Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

28 Mei 2008

Siluet

I
hujan bertabuh rindu
dari ujung soneta beku
berjalan—entah menekuri pasirpasir kaku
bergerak—berputarputar melafaz sendu
labaik Allahumma labaik…

ingin memeluk Ka’bah
dan mengusapkan kainnya kepada tangisku yang pecah
atau membawa sepotong kecil Hajarul Aswad, untuk hadiah
bagi saudara saudaraku yang—berdarah

selintas di kidung fatihah
kulihat bayang menari mendesah
berdendang ria—menerpa wajah
berdiri di atas tiangtiang kubah
ila hadhratin nabiyyil mush-thafaa…

sadar; ku berputar sekali lagi
yang ada tampak sepi
riuh dibawah terik mentari
sedetik hilang dijejaki
panas yang membakar pori

kubah masjidil haram, tibatiba hilang
Ka’bah pun menjadi buram

“dimana?”

II
fajar merah baru saja tampak menyisakan api,
dimalam kemarin yang bau anyirnya saja masih menepi
senapan masih kurangkul,
dalam bisu yang mengucap syukur
Allahumma ya Allah…

siluet yang berpindah kisruh
melambailambai penuh rindu
kini berdiri di kubah Aqsha

berbisik;
“aku masih merindukan sunyi!, di tapal batas kerinduan.”
Seulas senyum pun, ku tularkan pada punggung senapan
“kita masih bersama.”

Darussalam

aku yang duduk di bawah badam
ditaburi dedak pasir yang didesau angin
membawa sekepal dasun
mencoba usir dajjal
yang berlindung dibalik dadap dadapnya

kulihat danawa dimana mana
bersama para dahriah, mengusung keranda
yang akan dikuburkan di tengah dahina

kapan daruljalal itu akan bermula
sementara para darwis masih asyik mendepa
sambil berdeku menanti delima
yang jatuh dari firdaus

desik ranting yang patah
melilitkan dewangga dan destar
di tubuh serta kepalaku
seperti diksa aku bawa dilah
bersiap untuk akhiri dajjal
yang tertawa berdekah
dekah

07 Mei 2008

Sajak-Sajak Sri Nuryani

Peringatan Tuhan

Waktu itu kudengar
Tuhan memperingatkan manusia
dengan gemuruh-Nya
:Jangan tebang pohon
yang menjadi tongkat
penyelamat
:Jangan gunduli hutan
yang menjadi penyangga alam

Lihatlah kini!
Kali-kali banjir
Sungai-sungai menyeringai
Banyak orang terkulai
Tahulah orang kini
bahwa hujan
yang mengguyur semalam
tlah menjelma menjadi
lautan
bencana alam yang
berkepanjangan

Tuhan tlah memperingatkan!
Tapi kita mengabaikan
31 Des 2007

Pejabat

Tadi siang kulihat
Pejabat!
Terlihat mata kuyup
penuh harap
Rupanya angin dan awan
tlah membangkitkan
hati dan jiwanya
yang dulu beku dan bisu
yang dulu tawar dan hambar

Terakhir kulihat
Pejabat!
Tersenyum lebar
Menyematkan kuntum bunga
di bibirnya
Di tangan kanannya
tergenggam erat
sebuah pernyataan:
Camkan keadilan!
Pejabat!
Khianat!
Tamat!
10 Des 2007

Dimuat di SOLO POS 4 Mei 2008

Mencari lagi

Oleh: Agus Susanto

Sulit untuk mencerna kata-kata Sang Kiai saat memberi kutbah tadi. Apa karena keterbatasanku sebagai orang awam atau memang otakku memang bebal.

”Di dunia ini hanya ada dua hal.”
”Apa itu Kiai?”
”Dua hal saling bertentangan.”
”Maksudnya?”
”Ada siang ada malam, itu alam. Ada baik ada buruk, itu sifat.”
Sungguh, aku masih saja tak mengerti meski telah mencoba memahami. Untuk apa semua ini?
”Eh tumben kamu datang ke pengajian. Apa sudah insyaf?”
Ternyata untuk sekadar berbuat baik menimbulkan banyak gunjingan. Parahnya dituduh ada pamrih. Kalau tidak masalah wanita pasti masalah utang-piutang.
”Ayo... main kartu saja daripada bengong!” ajakan ini lebih menarik sederhana. Tanpa maksud apa-apa.
”Pakai taruhan?”
”Ya... percaya botoh nanggung.”
Memang tak ribet. Cukup empat sampai tujuh orang dan satu kartu domino.
”Ini juga pelajaran.”
”Kalau empat harus dipukul pakai empat, perlu siasat.”
”Supaya lawan sekarat.”
Begitulah ocehan ngalor ngidul para botoh kendil. Istilah bagi mereka, menang sedikit mengundurkan diri. Ketika sedang asyik tenggelam mengamati balak satu atau kosong suara sirine meraung.
”Gropyokan.”
”Lari.”
”Selamatkan uang.”

Mereka lari tunggang langgang. Beberapa terjatuh. Ditangkap petugas. Aku tak bergerak sedikit pun. Masa bodoh kalau mau ditangkap. Ternyata tidak, mereka terheran-heran. Salah satu berteriak.
”Kamu mata-mata?”

Aku menggeleng, karena aku sendiri tak mengerti. Kulangkahkan kaki menyusuri jalan kadang lurus, kadang berliku. Tak ada arah dan tujuan. Tiba pada satu keramaian wajah. Wajah tampak lelah di tengah keramaian.
”Ada apa?” tanyaku.
”Antre Sembako,” jawab mereka ala kadar.

Oh, di negeri adil makmur ini Sembako harus ngantre. Berarti banyak keluarga tidak sejahtera, pra sejahtera dan sebagainya. Apa aku masuk di dalamnya aku juga tak tahu. Hanya teman-teman botoh menganggapku keluarganya. Lainnya acuh. Tak ada perhatian apalagi kepedulian. Sangat jauh. Mau hidup terserah mau mati terserah, begitu ungkapan mereka.

Terus kulanjutkan melangkah. Makam sunyi tak ada suara. Di sini tampaknya ada ketenangan. Aku salah. Ternyata sebentar saja sudah riuh rendah oleh satu rombongan upacara pemakaman. Ada orang meraung-raung, ada orang tak peduli, bahkan tersenyum saat suasana duka.
”Akhirnya mati juga.”
”Kalau tidak?”
”Kita tak pernah berhasil.”

Kurang jelas apa maksud mereka. Aku juga tak mengerti. Salah seorang mendekatiku.
”Hei gembel, nich buat makan,” uang Rp 5.000-an disodorkan padaku.

Kuterima saja dan berlalu. Astaga! Apakah sudah menjadi gembel aku ini? Mungkin karena berhari-hari aku tidak menemukan cermin untuk berkaca. Melihat bagaimana keadaan wajahku ini. Ah peduli amat.
”Bagaimana Mas, ramai?” aku menoleh. Kalau ini memang pemulung.
”Apanya?”
”Lho kan Mas baru mulung di kuburan tadi.”

Astaga, ternyata tak seperti di sinetron. Harapanku bertemu atau ditemukan orang kaya dan diangkat anak. Ternyata berbalik 180 derajat. Dianggap gembel, sekarang disamakan pemulung.
”Lumayan nich buat kamu,” kuberikan uang Rp 5.000 tadi.
”Makasih Mas, buat makan,” ungkapan polos dan tulus. Tak ada pamrih apapun. Aku pun tak merasa kehilangan. Ternyata jadi gembel ada manfaatnya juga.
Suara kendaraan meraung-raung.
”Kampanye Mas!”
”Para calon.”
”Calon apa?”
”Calon koruptor kali,” kami tertawa. Entah berapa lama aku tak bisa tertawa seperti ini. Lalu timbul satu pertanyaan, damaikah aku dalam kehidupan seperti ini? Sederhana, apa adanya dan tidak memikirkan apa-apa. Tak politik-politikan.
”Sudah... sana kerja dulu.”
”Oke Mas,” entah kenapa aku bisa cepat akrab dengan bocah polos ini. Adakah kesamaan nasib? Bisa ya bisa juga tidak.
Perjalananku makin panjang. Tapi aku masih juga tak mengerti apa yang kucari. Sampai orang menganggapku kurang waras, kurang kerjaan atau menganggapku apalah. Aku terus saja berjalan.
”Heiii...,” aku menoleh. Apakah orang itu meneriaki aku. Diam saja. Aku melangkah lagi dengan gontai tapi...
”Heiii kamu... kemari,” aku menoleh lagi. Orang itu melambaikan tangan padaku. Aku menuju ke arahnya.
”Mari ikuti aku,” seperti orang dungu aku mengikuti langkah orang tak dikenal ini. Entah apa tujuan dan maksudnya. Setelah agak lama kubuka suara.
”Siapa kamu?”
”Malaikat atau setan apa kamu peduli?”
”Tidak!”
”Baik atau buruk, peduli?”
”Tidak!”
”Bagus, bearti kamu telah mati dalam hidup,” entahlah, sungguh aku tak mengerti apa arti semua ini.
”Lalu?”
”Lanjutkan perjalananmu!”

Aku ingin menanyakan sesuatu tapi mulut terasa terkunci, kaki melangkah juga terasa berat. Sekitarku mendadak gelap gulita. Lalu...
”Bangun...,” kuraba mukaku ada air. Mereka mengguyurku lagi.
”Jangan malas-malas.”

Entah mengapa akhir pencarianku berakhir di Rumah Sakit Jiwa. Hanya karena aku menjawab asal saat terkena razia polisi pamong praja. Bicara memang bisa membawa kemana saja. Aku makin tak tahu tentang apa dan siapa kucari. Tanpa akhir pasti.

(Dimuat di SOLO POS 4 Mei 2008)

01 Mei 2008

Sajak-sajak Wati Istanti

Kau lukis wajahmu dengan gincu

Kau telah lukis wajah lugumu dengan semburat warna yang kau buat dari sisa-sisa gincu tadi malam
Kau pulang dengan jalan bergeloyor, tatapan kosong, serta bau parfum yang beragam yang sangat menyengat hidung.
Gincumu masih sangat jelas terlukis di bibir mungilmu,
sahabat.
Namun aroma tubuhmu telah memberi isyarat.
Petualanganmu dengan para penjajah itu sangat memilukan

Kau masih melukis wajah lugumu dengan gincu
merah merona,
Sebagai pertanda akan ada petualangan lagi
di tempat kita pernah berbagi
Namun kau masih belum berubah
Ketika tuntutan sesuap nasi telah mengabdikanmu
Di lembah yang akan kau tentukan sendiri,
siapa sasaran petualangmu;
Sedang aku kini telah meratapi hidup di bawah atap
Tak bisa ke mana tak bisa lagi kita bersama
Namun aku masih ingat,
Ketika aku berada dalam tangan besi itu,
gincu kesayanganmu
Masih kugenggam dengan erat,
Masih kuselipkan di saku celana jeansku.

Kau masih melukis wajah lugumu dengan gincu yang berbeda
Karena dirimu kini, telah temukan sahabat pengganti

Solo, 5 Maret 2008


Sajak proklamir seorang guru

Aku memang tidak seberuntung para konglomerat
yang dapat mandi SPA tiap harinya,
aku selalu berjejal memperebutkan gaji di awal bulan untuk hidup selama satu bulan. Tidak cukup
terkadang jauh dari harapan mencapai level pegawai negeri

Aku memang tidak seberuntung para anggota DPR/MPR
yang tinggal absen, tidur mengikuti sidang,
tanda tangan. Dapat gaji
Aku hanya seorang pejuang kecil yang hanya sedikit
memberi andil
mencerdaskan anak bangsa. Itupun tak seberapa
Penghargaan tak pernah mampir
Tertuju padaku. Tak heran,
dan tak terlalu berharap penuh

Aku memang tak seberuntung seperti para pejabat lain
Aku hanya guru kontrak, guru tidak tetap.
Tapi aku punya hati. Punya suara
Ijinkan aku sedikit meneguk harapan untuk menatap
jauh ke depan.
Aku memang tidak seberuntung apa yang kami lihat,
tapi aku bersyukur...jiwa-jiwa ini masih mengisi di raga yang hampir tak pernah terbersit untuk bermimpi lebih.

Solo Baru, 10 Maret 2008 - *) Wati Istanti SPd, Guru Bahasa Indonesia di Singapore Piaget Academy Solo Raya. Saat ini sedang menyelesaikan studi di Pendidikan Bahasa Indonesia.

(SOLO POS, 27 April 2008)

Negeri ngeri

Cerpen: A. Adenata

Aku mendengar ada sebuah negeri yang indah. Konon, negeri itu melimpah ruah kekayaan alamnya, tanah subur dan orangnya ramah. Orang bilang tanahnya tanah surga tongkat dan batu jadi tanaman. Penduduknya menyebutnya tanah surga. Pasti, betapa eloknya negeri itu. Aku penasaran ingin singgah dan berkunjung di negeri itu. Tapi di manakah letak itu? Aku hanya mendengar kemasyhuran keelokan alamnya dari mulut ke mulut. Banyak orang menceritakan kemasyhuran negeri itu. Namun, banyak pula yang tidak tahu letaknya. Semakin hari negeri itu semakin masyhur. Aku pun kian penasaran. Kulangkahkan kedua kaki untuk mencari negeri itu.

”Maaf, tahukah Tuan negeri yang termasyhur itu?” tanyaku.

”Oh! Negeri yang kaya-raya, subur dan ramah-tamah orangnya itu ya?” jawab lelaki tua dengan semangatnya.

”Iya Tuan. Di mana letaknya?”

”Oh...Tuan, aku tahu itu. Tapi...aku tidak tahu letaknya.”

Kutinggalkan lelaki tua itu. Kupercepat langkahku. Derai angin kering menampar wajahku. Kepulan debu bertebaran. Awan menggumpal membentuk wajah dengan bibir menyor ke samping seolah sedang meledekku.

”Hai, kawan. Kau jangan mencibirku. Aku pasti bisa menemukan negeri itu!” teriakku, sambil kutengadahkan wajahku ke atas.

Pasti aku akan menemukan negeri itu. Keyakinanku bertambah besar. Kini, aku tidak hanya melangkah, aku berlari dan terus berlari. Gang demi gang kutelusuri, desa ke desa, kota ke kota, lintas daerah, lintas provinsi bahkan lintas negara. Kakiku tak mau berhenti. Aku terus berlari mencari negeri itu.

”Uuh... sudah sampai di mana aku?” lirihku.

Kupandangi sekitarku. Aneh! Sesuatu yang selama ini belum kulihat dalam kehidupanku. Di manakah aku sekarang? Orang-orang berbicara tapi tak mengeluarkan kata, mereka menegur satu dengan yang lainnya namun tak bersuara. Apa ada yang tidak beres denganku? Aku terus berlari.

”Maaf. Sudikah kalian memberitahu di mana negeri yang termasyhur itu?” tanyaku kepada orang-orang yang sedang bergerombol.

Mereka saling pandang kemudian menatapku. Salah satu di antara mereka berjalan mendekatiku, orang itu seperti berkata sesuatu tapi tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Aku yakin orang itu mengatakan sesuatu. Ya, aku dapat menangkapnya dari sorotan matanya.

”Tuan. Di manakah negeri itu?”

Mereka semua saling pandang, kemudian saling berbicara layaknya berbicara semestinya, ekspresi wajahnya, gerak tangannya, kedipan matanya, gerak tubuhnya.

”Di mana...? Ah sudahlah, percuma saja jika aku tak paham yang kalian omongkan!” kuhengkangkan kakiku. Aku terus berlari.

Semakin aku berlari, keanehan-keanehan makin sering kujumpai, keanehan itu menggelitikku dan mengusikku. Orang-orang menangis tapi tak mengeluarkan air mata setitik pun. Di manakah aku ini? Apakah ini negeri yang termasyhur itu? Ah...! Tidak mungkin, negeri yang kucari itu adalah negeri yang subur dan penduduknya ramah-ramah. Selama aku tiba di sini, aku belum menemukan ciri-ciri Negeri itu. Aku terus berlari.

Sejak saya berada di daerah ini, saya merasa tidak menjumpai ujung daerah. Aneh...! Lampu-lampu di jalanan menyala di siang bolong. Sinarnya terang bahkan seterang ketika berada di kegelapan. Penasaran makin mendesakku, sebenarnya apa yang terjadi? Apakah ini ilusi atau fantasi atau ini adalah sebuah kenyataan yang tak masuk akal? Ataukah saya sedang masuk dalam dunia gaib? Memang dulu saya pernah diceritakan oleh kakek, bahwa dunia ini ditempati oleh beberapa makhluk, ada manusia, ada jin, ada setan yang suka menggoda manusia. Tapi...tidak mungkin! Semuanya normal-normal saja seperti apa adanya.

Aku terus berlari tanpa henti, aku tak tahu kapan berhenti atau kapan istirahat, yang kutahu hanya berlari mencari negeri tersebut. Tak kusangka akhirnya aku menginjakkan kakiku di ujung wilayah. Indah betul perbatasan ini...! Langit begitu cerah yang berarak awan putih dan udara yang sangat sejuk. Kulangkahkan kakiku dalam beberapa langkah.

Tiba-tiba gelap menyelimuti sekelilingku. Aku melangkah mundur kembali, terang dan udara sejuk kembali menghampiriku. Apakah aku sudah masuk negeri itu? Tapi, mengapa gelap sekali. Ya...mungkin negeri termasyhur itu gelap keadaannya, pikirku. Akhirnya kutekadkan untuk melangkah maju untuk menemukan Negeri itu. Mataku tak bisa melihat apapun, aku terus melangkah tak peduli dengan kegelapan. Ada sesuatu yang merasuk ke dalam relung hatiku. Aku tak mampu menggambarkan apa yang telah masuk dalam diriku. Tiba-tiba aku mampu melihat benda-benda di sekelilingku dengan hati kecilku.

Akupun mampu melihat orang-orang yang sedang berseliweran di hadapanku, tapi bukan dengan mataku, dengan mata batinku.

”Maaf, tahukah Tuan negeri yang termasyhur itu?”

”Kenapa Anda bertanya tentang negeri itu?” jawab seseorang sembari menanya balik.

”Aku ingin melihat negeri itu Tuan!”

”Kenapa?”

”Karena penasaran kemasyhuran negeri itu.”

”Kenapa penasaran?”

”Sebenarnya Tuan tahu nggak letak negeri itu?” tanyaku kesal.

”Maaf Tuan, saya juga mendengar kemasyhuran negeri itu. Saya juga penasaran dengan negeri itu.... Tanya kepada yang lain mungkin tahu.”

“Kalau memang nggak tahu bilang dari tadi...,” gerutu dalam hatiku. Aku melangkah lagi dengan panduan batinku, seolah aku berjalan seperti ketika di keadaan yang terang benderang dan dengan mata telanjang. Kuhampiri seseorang yang sedang duduk santai di lincak depan rumah.

”Maaf, numpang tanya. Tahukah Tuan negeri yang termasyhur itu?”

”Kenapa Anda bertanya tentang Negeri itu?”

”Aku penasaran.”

”Kenapa penasaran?”

”Maaf, tahukah Tuan negeri yang termasyhur itu?”

”Saya juga penasaran dengan Negeri itu. Tapi, kalau mau tanya tentang negeri itu, silakan tanya ke orang lain!”

”Kenapa harus orang lain? Apakah Tuan tidak tahu tentang negeri itu?” desakku.
Ia nyelonong pergi. Begitu aneh penduduk daerah sini, ketika ditanya tentang negeri tersebut mereka bertanya balik, lalu mereka meminta untuk bertanya ke orang lain. Apakah penduduk sini punya masalah dengan negeri itu? Ah... mungkin itu prasangkaku saja.

Aku terus melangkah tak kenal henti. Aku yakin akan menemukan negeri itu. Tuan, bila kau telah membaca tulisan ini! Dan suatu hari kau menemui seseorang yang kebingungan dan ia bertanya kepadamu, tolong beritahu negeri itu! Mungkin, orang yang kau temui di jalan itu adalah aku...

(SOLO POS, 27 April 2008)

Surat Pernyataan Sikap Penyair Muda Bandung

Penyair Lima Kota Berkumpul di Payakumbuh
Minggu, 27 April 2008 | 11:19 WIB

Laporan Wartawan Kompas Agnes Rita Sulistyawaty

BUKITTINGGI, MINGGU - Puluhan penyair dari lima kota berkumpul di Payakumbuh untuk mengikuti Temu Penyair Lima Kota, yang diselenggarakan Dewan Kesenian Sumatera Barat, Dewan Kesenian Payakumbuh, dan Dinas Kesenian Payakumbuh, 27-29 April 2008.

Ketua Temu Penyair Lima Kota Iyut Fitra, Minggu (27/4), mengatakan acara ini merupakan ketiga kalinya. Selain penyair dari Sumatera Barat, penyair dari Bali, Yogyakarta, Bandung, dan Lampung menjadi peserta. "Kali ini, kami mengangkat tema peran media di mata penyair karena media massa masih berperan penting untuk penyebaran karya sastra," kata Iyut.

Hari Minggu ini, para penyair mengunjungi tanah kelahiran penyair Chairil Anwar, di Nagari Taeh, Kabupaten Limapuluh Kota. Senin (28/4) dan Selasa (29/4) akan diadakan diskusi sastra. Selain para penyair peserta, puluhan penyair dari berbagai kota juga hadir sebagai peninjau.

ART
-------------------------------------------------------------------------------------

Berita tersebut saya baca di Kompas hari ini. Saya sebagai orang yang terlibat di dua acara sebelumnya merasa ada yang salah dengan berita itu. Ketua pelaksana tidak tegas menyatakan bahwa Penyair Muda Bandung menolak klaim bahwa acara di Payakumbuh adalah kelanjutan dari dua acara sebelumnya yang dilaksanakan di Bandung dan Yogyakarta.

Awalnya kami merasa cukup dengan mengirim email pribadi dan surat pernyataan resmi ketidakbersediaan koordinator untuk wilayah Bandung. Saya pikir, surat itu cukup merepresentasikan sikap kawan-kawan Bandung. Apalagi setelah ketua pelaksana mengirim undangan untuk yang kedua kalinya lewat Ahda Imran, yang ditunjuk untuk menggantikan saya sebagai koordinator, dan lagi-lagi, sikap kawan-kawan Penyair Muda Bandung masih sama, menolak klaim karena beberapa alasan yang sangat prinsipil.

Dari dua koordinator yang diminta ketua pelaksana hanya ada satu jawaban yang sama. Tapi jawaban itu sepertinya tidak berpengaruh apa-apa pada klaim panitia. Sungguh, saya merasa, panitia tidak memperhatikan sikap yang telah ditunjukkan oleh kawan-kawan Penyair Muda Bandung.

Berita yang saya kutip di atas menyatakan seolah-olah ada penyair dari Bandung yang datang ke Payakumbuh, dan terlibat aktif mengikuti acara tersebut. Akan tetapi sayang sekali tidak satu pun nama penyair yang disebutkan dalam berita itu. Setahu saya tidak ada Penyair Muda Bandung yang datang dan ikut terlibat aktif dalam acara tersebut. Oleh karena itu panitia harus mengklarifikasi pernyataan dalam berita tersebut.

Akhirnya, saya kutipkan juga surat pernyataan dari kawan-kawan Penyair Muda Bandung. Saya hanya ingin meluruskan berita yang terlanjur menyebar itu.

Salam,

Afnaldi Syaiful.


Surat Pernyataan Sikap


Kami adalah para Penyair Muda Bandung yang memegang teguh semangat muda dan konsisten dengan apa yang kami percayai sebagai proses kepenyairan di Indonesia tidak akan goyah oleh segala bentuk intimidasi yang bisa meruntuhkan tiang-tiang perjuangan menuju dunia kepenyairan yang berpihak kepada anak muda..

Sehubungan diadakannya acara Temu Penyair Lima Kota di Payakumbuh, Sumatera Barat, bahwa kegiatan ini diklaim oleh Panitia sebagai kelanjutan dari acara Temu Penyair Muda Jawa Barat-Bali 2005 dan Forum Penyair Muda Empat Kota 2007, maka kami, Penggagas/Konseptor ”Temu Penyair Muda Jawa Barat-Bali 2005”, Forum Penyair Muda Bandung peserta “Temu Penyair Muda Jawa Barat-Bali 2005”, dan Forum Penyair Muda Bandung peserta “Forum Penyair Muda Empat Kota 2007” menyatakan sikap :

1. Kami menghargai inisiatif Dewan Kesenian Kota Payakumbuh (DKKP) untuk menyelenggarakan Temu Penyair Lima Kota (Bandung, Yogyakarta, Sumatera Barat, Lampung, dan Bali).

2. Setelah mempelajari proposal acara Temu Penyair Lima Kota, maka kami menyatakan bahwa terdapat perbedaan konsep yang sangat mendasar antara acara ini dengan acara Temu Penyair Muda Jawa Barat-Bali 2005 dan Forum Penyair Muda Empat Kota 2007. Oleh karena itu, kami menolak klaim Panitia Temu Penyair Lima Kota dan menyatakan bahwa acara Temu Penyair Lima Kota adalah BUKAN kelanjutan dari acara Temu Penyair Muda Jawa Barat-Bali 2005 dan Forum Penyair Muda Empat Kota 2007.

3. Kami menyatakan tidak ada keterkaitan antara acara Temu Penyair Lima Kota dengan acara Temu Penyair Muda Jawa Barat-Bali 2005 dan Forum Penyair Muda Empat Kota 2007.

4. Konsekuensi dari sikap kami ini adalah kami tidak akan mengirim perwakilan/penyair untuk mengikuti acara Temu Penyair Lima Kota


Demikianlah Pernyataan Sikap ini kami buat sebagai pendirian kami terhadap kelangsungan acara Temu Penyair Muda yang kami gagas tahun 2005 lalu.
Terima kasih.


Bandung, 27 April 2008
a.n.
Penggagas/Konseptor ”Temu Penyair Muda Jawa Barat-Bali 2005”,
Forum Penyair Muda Bandung peserta “Temu Penyair Muda Jawa Barat-Bali 2005” dan Forum Penyair Muda Bandung peserta “Forum Penyair Muda Empat Kota 2007”

Berikut ini Penyair Muda Bandung yang menyetujui Surat Pernyataan ini :

1. Widzar Al-Ghifary
2. Afnaldi Syaiful
3. Yopi Setia Umbara
4. Dian Hartati
5. Fina Sato
6. Rudy Ramdani
7. Dian Hardiana
8. Jafar Fakhrurozi
9. Rizki Sharaf
10. Evi SR
11. Heri Maja Kelana
12. Semmy Ikra Anggara
13. Mira Lismawati