Selamat Datang!

Mencobalah untuk lebih dekat! Agar semua rasa bisa dilebur, demi meringankan jiwa yang sedang kalut!

Carilah Sesuatu Yang Hilang Itu

Google

29 Januari 2008

Sedih!

Turut berduka cita atas "mati"nya mantan presiden ke-2 Republik Indonesia. Semoga Pak Harto bisa menjawab pertanyaan malaikat dalam kubur.

Memilih Djalan

Oleh: Amarzan Ismail Hamid
Disadur dari: Kepada Partai, kumpulan sandjak; Yayasan Pembaruan,
Jakarta 1965. (Terima kasih kepada Perhimpunan Dokumentasi Indonesia
atas naskah puisi yang berharga ini)

( I )

sampai suatu ketika
anak djantan itu mengachiri kembara
mengachiri dukatjita.

dan ditemuinja:
tangan jang terbuka
hati jang terbuka
menjimpul djadi satu:
selamat bekerdja!

lalu sepi.
jang tinggal padanja,
kejakinan sepadat hati.

( II )

di bus atau di oplet
dalam siang dan malam
kadang-kadang datang djuga
mimpi lama jang mendarahkan luka.

tapi ketika djendela dibuka
oagihari,
seseorang tersenjum memandang
dan koran-koran menjampaikan berita
pasangnaik revolusi remadja,
luka itu sembuh sendiri
tak bertjatat.

( III )

"kurindukan senjum kanakmu
dalam malam mendjelang tidur,
atau derai tawa jang pernah
menjelingi hari-hari kita berdua

hutan pagi dan sungai bening
anak-anak berkedjaran berlemparan pasir
di kesepian aek buru*

djadi, tahankan perpisahan ini
aku sedang menempa hari
membuka hutan dan mendjalani malam
bagi anak-anak jang akan tumbuh
dimandikan matahari."

( IV )

rumah-rumah telah menutupkan djendela
dan baji-baji sudah lelap dipelukan bunda
sepotong bulan diatas langit malam djakarta
menjenjumi tubuhku jang lelah
menjapa dalam tjahajanja jang gairah:
- selamat malam penyair -

selamat malam!
aku menatap pohon-pohon berlari
dari djendela kereta jang deras meladju
dan menatap wadjah kawan-kawan:
iskandar, erman, salim
dan aku sendiri.
mata jang terdjaga sampai larut,
tubuh jang dipalut debu timah
dan abu merah djalan raja

selamat malam, djakarta
hatiku menjanji bersama bulan meninggi:
telah selesai satu tugas
bagi Partai dan revolusi

( V )

selembar surat di depan mata:

"djadilah orang jang baik, anakku
djadilah manusia
djuga harga diri
dan nama baik turunan kita

kau tak akan ketjewa, bapa.
harga diri – keyakinan
kesetiaan bagi negeri
dan hari depan jang pasti
telah meremadjakan anak tunggalmu

dan bahagialah!
bahwa sisa turunan kita
telah memilih djalan terbaik
djalan ke hari depan
jang dirambah dan diterangi:
Komunisme!

*Aek Buru adalah nama sebuah pemandian di Sumatera Timur, bagian Selatan

25 Januari 2008

Sastra yang 'Bisu'

Oleh: A. Rizky

Apa yang menarik dibicarakan oleh para sastrawan selain perihal sastra dan sekelumit problema serta rasa yang terselip di dalamnya? Ya, sastra memang telah menjadi sebentuk urat nadi bagi pencipta sekaligus penikmatnya sehingga mereka tak bisa lepas dari sastra itu sendiri semudah menanggalkan pakaian. Sastra begitu luas untuk dipersempit--memang tak harus dipersempit, karena sastra selalu mengalami perkembangan sesuai zaman yang didudukinya.

Karya-karya sastra itu sendiri pun telah menjadi semacam manifesto yang telah sudi menjadi saksi perkembangan peradaban yang dimulai dari era pramodern hingga posmodern. Bahkan sastra telah menorehkan tintanya pada manuskrip-manuskrip yang bisa dinikmati oleh lintas generasi dan menyajikannya dalam berbagai forum diskusi. Namun apakah segala achievment sastra itu telah mencapai sebuah titik pencapaian yang dimimpikan para pekerja sastra itu sendiri?

Dalam berbagai diskusi, diputuskan bahwa sastra telah begitu berjasa dalam pembentukan jati diri anak bangsa. Terbukti dengan banyaknya penghargaan yang berdatangan dari berbagai macam award dunia untuk sastrawan Indonesia. SEA Write Award dan Dinny O'Hearn Prize for Literary misalnya, yang setidaknya memberi predikat kepada sastrawan dalam negeri yang berkekuatan magis untuk tetap mempertahankan idealisme dalam bersastra. Namun masalahnya, apakah kesemua itu bisa menambah lahan orang-orang yang non sastra agar bisa menikmati atau bahkan mengkaji karya sastra itu sendiri? Inilah agaknya sebuah 'PR' bagi para kuli sastra dalam menyempurnakan pencapaian yang mungkin dimimpikan oleh semua sastrawan itu sendiri. Memang ini bukanlah hal yang mudah, karena sastra sering dianggap sebagai disiplin yang cukup banyak memakan energi intelektual. Sebuah alasan mengapa banyak orang engggan mengkajinya yang menyebabkan hasil kristalisasi keringat para sastrawan itu hanya dinikmati para sastrawannya dan orang-orang yang berada dalam lingkaran sastra itu saja seperti mahasiswa sastra, pers, dan guru-guru sastra.

Fenomena ini awalnya hanya perasaan tak beralasan penulis saja, namun setelah melewati berbagai macam seminar dan pagelaran, ternyata karya sastra memang hanya dinikmati 'wajah-wajah lama' saja. Tentu ada hal yang membuat karya sastra itu berkesan seperti barang mewah yang hanya digeluti kalangan tertentu saja. Seolah-olah sastralah yang mengeksklusifkan diri di balik budaya masyarakat yang mabuk dalam realitas virtual, gaya hidup, konsumerisme, strukturalisme, cyberspace, globalisasi dan sekelumit 'penyakit' yang mencuat akibat pluralisme habis-habisan.

Akhirnya ini menjadi penting. Karena seyogyanyalah sastra mulai menampakkan taring dan melebarkan sayapnya agar sastra tidak hanya dibicarakan oleh para sastrawan itu sendiri. Sudah saatnya sastra membangun space baru di tengah masyarakat di luar dari seminar-seminar dan pagelaran-pagelaran yang dihadiri oleh wajah itu-itu saja yang tetap tidak membawa perubahan kepada masyarakat luas setelah mereka keluar dari gedung seminar atau pertunjukan kecuali untuk pengayaan diri yang bersangkutan saja. Bukan bertujuan untuk menjadikan setiap individu sebagai sastrawan atau seniman, tetapi lebih kepada penyampaian makna spiritual ketimbang ritual belaka.

Ada hal yang menarik dewasa ini, yaitu menjamurnya situs-situs bertema sastra di dunia maya. Sastra ikut berperan dalam merayakan pesta blog yang ada di internet. Ini menyiratkan perkembangan yang cukup otentik dalam penyebaran spiritualitas sastra, namun tetap saja situs ini hanya di akses oleh kalangan tertentu yang mengerti akan sastra saja. Dimanakah orang-orang non sastra? Jika begini tentu bisa dipastikan bahwa sastra telah mengalami stagnansi di dalam bidangnya sendiri. Lalu cara apalagi agar sastra bisa diterima dengan mudah oleh setiap kalangan masyarakat dengan tanpa menghilangkan sisi eksklusifitasnya? Sastra lisan agaknya bisa dijadikan pilihan jawabannya.

Sastra lisan sebenarnya bukanlah hal yang update untuk dibicarakan, karena jauh sebelum karya sastra merebak dalam bentuk tulisan yang dimulai dari angkatan Balai Pustaka hingga kontemporer yang kini menjamur di toko-toko buku, pementasan berupa teater atau pembacaan puisi dan perfilman, sastra lisan telah mengambil tempat tersendiri di kalangan masyarakat yang disebarkan dari mulut ke mulut seperti Kaba di Minangkabau.

Sastra lisan lebih mudah dicerna oleh masyarakat dan sering menjadi menu utama di radio-radio yang berbentuk pembacaan puisi, cerita dongeng atau naskah drama. Namun hal tersebut menjadi jarang ditemui lagi kecuali oleh kalangan pencinta sastra itu sendiri. Sebenarnya sastra lisan bisa berbentuk pembacaan puisi, pementasan drama, seminar sastra, dan obrolan-obrolan ringan atau berat menyangkut sastra itu sendiri. Tapi kendalanya yaitu sastra lisan tak mampu mempertahankan eksistensinya sehingga harus dirubah menjadi sastra tulisan agar tidak hilang dimakan zaman.

Namun seiring dengan perkembangan zaman yang kini kaya teknologi, agaknya sastra lisan bisa kembali dibangkitkan dengan menciptakan media audio dalam rangka pemekaran lahan sastra yang mungkin mengalami stagnansi ini.

Sebagai contoh, mungkin para sastrawan perlu membuat sebuah rekaman yang berbentuk musikalisasi puisi yang diformat ke dalam kaset atau CD kemudian diedarkan di toko-toko kaset yang mungkin bisa jadi alternatif bagi para penikmat musik yang tentu saja mencari 'gaya baru' dalam pengayaan diri mereka sekaligus menyeimbangi gaya hidup masyarakat yang serba digital.

Langkah ini agaknya belum pernah dijamah para pekerja sastra (katakan saya salah) dari dulu hingga saat ini. Yang ada hanya karya sastra berbetuk tulisan di koran, majalah, dan buku yang memunculkan anggapan keliru bahwa sastra itu bisu yang hanya bicara lewat tulisan saja.

Sastra memang telah menjadi pemeran aktif dalam mencatat sejarah yang menyempurnakan peradaban umat manusia. Namun adakah pilihan lain untuk mencatatkan sejarah itu?

(Esai Sastra ini dimuat di Harian Independen Singgalang edisi Minggu 20 Januari 2008)

21 Januari 2008

Rehabilitasi oleh Tuhan

Di akherat, Tuhan memerintahkan malaikat utk memberi rehabilitasi pada para jendral militer yg banyak membunuh rakyat.
Untuk itu mereka akan dikirim kembali kedunia, dan ditanyakan apa yg akan dilakukan.

Jendral Franco dari Spanyol "Terimakasih Tuhan, aku akan meminta maaf pada rakyatku, lalu menjadi biarawan dan memuji namaMU"

Jendral Salazar dari Portugal "Terimakasih Bunda Maria, aku akan pergi dari pintu ke pintu diseluruh negri utk minta dikasihani"

jendral Pinochet dari Chile berkata " terimakasih Jeus, aku akan menjadi buruh miskin dan memimpin mereka melawan ketidak adilan"

Seorang jendral dari Indonesia berkata " Ampun Tuhan, tolong jangan kirim saya kedunia, kirim saja saya ke neraka, biarlah 2 juta orang komunis menghujat saya, ribuan dan ratusan warga priok, Nipah, Lampung, Tim-Tim, Aceh dan korban 27 Juli mengumpat saya, di dunia sana, 190 juta orang tidak segan untuk membunuh saya dua kali.


( saya pikir inilah alasan jendral kita Suharto tidak mau balik lagi nanti kedunia, salam humor.....)

(Dari millis Sastra Pembebasan)

Daftar Buku yang Belum Sempat Dimiliki





Melihat Indonesia dengan Hati

Oleh: Sayyid Madany Syani

Kegentingan moral seperti yang ditakuti oleh Taufik Ismail membuat bangsa ini terkurung oleh sosok hantu yang bersiap meluluh-lantakkan negara ini. Paradigma fakta sosial yang diungkapkan oleh Durkheim (Pelly, 1994: 138) seperti norma, hukum, kultur dan lain-lainnya yang dipandang oleh anggota masyarakat sebagai sesuatu yang datang dari luar dirinya untuk diikuti terabaikan seiring derap masa yang terus melakukan pembaruan. Semuanya mengarah pada bentuk pemaknaan kebebasan yang diartikan secara dangkal sehingga kebebasan milik sendiri adalah hak yang mesti diperjuangkan, sedangkan hak orang lain bukanlah suatu kewajiban.

Jika Tan Malaka masih hidup sekarang ini, tentu ia akan kecewa dengan konsep negara dan masyarakat Murba (Musyawarah Rakyat Banyak). Dalam tiga kumpulan brosurnya yang dijadikan satu oleh Penerbit Marjin Kiri berjudul “Merdeka 100%” (2005) ditulis di Surabaya dalam gempuran sekutu, Tan Malaka dengan semangat revolusioner menekankan konsep Murba untuk melawan bentuk Imperialisme negara lain. Konsep tersebut ialah percaya dengan kekuatan dalam negeri, satu visi ekonomi yang bukan berkiblat kepada negara Imperialis tetapi berdasarkan kepentingan rakyat banyak. Tetapi, faktanya konsep tersebut tidak dipakai lagi oleh Republik Indonesia. Malah, konsep ekonomi negara ini berkiblat kepada Washington—yang merupakan dedengkot dari ekonomi Imperialis dan Kapitalis.

Sikap individualistis yang akar tunggang itu, makin mencukam ke dalam tanah. Ia mengalahkan akar-akar serabut yang walaupun banyak tetapi mudah saja dicabut. Sebagai contoh dari sikap individualitas itu dapat dilihat pada momen pergantian tahun baru. Berapa banyak event digelar, berapa banyak manusia-manusia (khusus Indonesia) yang ikut berpesta pora. Hal ini tidak luput pula dengan acara yang merangkul semangat religiusitas. Zikir bersama, melantunkan Asmaul Husna dengan berbalut pakaian muslim mahal, mukena mahal, Al-Qur’an yang baru beli di toko. Ditambah dengan hembusan angin buatan (AC) yang rencananya untuk mengkhusukkan jemaah, padahal tidak juga. Mereka memejamkan mata mungkin karena menahan pipis, atau kedinginan atau malah tidur sehingga apa yang disugestikan dari acara tersebut tak sampai ke hatinya. Belum lagi, di tempat parkir, berbagai merek kendaraan mahal menguatkan semangat prestise di antara jamaah. Ah, tentu jika diuraikan lebih jauh, masih banyak sikap individu tersebut yang menampik persoalan krusial sosial yang tengah terjadi seperti kemiskinan, pengangguran, anak-anak putus sekolah, anak-anak tak bisa sekolah yang sebenarnya adalah persoalan klasik dan sebagai bukti dari gagalnya konsep Murba yang diidamkan oleh Tan Malaka.

Melihat Indonesia dengan Sastra
Tidak bisa dipungkiri, bahwa realita sosial sekarang ini jadi lahan subur bagi para sastrawan atau penulis untuk menggarapnya. Ada yang dengan semangat murni untuk perjuangan kaum miskin, ada yang bersemangat menuliskannya hanya untuk menambah finansial pribadi, dan ada pula yang bersabar dengan konsep kebenaran yang disandarkan oleh ideologi tertentu, serta tak tertutup kemungkinan ada yang menuliskannya tidak berdasarkan semangat apapun. Tentunya yang bisa menilai secara jitu adalah para sastrawan dan penulis itu sendiri.

Saya sependapat dengan Georg Lukacs bahwa sastra merupakan cermin dari realitas kehidupan. Menurut Lukacs mencerminkan berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan “realitas” tetapi lebih dari itu memberikan kepada kita “sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik” yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah “proses yang hidup”. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif (Selden dalam Taum, 1997: 50-51).

Tampaknya menarik saja jika melihat Indonesia hari ini dari novel “Nagabonar Jadi 2” yang ditulis Akmal Nasery Basral. Lo, kenapa harus dari novelnya. Filmnya kan sudah ada? Saya mungkin adalah yang setuju dengan Hernadi Tanzil (pengelola blog Buku yang Kubaca). Tanzil mengatakan bahwa mungkin sebagian besar masyarakat menilai menonton film lebih asyik daripada membaca. Hal ini adalah sikap dari orang-orang yang malas membaca. Itu adalah realitas tersendiri yang membentuk pribadi bangsa ini.

Apa Kata Dunia!
Setting yang diambil oleh novel ini tentu bukan lagi masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan seperti pada film Nagabonar yang ditayangkan tahun 1987 itu. Akmal menampilkan Indonesia modern yang tidak lagi berupa hutan-hutan lebat tetapi tergantikan oleh hutan-hutan beton yang banyak ditanam orang. Dari sini saja sudah menyiratkan sebuah kritik sosial walaupun kita mengira hal itu lumrah saja.

Ide utama dari novel ini yaitu tentang rencana Bonaga anak dari Nagabonar yang akan membuat suatu resort—tempat peristirahatan di atas ladang sawit bapaknya. Tentu Nagabonar mulanya tidak mengizinkan sebab di sana terdapat kuburan Emak, Kirana (istri tercinta) dan Bujang (sahabatnya yang bengak). Alhasil, Nagabonar pun pergi dari ruang rapat kantor anaknya. Dari sini, dimulailah petualangan Naga di rimba beton Jakarta. Bertemu beberapa sopir Bajaj, khususnya Umar yang setia menemani Nagabonar kemana pun dia pinta. Juga bertemu dengan anak Umar yang setia pula menemani Naga bermain bola di lapangan sebelah rumah Bonaga. Selain itu, Naga pun bertemu dengan musuhnya dahulu—Maryam yang sekarang telah berubah nasibnya menjadi seorang asisten Menteri.

Beberapa adegan dari novel ini terasa menyentuh bahkan mempunyai makna yang luas dan dalam. Seperti ketika Naga melihat contoh maket proyek anaknya. Ia tak peduli betapa pun pentingnya bangunan-bangunan itu, yang ia tanyakan hanya letak lapangan sepakbola. Di sini Naga mulai menebarkan ideologi kepeduliaan terhadap sosial. Ia melawan arus individu dengan memperjuangkan lapangan sepakbola. Sebab, sepakbola adalah permainan juga olahraga humanis yang bisa diterima oleh kalangan apapun. Juga ketika ia mengunjungi patung Jenderal Sudirman. Saya pikir, di sinilah letak ketabahan seorang jenderal sejati. Naga dengan lantang berucap:
“Jenderaaaaal... siapa yang kau hormati siang dan malam itu? Apa karena mereka yang lalu lalang di depanmu itu memakai roda empat, Jenderal? Bah, tidak semua dari mereka pantas kau hormati Jenderal. Turunkan tanganmu! Jenderaaaallll... turunkan tanganmu! Bukan kau yang harus menghormati mereka! Tapi bangsa ini yang harus menghormatimu!” (Basral, 2007: 91).
Dan, adegan lain yang juga sarat dengan cermin pemaknaan kekinian adalah ketika Naga beserta anaknya mengunjungi sebuah diskotik dan bertemu Jaki, teman sekantor Bonaga.
Tiba-tiba kulihat Jaki di depan kerumunan orang yang sedang joget. Dia berjalan menuju kami sambil menyisir rambutnya dengan jari dan mengelap wajahnya yang tampak basah seperti bekas berair.
Sesampainya di depan kami Jaki tampak terkejut melihatku.
“Eh, ada om, ada di sini juga. Apa kabar, om?”
“Baik,” sahutku sambil memperhatikan lebih cermat wajahnya.
“dari mana lu, Jak?” Bonaga bertanya sambil terus kepalanya bergoyang.
“Sembahyang.”
“Sembahyang?” Aku benar-benar terkejut mendengar alasan yang diungkapkan Jaki. “Sempat-sempatnya kau sembahyang di sini?”
“Dunia dan akhirat itu harus seimbang, om,” katanya sambil menggoyangkan badannya mengikuti suara musik. (Basral, 2007: 170)

Adegan-adegan tersebut di atas menurut saya adalah adegan yang patut direnungkan lebih dalam. Di titik-titik tersebut merupakan sosialisasi dari novel itu yang berteriak secara mistis tentang kehidupan modern dan individualitas. Sedangkan adegan-adegan lain hanyalah penunjang dari adegan-adegan utama itu.

Mati Kau Di Makan Cacing!
Seperti yang telah disebutkan di atas, sastra adalah pencerminan dari sebuah kehidupan. Dan novel “Nagabonar Jadi 2” adalah novel yang menarasikan dengan gamblang ketidakpedulian kita (rakyat Indonesia) terhadap sosok kita yang lain (rakyat Indonesia juga).

Tentu jadi jawaban yang rumit ketika pertanyaannya adalah; pertama, pernahkah kita peduli dengan pembinaan mental generasi muda? (Di dalam novel ini dicontohkan tentang lapangan sepakbola tempat anak-anak latihan dan bermain bola.) Kedua pedulikah kita dengan sejarah bangsa? (Dicontohkan patung Jenderal Sudirman yang sedang menghormat kepada orang yang lalu lalang, tetapi tak ada yang menghormat kepadanya) Ketiga patutkah kita bersenang-senang sementara ada sosok kita yang lain justru tidak hidup dengan senang? (Kehidupan malam merupakan ajang bagi para eksekutif atau pengusaha dalam melepaskan penat.)

Tiga pertanyaan yang saya kemukakan tersebut, murni terlintas setelah membaca dan mencoba memahami novel ini. Tiga pertanyaan yang menurut saya mencoba menohok nurani manusia Indonesia hingga bermuara kepada satu pertanyaan besar lainnya yaitu “Apa yang sudah kita kerjakan demi tanah air Indonesia?”

Tentunya, jika kita peduli dan berhasil mengaplikasikan jawaban yang benar dari pertanyaan-pertanyaan tersebut maka Taufik Ismail tak akan takut dengan hantu pendangkal moral yang merasuk ke jiwa-jiwa manusia Indonesia. Kita pun takkan melihat ada yang jadi pengungsi atau pengemis di negeri sendiri.

Begitu mirisnya kondisi sosial kita, sehingga berita mantan pejabat yang sekarat saja adalah yang terpenting daripada mengorek berita tentan sudut mana lagi di negeri ini yang penduduknya tidak kenyang hari ini. Atau, di lorong mana lagi di negeri ini dimana anak-anak harus putus sekolah dan menjadi pengemis demi membantu penghidupan keluarga.

“Nagabonar Jadi 2” walaupun terkesan glamour, tetapi suasana yang diciptakan memang cerminan realitas masyarakat itu sendiri. Terlepas dari hal itu, masih ada polemik yang mempertanyakan apakah tokoh Nagabonar benar-benar ada.?

Lalu, novel ini menarasikannya dengan menjadikan seluruh kisah dilihat dari mata orang pertama. Maka Nagabonar memiliki lebih banyak kesempatan untuk melakukan monolog interior tentang hal-hal yang menjadi harapannya, kecemasannya, pandangannya terhadap cinta sang istri, kegalauannya melihat perkembangan masyarakat, impiannya memajukan generasi muda, dan juga kesempatan untuk merenungkan dirinya sendiri. Pendalaman emosi seperti ini akan memberikan konstruksi pemahaman yang lebih menyeluruh terhadap profil seorang Nagabonar selain citranya sebagai orang yang selalu bicara ceplas-ceplos.

19 Januari 2008

Sehabis Ujian

Lama tak mengisi blog. Rupanya ujian semesteran benar-benar menguras tenaga dan ide-ide. Begitu banyak tugas menumpuk dan menanti dikerjakan sehabis ujian. Update blog, kelola blog Himpunan juga kelola blog di Asia Blogging Network.

Benar-benar minggu yang melelahkan.

WELCOME diri!

Semoga ujian kemarin sukses.

Menatap Perfilman Indonesia 2008

Penulis: Brahmanto Anindito

..orang-orang di negara maju berani berjalan kemana-mana dan bekerja hingga larut malam, orang kita? Melangkahkan kaki sedikit sudah ketakutan, jangan-jangan di situ muncul sundel bolong, genderuwo, pocong, hantu jeruk purut, kuntilanak, siluman babi, leak, suster ngesot, Nyi Loro Kidul, si manis jembatan Ancol ... alamak! Banyak sekali sosok yang wajib ditakuti warga Indonesia!

TAHUN 2007 sudah habis. Di tahun itu, industri perfilman kita telah sukses merilis 49-an film bioskop. Tiga besar sementara adalah Nagabonar Jadi Dua (film komedi dengan 1,3 juta penonton), Get Married (film Komedi dengan 1,2 juta penonton), dan Terowongan Casablanca (film Horor dengan 1,1 juta penonton).

Saya tulis sementara karena ada film yang berpeluang menyodok ke posisi tiga besar itu, seperti Quickie Express (komedi) dan film horor (komedi). Cuma lantaran rilis mereka baru November 2007, belum bisalah kita membandingkannya dengan film-film lain yang telah mencapai ujung lifecycle-nya pada tahun yang sama.
Apa saja genre ke-49 film tersebut? Tak banyak berubah, tetap didominasi oleh horor, dan disusul percintaan. Sebenarnya, film drama diproduksi lebih banyak. Namun kalau genre yang memang terlampau luas itu dipecah-pecah menjadi subgenre seperti drama percintaan, drama komedi, maka hororlah yang nomor satu.
Republik Mistik

Sekitar 20 film atau 41 persen dari total film 2007 bernuansakan horor semua. Tampaknya, industri perfilman Indonesia masih menganggap genre ini sebagai jimat bagi kelarisan film. Memang, dalam tahun-tahun belakangan ‘jimat’ tersebut terbukti keampuhannya. Apalagi ada bonus tambahan membuat film horor jatuhnya lebih murah dibanding genre drama. Salah satu sebabnya, film horor tidak membutuhkan bintang top, cukup pendatang baru.
Bandingkan saja dua film dari sutradara yang sama (Hanung Bramantyo) ini. Bujet Get Married adalah sekitar 4,5 milyar, sementara Legenda Sundel Bolong hanya perlu dana di kisaran 2,5 milyar. Itupun sudah tergolong besar. Kadang-kadang bujet sebuah film horor bisa ditekan di bawah angka 2 milyar rupiah. Tapi tetap laris bak kacang goreng! Soal ini sangat bisa jadi dipengaruhi oleh karakteristik penonton Indonesia.

Diakui atau tidak, film-film bergenre horor tumbuh subur lantaran penonton begitu menikmatinya. Kita ini senang sekali ditakut-takuti. Tidak ada yang salah dengan fakta itu. Seseorang menonton film laga supaya dibuat tercengang dan ikut ngos-ngosan. Menonton film komedi agar dibuat tertawa ngakak. Menonton film horor, apa lagi tujuannya kalau bukan supaya dibuat ketakutan? Sepintas tidak ada yang salah, memang.

Tapi apapun kalau berlebihan pasti ada efek sampingnya. Tidak usah membicarakan anak kecil (karena perkembangan jiwa anak yang terbiasa ditakut-takuti dan anak yang dibiarkan tumbuh tanpa dicekoki tahayul jelas-jelas beda). Sementara orang-orang di negara maju berani berjalan kemana-mana dan bekerja hingga larut malam, orang kita? Melangkahkan kaki sedikit sudah ketakutan, jangan-jangan di situ muncul sundel bolong, genderuwo, pocong, hantu jeruk purut, kuntilanak, siluman babi, leak, suster ngesot, Nyi Loro Kidul, si manis jembatan Ancol ... alamak! Banyak sekali sosok yang wajib ditakuti warga Indonesia!

Masyarakat kita mau-maunya membuang waktu untuk mempelajari dunia yang seharusnya bukan urusan manusia itu. Coba, mengapa dukun togel masih juga laris? Mengapa orang percaya pada kartu tarot? Sebagian anak muda yang seharusnya merupakan generasi berpola pikir modern pun bergantung pada zodiak dalam menjalani hidupnya (kalau tidak, mengapa rubrik ‘ramalan bintang’ di media-media remaja/kosmopolitan masih ditunggu-tunggu juga?).

Orang bilang, masyarakat kita spiritualis (baca: terlalu banyak ‘percaya’. Jadi bagaimana mungkin perfilman Indonesia bisa lepas dari genre-genre klenik? Mustahil! Bagi yang tidak suka dengan genre ini, siap-siap saja kecewa. Karena horor, mistik, klenik dan kawan-kawannya masih akan terus diproduksi di tahun 2008.

Meskipun demikian, ternyata keadaan belum sepesimis itu. Harsiwi Achmad, Direktur Program televisi swasta, pernah mengatakan kalau stasiun televisinya berkomitmen menghindari film yang mengangkat kisah-kisah mistik atau kehidupan gelap. Misalnya pocong-pocongan, hantu-hantuan, atau setan yang mengeksplorasi kejahatan dan kegelapan.

Komitmen yang patut diacungi jempol. Entah bagaimana stasiun TV lainnya. Yang jelas, di tahun 2006 saja KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) menerima 199 pengaduan masyarakat tentang tayangan mistik. Itu belum termasuk film-film bioskop yang kita bicarakan di awal-awal tadi.

Pasar Bicara Lain

Sekali lagi keadaan belumlah sepesimis itu. Kalau kita meneropong kembali tahun 2007, kita akan melihat bahwa ternyata sebuah pergeseran tren sedang terjadi. Posisi film terlaris tahun 2007 dan runner up-nya justru dipegang film non horor, atau tepatnya film komedi. Setelah itu baru judul-judul semacam Terowongan Casablanca (horor), Suster N (horor), Malam Jumat Kliwon (horor lagi), Pocong 3 (lagi-lagi horor), Kuntilanak (idem), Bukan Bintang Biasa (baru drama percintaan), dan Lawang Sewu (horor).

Hegemoni horor masih terasa, namun dia bukan lagi yang terlaris. Masyarakat mulai jenuh. Yang berjaya di festival-festival film pun genre komedi, dalam hal ini diwakili Get Married, Nagabonar Jadi 2, Mengejar Mas-Mas, dan Maaf, Saya Menghamili Istri Anda. Tengok saja, Nagabonar Jadi 2 memperoleh penghargaan film terpilih, film terlaris. Penulis naskah terpilih dan pemeran pembantu pria terpilih pada Festival Film Jakarta. Film besutan Deddy Mizwar itu juga merajalela di Festival Film Indonesia 2007.

Syukurlah, ternyata mencari sesuap nasi tak perlu dengan terus-terusan mengeksploitasi tahayul dan tuyul. Komedi pun bisa keren. Merespon pergantian hembusan tren ini, beberapa film komedi bahkan sudah diproduksi pada tahun 2007 lalu untuk dirilis tahun ini. Salah satunya ‘Otomatis Romantis’ yang dibintangi Tukul Arwana.

Lantas, apakah genre ini yang akan menjadi primadona di tahun 2008? Entahlah. Satu yang pasti, film-film komedi yang disebut di sini bukan komedi-komedi slapstik dan klise seperti yang masih banyak dipertahankan stasiun-stasiun TV kita. Ini adalah komedi-komedi yang dikemas secara elegan dan cerdas. Di sinilah kita patut menatap perfilman Indonesia 2008 dengan optimisme.

Tapi alangkah bagusnya kalau hadir semakin banyak variasi dalam perfilman kita. Action, thriller, petualangan, musikal, bahkan animasi. Bagaimana, Bapak atau Ibu Produser? (*)

(* Penulis Adalah Peneliti film-komik-sastra di komunitas Warung Fiksi)
Diambil dari millis Koran-Sastra

06 Januari 2008

Salam Seorang Pradjurit

Oleh: L.F. Risakotta
Disadur dari: Kepada Partai, kumpulan sandjak; Yayasan Pembaruan,
Jakarta 1965. (Terima kasih kepada Perhimpunan Dokumentasi Indonesia
atas naskah puisi yang berharga ini)

Ditepi sungai Asahan kami berdjumpa
seorang pradjurit tua tak perbangpakt, katanja:
"beribu kami berdiri disini
mendjaga bumi merdeka ini."
Aku tan tanja asal kampungnja
baginja seluruh bumi Indonesia tanah airnja
Aku tak tanja siapa orang jang membesarkannja
sebab katanja, dewasa dan gagahku oleh tangan kaum tani
Aku tak tanja apa pangkatnja
sebab katanja, rakjatlah pemberi segala.

Tepi-air tak sampai menjentuh tempat kami berdiri
tapi bumi ini mengikatnja sedalam tjinta dihati
aa berbisik:
"djangan tuan mimpi kemerdekaan punja isi
kalau ada diantara kami tak tahu musuh revolusi."

Dari balik wadjah tak berubah
Ia ingat pesan Bung Karno dalam dwikora:
"Ganjang Malaysia, perkuat ketahanan revolusi"
Dan matanja menjala mengukir kemenangan
suara tawanja dibawa air ketepi-tepi pantai pasir tanah air

tawa seorang pradjurit jang rindu
rindu pada kemerdekaan penuh

Ketika sendja tiba dan aku akan ke Djakarta
ami harus berpisah dan katanja:
"Salamku pada Bung Aidit,
sampaikan, akulah anak tani jang jadi pradjurit,
beribu anak tani berdiri disini,
dengan sendjata bela kemerdekaan ini sampai mati."

Diambil dari Millis Sastra Pembebasan

Tanjalah Kapuas

Oleh: S. Anantaguna
Disadur dari: Kepada Partai, kumpulan sandjak; Yayasan Pembaruan,
Jakarta 1965. (Terima kasih kepada Perhimpunan Dokumentasi Indonesia
atas naskah puisi yang berharga ini)

Sebagai Kapuas
tak pernah puas
mengisi laut
Tak takut
kemenangan harus direbut.

Dalam bertjermin air sendja
langit tenang dan hati penuh kata-kata
gadis-gadis mendajung sampan
pemuda-pemuda mandi senjuman
buruh penoreh karent hutang bertimbun
pemandjat kelapa lapar dikebun
nelajan berlawan dikedjar padjak
petani menundukkan hutan setapak demi setapak
prang bilang koperasi menolong petani
disini koperasi menelan gula, kopra, karet, ikan
ah malam jang datang
sampai mati terus berdjuang
djika kehidupan melawan maut
kemenangan harus direbut
kita berlawan kehidupan
dan djatuh tjinta kehidupan.

Seorang kawan menepuk bahu
kutanja bagaimana Kapuas Hulu?
sampan berkedjaran
anak-anak bermain bersimburan
ditengah hutan
perbatasan
palu arit digambarkan dipohon-pohon
tanpa pandji, sepenuh hati
disumpahlah kawan baru dengan chidmat dan djabat tangan

Apa jang lebih besar dari kesederhanaan dan kebenaran
mendukung kepertjajaan Partai dan harapan diperdjuangkan
ada orang berdjuang mentjari kekajaan
ada orang berdjuang mentjari pembebasa
Mengapa kau tanja Djakarta?
kotaku tjantik
kita beladjar dari patriot paling baik
dalam mimpin meludahi tuan-tuan paling tengik.

O, malam gerimis
djangan tjoba mengantjam hati Komunis
sedalam-dalam laut
masih dalam bentji dan tjinta sekudjur tubuh
Mengalirah Kapuas, mengalir
segala tjita, tanpa batas, tanahair
O, malam pandjang
menggenggam pukulan datang berulang
tetapi kesedaran mendjemput pasti menang
biar gelisah air Kapuas, biar gelisah air laut
derdatangan angin lembut
sebelum tidur
pradjurit siap bertempur
siap pahit, kuat manis, berani hidup, berani gugur
Apalagi jang harus diutjapkan kepada Kapuas?
Partai meluas
Apalagi jang harus diutjapkan kepada pantai?
dimana-mana Partai
Djuga di dalam hati
djantung berdenjut diwaktu pagi
Partai ditjubit, Rakjat sakit
Rakjat diganggu, Komunis bangkit

Sebagai Kapuas
tak pernah puas
Tak takut
betapapun kemenangan harus didjemput

Diambil dari Millis Sastra-PEmbebasan

Postingan Pertama di Tahun 2008

Salam, salam, salam...

Agak terlambat? memang. Sebenarnya bukan kemauanku untuk melambatkan diri untuk posting. Tetapi, saat tanggal 2 Januari 2008 lalu, tiba-tiba Blogger mengirim surat padaku. Isinya:

"Dear Blogger user,

This is a message from the Blogger team.

Your blog, at http://pesastra.blogspot.com/, has been identified as a potential spam blog. For an explanation of what spam blogs are, please see Blogger Help: http://help.blogger.com/bin/answer.py?answer=42577

You will not be able to publish posts to your blog until we review your site and confirm that it is not a spam blog. To request a review, please fill out the form found here: http://www.blogger.com/unlock-blog.g?XXXXXXX

We will take a look at your blog and unlock it within four business days. Please note that if we do not hear from you within 20 days, we will remove your blog. If this blog does not belong to you, then you do not have to do anything. Any other blogs you may have will not be affected.

Since you are an actual person reading this, your blog is probably not spam. We find spam by using an automated classifier. Automatic spam detection is inherently fuzzy, and occasionally a blog is flagged incorrectly. We sincerely apologize for this erroneous result. By using this kind of system, however, we can dedicate more storage, bandwidth, and engineering resources to users like you instead of to spammers.

Thank you for your understanding and for your help in our spam-fighting efforts.

Sincerely,

The Blogger Team


Nah, oleh karena itulah, aku tak bisa memposting atau ngapa-ngapain di blog ini. But, tahun ini bagiku tak ada selebrasi berlebihan. Semua sama saja, dan pastinya akan banyak yang hadir dan menghilang.

BTW, aku cuma mau mengucap selamat datang Tahun Baru yang sudah merenggut umur dan waktuku di dunia ini.

Salam...Salam...Salam...