Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

15 Februari 2008

Mahasiswa; Harimau dalam Penjara

Oleh: Sayyid Madany Syani*

Tidak akan pernah habis ketika membicarakan mahasiswa. Klasifikasi orang muda yang enerjik, kritis, dinamis, memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungannya. Kadang ceroboh namun mampu menjadikan kecerobohannya itu sebagai media pembelajaran agar di hari depan tidak jatuh ke dalam lubang yang sama. Mahasiswa merupakan orang yang punya perasaan halus dan merasa punya tanggung jawab moral ketika lingkungannya dilanda ketidakadilan. Ringan tangan dan mampu membagi waktunya antara pribadi (kuliah) dengan kegiatan ekstra (organisasi) yang mengasah kemampuannya dalam berkomunikasi; pemikiran, argumentasi dan ide-ide cemerlang.

Tapi tunggu dulu! Tampaknya pandangan di atas sudah kadaluarsa. Tak ada yang menarik dari sosok mahasiswa masa kini. Menarik tulisannya Afrizal yang berjudul “Eksistensi Intelektual Muda Minang” yang dimuat di Opini Singgalang 16 Desember 2007. Afrizal menulis:
Perubahan citra seorang intelektual ini tentunya seiring dengan semakin terbukanya kanal-kanal baru yang strategis bagi mahasiswa dan intelektual muda yang diberikan oleh produk kapitalisme, yang berbentuk materialisme.

Lebih lanjut, Afrizal memaparkan sebagian produk kapitalisme yang mengkerangkeng jiwa mahasiswa yang dikenal sebagai jiwa yang kritis. Acara televisi yang mampu menyulap seseorang menjadi terkenal dalam hitungan detik merupakan produk instan yang menurut Afrizal menguras libido mahasiswa—anak muda untuk kembali bercengkrama dengan masalah-masalah sosial yang bertumpuk. Lalu, kebiasaan meramaikan mall hara-huru tak berketentuan dan gonta-ganti pasangan juga disorot oleh Afrizal. Bukan saja forum diskusi yang sepi, tetapi IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) pun ikut-ikutan merosot. Inikah calon pemimpin bangsa itu?



Realita Pergerakan Mahasiswa
Saya sebagai mahasiswa yang kuliah di Sumatra Barat sebenarnya malu ketika disoroti oleh Afrizal. Jika dilihat lebih detil, persoalan pergerakan mahasiswa di Sumatra Barat bermuara kepada satu persoalan “sepele” yaitu mahasiswa tidak pandai “membaca”. Masalahnya bukan pada persoalan tidak bisa mengeja lima huruf vokal atau menghafal dua puluh enam huruf. Bukan! Tetapi, tidak pandai membaca di sini maksudnya; Pertama tidak pandai membaca kondisi lingkungan sekitar yang sebenarnya sudah muak dengan prilaku mahasiswa yang kadang sok; sok berwibawa, sok berani, sok ganteng, sok cantik dan tentu saja sok tahu. Kedua, faktor kemalasan dari membaca buku itu sendiri. Entah itu yang bertema buku teori kuliah, sampai buku teenlit.

Maka, pergerakan mahasiswa pun menjadi mogok. Walaupun di kampus terdapat organisasi-organisasi intra (BEM, HMJ, UKM) maupun ekstra (KAMMI, HMI, GMNI, dll) tetapi tidak bisa menjadi tolak ukur bahwa pergerakan masih berjalan. Ya, pergerakan memang jalan tetapi hanya di kalangan terbatas sebatas ruang lingkup organisasi. Saya pikir, hal semacam itu bukan membuat lokomotif pergerakan menjadi jalan, namun hanya menderum-derum ganas, menghentak-hentak tetapi tetap jalan di tempat.

Kondisi ini diperparah oleh kenyataan bahwa BEM yang digemborkan sebagai miniatur negara mahasiswa dijadikan objek saling rebut antar ideologi yang berkembang di kalangan mahasiswa. Sistem pembagian kekuasaan antar lapisan mahasiswa tidak pernah terealisasi dan digantikan oleh sistem otoriter kelompok ideologi yang menang dalam PEMIRA (mengikuti tata cara Pemilu).

Saya contohkan di kampus saya sendiri; Unand. Sistem otoriter kelompok ideologi ini berusaha mengambil posisi-posisi penting dalam tatanan BEM Universitas maupun Fakultas dengan cara-cara demokratis; Presiden, Gubernur, Menteri dan staf-staf lainnya bahkan hingga ke DLM (Dewan Legislatif Mahasiswa). Penyeragaman ini sudah jadi rahasia umum di kalangan mahasiswa. Alhasil, BEM identik dengan kelompok tertentu itu. Sedangkan kelompok lainnya, juga tidak jelas sikapnya, beroposisi atau berafiliasi?

Kalau kelompok yang berkuasa itu mampu menyatukan serpihan-serpihan gerakan mahasiswa lain dan bisa membangkitkan kembali kedinamisan mahasiswa sebagai orang muda kritis, berani, cepat tanggap menyikapi perkembangan sosial yang ada serta punya tanggung jawab terhadap masyarakat maka tidak ada masalah dengan pergerakan. Realitasnya kondisi mahasiswa hari ini sedang berada pada wilayah yang stagnan. Persoalannya, penyeragaman yang dilakukan kelompok tersebut hanya sebagai legalisasi agar program gerakannya bisa berjalan dengan mudah. Saya melihat, ada ketakutan yang diidap oleh kelompok itu. Mungkin, mereka takut, seandainya tidak berada di posisi penting, program kelompoknyalah yang akan mogok. Aneh.

Hal semacam ini yang menurut saya jadi penyebab monotonnya pergerakan mahasiswa. Sebab apa coba indahnya, jika sebuah kanvas dilukisi oleh satu warna saja misalnya hitam. Bukankah pelangi lebih indah terlihat jika warna-warni. Pergerakan mahasiswa tidak lagi melihat alam sebagai guru. Alam yang terdiri dari warna-warni berlainan yang membentuk suatu medan makna yang kita katakan; indah. Pergerakan mahasiswa hanya melihat warnanya sendiri, dan bangga dengan warnanya yang monoton. Sibuk dengan aktivitas di dalam organisasi, dan berkutat pada tempurung sempit yang dianggap luas. Menyelamatkan diri sendiri adalah hal terpenting yang harus dilakukan oleh berbagai gerakan sehingga konsep mahasiswa sebagai penyambung lidah sosial menjadi raib atau sengaja dihilangkan.

Kondisi tersebut sambung-menyambung membentuk kelompok-kelompok mahasiswa lain yang dikenal dengan kelompok marjinal atau kelompok yang terpinggirkan secara pemikiran. Mereka ini membentuk kelompok-kelompok diskusi yang intensif—di awal pembentukan. Lalu, diselingi oleh serangan pamflet atau yang dikenal dengan “Pamfletisasi ‘Dinding’ Kampus” dan penyebaran hasil diskusi lewat media massa. Namun, kelompok-kelompok seperti ini cenderung tidak bertahan lama, karena sadar perjuangannya akan berlangsung lama, tidak bisa instan sedangkan mereka tidak berani menerapkan sistem perekrutan karena hanya komunitas diskusi kecil.

Selain membentuk kelompok marjinal yang pemikir, kondisi pergerakan mahasiswa hari ini juga membentuk kelompok mahasiswa yang cenderung hedonis. Penampilan adalah nomor satu dibandingkan materi kuliah apalagi dibandingkan dengan demonstrasi. Mereka ini tidak mau tahu apapun kondisi pergerakan mahasiswa di kampusnya. Saya pikir, sikap mereka yang seperti itu disebabkan karena kejenuhan terhadap berbagai organisasi mahasiswa yang menomorsatukan kepentingan kelompok bukan kelompok sosial.

Jadilah mahasiswa sebagai generasi muda dalam kerangkeng. Kerangkeng itu dibuat bukan oleh penguasa atau birokrat tetapi oleh mahasiswa sendiri. Saya jadi skeptis dengan hari depan bangsa ini jika generasi mudanya saja tidak mau menyadari bahwa lingkungan di luar kerangkeng lebih luas daripada di dalam kerangkeng yang sempit. Oh, mahasiswa...oh, orang muda. Garang tapi seperti harimau dalam kandang.

*Penulis adalah mahasiswa Sastra Unand.