika melihat binar di wajah abakdan emak. Mereka terus memperhatikan aku dan kubayangkan kalau mereka tengah berpikir bahwa semoga aku akan lurus mengucapkannya. ”Bagaimana marapulai?” Penghulu itu menyela ke tengah pikiranku. ”Kau sudah siap?” Perempuan itu mengusap keringat di keningnya dengan selendang yang membaluti lehernya.

Kemudian dengan segera ia sampaikan wajah setulus peri dan selembut awan di hadapanku. Tatapan yang sangat tidak kuinginkan. Tatapan yang membuat aku terus berpikir ulang dalam mengambil sikap. ”Saya siap datuk penghulu.” Lalu, sambil kubetulkan posisi duduk.

”Silakan dimulai datuk penghulu”. Sementara penghulu itu membacakan segala hal dan tetek bengek lainnya, aku kembali pada tujuanku untuk tidak menghafal ucapan dan nama perempuan itu. Lalu, sebentar kemudian kuperhatikan anak daro mencubit lengan kirinya dan dilanjutkan dengan meremasnya. Wajahnya memerah seperti warna sari buah apel.Ia begitu gugup.” Sebegitu gugupkah, ”pikirku.

Dapat kubayangkan kalau ia begitu menantikan pernikahan ini.Mungkin memang benar bahwa ia telah benarbenar pasrah dengan putusannya ini. Barangkali saat ini ia sedang berpikir bahwa aku juga sungguh mencintainya. Betapa tololnya perasaan. Selalu tidak sesuai dengan apa yang orangorang pikirkan dan tentang perasaan itu sendiri akan ada banyak hal dan peristiwa dapat dipelajari.

Seperti halnya apa yang dipikirkan anak daro kepadaku saat ini,di dalam masjid ini. Lalu, peristiwa yang paling mendebarkan adalah pada saat aku mulai mengucapkan janji nikah. Penghulu itu mendekap tanganku dengan tangan keriputnya. Hal yang tidak dapat kusangkasangka adalah bahwa aku telah berhasil menyebut nama perempuan itu. Nama yang berusaha untuk aku singkirkan dari pikiranku.

Aku tidak tahu apakah aku harus lega atau menyesal telah melakukannya. Setelah semua orang mulai beranjak meninggalkan Masjid, aku masih gelisah membatu.Seketika itu pula abakmenjentik daun telingaku. ”Ndeh, kau jangan bikin malu abak di depan orang kampung.” Bisik abak ke telingaku. ”Ayo, pulang! ”Akhirnya, aku telah sah menjadi suami perempuan itu.Dapat kupastikan pula bahwa pada saat baralek gadangesok aku akan segera bersanding di pelaminan bersama perempuan yang kusebut Lisa.

*** Malam ini aku disidang abakdi meja makan—ketika orang kampung tengah sibuk mempersiapkan baralek gadang.Ia begitu murka dan entah dari mana mengetahui bahwa aku tidak setuju dengan pernikahan ini. Sementara emak terus berusaha memadamkan amarah abakyang sedang terbakar. Sebentar kemudian, abak kembali tenang setelah dadanya sedikit terasa sesak.

”Kau harusnya mengerti kenapa abak bersikeras menikahkan engkau dengan Lisa.”Abakmelirih dan sesekali matanya menatap aku dengan penuh harapan. ”Abak hanya ingin menyelamatkan hidupnya. Kalau tidak segera abaknikahkan engkau dengannya,lakilaki biadab itu akan menjualnya.” Aku menjadi bingung dengan penjelasan abak yang tiba-tiba itu.

Kemudian abak menjelaskan dengan sejelas- jelasnya tentang ayah Lisa yang berniat menyerahkan Lisa kepada agen gelap di Batam.Abakjuga mengatakan bahwa ayah Lisa adalah laki-laki yang tega melakukan perbuatan busuk apa pun demi mencapai tujuannya. Maka pada akhirnya,ibunya,mendesak agar abakbersedia menikahkan Lisa denganku sebelum laki-laki itu pulang beberapa hari lagi. ”Untuk itulah abak menikahkan kau dengan Lisa.

Abak ingin menimang cucu itu hanya alasan yang abak buat-buat saja.”Kemudian abakminta dipapah emak ke bilik tidur. ”Kau pikir-pikirlah lagi. Lisa benar-benar telah mencintaimu.” Kemudian, aku menjadi kalut di ruang makan yang berlampu buram. Urat-urat di kepalaku seperti akan keluar.Pikiranku kacau.Dan sungguh, aku tak bisa memutuskan apapun untuk kubicarakan pada Lisa di malam pengantin nanti.Aku belum siap menerima kenyataan sesungguhnya. Hal yang tak pernah terbayangkan olehku selama ini. Sayup-sayup kudengar isak tangis emak di dalam kamar.

*** Aku benar-benar telah bersanding dengan perempuan itu. Pelaminan menemani kami untuk duduk berdua. Jelas kusaksikan senyum lepas dari bibir Lisa.Pesta usai dengan damai. Di rumah yang kami tempati sementara, di dalam kamar pengantin, aku telah menciptakan kekakuan yang abadi. Berjam-jam kami tak mengeluarkan sepatah kata pun.

Beberapa saat kemudian,dengan perlahan, Lisa melepaskan gaun pengantin yang melekat di tubuhnya. Malam pun lekas meninggi. Aku harus berani jujur terhadap perasaan yang sesungguhnya.Walaupun aku telah lurus menyebut namanya tetapi aku harus tetap menentukan putusanku malam ini juga.

Setidak- tidaknya agar aku tidak terus tenggelam oleh desakan perasaan seperti ini. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan ayah Lisa.Ternyata ia datang lebih awal dari waktu yang diperkirakan. Suaranya terdengar jelas dari dalam rumah. Ia memekik dan menjerit dengan suara lantang di halaman. Memanggil-manggil nama anaknya. Lisa lekas membetulkan pakaiannya. Dengan sigap aku segera bergegas ke pintu muka. Menghadang laki-laki itu dengan penuh amarah.(*)

DELVI YANDRA,
kelahiran Palangki 10 Desember 1986.
Dia aktif berkegiatan di Komunitas Rumah Teduh, Putapilem dan rumah kreatif Kandangpadati. Saat ini sedang menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

Ironi Modernitas

Oleh: Miming Ismail

MODERNITAS mulanya lahir sebagai kritik atas segala bentuk otoritas di luar rasio. Ia datang mengusik kesadaran kita dari tidur dogmatisme pemikiran.

Dari kritik itu lahir situasi abad yang kita sebut modern—untuk merujuk pada periode sejarah tertentu—atau modernitas, merujuk pada ihwal keadaan zaman modern.Meminjam istilah Anthony Gidden, modernitas merupakan konsekuensi logis dari meleburnya keterjarakan ruang dan waktu yang ditandai dengan segenap pencapaian techno-science, gaya hidup (lifestyle), emansipasi, kebebasan, dan anomali-anomali di dalamnya.

Kelahiran modernitas sendiri bukan tanpa latar yang menjadi asal terciptanya iklimyangsekarangsedang meriah dirayakan. Banyak anasir dangagasanmunculdaripersilangan dan pertikaian ide bahkan perang, bisa dari para filsuf, negarawan, teolog,kelas antarbangsa, dan seterusnya, hingga masyarakat manusia dalam fase tertentu memasuki apa yang Immanuel Kant sebut sebagai subjek yang ”Mundichkeith” atau subjek yang sadar diri karena mampu berpikir sendiri.

Dengan semboyannya yang terkenal, yakni, ”sapere aude!”,berpikirlah dengan bebas lepas dari otoritas di luar diri. Modernitas kemudian melaju pesat penuh ditaburi ragam anasir,melankolis, prahara, bahkan anomali yang muncul dalam ragam bentuk ekspresi dan capaian. Lahirnya sains modern yang melahirkan kemajuan sekaligus korban dari dentuman bom atom, akibat meruahnya ideologiideologi besar,

Pesona dan Ironi

Hikayat modernitas memang kompleks, penuh warna dan cita rasa, tak terkecuali di negeri kita.Ada nuansa, prahara,gairah sekaligus kehampaan dan absurditas dalam ruang-ruang yang diciptakan modernitas. Ruangruang yang ditandai fragmentasi seakan mengafirmasi setiap bentuk kemungkinan, bahkan ketidakmungkinan. Modernitas dalam arti tertentu seakan menarik imaji kita ke tengah realitas virtual yang musykil untuk kita renungkan.

Suatu peristiwa yang disebut Baudrillar sebagai taburan citra dan tanda. Bagaimana jalinan citra dan tanda itu beroperasi? Mungkin kita akan dibuatnya njelimet,bila saja waktu kualitatif ala Bergsonian (baca: Dure) untuk memahami ruang tersebut,tak lagi ada dalam keyakinan epistemik kita. Barangkali ramalan Karl Marx dalam Das Capital-nya benar, terutama tesisnya tentang kapitalisme yang kekeuh diri menjadi semacam takdir bagi anak manusia yang hidup di zaman ini.

Kapitalisme memang telah menjadi takdir bagi manusia modern. Hanya saja, mungkin analisa determinasi ekonominya telah pudar karena perubahan fantastis dari modus produksi dan pergeseran nilai tukar sedemikian dahsyatnya bergeser ke wilayah prestise, image, citra, dan seterusnya,yang melahirkan masyarakat konsumeristis. Kepekatan hidup manusiamanusia modern kini telah bermetamorfosa ke arah banalitas.

Maka,pada saat yang sama,manusia modern pun seperti kehabisan waktu untuk mencandra realitas yang intim dengan nuansa pikir dan reflektif. Seakan waktu primordial menjadi sukma unik di ruang-ruang yang terfragmentasi saat ini. Lanskap dan etalase kota modern dan segenap pesona dengan seribu kunang-kunang di dalamnya, seakan telah menutup segala ruang bagi modus eksistensi diri yang autentik.

Pesona dunia menjanjikan suguhan penuh citra dan imaji tentang ektase kehidupan meski di dalamnya absurd. Suatu tanda persilangan dengan apa yang sering kita sebut antara emansipasi, otonomi diri di satu sisi, dan ironi, absurditas di sisi lainnya. Di sanalah letak kontradiksi dan kaum neomarxis meramalkan modernisme sebagai reruntuhan puing sejarah tanpa kepastian subjek dalam mengarungi mitos pengetahuan. Situasi itu persis seperti yang digambarkan Walter Benjamin, seperti situasi- situasi batas manusia kota Paris abad-19.

Tak ada lagi emansipasi, bahkan humanisme! Ungkapan nada pesimisme ini merupakan cermin nyata realitas yang sejauh ini telah mengalami devaluasi dan transgresi dalam modernitas. Kelupaan atas ihwal keyakinan dan kebenaran telah melabrak seluruh dimensi absolut mengenai realitas yang melampaui rengkuhan akal budi instrumental.

Di masa lalu, situasi krisis itu pernah dikhawatirkan banyak kalangan, baik filsuf,sastrawan,ataupun para abdi setia moral.Namun, modernitas seakan tak mengindahkan keyakinan dan keniscayaan lain,kecuali ia adalah revelasi sekuler yang terus menerobos masa depan kemanusiaan modern.

Modernitas di Sudut Malam

Modernitas memang tak selalu kelam dalam kubangan imaji totaliter, rintihan getir kaum yang terdiaspora, lumuran darah yang terhampar dari cita-cita utopis, atau kapitalisme yang mengoyak jati diri manusia dan kehausan tanpa batas atas kapital.Ia (kapitalisme) kadang terlalu cerdik memperlakukan kritik,hingga dalam batas tertentu justru mampu mengatasinya dengan segenap inovasi dan capaian.

Hal itu nyata ketika kita berjalan pada malam hari, di atas desir angin dan desing hilir mudik knalpot yang menghiasi alunan nada realitas hingga menguap bagai simfoni nada.Kerumitan arsitektur kota yang timpang, marginalisasi, eksklusi, dan wajah lusuh lainnya. Di sana tetap ada pesona dan kekaguman pada capaian,kemewahan etalase dan segala kemudahan yang kadang kita dibuatnya tergoda, terkulai malas berpikir tentang sesuatu di luar yang visibel,sekaligus virtual.

Suatu pesona akan pencapaian yang jauh melampaui kerangka pikir abad pertengahan lalu dan kita pun memang telah menggantung cita-cita lama itu dengan menggeser penghayatankosmosdanteloske wilayah perbatasannya. Ruang-ruang yang terfragmentasi dalam lanskap kota dengan segala hiruk-pikuk dan keunikan di dalamnya, seakan menjadi semacam oase bagi pegulat sejati hidup di dunia perkotaan yang riuh rendah dengan segala konstelasi bisnis, politik,dan keacuhan individual.

Modernitas dalam batas tertentu tak selalu merupakan keketatan ilmiah, bahkan keteraturan sosial. Anomali- anomali di dalamnya selalu tercipta. Memang ada canda, tawa, dan rencana, tapi malam memberi gambaran kejujuran baru tentang dunia kita yang penuh anomali.Realitas tak lagi merupakan suatu koherensi dan representasi,ia bahkan seketika menjadi kontradiksi dan anomali. (*)

Miming Ismail
Pegiat sastra dan filsafat pada Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina

Sajak-Sajak Wiji Rocha

Jalan gatsu

Malam, gelap petang hanya bintang dan bulan
Aku menanti sepi di keramaian
Siang terasa malam
Keramaian menghanyutkan malam sendu
Cahaya sinar saling bertatapan,
bertabrakan di kegelapan
Rindu aku dengan halaman indah menyenangkan
Lihat dingin penuh kesejukan di antara kesunyian
Aku berdiri, bertahan dihembuskan angin malam
Kapan engkau terang, hilang kilau dan kilap sinar
Malamku penuh ragu, pilu menanti rindu
Hanya angan dan karsaku yang membawa
ke imajinasi perasaanku

Malam Denpasar

Cahaya kecil di tengah rimbunnya kegelapan
Nafas berhembus menyelip di antara getaran
Aku berpikir ni malam perpisahan
Padahal ini membahagiakan
Teman dan kerabat melambaikan
tangan menatap kesedihan
Ini bukan luka atau bencana
Ini berjalan kawan, perjalanan tuk masa depan
Tenang, diam, tenanglah
Suatu saat kita pasti bertemu
Di sebuah tempat penuh kebahagiaan
Gelap ini menampakkan kesunyian
dan ketenangan jiwa
Ni malam bertabur bintang
Sayangnya tak kelihatan! Tapi itu bukan
Halangan tuk kita menggapai bintang

(DIMUAT DI SOLO POS, 22 JUNI 2008)

Ketua RT

Oleh: Arif B. Kun

Meski sudah malam mata Pak RT belum terpejam juga. Tubuhnya telentang di dipan sambil mulutnya komat-kamit zikir. Hatinya berzikir. Sesekali matanya terpejam. Bu RT masih di sajadah salat tahajud di samping dipan. Seusai salat Bu RT menengok suaminya.

”Pak, mbok sare...sudah malam.”
”Belum ngantuk Bu.”
”Ahh...panjenengan diaturi, ora tau nggatekke... nanti kalau tensinya naik lagi seperti kemarin, Bapak bingung.”
”Kalau Ibu sudah ngantuk, sana nemani anak-anak.”
”Ah...Pak...Pak...” Bu RT melipat sajadah dan mukena. ”Kalau Bapak belum ngantuk ya sudah tak temani,” Pak RT menggeser tubuhnya memberi tempat pada isterinya.
”Ya mau bagaimana lagi ta, Bu...aku sakit ini kan karena mendapat ganjaran dari Gusti Allah.”
”Iya, Pak...tapi kok begitu lama, aku perhatikan Bapak makin kurus...”
”Bu, Ibu pasti ingat, Gusti Allah memberi ganjaran itu bisa berupa hal yang menyenangkan, bisa juga hal yang tidak menyenangkan, maka harus diterima dengan ikhlas dan sabar.”
”Kalau saja Bapak dulu tidak jadi ketua RT, mungkin Bapak tidak akan sakit seperti ini.”
”Kenapa Ibu bisa bilang begitu...?”
”Aku dengar Bapak sakit ini karena ada orang yang tidak senang, Bapak sakit karena dibuat orang.”
”Bu..! kenapa Ibu percaya hal seperti itu?”
”Kemarin De Wongso bilang...”
”Ahh sudahlah, Bu, Ibu tidak perlu menghubungkan sakitku ini dengan jabatanku sebagai ketua RT.”
*****
Dul Prengus duduk diam di ruang tamu Pak RW. Bentuk tubuhnya yang pendek membuat dia seolah-olah tenggelam di sofa besar dan tebal. Sebenarnya namanya Dulsani, yang dipanggil Dul. Tambahan Prengus di belakang karena bau badannya yang prengus. Karakternya kalau bicara tak mau kalah dan suaranya keras. Ditambah lagi Dul Prengus pintar membolak-balikkan fakta.
Pak RW tiba-tiba muncul. Dul Prengus pura-pura kaget dan menyalami.
”Apa kabar, Pak RW...?”
”Baik.”
”Saya juga baik-baik saja, Pak RW. Saya doakan Pak RW selalu sehat, sehingga bisa menjadi RW di lingkungan sini untuk selama-lamanya.”
Kedua orang itu duduk berhadapan. Dul Prengus bicara panjang lebar.
”Pak RW sudah dengar belum?”
”Apa?”
”Weehh...ini pasti sangat menarik, Pak RW...”
”Ya..ya...aku percaya. Informasi ini mengenai apa?”
”Kekacauan, Pak RW! Ya, kekacauan!”
”Maksudmu?”
”Kerumahtanggaan RT 02 sekarang ini kacau!”
”Mbok bicaramu yang agak jelas, Dul.”
”Iya, Pak RW...Pak RW kan belum tahu bahwa program-program di RT 02 tidak bisa berjalan...macet...urusan ke-RT-an terbengkalai...ada warga minta surat pengantar untuk cari KTP tidak terlayani dan masih banyak lagi urusan yang mengecewakan warga.”
”Kenapa bisa begitu?”
”Ya...karena ketua RT-nya sakit. Bahkan, Pak RW..sekarang ini suhu politik di RT 02 mulai memanas.”
”Maksudmu?”
”Iya...segenap warga RT 02 mulai kasak-kusuk, mereka tidak puas dengan kepemimpinan ketua RT.”
”Jadi warga memberontak?”
”Begitulah Pak RW. Sebab selama jadi ketua RT banyak warga yang dikecewakan, bahkan saya dengar ketua RT sering menarik iuran ke warga dengan alasan yang tidak jelas.”
”Wah...wah...wah..ini sudah keterlaluan. Terus maunya warga bagaimana?”
”Ya bagaimana lagi, kalau ketua RT-nya tidak becus, bagaimana lagi.”
”Hmm...ya..ya.”
”Pak RW sudah dengar belum?”
”Mengenai apa?”
”Sekarang ini, sakitnya ketua RT makin parah, saya dengar juga dia sudah membuat wasiat membagi-bagikan hartanya pada anak-anaknya, menurut kepercayaan orangtua, kalau ada orang sakit terus memberi wasiat seperti itu pertanda umurnya tidak panjang lagi, Pak RW...”
”Benar, Dul...benar, aku juga percaya hal itu.”
”Pak RW pasti juga belum dengar, kalau ketua RT dua hari yang lalu opname di rumah sakit....”
”Iya...iya..kalau begitu jabatan ketua RT harus segera...”
”Cocok, Pak RW...! Sebab kalau Pak RW tidak segera bertindak, warga RT 02 makin resah.”
*****
Ketua RT 02 pulang dari rumah sakit setelah opname beberapa lama. Matanya mengamati sekeliling rumah mencari sesuatu. Dia merasa ada yang hilang. Sesuatu yang selama ini dijaga karena merupakan amanat warganya.
Bersamaan dengan itu dari arah timur beberapa warga RT 02 berjalan menuju rumah Pak RT. Dari gerak langkahnya tampaknya mereka terburu-buru. Orang yang berjalan paling depan tidak lain Dul Prengus. Ketua RT heran penuh tanda tanya. Dul Prengus mendekat menyalami.
”Wah....Pak RT sudah pulang rupanya.”
”Alhamdulillah berkat doa kamu juga Dul dan warga sini aku sudah sembuh.”
”Wah syukurlah. Begini, Pak RT, saya mengajak beberapa warga untuk menyongsong kepulangan Pak RT dari rumah sakit.”
”Terima kasih, Dul...”
”Selain itu, saya juga dititipi pesan oleh Pak RW untuk Pak RT.”
”Pesan apa ya, Dul?”
”Emmm.. begini, mulai hari Senin kemarin oleh Pak RW, Pak RT dinonaktifkan dari jabatan Ketua RT 02.”
”Oh...begitu...,” Ketua RT hanya diam sedikit terkejut.
”Pesan dari Pak RW yang lain, saya harus memberitahu Pak RT bahwa sebagai penggantinya saya. Benar begitu khan Bapak-bapak?!”
”Syukurlah, Dul.”
”Oleh karena saya sudah dilantik menjadi ketua RT, maka papan tulisan Ketua RT 02 di tembok teras itu saya lepas dan sekarang saya pasang di rumah saya.”
Orang-orang tersenyum. Entah apa yang ada di pikiran mereka.
Satu bulan Dul Prengus menjabat Ketua RT 02. Menginjak bulan kedua suasana di RT 02 mulai keruh. Warga mulai kasak-kusuk. Pembuat suasana keruh itu tidak lain Dul Prengus. Sebagai Ketua RT Dul Prengus bertindak semaunya sendiri. Warga RT 02 mendesak Pak RW untuk mengganti Dul Prengus.
”Dul....sebenarnya aku senang padamu.”
”Ahh, sungguh, Pak RW?”
”Ya...tapi dengar, Dul! Kepercayaanku itu telah kamu salahgunakan! Aku banyak menerima laporan dari warga RT 02 dan juga warga RT yang lain, dan laporan itu benar-benar valid.”
Dul Prengus makin terdiam. Tubuhnya berkeringat. Pandangannya tertunduk tak berani menatap Pak RW.
”Kamu sudah dengar, Dul?”
”Me...me...mengenai..a...a...apa, Pak RW?”
”Bahwa ternyata kamu ini pembohong besar! Termasuk informasi mengenai Pak Somad, mantan Ketua RT 02. Kamu tukang fitnah! Kamu pernah dengar, Dul. Ada pepatah, serigala berbulu domba...nah kamu bukan itu, tapi kamu serigala tidak berbulu...”
Beberapa hari setelah dicopot dari jabatan Ketua RT 02 Dul Prengus tidak pernah kelihatan. Demikian juga pintu rumahnya selalu tertutup. Menurut kabar rumahnya telah dijual. Berita terakhir yang terdengar Dul Prengus meninggal karena tertabrak truk ketika menyeberang jalan.

(DIMUAT DI SOLO POS 22 JUNI 2008)

Indonesia, Merdeka Sekarang Juga!

OLEH: SAYYID MADANY SYANI

Masih kuingat ibu, yang menanak nasi di dapur. Beras yang ditanak tak sampai setekong. Padahal, harus mengenyangkan kami sekeluarga yang terdiri dari ayah, ibu, aku dan lima orang saudaraku. Ibu pun tidak pernah menjawab pertanyaan adik yang paling bungsu;

“bu, kok nasinya cuma sedikit sih? Pakai garam lagi? Kenapa tidak buat ayam goreng saja bu, seperti Retno temanku itu.”

Aku sendiri merupakan anak tertua. Jika dihitung-hitung, umurku sudah layak untuk mengenyam bangku sekolah menengah. Tapi mau diapakan lagi, sekolah dasar pun tak sampai tamat. Ayah, hanya buruh tani. Setiap hari, harus selalu bermandi keringat di tengah sawah. Jika saja aku punya ketapel, akan aku pecahkan matahari yang garang melumat tubuh ayah. Sekali, pernah kulihat ayah membuka bajunya. Sambil bertelanjang dada, ia rebahkan tubuhnya yang kurus itu ke lantai tanah berbalut tikar pandan. Ketika tubuhnya menelungkup, maka tampaklah kulit punggungnya yang hitam seperti terbakar. Oleh karena itu, aku sangat ingin sekali memecahkan matahari.

* * *

Angin malam mulai menusuk perlahan. Kunang-kunang, sesekali tampak juga mengitari. Klap-klip, seperti ingin mengutarakan sesuatu. Tapi sayangnya, aku tak pernah bisa hapal sandi morse. Dulu, sempat aku masuk kepanduan dan belajar morse, tetapi belum sempat kutamatkan kaji untuk menghafalkannya, ayah sudah tak sanggup lagi menyekolahkan. Jadilah, aku pun keluar dari sekolah. Tapi pada saat seperti itu, orang-orang sebaya yang keluar dari sekolah sangat banyak jumlahnya. Bersamaku saja, hampir menguras habis murid di sekolah tersebut. Jadi, aku pun tak terlalu sedih sewaktu ayah menjemputku dari sekolah.

Sedangkan bintang, ah, aku kurang suka dengan bintang. Kata orang, bintang itu bagus, cantik. Tetapi menurutku tidak. Bintang adalah pembohong ulung. Kemunafikannya tampak jelas. Ternyata, bintang yang banyak di langit itu tak semuanya bintang. Yang terlihat dari bumi, hanya sepersekian persen yang bintang, selebihnya adalah pantulan cahaya bintang lain yang terang. Makanya, bintang pun menjadi tidak karuan jumlahnya di langit, seperti arus urbanisasi saja.

* * *

Aku tengah menunggu seseorang. Di depan bioskop Merdeka ini, sudah setengah jam lebih. Jam sudah lewat angka delapan. Lalu lintas tidak lagi padat. Hanya di atas trotoar, banyak berkeliaran gelandangan mencari tempat berteduh. Masih kutunggu, mungkin setengah jam ke depan. Sambil menunggu, masih kuperhatikan kunang-kunang yang sedari tadi bersliweran di depan wajah.

“Menungguku bung?” Dari samping kanan, aku dikagetkan oleh seseorang.

“Bung kelebihan waktu, setengah jam. Kunang-kunang saja sudah bosan melihat wajahku. Lihat bung, mereka beterbangan ke arah selatan itu. Mungkin mencari orang-orang sepertiku yang juga sedang menunggui seseorang.” Suaraku, entah kenapa menjadi agak berat.

“Hahahahhahaa, bung bisa saja. Ah, bung tahu dengan bioskop ini. Hmm, sudah lama aku tidak melihat gedung ini semenjak aku belajar keluar tanah Jawa. Dulu, bioskop ini bernama bioskop Roxy. Sungguh sebuah nama yang terlalu Kapitalistik. Barat, ah mereka tidaklah sehebat yang kita elu-elukan. Ketika Jerman menguasai hampir seluruh daratan Eropa, orang-orang Barat inilah yang tidak bisa menerima ketertindasan. Hidup susah di kamp-kamp. Sungguh, sebuah keterbalikan. Aku sering menyebutnya dengan karma. Siapapun yang menindas, akan pula tertindas. Benarkan bung? Lihat, BIOSKOP MERDEKA bukankah itu sebuah nasionalisme Indonesia? Aku sangat cinta Indonesia.”

“Bung terlalu banyak bicara. Bergegaslah, banyak yang sudah menunggu.”

Orang itu, Nursal namanya. Ya, kuakui dia memang pintar, sehingga dibiayai oleh pemerintah untuk sekolah di Moscow. Namun, orang itu banyak omong. Terus terang, aku kurang suka padanya. Tapi, apa boleh buat, kawan-kawan menyuruhku untuk menjemputnya di depan bioskop Merdeka itu. Entahlah, sampai seberapa jauh kehebatan dia.

Rencananya, Nursal akan memberikan ceramah-ceramah pengetahuan umum. Tempat itu lumayan jauh. Namun sebenarnya, Nursal bisa saja pergi ke tempat itu sendirian tanpa harus ada yang menjemput. Tetapi, situasi ketika itu yang memaksa Darman menyuruhku untuk mengamankan Nursal.

“Kita tidak bisa ambil resiko Nursal diculik kekuatan yang tidak dikenal. Kita semua kan tahu, bahwa situasi sekarang sangat genting. Kita tidak tahu, akan sampai dimana situasi seperti ini berlangsung. Saling hujat, saling keroyok, saling culik. Walaupun sebenarnya, kita tidak pernah menculik siapapun diantara mereka. Land Reform yang dicanangkan telah membuat semuanya salah tanggap. Orang-orang PNI di Malang sudah buat tandingan. Becak-becak juga di-reform-kan.”

Aku mengerti kegelisahan Darman. Semuanya serba awas. Terhadap orang-orang yang tak dikenal, bisa-bisa hanyut di kali belakang. Masih samar, siapa yang jadi lawan. Kawan pun dihantam. Beberapa hari yang lalu, ratusan massa merangsek masuk menghancurkan kantor sekretariat SBKA di jalan Kayutangan. Tidak itu saja, ISRI yang punyanya PNI pun hancur karena latarnya yang merah. Massa hijau itu marah, gara-gara massa merah di belahan pulau yang lain melakukan tindakan sepihak yang juga brutal. Kalimat Nietsche “Tuhan telah mati”, sudah dipergelarkan melalui kesenian ludruk dengan judul “matine gusti Allah”.

Aku berucap syukur, ternyata dalam perjalanan tadi tidak ada gangguan fisik yang berarti. Paling, hanya nyamuk yang menggigiti tubuhku yang lumayan kurus ini. Setelah sampai, Nursal kubawa menghadap Darman.

“Salam revolusi! Bagaimana kabarmu bung Nursal? Apakah Moscow yang dingin sudah melenakan tidur panjangmu?” Darman menyambut Nursal dengan sedikit ejekan. Maklum, Nursal, telah lebih dari lima tahun berada di Moscow.

“Tidak bung, tidak. Aku masih cinta negeriku. Aku masih tertarik dengan gadis-gadis Jawa, sungguh tidak akan bisa kucari kemana jua kecuali di sini.” Dan keduanya pun terlarut dalam gelak tawa. Sedangkan aku, hanya simpul senyum yang satir.

“Mas Sardi, kawan-kawan yang lain sudah menunggu.” Ratih, gadis manis itu mengingatkanku untuk cepat memotong pembicaraan Darman dan Nursal.

“Maaf, kawan-kawan yang lain telah menunggu di aula.”

“Mungkin, setelah berceramah kau harus menceritakan dengan detail bagaimana bentuk Moscow itu.” Darman kembali menjabat tangan Nursal—hangat.

Di aula yang tidak seberapa besar itu, telah menunggu kurang lebih sepuluh orang. Mereka, duduk dengan tertib dan tidak tampak garis-garis lelah di wajah mereka meski waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Segera saja aku melangkah ke depan ruangan. Ya, aku ditugaskan untuk menjadi moderatornya Nursal. Dalam pengantar yang kuberikan, aku menegaskan bahwa masyarakat tidak pernah berhenti bergerak, karena hal itu merupakan hukum yang tidak bisa dipungkiri.

“Sardi, kau pasti tidak suka padaku.” Nursal menyikut rusukku ketika ia akan beranjak menuju podium untuk mulai berceramah. Sambil tersenyum ia melihat lekat padaku, seolah-olah dia begitu mengerti dengan keadaanku.

Nursal memulai ceramahnya. Ia mengatakan bahwa tak seorang pun yang dapat membendung suatu perubahan, betapapun kuatnya bendungan itu, sekali waktu akan jebol juga, sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh perubahan itu sendiri. Kesepuluh peserta ceramah tersebut sepertinya terkesan. Tetapi, kenapa hanya aku yang sepertinya menaruh iri. Selama satu jam ceramahnya itu, ia mengakhiri dengan menyatakan “Siapkah kita untuk menjadi Republiken?” Dan, peserta ceramah seperti terbius dengan propaganda Nursal. Serentak mereka menjawab “Siap!” lalu diiringi oleh tepuk tangan peserta yang riuh rendah. Aku menjadi tambah gusar dan kesal. Kuraba rusuk kiriku yang tiba-tiba rasa sakitnya semakin menjadi. “Nursal dan Republiken-nya.” Kuremas-remas tanganku erat sehingga membentuk kepal tinju yang siap melayang. Tapi, kuurungkan cepat, sebab alasanku tidak cukup kuat. Jika kuteruskan, berarti aku sama saja dengan orang-orang yang main hajar, culik dan main hujat sekenanya. Padahal, aku sangat benci hal itu. Setelah acara berakhir, kulangkahkan kaki menuju kamar belakang.

“Mau langsung tidur mas? Tidak kumpul dulu di ruangannya mas Darman?” Ratih kembali menyapaku.

“Ya, aku langsung ke kamar saja. Badanku agak tidak enak.”

“Ya sudahlah.” Ratih berlalu. Dan aku terus menyeret langkahku ke kamar belakang.

* * *

Show of Force pro revolusi Soekarno masih berlangsung. Pawai Nas-A-Kom, menggurita, namun antara kekuatan-kekuatan tersebut seperti menyimpan api dalam dadanya. Api itu terus membakar, menjadi semangat yang dapat berubah sewaktu-waktu menjadi dendam. Api itu terus menjalar, membakar semangat keeogisan, bukan persatuan seperti yang diidamkan oleh Soekarno sendiri. Lagu, Nasakom Bersatu digubah menjadi Nasakom Jiwaku.

Dan dendam itu memang sudah dekat waktunya. Nursal telah dua bulan lamanya di Indonesia. Dia tidak habis pikir, apa yang sering dilontarkannya sewaktu ceramah-ceramah umum sebentar lagi terjadi. Perubahan yang diibaratkan dengan sebuah bendungan. Tetapi, ia tidak percaya. “Semoga saja prediksiku meleset” gumamnya dalam hati. Kekisruhan hatinya tidak ia tampakkan pada kawan-kawannya yang lain. “Atau, apa betul. Siapa yang dekat dengan kekuasaan adalah pengkhianat perjuangan? Jika tidak dekat dengan penguasa, maka akan disisihkan” Pertanyaan-pertanyaan yang sering melintas tidak segera ia jawab. Nursal masih percaya, bahwa Indonesia sudah berada pada jalur perjuangan yang benar. Konflik yang pada dasarnya hadir karena kesamaan tujuan—ingin berkuasa, merupakan hal yang lumrah bagi negara yang akan menapak umur 20 tahun.

4 bulan kemudian

Jam baru akan berhenti di angka 10. Semuanya telah berkumpul di ruangan Darman.

“Organisasi ini sekarang diujung tanduk. Dimana-mana, terjadi aksi unjuk rasa tidak senang terhadap sepak terjang kita. Kemarin, lasykar Salahudin telah membakar sekretariat CGMI. Mungkin keadaan ini cepat atau lambat juga merembet ke arah kita.” Darman membuka rapat dengan nada putus asa.

“Aku tidak menyangka, matinya para jenderal angkatan darat dihubungkan dengan kegiatan kita. Apa salahnya revolusi?” Ratih menghela nafas yang menyesak dadanya. Ia tidak yakin, Aidit yang merencanakan pembunuhan tersebut.

“Menurutku, kita telah salah jalan. Kita telah dibutakan dengan ambisi kekuasaan. Perjuangan kelas proletar yang kita usung, malah menjadikan kita sebagai orang yang borjuis itu sendiri.”

“Apa maksudmu Nursal?” Darman mengendus. Nafasnya tidak beraturan.

“Ya, di sisi lain, kita bela rakyat. Namun, kita terlalu dekat dengan kekuasaan. Dan satu lagi, kita memang pandai menghimpun massa, tetapi kita telah salah kaprah. Mudah saja orang masuk jadi simpatisan dan anggota. Kita, mudah dihasut dan dipecah belah.” Ujar Nursal selanjutnya.

Sardi dari tadi hanya diam mendengarkan. Tidak ada yang salah dengan ucapan Nursal. Jika ditilik, tidak ada perjuangan proletar yang pengayomnya sendiri duduk senang diatas kursi kekuasaan. Dari dulu, perjuangan proletar seperti ditakdirkan untuk menjadi perjuangan kaum marjinal—orang-orang yang tersisih. Namun, pemikiran Sardi tidak pernah ia utarakan. Pertempuran dalam hatinya masih menggugat apa-apa yang menyisiri pemikirannya.

“Aku pikir, situasi sekarang tidak cukup kondusif untuk menampilkan perjuangan kita seperti beberapa tahun belakangan ini. Kita harus mundur, dan organisasi ini harus bubar. Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal.” Sebenarnya, Ratih pahit juga mengatakan hal seperti itu. Ia pun sebenarnya takut, tidak pernah lagi bertemu dengan kawan-kawannya ini.

“Baiklah. Aku berpikiran sama dengan Ratih. Aku harap, kawan-kawan yang lain mau menerima keputusan ini. Salam perjuangan.” Darman beranjak dari duduknya. Ia segera melangkah keluar ruangan. Tidak lama setelah itu, giliran Ratih terisak meninggalkan kursinya.

“Telah tiba saatnya bendungan itu hancur. Hhh, mungkin karena konstruksi bangunannya menggunakan bahan karbitan. Jadinya tidak tahan lama. Ah, sampai jumpa lagi bung, Sardi, kawanku.” Nursal berlalu dari hadapan Sardi. Sardi sendiri masih kurang percaya, dengan segala perubahan ini. Tetapi dalam hatinya, perubahan tetap harus ditelan. Tidak ada yang manis dalam sebuah perjuangan sejati. Dan ini adalah sebuah konsekuensi.

* * *

Musim telah lama berganti baju

Burung gereja sayup-sayup terbang melintasi utasan kabel-kabel listrik yang melintang panjang. Di atap rumah, ada seekor yang tengah berjemur menatap matahari sore. Apalagi, cuaca amat hangat menyapa sesudah beberapa jam yang lalu terguyur hujan lebat disertai petir yang sempat mematahkan pelepah pisang di ladang belakang. Seseorang tengah duduk di beranda depan rumahnya. Pandangannya selalu nanar menatap jalanan aspal lengang. Hampir terlihat tua, uban tumbuh disana-sini diatas kepalanya.

Dia rindu akan hidupnya yang dulu. Dia rindu tembang genjer-genjer, yang melesapkan jiwanya menjadi teduh. Dalam lamunannya, tak sengaja ia lantunkan juga sebait tembang itu.

Genjer-genjer neng kedokan pating keleler

Emake tole teko-teko mbubuti genjer

Oleh sak tenong mungkur sedot sing tolih-tolih

Genjer-genjer saiki wis digowo mulih

Sangat pelan, ia pun tersenyum-senyum menembangkannya. Matahari, hampir lindap di sudut jauh sawah-sawah yang membentang. Cahaya kuning kemerahan membuatnya meneteskan hujan lokal di wajah. Ia ingat, akan kunang-kunang yang selalu menungguinya.

“ah, kunang-kunang. Mengapa kau tidak datang. Seperti dulu mengitari wajahku yang tengah gusar menunggu perjuangan. Sekarang, aku pun sedang menunggu. Menunggu Indonesia kembali merdeka. Ah, kunang-kunang, kurindui engkau. Kapan engkau datang?”

Matahari pun tergelincir. Meneduhkan langit juga bumi. Berganti dengan sepoi angin gunung yang membawa beku. Sesaat, azan Maghrib hadir. Dan, lelaki itu beranjak dari duduknya pergi ke dalam rumah dan mengunci pintunya dari dalam. “Benarkah Tuhan telah mati? Kalaupun iya, akan kubangunkan lagi Tuhan itu. Sebab aku percaya, Tuhan hanya mati suri.” Sesekali, codot kembali mengulang-ngulang kalimat azan. Mungkin pikirnya, azan yang sekarang kurang sampai ke telinga manusia lain, makanya ia pun mencoba jadi muazin.

Padang, Mei 2008

Catatan:

Genjer-genjer bertaburan di pematang

Emak si buyung datang mencabut genjer

Setelah mendapatkan satu tenong lalu berhenti

Genjer-genjer sekarang dibawa pulang

21 Juni 2008

Ok Ini Adalah Waktu yang Tepat

Halo... Halo... saatnya untuk KKN (Kuliah Kerja Nyata), 14 Juli 2008-31 Agustus 2008. Di Pesisir Selatan Kenagarian Pelangai. Sedikit bergidik, sebab Pesisir Selatan terkenal dengan ilmu hitamnya.. Hiii....

Rncana prtama disana mau cari pertunjukan Rabab; soalnya kangen nih pengen dengerin lagi alunan senar yg digesek-gesek itu...

Rencana Kedua; Cari durian...

Rencana Ketiga; duduk di pinggir pantai...

Rencana Keempat; duduk-duduk di lapau sambil minum kopi, trus ngeliat orang main KOA (skaian belajar) ehhhhehhe...

Lah... trus yang mana rncana kuliahnya?
Oh iya...
Ok lah...

aku dah memplanningkan buat Pelatihan Kepenulisan untuk Pelajar disana... Berdasarkan fakta, Taufik Ismail belum pernah ke Pesisir Selatan, jadi SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) so pasti belum pernah dikasih di Pesisir Selatan.

Pmebrantasan Buta Aksara lumayan yahud juga...

dan program penunjangnya adalah, lomba baca Puisi pas 17 Agustusan 2008 besok...

Ok, siap terbang ke Pelangai...

19 Juni 2008

Nurani dan Surga

Oleh: RW. Dodo

Tiba-tiba kepalaku terasa nyeri.Segera jemari tanganku merabanya.Dan jemari itu menjadi basah dengan cairan agak kental.Bau amis tercium oleh hidungku.Darah!

Mataku benar-benar terbelalak.Darah masih segar terlihat meleleh menutupi ujung-ujung jemariku. Menetesnetes, membasahi kaos oblong lusuh yang kukenakan. Mulutku menganga. Sepatah kata masih juga belum keluar dari kedua sela bibirku.

Ludah getir perlahan menggelinding ke tenggorokan.Dadaku terasa sesak. ”Bagaimana, Pak? Sakit enggak rasanya?!” Belum sempat mataku yang membulat kembali normal, ketidakpercayaan selanjutnya membuat biji mataku semakin melotot dan hampir terlepas dari kelopaknya. Surga?! Surga, anak semata wayangku tersenyum sinis ke arahku sambil menggenggam sebuah celurit yang mengkilat pada ujungnya.

Bibirku tergetar, tak kuasa menguntai kata sedikit pun, kecuali hanya menganga karena benar-benar tidak percaya dengan kenyataan yang kulihat. Sedetik kemudian senyum sinis dari bocah yang baru beranjak ABG itu memudar. Bibirnya tampak bergetar. Di dalam kelopak matanya terdapat genangan air yang hampir tumpah. ”Tapi itu belum seberapa sakit, Pak, bila dibandingkan dengan rasa sakit hatiku ketika diejek temanteman,” lanjut Surga dengan suara serak.

Tangan kirinya memegang dadanya yang terguncang. Sambil melotot sinis ke arahku,buliran air menggelinding dari kantung matanya. Suasana semakin mencekam.

Kilatan celurit di genggaman bocah itu benar-benar membuat nyaliku terasa menciut. Kugeser tubuhku ke belakang. Aku menggeleng-gelengkan kepala masih tidak percaya. Mimpikah ini? Surga hendak membunuhku? Bukankah dia anak yang baik. Selalu nurut tiap aku nasihati, tidak pernah membantah? Tidak,ini tidak mungkin! ”Oh, masih hidup? Kenapa tidak kau cincang saja,Sur.Oh,apa kau menyisakan nyawanya untuk Emak?”

Ketidakpercayaan demi ketidakpercayaan membuat kepalaku terasa semakin pusing. Ulah Surga yang menurutku tidak masuk akal belum bisa kuterima.Tiba-tiba dengan senyuman sinis dan tatapan tajam Nurani menyembul dari balik pintu kamar.Sebilah pisau dapur setengah karatan juga terlihat digenggamnya dengan erat. Kenyataan apa ini? Aku benarbenar bisa gila! Nurani?!

Dendam apa Nurani denganku sampai-sampai dia berniat membunuhku. Bukankah dia selama ini istri yang...? Ini benar-benar konyol dan tak bisa kuterima! Jika aku punya salah kenapa dia tidak mengadu kepadaku.Bukankah itu lebih baik? ”Kalau mau,Mak,nyawanya aku sisakan untuk Emak.Aku hanya ingin memberinya pelajaran, Mak. Betapa sakitnya menjadi anak sepertiku. Harus hidup berteman dengan cacian dan hinaan,” getas Surga dengan geram.

Giginya terdengar gemeletuk saling beradu. Matanya yang memerah melelehkan air mata, terlihat tajam melumat bayanganku di dasarnya. Surga?! Sebegitu bencinyakah dia denganku? Padahal, kunamakan dia Surga ketika dia tujuh hari terlahir ke dunia dengan harapan menjadi anak yang saleh, berbakti kepada kedua orangtua. Sehingga di akhirat kelak bisa menggandeng kedua orangtuanya untuk masuk ke surga.Tapi kenapa?

”Bagus, Nak. Kalau begitu, aku jangan cuma disisakan nyawanya. Berilah sedikit celah di tubuhnya untuk menancapkan sebilah pisau dapurku ini yang tidak pernah mendapatkan mangsa daging darinya!” ujar Nurani dengan begitu geram. Guratanguratan wajahnya terlihat begitu bengis di mataku. ”Tunggu, tunggu! Ada apa dengan kalian berdua?!” aku menengadahkan kedua tangan berusaha untuk menghentikan mereka.

Darah yang mengucur deras dari kepalaku yang rekah tak kuhiraukan. Nurani dan Surga saling berpandangan. Kemudian mereka berdua sama-sama meringis.Tak lama kemudian mendengus. Muka mereka terlihat kembali bengis menghujam ke arahku.Seolah melumatku di tatapan bola mata mereka. Setelah mengangguk-anggukkan kepala berkali-kali, Surga dengan langkah cepat ke arahku,menebaskan celuritnya ke tangan kananku.

Disusul pisau dapur karatan milik Nurani langsung menancap di belahan dadaku yang kiri. Badanku langsung terkejang- kejang. Dengan tatapan remang kutangkap gambar mereka berdua, di bibirnya merekah sebuah senyum kemenangan. ***

”Tidaaak!” Aku terjingkat! Saat kudapatkan cahaya matahari mengenai mataku dari jendela kamar, aku segera tersadar kalau itu hanyalah mimpi.Aku segera menyeka keringat yang membasahi keningku dan menenangkannafaskuyangtersengal- sengal. Sesaat aku melayangkan pandangan ke samping, sudah tidak kudapatkan Nurani masih tidur di sana.

Di dinding,jam usang warisan bapak,kedua jarum jamnya berimpit menunjukkan pukul tujuh pagi.Spontan aku menerka pasti istriku sudah ke pasar untuk berjualan. Mataku kini tertambat ke arah pintu.Aku segera bergegas ke sana.Perlahan kubuka pintu itu dan kepala kulongokkan untuk melihat sekitar. Tiba-tiba terdengar sebuah seruan dari luar.

”Bapak...!” seru Surga dengan membawa parang di tangannya dari pekarangan rumah berlari ke arahku. Jgerrr! Seketika aku langsung menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. Nafasku tersengal naik turun. Gila! Benar-benar gila! Ternyata bukan hanya di mimpi.Surga memang benar dendam kepadaku. Ia ingin membunuhku. Ada apa ini? Brak,brak,brak! ”Pak, buka pintunya! Buka, Pak!” teriak Surga dari balik pintu sambil memukul-mukul daun pintu dengan keras.

Bulu kudukku terasa semakin merinding. Aku menggigil ketakutan. ”Tuhan,apa salahku?”lirihku dengan bibir gemetar. Perlahan kuseka keringat yang membasahi kening dengan punggung tangan. ”Buka,Pak! Bapak kenapa? Kenapa Bapak tadi teriak-teriak!?” Brak,brak,brak! Pikiranku benar-benar kalut.Tibatiba sekelebat aku teringat suatu kejadian yang sempat membuat hatiku miris.

Kejadiannya belum lama. Tetanggaku yang bernama Tarmi mati dibunuh oleh Zaenal—anaknya sendiri— hanya gara-gara tidak memberi uang saku untuk nonton konser di alun-alun Jumat kemarin. Karena geramnya, Zaenal melemparkan kampak di tangannya setelah dipakai untuk membelah kayu bakar tepat di kepala Tarmi. Batok kepalanya pun pecah menjadi dua, dan darah segar langsung mengucur dengan begitu derasnya. Di waktu kejadian, sebenarnya Warto—suami Tarmi—berada di sana.

Dia juga sempat ingin menyelamatkan istrinya.Tapi,justru dia dihadiahi batang kayu jati tepat di tengkuknya oleh Zaenal.Tarmi terkapar dengan kepala pecah menjadi dua bersimbah darah segar,sedangkan Warto meringkuk di atas bongkahan kayu tidak sadarkan diri. Seketika aku terkesiap! ”Pak,sepatuku rusak.Di sekolahan aku diejek teman-teman,” aduan Surga waktu makan semalam melayanglayang di otakku.

”Pak.Kenapa Bapak tidak beli motor saja.Mungkin akan lebih membuat Bapak berwibawa daripada naik sepeda. Selain itu kanaku bisa pinjam buat malam mingguan sama Siti.” ”Sur, gaji Bapak tidak seberapa sebagai guru tidak tetap.Untuk menghidupi keluarga saja pas-pasan.Mengertilah. Dalam keadaan seperti ini, hanyalah sabar yang bisa membuat kita senantiasa tetap bahagia.”

Walau kalimat nasihat itu begitu risih aku katakan, tapi bisa membuat Surga menundukkan kepala dalamdalam. Seolah dia merasa menyesal mengatakannya.Aku yakin di hatinya ada rasa tidak terima. Karena setiap kali ia mencoba mengadu, pasti aku akan mengulang kalimat itu sebagai jawabannya. Aku menelan ludah getir. Sedetik kemudian mataku membulat.Janganjangan, apa ini yang membuatnya dendam kepadaku? Brak,brak,brak! ”Pak...!”

Suara Surga masih terdengar jelas menggema di daun telingaku.Tangannya terdengar begitu ganas menggebrak daun pintu.Aku menggigit bibirku yang mengering.Lututku mulai lemas. Otot-otot kakiku tak berdaya.Perlahan aku terduduk di lantai. Dengan ketakutan yang mencekam aku memeluk kedua lutut dengan erat-erat.

Tak terasa kedua pipiku basah dengan air mata. Lama aku tergugu di bawah pintu kamar.Sudah tidak kudengar lagi teriakan Surga dari luar.Mungkin karena tidak kuhiraukan begitu saja teriakannya, dia jadi kelelahan sendiri.Tapi, belum sempat aku menghela nafas lega, terdengar lagi suara memanggilku dari balik pintu.Kali ini suara seorang wanita.

”Pak,ada apa Pak? Bapak kenapa? Kata Surga,Bapak tadi sempat teriakteriak. Ada apa,Pak? Buka pintu Pak, ini Nurani. Aku sudah pulang, Pak. Bukalah,Pak.” Nurani?! Setelah tahu suara itu milik istriku, aku urung untuk membukakan pintu. Pikiran buruk menyeruak di kepalaku. Aku yakin,walaupun suaranya terdengar halus, pasti dia berniat buruk terhadapku jika aku membukakan pintu.

”Pak,Yu Tutik, tetangga sebelah kita itu, tadi pagi baru saja dibelikan kalung sama Kardi lo. Dengar-dengar, Kardi membawakan uang banyak untuk Yu Tutik dari kota,”cerita Nurani semalam ketika menjelang tidur. Aku yakin,walaupun dia tidak mengatakan ingin dibelikan kalung,pasti sebenarnya dengan cerita itu dia bermaksud minta kepadaku.Tapi, mana mungkin aku bisa membelikannya dengan gajiku yang tak seberapa.Aku pun akhirnya memejamkan mata berusaha untuk cepat tidur.

”Pak, ada uang untuk menambah belanja.Sudah lama kita tidak makan daging. Mungkin sesekali kita perlu membeli daging Pak untuk menambah gizi Surga. Biar dia bisa cerdas” ujar Nurani meminta saat makan bersama sehari sebelumnya. Seketika tanganku terhenti ketika mau menyendok makanan di piring.

”Sudahlah, dinikmati saja yang ada. Dengan bersyukur, sesuatu akan terasa cukup. Lagi pula aku ini guru. Tahu apa yang sebenarnya membuat anak itu cerdas? Bukan makan bergizi semata, tapi belajar giat lebih berperan penting,”jawabku bijak waktu itu. Nurani tidak membantah. Dia hanya diam dan perlahan melahap makanannya lagi, walau terlihat tidak bersemangat.

Kerena itukah, ia membenciku? Apakah benar matanya menjadi gelap karenanya? Brak,brak,brak! ”Pak! Buka Pak!!! Ayo,buka! Bapak kenapa? Jangan buat aku pusing,Pak. Bapak jangan menambah susah kehidupan kita,Pak!” terdengar suara serak Nurani dari balik pintu. Aku masih memegang kedua lututku erat-erat, bergeming.Hanya mataku yang menampakkan sedikit binar harapan, ketika tertumbuk ke arah gunting yang tergolek di atas meja samping ranjang tidur.(*)

(DIMUAT DI SEPUTAR INDONESIA 14 JUNI 2008)

Sastra Cyber Babak Baru?

Oleh: Gunoto Saparie

Ketika sebuah antologi puisi dari dunia maya,Graffiti Gratitud, diluncurkan di Jakarta beberapa waktu lalu, Medy Loekito, salah satu editornya, mengatakan bahwa sastra Indonesia memasuki babak baru.

Puisi yang terhimpun dalam antologi ini seluruhnya diambil dari jaringan internet, baik yang beredar di mailing-list (milis) ataupun situs-situs sastra. Mengapa disebut memasuki babak baru? Menurut Medy, karena proses penciptaan karya-karya penyair yang terhimpun di sini terasa lebih spontan dan demokratis, sesuai karakter yang dimunculkan oleh jaringan internet itu sendiri.

Babak baru yang dimaksudkannya lebih merujuk pada medium penciptaan, yakni jaringan maya, ketimbang pencapaian estetika baru. Memang harus diakui,bahwa spontanitas dan demokratisasi yang dibawa internet secara mengejutkan telah ”menciptakan” penyair-penyair baru dengan kualitas karya yang tak bisa dianggap enteng.

Sutan Iwan Soekri Munaf, editor yang lain, menunjukkan bagaimana internet lebih mempercepat kematangan dan kemunculan penyair wajah baru tersebut. Dia mencontohkan nama-nama macam Candra Malik,Teguh Pinang Setiawan, Loektamadji, Yono Wardito, yang karyanya boleh bersaing dengan karya penyair koran yang lebih senior.

Dalam medium konvensional seperti media massa dan penerbitan, boleh jadi nama-nama penyair baru yang potensial akan terhambat muncul karena berbagai kendala teknis dan nonteknis. Mereka harus ”bertarung”lebih dulu dengan selera redaktur budaya dan keterbatasan ruangan yang ada.

Ruang Alternatif

Menarik apa yang dikatakan Saut Situmorang bahwa kelahiran sastrawan cyberIndonesia tak dapat dilepaskan dari kemunculan teknologi canggih internet dalam dunia komunikasi. Revolusi komunikasi yang dilakukan teknologi internet telah menciptakan ruang-ruang alternatif baru di luar dunia media massa cetak yang ada.

Revolusi ini sendiri sangat demokratis, siapa saja dapat menggunakannya.Ruangruang alternatif baru yang tercipta karena internet telah memungkinkan para penggunanya tidak berhenti hanya jadi pemakai yang pasif, seperti ketika seorang pembaca membaca koran, tapi sekaligus jadi pencipta message pada ruangruang tersebut.

Dialektika pencipta-pembaca- pencipta/pembacapencipta- pembaca dimungkinkan secara interaktif dalam ruang sastra di internet.Sebuah ruang atau situs sastra internet juga telah memungkinkan para pencipta karya sastra untuk sangat produktif mengumumkan karya-karyanya tanpa dihantui lagi oleh kecemasan traumatis bakal ”ditolak” oleh seorang ”polisi sastra” bernama editor atau redaktur.

Persoalannya sekarang, bagaimana soal mutu karya-karya sastra cyber Indonesia itu? Ahmadun Yosi Herfanda pernah mempertanyakan soal kualitas dan estetika karya-karya sastra internet ini. Menurut Ahmadun, penyebutan sastra cyber tentu mengundang beberapa pertanyaan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Apakah sastra cyber yang dimaksud itu sebuah genre sastra atau sekadar menunjuk jenis media tempat karya itu disosialisasikan.

Apakah karya-karya sastra yang diambil dari media cyber dan diterbitkan dalam media cetak (buku) masih dapat disebut sebagai sastra cyber? Atau sebaliknya, apakah karya-karya sastra yang berasal dari media cetak kemudian diubah jadi teks elektronik dan dimasukkan ke media cyber lantas dapat disebut sebagai sastra cyber?

Ahmadun menunjukkan bahwa secara estetik karya-karya sastra cyber tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan yang dipublikasikan melalui media cetak.Tidak ada upaya untuk membangun tradisi sastra cyber dalam bentuk ”perjuangan estetik” guna membangun suatu anutan puitik yang berbeda dengan anutan puitik yang tumbuh di media cetak.

Agaknya media digital hanya dimanfaatkan sebagai media alternatif sosialisasi karya sastra.Bahkan media cyber ternyata hanya sekadar dijadikan sebagai sarana ”tayang ulang” (resosialisai) karya-karya sastrawan yang pernah dipublikasikan melalui media cetak. Ia sekadar dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan wilayah sosialisasi agar mengglobal melampaui batas-batas negara.

Dengan agak sarkastis,Ahmadun bahkan menyebut bahwa selebihnya media cybercenderung hanya diperlakukan sebagai ”tong sampah” karya-karya yang tidak tertampung— untuk tidak mengatakan ”ditolak”—oleh media sastra cetak. Tetapi memang begitulah kecenderungan makro tradisi sastra cyberyang tampak di permukaan, yang tertayang pada situs-situs sastra ternama.

Mengingat sifatnya, sebenarnya media cyber membuka ruang yang luas bagi tumbuhnya sastra alternatif (baca: puisi alternatif) yang ”memberontak” terhadap kemapanan estetika yang lazim, dan bukan hanya menjadi media duplikasi dari tradisi sastra cetak.

Di sanalah tempat bagi semangat dan kebebasan kreatif,seliar-liarnya sekalipun, yang selama ini tidak mendapat tempat selayaknya di media sastra cetak, baik di rubrik sastra koran, majalah sastra, maupun antologi sajak. Jika para redaktur media sastra cetak—karena berbagai tuntutan kelaziman—menjadi konservatif dalam memilih karyakarya yang dimuat, maka media sastra cyber-lah ruang alternatif bagi para sastrawan yang ingin menemukan kebebasan sejatinya dalam berkreasi.

Tetapi, bagaimana jika redaktur sastra media cyber juga bersikap konservatif dalam memilih karya karena sekadar memindah tradisi sastra cetak ke sastra cyber? Para sastrawan dapat membuat home page sendiri dan memasukkan puisi macam apa saja ke dalamnya. Jika malas mengelola home page sendiri, masih ada mailing-list di e- Groups—juga di Cybersastra.Net— yang bisa menjadi ”truk besar” bagi karya-karya siapa saja dan macam apa saja.

Selain menyediakan ruang terbuka bagi kebebasan estetik dan tematik, media cyber juga membuka berbagai alternatif penyajian karya sastra (puisi). Sayang, potensi yang dimiliki sastra cyber tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh para pelakunya. Babak baru sastra yang pernah dilontar Medy Loekito ternyata hanya berhenti sebagai wacana.(*)

Gunoto Saparie,
Penyair dan Sekretaris Dewan Kesenian Jawa Tengah

(DIMUAT DI SEPUTAR INDONESIA, 14 JUNI 2008)

Sastra Cyber Babak Baru?

Oleh: Gunoto Saparie

Ketika sebuah antologi puisi dari dunia maya,Graffiti Gratitud, diluncurkan di Jakarta beberapa waktu lalu, Medy Loekito, salah satu editornya, mengatakan bahwa sastra Indonesia memasuki babak baru.

Puisi yang terhimpun dalam antologi ini seluruhnya diambil dari jaringan internet, baik yang beredar di mailing-list (milis) ataupun situs-situs sastra. Mengapa disebut memasuki babak baru? Menurut Medy, karena proses penciptaan karya-karya penyair yang terhimpun di sini terasa lebih spontan dan demokratis, sesuai karakter yang dimunculkan oleh jaringan internet itu sendiri.

Babak baru yang dimaksudkannya lebih merujuk pada medium penciptaan, yakni jaringan maya, ketimbang pencapaian estetika baru. Memang harus diakui,bahwa spontanitas dan demokratisasi yang dibawa internet secara mengejutkan telah ”menciptakan” penyair-penyair baru dengan kualitas karya yang tak bisa dianggap enteng.

Sutan Iwan Soekri Munaf, editor yang lain, menunjukkan bagaimana internet lebih mempercepat kematangan dan kemunculan penyair wajah baru tersebut. Dia mencontohkan nama-nama macam Candra Malik,Teguh Pinang Setiawan, Loektamadji, Yono Wardito, yang karyanya boleh bersaing dengan karya penyair koran yang lebih senior.

Dalam medium konvensional seperti media massa dan penerbitan, boleh jadi nama-nama penyair baru yang potensial akan terhambat muncul karena berbagai kendala teknis dan nonteknis. Mereka harus ”bertarung”lebih dulu dengan selera redaktur budaya dan keterbatasan ruangan yang ada.

Ruang Alternatif

Menarik apa yang dikatakan Saut Situmorang bahwa kelahiran sastrawan cyberIndonesia tak dapat dilepaskan dari kemunculan teknologi canggih internet dalam dunia komunikasi. Revolusi komunikasi yang dilakukan teknologi internet telah menciptakan ruang-ruang alternatif baru di luar dunia media massa cetak yang ada.

Revolusi ini sendiri sangat demokratis, siapa saja dapat menggunakannya.Ruangruang alternatif baru yang tercipta karena internet telah memungkinkan para penggunanya tidak berhenti hanya jadi pemakai yang pasif, seperti ketika seorang pembaca membaca koran, tapi sekaligus jadi pencipta message pada ruangruang tersebut.

Dialektika pencipta-pembaca- pencipta/pembacapencipta- pembaca dimungkinkan secara interaktif dalam ruang sastra di internet.Sebuah ruang atau situs sastra internet juga telah memungkinkan para pencipta karya sastra untuk sangat produktif mengumumkan karya-karyanya tanpa dihantui lagi oleh kecemasan traumatis bakal ”ditolak” oleh seorang ”polisi sastra” bernama editor atau redaktur.

Persoalannya sekarang, bagaimana soal mutu karya-karya sastra cyber Indonesia itu? Ahmadun Yosi Herfanda pernah mempertanyakan soal kualitas dan estetika karya-karya sastra internet ini. Menurut Ahmadun, penyebutan sastra cyber tentu mengundang beberapa pertanyaan yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan. Apakah sastra cyber yang dimaksud itu sebuah genre sastra atau sekadar menunjuk jenis media tempat karya itu disosialisasikan.

Apakah karya-karya sastra yang diambil dari media cyber dan diterbitkan dalam media cetak (buku) masih dapat disebut sebagai sastra cyber? Atau sebaliknya, apakah karya-karya sastra yang berasal dari media cetak kemudian diubah jadi teks elektronik dan dimasukkan ke media cyber lantas dapat disebut sebagai sastra cyber?

Ahmadun menunjukkan bahwa secara estetik karya-karya sastra cyber tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan yang dipublikasikan melalui media cetak.Tidak ada upaya untuk membangun tradisi sastra cyber dalam bentuk ”perjuangan estetik” guna membangun suatu anutan puitik yang berbeda dengan anutan puitik yang tumbuh di media cetak.

Agaknya media digital hanya dimanfaatkan sebagai media alternatif sosialisasi karya sastra.Bahkan media cyber ternyata hanya sekadar dijadikan sebagai sarana ”tayang ulang” (resosialisai) karya-karya sastrawan yang pernah dipublikasikan melalui media cetak. Ia sekadar dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan wilayah sosialisasi agar mengglobal melampaui batas-batas negara.

Dengan agak sarkastis,Ahmadun bahkan menyebut bahwa selebihnya media cybercenderung hanya diperlakukan sebagai ”tong sampah” karya-karya yang tidak tertampung— untuk tidak mengatakan ”ditolak”—oleh media sastra cetak. Tetapi memang begitulah kecenderungan makro tradisi sastra cyberyang tampak di permukaan, yang tertayang pada situs-situs sastra ternama.

Mengingat sifatnya, sebenarnya media cyber membuka ruang yang luas bagi tumbuhnya sastra alternatif (baca: puisi alternatif) yang ”memberontak” terhadap kemapanan estetika yang lazim, dan bukan hanya menjadi media duplikasi dari tradisi sastra cetak.

Di sanalah tempat bagi semangat dan kebebasan kreatif,seliar-liarnya sekalipun, yang selama ini tidak mendapat tempat selayaknya di media sastra cetak, baik di rubrik sastra koran, majalah sastra, maupun antologi sajak. Jika para redaktur media sastra cetak—karena berbagai tuntutan kelaziman—menjadi konservatif dalam memilih karyakarya yang dimuat, maka media sastra cyber-lah ruang alternatif bagi para sastrawan yang ingin menemukan kebebasan sejatinya dalam berkreasi.

Tetapi, bagaimana jika redaktur sastra media cyber juga bersikap konservatif dalam memilih karya karena sekadar memindah tradisi sastra cetak ke sastra cyber? Para sastrawan dapat membuat home page sendiri dan memasukkan puisi macam apa saja ke dalamnya. Jika malas mengelola home page sendiri, masih ada mailing-list di e- Groups—juga di Cybersastra.Net— yang bisa menjadi ”truk besar” bagi karya-karya siapa saja dan macam apa saja.

Selain menyediakan ruang terbuka bagi kebebasan estetik dan tematik, media cyber juga membuka berbagai alternatif penyajian karya sastra (puisi). Sayang, potensi yang dimiliki sastra cyber tidak sepenuhnya dimanfaatkan oleh para pelakunya. Babak baru sastra yang pernah dilontar Medy Loekito ternyata hanya berhenti sebagai wacana.(*)

Gunoto Saparie,
Penyair dan Sekretaris Dewan Kesenian Jawa Tengah

(DIMUAT DI SEPUTAR INDONESIA, 14 JUNI 2008)

Status Ontologis Bahasa (Tanggapan untuk Rikobidik)

Oleh: A. Boy-Mahromi

Status ontologis bahasa adalah puisi.Namun puisi di sini dipahami sebagai ketakteraturan, permainan dan bahasa sebagai mantra.

Tanggapan Rikobidik (SINDO, 1 Juni 2008) terhadap Yunit Permadi tidak mengenai sasaran. Karena apa yang dituturkan oleh Yunit sebenarnya bukanlah sebuah penyeruan terhadap penyatuan bahasa, seperti yang diungkapkan oleh Rikobidik, tetapi lebih sebuah eksplorasi mengenai hakikat ontologis dari bahasa.

Beranjak dari pemikiran Witgenstein II, tulisan Yunit bukanlah sebuah ”ambisi untuk menyeragamkan sebuah ragam tertentu (puisi) untuk semua ragam bahasa”, tetapi sebuah deskripsi mengenai ontologi bahasa. Seperti dikatakan Unit, status ontologis bahasa itu sebenarnya adalah puisi.Tetapi puisi di sini janganlah dianggap sebagai puisi seperti yang kita kenal.Lebih dari itu, puisi di sini dimengerti sebagai ketakteraturan, permainan, dan bahasa sebagai mantra.

Status bahasa sebagai puisi ini dapat kita buktikan dengan beragam pola tata permainan bahasa dalam dunia kehidupan. Di sinilah kontekstualitas Yunit berpijak pada teori Wittgenstein. Banyaknya pola permainan bahasa dalam kelompok-kelompok tertentu menggambarkan bahwa status ontologis bahasa adalah permainan, bukan sesuatu yang dirujuk oleh bahasa.

Bahwa semua tata permainan bahasa itu dilandaskan pada status ontologis bahasa sebagai puisi. Memang benar makna bahasa adalah penggunaannya dalam hidup dan majemuknya tata permainan bahasa dalam hidup. Benar apa yang diungkapkan oleh Rikobidik, ”Bahasa sehari-hari adalah alat untuk menampilkan kehidupan itu sendiri. Malahan, penggunaan bahasa secara berbeda oleh komunitas masyarakat tertentu menunjukkan kepada kita bahwa sebuah makna kata merujuk kepada nilai-nilai dalam kehidupan.

”Tetapi pertanyaan Yunit jauh melebihi itu. Pertanyaan Yunit adalah: status ontologis bahasa seperti apa yang melandasi semua keragaman bentuk-bentuk permainan bahasa itu? Kalau tata permainan bahasa itu bermacam-macam, maka apa hakikat dasar bahasa yang bermacam- macam tersebut? Hakikat bahasa macam apakah yang dapat dilekatkan pada semua tata permainan bahasa yang diungkapkan oleh Wittgenstein itu? Jawabannya jelas, yaitu puisi.

Puisilah sebenarnya hakikat ontologis bahasa yang melekat pada semua bentuk tata permainan bahasa itu. Adanya berbagai bentuk tata permainan bahasa juga mengisyaratkan bahwa bahasa-bahasa itu bukanlah sesuatu yang stabil.Tata permainan bahasa yang digunakan komunitas tertentu, yang menunjukkan kehidupan tertentu, pada awalnya adalah bahasa puisi.

Itulah yang ingin dikatakan Yunit.Pada awalnya, tata permainan bahasa yang digunakan dalam kehidupan seharihari itu juga adalah puisi. Persis yang Sutardji Calzoum Bachri katakan,bahwa pada awalnya adalah mantra. Entah dalam bentuk apa pun bahasa itu. Entah bahasa dalam ilmu-ilmu positivistik atau dalam seni. Bentuk positivisme bahasa itu hanya terjadi dalam kegunaannya, bukan dalam status ontologis bahasa. Yang menjadi persoalan Yunit adalah status ontologis dari bahasa itu.

Di sini Yunit tidak bicara mengenai Wittgenstein an sich,tetapi hanya menjadikan pikiran Wittgensein sebagai titik tolak. Di sinilah Rikobidik keliru dalam memahami tulisan Yunit Permadi. Ia tak dapat memahami inti tulisan itu. Seperti Yunit,apa yang dikatakan mengenai Wittgenstein adalah benar.

Perbedaannya, kalau Rikobidik memahami Wittsgensein secara tekstual, Yunit Permadi menjadikan pemikiran Wittgenstein II itu sebagai titik tolak untuk menunjukkan status ontologis bahasa sebagai puisi. Kalau Rikobidik berhenti pada tata permainan bahasa dalam berbagai bentuk kehidupan sebagai status ontologis bahasa,Yunit lebih jauh ingin melihat apa status ontologis tata permainan bahasa dalam berbagai bentuk kehidupan itu.

Untuk mendukung argumentasinya, Yunit juga meminjam pemikiran Martin Heidegger mengenai bahasa. Di sinilah tesis bahwa pada awalnya bahasa adalah puisi mendapat status legitimasi yang kokoh.Tampak bahwa yang menjadi problematika utama dalam tulisan itu adalah usaha pencarian terhadap status ontologis dari bahasa.

Selanjutnya, pada tanggapannya atas Yunit, Rikobidik membedakan antara realitas dan kehidupan. Dia mengkritik Yunit keliru dalam memahami status ontologis bahasa menurut Wittgenstein. Dia berpendapat, ” Bahasa sehari-hari,dengan demikian, bukan alat untuk menampilkan realitas, melainkan menampilkan kehidupan itu sendiri. Malahan, penggunaan bahasa secara berbeda oleh komunitas masyarakat tertentu menunjukkan kepada kita bahwa sebuah makna kata merujuk kepada nilainilai dalam kehidupan.”

Dalam kalimat itu Rikobidik membedakan antara realitas dan kehidupan. Sungguh suatu kekeliruan epistemologis bila memisahkan antara keduanya. Apa yang dimaksud dengan realitas cakupannya luas. Secara etimologis realitas itu dapat dikatakan sebagai segala sesuatu yang ada. Itu adalah realitas. Segala sesuatu yang ada itu bisa dinamakan sebagai realitas, termasuk kehidupan.

Kehidupan dapat dipandang juga sebagai realitas. Realitas jangan dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar kehidupan,kehidupan itu sendiri adalah realitas.Wittgenstein malah menyatakan bahwa realitas hanya bisa terungkap lewat bahasa.

Di sinilah saya malah menemukan apa yang dikatakan oleh Rikobidik sebagai kekeliruan epistemologis.Perlu dijelaskan di sini bahwa istilah kekeliruan epistemologis digunakan oleh Rikobidik tidak pada tempatnya. Apa yang dimaksud dengan kekeliruan epistemologis adalah kekeliruan dalam menggunakan kerangka berpikir.Misalnya seperti tadi: membedakan antara realitas dan kehidupan. Itu adalah kekeliruan epistemologis, karena sebenarnya kehidupan itu adalah bagian dari realitas.

Bila Yunit misalnya keliru dalam memahami Wittgenstein, cukuplah dinyatakan bahwa ia salah tafsir atau keliru dalam menafsirkan Wittgenstein, tidak termasuk dalam kategori kekeliruan epistemologis. Kemudian juga istilah yang digunakan oleh Rikobidik, yaitu istilah aspek ontologis bahasa. Dia menulis, ”Dalam soal ini pun Yunit keliru dalam memahami aspek ontologis bahasa menurut Wittgenstein II.”

Kalau Rikobidik ingin konsisten dengan Wittgenstein, seharusnya dia tidak menggunakan istilah aspek ontologis dari bahasa. Karena seperti kita ketahui,Wittgenstein adalah filsuf yang curiga dengan istilah-istilah bahasa seperti itu.Wittgenstein adalah filsuf yang tidak bicara mengenai hal-hal yang tak dapat dikatakan, dan bahasanya jauh seperti yang digunakan oleh para filsuf metafisika seperti Martin Heidegger yang memang berpikir tentang metafisika dan ontologi.

Di dalam buku-buku Tractatus Logico-Philosophicus atau Philosophical Investigations,Wittgenstein tidak pernah menggunakan istilah aspek ontologis bahasa.Ia adalah filsuf yang menghindari bahasa-bahasa seperti metafisika,juga ontologi,yang menurut Wittgenstein sulit untuk diperiksa. Di sini Rikobidik tidak menempatkan pemikiran Wittgenstein secara tepat.(*)

A. Boy-Mahromi,
Pegiat di Forum Muda Paramadina dan ICIP.

(DIMUAT DI SEPUTAR INDONESIA, 14 JUNI 2008)

Sajak-Sajak R. AM. Haryadi Salim

Canda jenaka bunga-bunga bangsa dari desa

Langit merekah menyiramkan
Cahaya senja
Menyampaikan salam kehidupan
Memoles pesona ranum bau tanah
Perawan pedesaan
Membangunkan bunga-bunga bangsa
Dari mimpi lelapnya
Tanpa cakap, tanpa tanya
Udara pagi pun menyongsong
Kelahiran makna hidup
Mengubur kemewahan
Membangkitkan nafas sahaja

Dengan tawa dan canda jenaka
Menggantungkan cita-cita
Di atas cakrawala
Sawah-sawah menanti siap digarap
Dada telanjang sambil melenggang
Berkacak pinggang
Mereka berjingkrak bernyanyi:
Naik-naik jabatan tinggi
Nikmati nikmat sekali
Kanan uang, kiri uang
Di depan harapan membentang


Dukamu di televisi

Menyaksikan dukamu terpampang di televisi
Langit mengarak mendung kelabu
kesedihan menancapkan ujungnya
Yang runcing di hati
Menanggalkan luka mengharu biru
Hari-hari meratapi punggung bumi
Tertusuk api dan di bara api
Angin mengiris, aku meringis
Senapan jadi barang mainan
Tak ada bisa dipertahankan
Hilang tanah sejengkal
Mengurangi jatah segumpal
Kehidupan mendatangkan ajal
Matahari dikebiri hilang berperi

- *) R AM Haryadi Salim, tinggal di Jl KS Tubun No 39, Semarang

(DIMUAT DI SOLO POS 15 JUNI 2008)

Mbak Mi

Oleh: YE. Marstyanto

Mbak Mi, begitulah kami sekeluarga biasa memanggil pembantu rumah tangga kami itu, eh, maksudku pekerja rumah tangga.
Ya, bukankah istilah pekerja rumah tangga belakangan ini lebih sering dianjurkan untuk digunakan bagi orang yang bekerja di wilayah rumah tangga? Istilah tersebut menurut para penganjurnya lebih manusiawi dan mengandung penghargaan.
Menarik juga, kami sekeluarga setuju itu. Hampir 20 tahun, Mbak Mi bekerja pada keluargaku, kami memperlakukan dia secara baik. Ayahku, Raden Mas Haryo Pangapuro, telah bertitah pada sebuah pertemuan keluarga beberapa tahun silam, ketika kali pertama Mbak Mi menginjakkan kaki di rumah kami. Beliau mengeluarkan maklumat bahwa Mbak Mi adalah seorang pekerja profesional di wilayah kerumahtanggaan.
Ayahku ningrat tulen. Darah biru mengalir dalam dirinya dari para nenek moyangnya yang menurut beliau adalah para Senopati Mataram di zaman Panembahan Senopati. Tetapi keningratannya tidak menghalangi selalu berpikir maju dan mengusung nilai kemanusiaan.
Mbak Mi dan keluarga kami sudah saling mencintai. Namun kami dibuat kaget ketika Mbak Mi menyatakan mengundurkan diri beberapa bulan lalu. Kami semua merasa kehilangan. Kebetulan saat itu aku sedang berlibur di Indonesia, sebab aku memperoleh cuti dari perusahaan tempat aku bekerja di Amerika. Dua kakakku yang masing-masing tinggal di Medan dan Bandung sampai menyempatkan diri pulang ke Solo demi peristiwa mengejutkan ini.
****
Sebelumnya Ayahku memang sudah menerima permohonan pengunduran diri Mbak Mi. Tetapi ia meminta waktu untuk menjawab permohonan tersebut, sebab ia ingin mengumpulkan seluruh anggota keluaraga.
Semua berada di ruang keluarga, terdiam menantikan perkataan Ayah. Aku dan kakak-kakakku tertunduk. Ibu saja yang tampak gelisah, sesekali menatap Ayah. Mbak Mi juga duduk tenang. Kini perempuan itu sudah tidak tampak muda lagi. Tapi kewibawaan masih terpancar dari wajahnya.
Sungguh sebuah kebahagiaan buat anak manapun yang memiliki ibu seperti dia. Tapi siapa anak yang bahagia itu? Kami sekeluarga tak pernah tahu persoalan anak atau suami dari Mbak Mi. Sejak awal, perempuan ini meminta kepada kami sekeluarga untuk tidak mempersoalkan atau menanyakan hal itu kepadanya. Ia sosok misterius berkaitan dengan pribadinya. Satu hal yang aku tahu berkaitan dengan pribadinya adalah namanya. Mbak Mi memiliki nama lengkap Sumiarsih. Itu saja.
”Jadi kamu benar-benar tidak ada masalah di sini kan, Mi?” tanya Ayah.
”Tidak ada sama sekali Den,” jawab Mbak Mi.
”Dan kamu sudah mantap dengan keputusanmu?”
”Begitulah, Den.”
Ayah menarik napas panjang. Ia berdiri dan kami semua juga berdiri. Satu persatu kami memeluk Mbak Mi. Kami semua meneteskan air mata. Ibu kelihatan paling bersedih. Ia menangis sesenggukan dan memeluk erat-erat perempuan itu. Mata Mbak Mi juga berkaca-kaca, tetapi wajahnya tampak tegar.
Ia diantar ke terminal bus dengan mobil oleh sopir kami. Mbak Mi berpamitan pulang ke rumah orang tuanya di desa. Mbak Mi berkata bahwa ia ingin menghabiskan hari tuanya di sana.
****
Rasa pedot katresnan belum hilang dari batinku, ketika tiba-tiba tengah malam aku terbangun di apartementu di kawasan East Vilage, Manhattan. Teleponku berdering dan ketika aku angkat terdengar suara yang sangat aku kenal di ujung sana.
”Dimas, ada kabar duka ngger”, suara bergetar dari Ayahku di Solo.
Aku mengernyitkan dahi dan dadaku berdetak keras. Rasa kantukku langsung hilang sama sekali. ”Siapa? Apa? Maksudnya kabar duka?”
”Mbak Mi!”
”Mbak Mi?”
”Semalam dia ditemukan tewas di sebuah penginapan di Jakarta.”
”Kenapa sampai di Jakarta? Bukankah dia ada di desa?”
”Dia bukan pulang ke desa. Dia ternyata pergi ke Jakarta.”
Untuk apa?”
”Mencari pria yang juga ditemukan terbunuh bersama-sama dengannya.”
”Pria? Terbunuh?”
”Sejak lama dia memang berencana melampiaskan dendam kepada pria itu. Tetapi rupanya terjadi perlawanan. Akhirnya keduanya terluka parah dan nyawa mereka tidak tertolong.”
”Siapa pria itu?”
”Sebelum kerja di tempat kita. Mbak Mi jadi TKW. Di sana dia mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari majikan laki-lakinya hingga ia hamil. Majikan laki-laki itu memberi Mbak Mi dua pilihan, yaitu dia tetap boleh bekerja padanya asal kandungannya digugurkan atau dia diusir pergi. Mbak Mi memilih pergi pulang ke desanya sambil melahirkan bayi yang dikandungnya. Tapi sayang, bayi yang dilahirkan itu tidak berumur panjang. Ya, maklum saja, kondisi perekonomian membuatnya sulit memelihara bayi dengan baik. Bayi itu sakit-sakitan dan kemudian meninggal dunia.”
Aku tertegun mendengar kisah dari ayah. Aku seperti melihat gambar-gambar suram dari kata-kata yang meluncur dari mulut ayah.
”Dan Laki-laki itu...”
”Mbak Mi sudah menantikan kedatangannya di sini sejak 20 tahun lalu. Laki-laki itu seorang pengusaha yang sering melakukan bisnis di beberapa negara di Asia, termasuk di sini.”
Wajah Mbak Mi terbayang di benakku. Perempuan itu telah begitu tekun memelihara dendamnya hingga puluhan tahun.

- Cerpen: YE Marstyanto

(DIMUAT DI SOLO POS, 15 JUNI 2008)